Kondisi yang terjadi saat ini di tengah wabah Covid-19, pada umumnya individu berjuang untuk melindungi diri dan anggota keluarganya agar tidak terinfeksi. Dengan bertambahnya angka individu yang terkena Covid-19 dari hari ke hari, kondisi itu membuat keluarga di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia juga merasakan kekhawatiran dalam menghadapi hal tersebut. Perubahan demi perubahan juga dihadapi oleh keluarga-keluarga akibat dampak dari wabah ini terutama perubahan kebiasaan baik yang terjadi pada sektor pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, dan sebagainya. Perubahan yang terjadi akibat wabah tersebut tentu saja memengaruhi kehidupan seluruh anggota keluarga di dalamnya. Teori sistem Bronfenbrenner (1994) mengemukakan tentang ecological models yang menjelaskan mengenai adanya sistem-sistem yang memengaruhi interaksi individu dengan orang lain dan lingkungannya. Keluarga yang merupakan sistem terkecil yang disebut microsystem memiliki sebuah pola aktivitas, tanggung jawab sosial dan relasi interpersonal yang dialami individu didalam keluarga. Pola ini berbentuk interaksi baik fisik maupun sosial dengan anggota keluarga lain secara konsisten dan akan membentuk perilaku serta kebiasaan pada diri individu. Perilaku dan kebiasaan ini akan memengaruhi perkembangan individu dan interaksinya dengan orang lain maupun lingkungan yang lebih luas. Individu akan mengalami ketidaknyamanan bila suatu keadaan tertentu memaksanya dalam waktu singkat untuk melakukan perubahan pada pola interaksi yang memengaruhi perilaku dan kebiasaan mereka.

Wabah Covid-19 ini dalam tingkatan tertentu memengaruhi sistem terbesar yaitu chronosystem yang membentuk perilaku dan karakter lingkungan sosial yang lebih luas. Perubahan perilaku dan karakter lingkungan dalam skala besar akan berimbas pada microsystem, tempat keluarga dan lingkungan terdekat lain berada. Contohnya dalam situasi seperti ketika menghadapi wabah ini, seluruh keluarga yang biasanya beraktivitas di luar rumah namun saat ini harus tinggal diam di dalam rumah, sebagian besar keluarga juga melakukan tugas-tugasnya dari rumah. Hal tersebut harus dilakukan karena adanya perubahan perilaku lingkungan sosial dalam upaya meredam penyebaran wabah Covid-19. Hal ini berimbas pada perubahan di dalam kebiasaan yang ada pada keluarga. Situasi akan lebih mudah diatasi apabila hal ini hanya memengaruhi interaksi sosial dengan dunia luar saja dan tidak ada perubahan yang signifikan terjadi pada keluarga tersebut, kecuali mereka menjadi lebih sering bertemu dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya di rumah, sehingga ada hal-hal positif yang dapat digali seperti adanya kebersamaan di dalam keluarga, dapat menyediakan waktu yang berkualitas bagi  masing-masing anggota keluarga, maka hal itu pada umumnya tidaklah menjadi masalah besar. Namun bila yang terjadi tidak hanya perubahan interaksi sosial saja akan tetapi terjadi juga penurunan tingkat ekonomi pada keluarga, penurunan kesehatan individu maupun anggota keluarga, ataupun adanya anggota keluarga yang sakit sampai pada kehilangan anggota keluarga. Kondisi tersebut dapat menjadi sumber permasalahan besar di dalam keluarga.

Setiap keluarga tidak ada yang bebas dari masalah. Setiap keluarga memiliki tantangan masing-masing untuk dapat menyelesaikan masalahnya tersebut. Masalah keluarga yang timbul seringkali berakhir tidak menyenangkan dengan terjadinya perpecahan dan keterpurukan pada masing-masing anggota keluarga. Suatu proses yang mendukung dibutuhkan dalam keluarga untuk dapat mengatasi tantangan dan bangkit dari keterpurukan sehingga menjadi keluarga yang resilien. Walsh (2003, 2016) menyatakan bahwa resiliensi keluarga merupakan kemampuan keluarga sebagai sebuah sistem untuk dapat mempertahankan keluarga tersebut untuk bangkit dari keterpurukan dan merupakan proses yang dijalani sepanjang kehidupan keluarga. Resiliensi keluarga saat ini menjadi hal yang sangat relevan, khususnya dalam kondisi ketika menghadapi wabah Covid-19 seperti saat ini, resiliensi keluarga merupakan hal yang perlu diupayakan maksimal oleh seluruh anggota keluarga. Walsh (2016) juga mengemukakan proses atau komponen kunci yang menjadi dasar untuk mengembangkan resiliensi keluarga. Komponen resiliensi keluarga tersebut yaitu:

1. Sistem Keyakinan Keluarga (Family Belief System)

Sistem keyakinan di dalam keluarga dapat membantu anggota keluarga untuk mengelola dan menghadapi situasi krisis. Contohnya, dengan mengingat kembali hakekat membentuk keluarga, pengalaman-pengalaman bersama, tradisi positif keluarga dan nilai-nilai spiritual yang dianut dan menjadi perekat keluarga selama ini perlu kembali ditanamkan dan disuarakan. Dengan adanya nilai-nilai yang ditanamkan, aturan-aturan di dalam keluarga, maka hal itu dapat  ikut berperan dalam pembentukan suatu lingkaran kepercayaan dan kebersamaan yang penting di dalam keluarga untuk membentuk resiliensi. Kepercayaan yang penting di dalam keluarga untuk membentuk resiliensi keluarga meliputi :

  • Memberi makna pada situasi krisis

Keluarga yang dapat memaknai situasi krisis merupakan keluarga yang dapat berfungsi dengan baik untuk menjalani proses yang terjadi di sepanjang kehidupannya. Mereka akan melihat bahwa kesulitan yang dihadapi sebagai tantangan yang harus dilalui yang dapat membentuk pribadi mereka menjadi lebih baik. Keluarga yang resilien akan berpikir untuk memahami situasi yang mereka hadapi, apa penyebab kesulitan tersebut dan hal apa yang dapat mereka lakukan untuk dapat mencari alternatif pemecahan masalah terhadap hal tersebut.

  • Pandangan positif

Pandangan positif di dalam menghadapi kesulitan biasanya akan dimiliki oleh keluarga yang optimis dan memiliki harapan akan masa depan. Hal ini akan membantu keluarga tersebut untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi.

  • Transedens dan spiritualis

Keyakinan transenden membuat keluarga memiliki makna, tujuan dalam hidup dan hubungan yang berada melebihi batas di luar hubungan individu, keluarga dan masyarakat. Keyakinan ini biasanya dibangun dari sesuatu yang berasal dari agama dan spiritual manusia. Aktivitas yang biasanya dilakukan yang berhubungan dengan keyakinan ini adalah berdoa, meditasi, berkumpul dengan komunitas yang dapat membentuk keimanan manusia sehingga dapat memberikan dukungan kepada keluarga.

2. Proses Organisasi (Organizational Processes)

Keluarga perlu menyediakan struktur untuk dapat menciptakan adanya kesatuan, keterhubungan dan komunikasi antar keluarga (Minuchin, 1974 dalam Walsh, 2016). Pola organisasi ini dibentuk untuk menciptakan fleksibilitas, keterhubungan, ketersediaan sumber daya ekonomi antar anggota keluarga. Contohnya, apabila seorang anggota keluarga membutuhkan bantuan tertentu, yang bersangkutan mengetahui cara untuk mendapatkan bantuan tersebut dari anggota keluarga yang lain, dilain pihak anggota keluarga lain dapat secara cepat mengetahui situasi dari anggota keluarga yang lain sehingga dapat secara proaktif memberikan dukungan baik moral maupun materi. Pola organisasi yang dapat mendukung resiliensi keluarga, meliputi :

  • Fleksibilitas

Keluarga yang resilien akan mampu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang mereka hadapi dalam situasi yang sulit. Mereka juga berupaya untuk dapat mengatur keadaan keluarga mereka agar mereka dapat mempertahankan kehidupan mereka selanjutnya dengan cara menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru yang dapat mereka jalani bersama.

  • Keterhubungan

Keterhubungan mencakup adanya komitmen di dalam keluarga yang berasal dari ikatan emosional yang kuat antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya. Dengan ikatan emosional yang kuat di antara anggotanya maka akan terbentuk hubungan yang saling mendukung di setiap situasi terutama ketika menghadapi krisis. Selain itu, keluarga yang memiliki keterhubungan akan berupaya untuk bersama-sama bangkit dalam menghadapi kesulitan.

  • Sumber daya sosial ekonomi.

Sumber daya sosial dan ekonomi di dalam keluarga merupakan salah satu yang penting untuk membentuk resiliensi di dalam keluarga. Melalui pola organisasi di dalam keluarga yang baik, maka keluarga tersebut akan memiliki keterbukaan dalam sumber daya ekonomi yang dimiliki dan memberikan dukungan sosial yang optimal ketika menghadapi krisis. Sumber daya ekonomi yang dapat didistribusikan dengan baik dan dipikirkan bersama antar anggota keluarga merupakan ciri keluarga yang resilien. Selain itu dukungan sosial juga dapat dilakukan dengan cara saling menguatkan, memberikan informasi yang lebih memberdayakan, membangkitkan semangat dan harapan di dalam keluarga di tengah-tengah krisis dan berupaya untuk membuat segalanya menjadi suatu hal yang normal untuk dijalani.

3. Proses Komunikasi dan Pemecahan Masalah (Communication and Problem-Solving Processes)

Komunikasi merupakan hal yang penting untuk meningkatkan fungsi dan resiliensi keluarga. Komunikasi memungkinkan adanya pertukaran informasi, keyakinan, ekspresi emosi dan proses pemecahan masalah (Ryan et al.,2005 dalam Walsh, 2016). Dengan adanya komunikasi maka keluarga dapat bersama-sama bersinergi untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Aspek komunikasi didukung oleh adanya kejelasan, keterbukaan ungkapan emosi, dan penyelesaian masalah yang kolaboratif. Contohnya, apabila ada anggota keluarga yang menyampaikan kesulitannya, maka anggota keluarga yang lain mendengarkan dengan empati serta tidak menggunakan kata-kata yang negatif maupun intonasi yang memprovokasi. Komunikasi yang baik akan menciptakan dukungan moral yang signifikan bagi masing-masing anggota keluarga. Aspek komunikasi di dalam keluarga meliputi :

  • Kejelasan

Kejelasan merupakan hal yang penting di dalam komunikasi. Informasi yang jelas yang disampaikan di dalam keluarga baik dengan kata-kata, sikap dan perbuatan maka akan membantu anggota keluarga untuk dapat memaknai situasi secara menyeluruh, mengembangkan keterbukaan dalam hal emosi, dan tindakan yang diambil dalam situasi krisis.

  • Keterbukaan ungkapan emosi

Keluarga yang resilien mampu melakukan komunikasi dengan terbuka dalam mengungkapkan emosi atau perasaan antar anggota keluarga. Dengan keterbukaan antar anggota keluarga maka mereka akan dapat saling menghibur dan dapat saling menunjukkan empati antar anggota keluarga.

  • Penyelesaian masalah yang kolaboratif

Keluarga yang resilien memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama ketika menghadapi krisis. Mereka akan berupaya untuk memberikan ide, saran yang konstruktif untuk dapat bangkit dari krisis yang dialami oleh keluarga.

Resiliensi keluarga terdiri dari 2 faktor yang memengaruhi yaitu faktor risiko dan faktor protektif. Faktor yang dapat mendorong timbulnya  hasil yang negatif pada keluarga merupakan faktor risiko. Sementara, faktor yang dapat mengurangi kemungkinan timbulnya hasil negatif yang ada pada keluarga merupakan faktor protektif (Mackay, 2003). Dengan demikian, ketika faktor protektif ditingkatkan maka dapat mengurangi hasil negatif yang timbul pada keluarga. Faktor-faktor protektif yang ada pada resiliensi keluarga:

  1. Individu

Individu yang memiliki ketahanan atau kekuatan adalah pondasi bagi keluarga yang stabil dan suportif. Faktor protektif individu yang merupakan hal yang penting untuk resiliensi keluarga, diantaranya sebagai berikut : regulasi emosi, sistem keyakinan, peningkatan pendidikan dan keterampilan, temperamen, kesehatan, jenis kelamin, dan sebagainya (Benzies dan Mychasiuk, 2008).

  1. Keluarga

Keluarga memiliki peran yang sama besarnya dengan individu dalam membentuk resiliensi keluarga. Namun, faktor protektif yang menumbuhkan resiliensi dalam keluarga berbeda dengan individu. Faktor protektif dalam keluarga meliputi :  struktur keluarga, stabilitas hubungan dengan pasangan, interaksi antara orang tua dan anak, dukungan sosial, kestabilan dalam penghasilan, dan sebagainya (Benzies dan Mychasiuk, 2008).

  1. Komunitas

Resiliensi keluarga tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik individu di dalam keluarga tetapi juga dipengaruhi oleh komunitas atau masyarakat dan lingkungan di sekitar individu tersebut. Faktor protektif dalam komunitas meliputi : keterlibatan dalam komunitas, penerimaan teman sebaya, lingkungan yang aman, dan sebagainya (Benzies dan Mychasiuk, 2008).

Kemampuan keluarga untuk saling mendukung dan saling bekerjasama dalam situasi seperti ini sangat dibutuhkan. Tantangan terbesar adalah membuat keluarga tetap dapat memikirkan dan mengerjakan sesuatu yang memberdayakan di situasi yang tidak kondusif.  Idealnya semua yang dibutuhkan oleh satu anggota keluarga perlu diupayakan oleh anggota keluarga yang lain, seperti ketika menghadapi penurunan dalam tingkat ekonomi atau ada anggota keluarga yang sakit, maka hal-hal tersebut perlu dipikirkan atau menjadi bahan refleksi, apa makna positif yang dapat saya ambil terhadap peristiwa ini? Misalnya pada saat perekonomian sedang menurun maka seluruh anggota keluarga mengupayakan penghematan terhadap barang-barang kebutuhan makanan, dan sebagainya, yang biasanya ingin makanan tertentu dengan menggunakan pesan antar online dapat dijadikan sarana untuk menciptakan ide kreatif dalam memasak makanan yang diinginkan. Selain itu, yang biasanya di dalam keluarga tidak pernah memikirkan cara melakukan penghematan namun di saat kondisi perekonomian menurun, keluarga bersama-sama berupaya untuk menghitung adanya pemasukan dan pengeluaran serta melakukan penghematan di berbagai hal di dalam rumah tangga seperti lebih memperhatikan penggunaan listrik, air, dan sebagainya.

Selain itu, jika menjumpai anggota keluarga yang sakit. Hal itu memang tidak diharapkan, namun dibalik hal yang tidak menyenangkan ada anggota keluarga yang belajar untuk dapat bekerjasama, berempati, bertoleransi, dan lebih memperhatikan kesehatan dirinya dan anggota keluarganya. Beberapa keluarga saat ini juga mampu mensyukuri kesehatan, kebersamaan, dan semua hal-hal yang dalam situasi normal tidak menjadi prioritas untuk dilakukan. Memang semua kondisi yang dialami oleh keluarga khususnya dalam menghadapi Covid-19 ini merupakan sebuah proses yang mungkin akan cukup panjang berlangsung dan perlu dihadapi. Sebagian keluarga atau individu dapat merasakan lelah, kecewa, putus asa, dan sebagainya dalam menghadapi situasi ini. Namun resiliensi keluarga dapat tercapai ketika terdapat anggota keluarga di dalamnya yang meskipun berada di situasi yang buruk atau situasi penuh tekanan seperti adanya wabah Covid-19 ini tetap dapat bangkit dan menciptakan pikiran, aktivitas yang dapat memberdayakan diri dan keluarganya.  Dengan demikian, kita tidak hanya sekedar menjalani keadaan tapi lebih dari itu yaitu dapat menciptakan keadaan yang lebih baik bagi keluarga kita.

 

Oleh : Veronica Kristiyani, S.Psi., M.Si., Psikolog.