Esaunggul.ac.id, Hati Hemofilia Sedunia (World Hemophilia Day) diperingati pertama kali pada tanggal 17 Apri tahun 1989. Peringatan Hari Hemofilia Sedunia yang diselenggarakan setiap tahun ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya.
Lantas bagaimana tema, makna dan pentingnya hari Hemofilia Sedunia tahun 2024 ini, berikut ini rangkuman perbincangan dengan Prof. Maksum Radji, Guru Besar Prodi Farmasi FIKES, Universitas Esa Unggul Jakarta.
Mengawali perbincangan ini, Prof Maksum menyampaikan bahwa dipilihnya tanggal 17 April sebagai Hari Hemofilia Sedunia ini bertepatan dengan hari kelahiran Frank Schnabel yaitu pendiri World Federation of Hemopholia.
Dengan melansir laman https://www.oliveboard.in/blog/world-hemophilia-day-2024/ Prof. Maksum menjelaskan bahwa Hemofilia adalah suatu kelainan genetik langka yang memengaruhi sistim pembekuan darah. Penderita hemofilia sulit menghentikan perdarahan, bahkan dari luka kecil sekalipun. Gangguan ini menyebabkan pendarahan terus-menerus setelah cedera atau ketika mendapatkan tindakan bedah. Pendarahan internal yang parah dapat menyebabkan kerusakan organ dan bahkan kematian.
“Hemofilia yang juga disebut dengan hemoragik herediter ini disebabkan karena tidak berfungsinya protein faktor VIII atau faktor IX, yang diperlukan dalam proses pembekuan darah. Penyakit ini bersifat lebih dominan pada pria dan bersifat resesif pada wanita. Penyakit yang disebabkan oleh kelainan genetik bawaan ini menyebabkan gangguan pada proses pembekuan darah”, paparnya.
Prof Maksum menambahkan bahwa penyakit hemofilia ini tergolong langka karena menurut data yang dilansir dari https://wfh.org/world-hemophilia-day/ kasus hemofilia terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran laki-laki dan sekitar 400 bayi dilahirkan dengan hemofilia setiap tahunnya. Saat ini diperkirakan 400.000 orang di seluruh dunia menderita hemofilia dan 75% dari pengidap hemofilia ini tidak dapat mengakses pengobatan yang memadai.
“Penyakit hemofilia terdiri dari Hemofilia A dan Hemofilia B. Pada hemofilia tipe A ini protein yang bertanggung jawab terhadap proses pembekuan darah disebut dengan faktor VIII. Kekurangan protein faktor VIII ini menyebabkan penyakit hemofilia A atau hemofilia klasik. Sedangkan hemofilia B disebabkan karena defisiensi faktor IX. Walaupun gejala kedua jenis hemofilia ini serupa, namun memerlukan cara diagnosis dan pengobatan yang berbeda”, ungkapnya.

Tema Hari Hemofilia Sedunia tahun 2024
Prof. Maksum menjelaskan bahwa tema Hari Hemofilia Sedunia tahun 2024 adalah “Equitable access for all: recognizing all bleeding disorders”. Tema ini dibuat untuk memberikan edukasi dan informasi penting pada masyarakat tentang penyakit gangguan perdarahan ini, serta untuk memberikan akses yang merata untuk semua, agar mengenali dengan baik tentang penyakit hemofilia dan gangguan pendarahan lainnya.
Menurut Prof. Maksum, Hemofilia telah diidentifikasi pada abad ke 10, ketika ditemukan kasus pendarahan hebat akibat luka ringan. Namun, pada saat itu belum dapat difahami sepenuhnya tentang penyebab penyakit langka ini. Setelah itu pada tahun 1803 Dr. John Conrad Otto seorang dokter dari Philadelphia, menemukan kasus kelainan pendarahan hemoragik yang terjadi pada seorang laki-laki, yang diketahui bahwa penyakit tersebut diwarisi olehnya dari ibumya.
“Pada tahun 1926, Dr. Erik von Willebrand dari Finlandia mendeskripsikan penyakit pendarahan serupa yang dapat menyerang pria dan wanita, yang kemudian disebut dengan penyakit Von Willebrand sesuai dengan nama penemunya. Pada tahun 1957 tim peneliti di Swedia menemukan bahwa penyakit gangguan pembekuan darah ini disebabkan oleh rendahnya kadar faktor Von Willebrand, yaitu protein yang kemudian dikenal dengan faktor pembekuan darah”, ungkapnya.

Penyebab Hemofilia
Lebih lanjut Prof. Maksum menguraikan bahwa hemofilia merupakan penyakit kelainan genetik bawaan yang diturunkan dari orang tua ke anaknya. Hampir semua penyebab hemofilia dikarenakan adanya kelainan genetik atau mutasi pada gen faktor pembekuan darah. Penyakit hemofilia ini umumnya lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan perempuan, meskipun demikian pembawa kelainan ini juga dapat diwariskan oleh seorang ibu kepada anaknya.
“Berdasrkan berbagai hasil penelitian telah diidentifikasi berbagai mutasi genetik yang terjadi pada gen penyandi protein faktor VIII atau faktor IX, dan sekitar 30 persen disebabkan oleh mutasi spontan. Gen faktor VIII dan faktor IX sebagai pengkode protein faktor pembekuan darah ini, terdapat pada kromosom X. Dengan demikian, baik hemofilia A dan B diwariskan melalui pola resesif terkait kromosom X, di mana sebagian besar wanita yang lahir dari ayah yang mengidap hemofilia akan menjadi pembawa”, sambungnya.

Lantas Apa Gejala dan Upaya Pengobatan Hemofilia
Menjawab pertanyaan ini, Prof. Maksum menjelaskan bahwa gejala utama hemofilia adalah darah yang sukar membeku sehingga perdarahan sulit berhenti atau berlangsung lebih lama, misalnya pada mimisan atau luka gores; sering terjadi perdarahan pada gusi; perdarahan yang sulit berhenti setelah operasi, misalnya setelah sunat (sirkumsisi); mudah mengalami memar; dan perdarahan pada sendi yang ditandai dengan nyeri dan bengkak pada sendi siku dan lutut. Adapun tingkat keparahan perdarahan yang dialami penderita hemofilia tergantung pada kadar faktor pembekuan dalam darahnya. Jika kadar faktor pembekuan darah makin sedikit, maka perdarahan akan makin sulit untuk berhenti.
Sedangkan cara diagnosis hemofilia dilakukan berdasarkan riwayat keluarga, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Skrining ini penting dilakukan jika ada anggota keluarga yang memiliki riwayat pendarahan berlebihan setelah trauma atau setelah operasi atau kelainan pendarahan lainnya. Konseling genetik dan tes prenatal juga perlu dilakukan untuk hemofilia, misalnya pada wanita dengan hemofilia yang tengah hamil atau jika berencana untuk memiliki anak lagi.
Menurut Prof. Maksum, tata laksana pengobatan hemofilia biasanya berupa pemberian faktor pembekuan darah secara teratur guna mencegah komplikasi. Hal ini biasanya dilakukan dengan menyuntikkan produk yang disebut konsentrat faktor pembekuan darah pada penderita.
“Hingga tahun 1992, semua produk faktor pembekuan darah dibuat dari plasma manusia. Namun, sejak tahun 1992, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA-USA), telah menyetujui penggunaan konsentrat faktor VIII rekombinan, yang bukan berasal dari plasma manusia. Konsentrat ini direkayasa secara genetika menggunakan teknologi DNA rekombinan. Konsentrat faktor yang direkayasa secara rekombinan ini juga diolah secara steril,” paparnya.

Upaya Pencegahan Hemofilia
Prof. Maksum menjelaskan bahwa mengingat hemofilia merupakan penyakit kelainan genetik, maka cara pencegahan terbaik yang bisa dilakukan adalah melakukan pemeriksaan sejak dini jika mengalami perdarahan tanpa penyebab yang pasti. Pemeriksaan genetik juga perlu dilakukan untuk mengetahui risiko ibu hamil menurunkan hemofilia pada janinnya. Bila seseorang menderita hemofilia, maka sebaiknya berupaya untuk mencegah terjadinya luka dan cidera, antara lain dengan cara menghindari kegiatan yang berisiko menyebabkan cidera, menghindari penggunaan obat yang dapat memengaruhi proses pembekuan darah, seperti aspirin tanpa resep dokter, berhati-hati saat bepergian atau berolahraga yang berisiko cidera, segera atasi perdarahan jika terjadi, melakukan pemeriksaan secara rutin untuk memantau kondisi hemofilia dan kadar faktor pembekuan darahnya, serta tindakan profilaksis untuk mencegah perdarahan dengan pemberian suntikan faktor pembekuan darah sesuai dengan jenis hemofilia yang diderita.
“Mari kita dukung bersama upaya penanggulangan penyakit hemofilia ini di Indonesia. Semoga para penderita hemofilia ini mendapatkan akses pelayanan kesehatan secara adil dan merata di seluruh Indonesia, termasuk upaya pencegahan berupa pemberian terapi profilaksis bagi mereka yang terkena dampak kelainan pendarahan langka ini”, pungkasnya mengakhiri perbincangan ini.

***