Ada apa dengan Sindrom Nasi Goreng?

Esaunggul.ac.id, Baru-baru ini tengah ramai dibicarakan dalam media sosial tentang “Fried rice syndrome” atau “sindrom nasi goreng” dalam berbagai media.
Mengapa topik ini tiba-tiba menjadi tren baru-baru ini, dan apa sebetulnya yang dimaksud dengan “sindrom nasi goreng” tersebut?
Berikut ini hasil perbincangan dengan Prof. Maksum Radji, dosen Prodi Farmasi FIKES Universitas Esa Unggul.
Menurut Prof. Maksum istilah “sindrom nasi goreng” ini agak kurang tepat. “Sindrom nasi goreng” yang dipopulerkan melalui media massa ini mengacu pada keracunan makanan yang disebabkan oleh bakteri Bacillus cereus.
“Sindrom ini disebabkan oleh adanya toksin bakteri Bacillus cereus yang berasal dari makanan yang tidak disimpan pada suhu yang tepat. Jadi bukan hanya nasi goreng saja, tapi juga dapat mencakup segala sesuatu mulai dari biji-bijian, daging, keju, spageti dan pasta”, sehingga istilah ini kurang tepat bila ditinjau secara medis karena juga dapat terjadi pada jenis makanan olehan lainnya”, ungkapnya.
Prof. Maksum menambahkan bahwa kasus kematian akibat keracunan makanan yang terkontaminasi oleh toksin bakteri Bacillus cereus ini jarang terjadi. Namun dapat menyebabkan penyakit gastrointestinal jika makanan tidak disimpan dengan benar. Oleh sebab itu makanan yang tidak langsung dikonsumsi sebaiknya disimpan pada suhu yang tepat agar tidak berkembang bakteri atau jamur yang terdapat pada makanan tersebut.

Apa itu “sindrom nasi goreng”?
Memurut Prof Maksum, berbagai negara telah mengalami kasus keracunan makanan sejak tahun 1965 yang lalu, yang disebabkan oleh konsumsi susu, es krim, ikan, daging, unggas, sup dan sayuran.
Dengan melansir laman https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0882401023004515 Prof. Maksum menambahkan bahwa istilah “sindrom nasi goreng” berasal dari kasus pertama yang dilaporkan mengenai kontaminasi Bacillus cereus pada hidangan nasi goreng di sebuah restoran China. Hidangan nasi goreng merupakan makanan yang populer di negara-negara Asia dan Eropa seperti China, Taiwan, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan.
“Kasus “sindrom nasi goreng” yang dikutip dalam video yang viral belakangan ini berdasarkan laporan studi kasus yang diterbitkan pada Journal of Cilical Microbiology. Melansir laman https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3232990/ disebutkan bahwa pada tanggal 1 Oktober 2008, seorang pria berusia 20 tahun jatuh sakit setelah makan sisa spageti dengan saus tomat, yang telah disiapkan 5 hari sebelumnya dan ditinggalkan di dapur pada suhu kamar. Sepulang sekolah, dia menghangatkan spageti di oven microwave. Segera setelah makan, dia meninggalkan rumah untuk melakukan aktivitas olahraga, namun dia kembali lagi 30 menit kemudian karena sakit kepala, sakit perut, dan mual. Saat tiba di rumah, dia muntah-muntah selama beberapa jam dan pada tengah malam mengalami dua kali diare cair. Dia tidak menerima obat apa pun dan hanya minum air putih. Setelah tengah malam, dia tertidur. Keesokan paginya orang tuanya khawatir karena dia tidak bangun. Ketika mereka pergi ke kamarnya, mereka menemukannya telah meninggal dunia. Kasus itulah yang kemudian disebutkan bahwa remaja tersebut meninggal dunia karena “sindrom nasi goreng”, paparnya.

Prof. Maksum menambahkan bahwa bakteri Baccilus cereus adalah bakteri umum yang ditemukan di lingkungan. Bakteri ini dapat menimbulkan masalah jika masuk ke dalam makanan tertentu yang dimasak dan tidak disimpan dengan benar. Makanan yang mengandung karbohidrat seperti nasi dan pasta seringkali menjadi penyebabnya. Tapi penyakit ini juga bisa ditimbulkan oleh makanan lainnya, seperti susu, keju, daging, sup, dan makanan bayi, yang terkontaminasi dengan bakteri penghasil toksin yaitu Baccilus cereus.

Patogenesis Bacillus cereus
Prof. Maksum menjelaskan bahwa Bacillus cereus adalah bakteri Gram-positif aerobik atau anaerobik fakultatif, pembentuk spora, berbentuk batang yang tersebar luas di lingkungan. Meskipun Bacillus cereus terutama dikaitkan dengan keracunan makanan, namun kini semakin banyak dilaporkan sebagai penyebab infeksi saluran non-gastrointestinal yang serius dan berpotensi fatal.
“Patogenisitas Bacillus cereus, terkait erat dengan produksi eksotoksin yang bersifat tahan terhadap pemanasan yang dapat merusak jaringan. Spora Bacillus cereus sangat tahan terhadap pemanasan. Pemanasan sisa makanan dengan suhu tinggi dapat membunuh jenis bakteri lainya. Namun, spora Bacillus cereus dapat tumbuh dan menjadi aktif. Sehingga mampu memproduksi toksin yang berbahaya karena jenis toksin yang dihasilkannya juga bersifat tahan terhadap pemanasan. Di antara toksin yang disekresikan adalah hemolisin, fosfolipase, toksin pemicu emesis, protease, enterotoksin, enterotoksin nonhemolitik, dan sitotoksin K. Di saluran pencernaan, sel-sel vegetatif atau spora bakteri menghasilkan enterotoksin dan menyebabkan sindrom diare, sedangkan toksin emetik, dapat menimbulkan mual dan muntah”, jelasnya.

Apa saja gejalanya?
“Penyakit ini biasanya berlangsung singkat dan dapat sembuh dengan sendirinya, namun penyakit ini bisa menjadi parah pada kelompok berisiko tinggi, seperti mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, dan bagi orang-orang yang rentan, seperti anak-anak atau mereka yang memiliki penyakit penyerta, memerlukan bantuan medis yang tepat. Adapun gejala infeksi Bacillus cereus antara lain diare, muntah, sakit perut dan biasanya terjadi sangat cepat. Pasien akan mulai merasakan sakit sekitar 30 menit setelah makan, meski gejalanya bisa timbul hingga 15 jam kemudian”, tambahnya.
Terapi “sindrom nasi goreng”.
Gejala “sindrom nasi goreng” mungkin terasa mengganggu, tetapi biasanya gejala tersebut dapat hilang dengan sendirinya dan hilang dalam waktu 24 jam, kata Prof. Maksum. Namun yang penting adalah menjaga untuk tetap terhidrasi, terutama jika mengalami muntah dan diare.
“Jika gejalanya parah atau berkepanjangan, atau jika sistem imunitas terganggu, kunjungi dokter secepatnya. Terapi antibiotik tidak diperlukan untuk keracunan makanan yang disebabkan oleh Bacillus cereus, karena gejala penyakit lebih dominan disebabkan oleh toksin bakteri, kecuali ada infeksi penyerta lainnya. Namun cairan intra vena terkadang diperlukan jika seseorang mengalami muntah parah dan diare yang ekstrem”, tambahnya.

Bagaimana upaya pencegahannya?
Prof. Maksum mengatakan bahwa makanan umumnya berisiko bagi kesehatan manusia bila disimpan pada suhu kamar. Pada suhu kamar antara 25 – 70 derajat Celsius cukup hangat untuk memungkinkan bakteri berkembang biak, tetapi tidak terlalu panas untuk membunuh bakteri atau menonaktifkan racun dalam makanan. Jika memanaskan kembali makanan, sebaiknya dipanaskan kembali hingga lebih dari 80 derajat Celcius.
“Sebaiknya memasak makanan hingga matang dan menyimpannya di lemari es jika tidak segera dikonsumsi. Makanan tidak boleh disimpan pada suhu kamar atau di nampan penghangat untuk jangka waktu lama, karena hal ini memungkinkan bakteri berkembang biak dan menghasilkan lebih banyak toksin bakteri”, tuturnya.

Penting juga untuk mengingat prinsip-prinsip umum kebersihan makanan. Sebelum menyiapkan makanan, cuci tangan. gunakan peralatan yang bersih, dan hindari mengkontaminasi makanan matang dengan makanan mentah guna meminimalkan risiko infeksi Bacillus cereus,” pungkasnya mengakhiri perbincangan ini.