Karantina Kesehatan di DKI Jakarta

(sebuah tinjauan yuridis terhadap peran negara terhadap pemenuhan kebutuhan saat pemberlakuan PSBB)

Oleh Wasis Susetio

1. Latar Belakang

Jakarta akhirnya kena “lockdown”, begitu kata sebagian masyarakat DKI pada saat, Pak Anis, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah DKI Jakarta (PSPB) tanggal 10 April 2020.  Kata “lockdown” menjadi istilah popular jaman pandemic CoronaVirus Disease tahun 2019 (disebut (Covid – 19), terasa tidak asing lagi di kuping, sejak virus corona mengamuk, seperti topan badai menyerang, dari semula di pertengahan februari 2020 hanya 2 orang di Depok, menjadi lebih dari 4000 orang di minggu kedua bulan April ini, separuhnya merupakan penduduk DKI Jakarta, dengan angka kematian lebih dari 320 orang.

Sebelum dikeluarkannya Pergub Noor 33 tahun 2018, sebenarnya penduduk DKI , sejak pertengahan bulan Maret 2020,  sudah merasakan suasana “lockdown”, karena adanya himbauan Pemerintah DKI yang meminta untuk membatasi aktifitas di rumah. Penduduk DKI diminta untuk  tinggal dirumah, beraktifitas dirumah, baik untuk, belajar,  sekolah on line, bekerja, dan hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja. Hampir setiap saat, pemerintah menghimbau, stay at home, akibat angka penularan terus meningkat dengan drastic. Dimana-mana tagar #dirumahsaja , Jika keluar berlaku ketentuan “social distancing”.  Berbagai aplikasi online digunakan berikut konten dibuat untuk memenuhi kegiatan Work From Home (WFH) dan Study From Home (STF).

Lalu apa sesungguhnya pemaknaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) , baik dari aspek normatif, maupun implementatif? Seorang dokter wanita, dr. Tifauzia Tyasumma, sejak awal meminta pemerintah untuk lockdown teritori, alias karantina wilayah, sebab dengan menutup seluruh akses ke suatu wilayah yang terpapar, berarti menutup akses penyebaran virus, dan Pemerintah fokus untuk menyembuhkan yang sakit di wilayah itu. Akan tetapi, pilihan Pemerintah bukan Karantina Wilayah, tetapi PSBB sebagai bentuk karantina kesehatan. Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Kesehatan menyetujui diberlakukannya Karantina Kesehatan dengan pola PSBB, bukan karantina wilayah, berdasarkan Keputusan Menteri Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang Penetapan PSBB di DKI Jakarta Dalam Rangka Percepatan Penanggulangan COVID 19.

Sebagian besar ahli kemudian mengusulkan solusi yang konon paling tepat yaitu lockdown teritori,  bukan PSBB, dengan cara membandingkan dan memberi referensi tindakan di berbagai negara lain tentang lockdown, padahal di berbagai negara tersebut juga arti “lockdown” memiliki variasi bentuk, serta makna masing-masing. Menyetop penyebaran virus corona, yang konon belum ada obatnya hingga saat ini, adalah dengan cara menyetop pergerakan manusia selaku pembawa virus, dan itu artinya dihentikan semua aktifitas masyarakat, sehingga tidak saling berjumpa.

Sebagai suatu perbandingan, kita melihat ada contoh beberapa model “lockdown” berupa karantina wilayah, seperti antara lain : di Cina, Pemerintah Cina telah melakukan lockdown untuk Wuhan sejak 23 Januari 2020 lalu. Lockdown ini meliputi penghentian semua moda transportasi umum baik di darat maupun yang menggunakan kapal. Penduduk Wuhan juga dilarang melakukan perjalanan ke luar kota, namun masih boleh beraktivitas di dalam kota. Sekolah dan perusahaan pun sempat ditutup hingga 10 Maret 2020 lalu.

Berbeda dengan model Wuhan yang hanya memberlakukan karantina wilayah kota, model Italia memberlakukan lebih luas lagi. Italia memberlakukan karantina wilayah atau lockdown secara nasional pada 9 Maret. Sekitar 60 juta penduduknya diperintahkan untuk tinggal di dalam rumah. Sekolah, universitas, dan semua bisnis non-esensial diliburkan atau ditutup sementara. Hanya supermarket, bank, apotek, dan kantor pos diizinkan tetap beroperasi. Perjalanan di dalam negeri telah dilarang kecuali dengan alasan kesehatan atau masalah mendesak lainnya. Warga Italia hanya diizinkan meninggalkan rumah dalam keadaan tertentu, seperti untuk berolahraga sendirian di dekat rumah, belanja bahan makanan atau pergi ke dokter. Mereka diharuskan mencetak sejenis sertifikat di rumah yang memuat alasan mereka meninggalkan rumah. Sertifikat ini akan diperiksa oleh kepolisian. Warga yang melanggar aturan karantina ini akan dijatuhi denda uang antara $ 430 hingga $ 3.227 (Rp 7 juta hingga Rp 52 juta), atau bisa dikenai hukuman penjara hingga tiga bulan.

Model ini banyak diikuti negara uni eropa lainnya, seperti Portugal, Austria, Spanyol, Inggris, namun ada juga yang menerapkan system social distancing, seperti Jerman dan Amerika Serikat. Tidak seperti negara-negara Eropa lainnya, Jerman sejauh ini sudah berhenti meminta lebih dari 80 juta penduduknya untuk tetap berada di rumah, namun kini pemerintah memilih langkah social distancing atau penjarakan sosial ketat yang dikeluarkan pada 22 Maret.

Pertemuan publik lebih dari dua orang dilarang, kecuali untuk keluarga dan mereka yang tinggal dalam satu rumah. Restoran-restoran juga diperintahkan untuk tutup kecuali mereka yang menyediakan pengiriman maupun penjemputan makanan. Salon rambut dan salon tato telah dimasukkan dalam daftar toko-toko non-esensial dan telah diperintahkan untuk tutup. Berolahraga sendirian di luar rumah masih diperbolehkan, meskipun dengan menjaga jarak setidaknya 1,5 meter antara satu orang dengan yang lain.

Meski begitu, negara bagian zona merah , Bayern dan Saarland telah menempatkan warganya dalam karantina wilayah atau lockdown, dengan memerintahkan mereka untuk tinggal di dalam rumah. Sekolah-sekolah di seantero negeri telah diperintahkan untuk tutup sampai akhir liburan Paskah.

Lalu bagaimana dengan model karantina PSBB di Indonesia ? Untuk itu, kita perlu menelusur terlebih dahulu hingga ke sumber norma dari mana kata karantina itu berasal. UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehtan (selanjutnya disebut sebagai UU Karantina Kesehatan). Pada BAB VII, pasal 49 hingga pasal 60 , dalam hal ini pengertian karantina kesehatan memiliki 4 bentuk karantina , yaitu : Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan.

2. Identifikasi Masalah

  1. Apakah penetapkan PSBB di DKI Jakarta sudah tepat secara peratursan perundang-undangan ?
  2. Bagaimana peran Pemerintah, baik Pemrov DKI Jakarta maupun Pemerintah Pusat dalam memenuhi ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018

3. Pembatasan Masalah

Sebagai suatu isu hokum, persoalan penanggulangan dan dampak wabah COVID 19 banyak meelibatkan bidang hokum, seperti Hukum Tata Negara, Hukum Keuangan Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Kesehatan, Hukum Telematika, Hukum Media, Hukum Tenaga Kerja, dan lain-lain. Namun dalam tulisan ini, pembahasan dibatasi pada Hukum Tata Negara, khususnya aspek perundang-undangan yang berlaku di DKI, saat masa PSBB

4. Kajian Teoritis

Dari perspektif hokum, penganggulang wabah Covid 19 merupakan tugas negara dalam melaksanakan fungsi-fungsi negara. Perlindungan bagi setiap warga negara merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Hal ini sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) Alinea ke 4 (empat), yang menyatakan salah satunya “melindungi segenap tumpah darah dan bangsa Indonesia…”.

Lebih lanjut perlindungan negara terhadap warga negaranya berlaku juga saat pandemic Covid yang menjangkiti warga negara begitu cepat di berbagai pelosok tanah air, sudah ada 30 Propinsi yang sudah terdampak, saat ini. Bahkan warganegara Indonesia yang berada di Luar Negeri , seperti di Singapura, Hongkong, Amerika, dll, hal ini diejewantahkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NKRI 1945 19 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Oleh karena itu dengan adanya perlindungan WNI di manapun dia berada, negara bukan hanya memenuhi kewajibannya namun juga telah memenuhi hak asasi manusia warga negara tersebut.

Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa “Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindugan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan ekpada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.

Terkait dengan masalah Pandemi Covid 19, perlindungan negara merupakan suatu kewajiban terpenuhnya hak-hak dasar kesehatan, yang saat ini sudah merupakan hak asasi manusia. Jaminan hak atas kesehatan terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966, yaitu bahwa negara peserta konvenan tersebut mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental.

Pada lingkup nasional, Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Demikian juga, asal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin;  Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jadi bencana Covid 19, yang sudah nyata-nyata mengancam bukan hanya kesehatan , tetapi juga jiwa warganegara Indonesia, wajib ditanggulangi dengan berbagai cara agar dampak penyebarannya tidak meluas dan lama.

Lebih jauh, permasalahan Pandemi Covid 19 juga bersentuhan dengan dimensi kesejahteraan, sehingga perlu kajian perpektif negara kesejahteraan dalam mengangani  akibat-akibat yang imbul baik selama masa karantina kesehatan, maupun paska berakhirnya wabah tersebut tersebut, yang sangat mungkin memiliki dampak luas dari aspek social dan ekonomi yang akan berlangsung lama.  Di sinilah peran pemerintah sebagai agen kesejahteraan untuk memaksimalkan fungsi-fungsi kesejahteraan , melalui program-program penanggulangan Pandemi Covid 19.

Selain itu, Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (PP No. 39 Tahun 2012 Pasal 2), ditujukan kepada perseorangan, keluarga, kelompok, masyarakat. diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial yang meliputi kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana; dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi, termasuk Covid 19 sebagai bencana non alami. Keluarga-keluarga terdampak wabah, bukan hanya kaum rentan penyakit yang diisolasi, tetapi juga mereka yang terkena imbas pemberlakuan  karantina kesehatan secara ekonomi harian mereka.

Teori yang berikut, adalah hirarki perundang-undangan, yang dikenal sebagai Stufen Bau Theory oleh Kelsen. Teori ini menguraikan bahwa norma yang atas menjadi sumber bagi norma yang di bawahnya, demikian sebaliknya bahwa norma dibawah harus bersumber kepada norma yang di atasnya. Hal ini menyangkut efektifitas norma sehingga norma tersebut dianggap valid. Dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan perturwn perundang-undangan, susunan tata perundang-undangan di Indonesia, Peraturan Daerah Propinsi , berada di bawah Peraturan Pemerintah dan Undang-undang, demikian juga Pergub Nomor 33 tahun 2002, harus mengacu dan bersumber pada norma UU Karantina Wilayah, dan PP Nomor 21 tahun 2020 tentang PSBB.

5. Analisa

Berdasarkan  Pasal 1 angka 10 UU Nomor 6 dinyatakan bahwa Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Sementara, PSBB dijelaskan selanjutnya dalam  Pasal 1 angka 11 ,  Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Dari definisi di atas , terdapat perbedaan pada esensi pengaturan berupa wilayah dan kegiatan, untuk karantina wilayah, fokusnya adalah penutupan wilayah mulai dari pintu masuk, border, termasuk dalam hal ini wilayah darat, udara, laut jika ada. Di sisi lain, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), merupkan upaya pencegahan penyebaran wabah dengan melakukan model pembatasan-pembatasan terhadap kegiatan tertentu. Sementara PSBB bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu. PSBB secara operasional paling sedikit meliputi : a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Dengan demikian , PSBB lebih difokuskan untuk mengurangi kontak orang, membatasi mobilitas orang agar tidak terjadi penularan. Pembatasan kegiatan memiliki dampak produktifitas yang masih bisa dilaksanakan dengan skala minimal hingga moderat.. Dari dampak perekonomian, PSBB memiliki dampak yang mungkin tidak sebesar Karantina Wilayah, masih ada geliat ekonomi . Setiap orang masih boleh belanja kebutuhannya, dan boleh untuk melakukan pertemuan dengan jumlah terbatas untuk tujuan yang benar-benar penting seperti pekerjaan meyediakan logistik dan kebutuhan sehari-hari, demikian juga mereka yang dipasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hanya kegiatan yang sifatnya hiburan, nongkrong-nongkrong, dan tidak punya maksud yang jelas, itu yang secara ketat dilarang, bahkan bisa terkena sanksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Pergub a quo JO pasal 93 UU Karantina Kesehatan.

Pertanyaannya adalah bagaimana pemenuhan kebutuhan dasarnya pada saat karantina kesehatan, baik karantina wilayah maupun PSBB ? seperti makanan, minuman, bahkan kebutuhan sehari-hari , seperti perlengkapan mandi, dll, untuk semua orang baik yang terpapar maupun yang tidak. Karantina wilayah jelas memiliki dampak ekonomi yang sangat luas dan besar, terutama bagi mereka-mereka golongan ekonomi kurang mampu, yang penghasilannya didapat secara harian.

Jika mengacu pada Pasal 8 UU /2018 yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina. Diperkuat oleh  pasal 7 UU a quo sebelumnya  yang berbunyi “Setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Menurut tafsir sistematikal, hal ini memperkuat makna persamaan hak setiap orang, tidak pandang kaya, miskin, menengah, atas , bawah, tukang sayur, tukang gorengan, ojol, dengan menejer, direktur, dsb dalam hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan , dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina. Tidak ada diskriminasi yang kaya di dahulukan, yang miskin belakangan, atau sebaliknya.

Menurut ketentuan pasal 21 ayat 1 Pergub DKI Nomor 33 tahun 2020 berbunyi “Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan bantuan sosial kepada penduduk rentan yang terdampak dalam memenuhi kebutuhan pokoknya selama pelaksanaan PSBB”, dan ayat 2 nya berbunyi “Bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk bahan pokok dan/ atau bantuan langsung lainnya yang mekanisme penyalurannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menjadi perdebatan adalah, ini kewajiban atau kebolehan ? Adanya kata “dapat” dalam Pasal 21 ayat 1 , maka ini sifatnya fakultatif, dan tidak wajib dilakukan.

Sebagaimana pasal 2 , bantuan sosial hanya dibagikan kepada penduduk rentan yang terdampak, maka addresat norma tersebut hanya ditujukan pada sekelompok orang saja untuk diberikan bantuan social, apakah ini berati bertentangan dengan UU Karantina Kesehatan ? jika dibaca pasal 8 , hanya menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan, namun apakah yang dimaksud adalah mendspatkan bantuan social ? Dengan demikian, “addresat penduduk rentan yang terdampak” oleh Pergub Nomor 33 tahun 2020 dilimpahkan kewenangannya berdasarkan Pasal 21 ayat 3 kepada Keputusan Gubernur.  Lalu, siapakah yang dimaksud dengan Penduduk Rentan yang terdampak ? Dalam Pergub  a quo, tidak dijelaskan baik dalam pasal ketentuan umum, maupun dalam penjelasan Pergub a quo.

Demikian juga , pada bab V tentang Hak dan Kewajiban serta Pemenuhan Kebutuhan Dasar Penduduk selama PSBB, khususnya Pasal 19 menyebutkan bahwa (1) Selama pemberlakuan PSBB, setiap penduduk di Provinsi DKI Jakarta mempunyai hak yang sama untuk:

  1. memperoleh perlakuan dan pelayanan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta;
  2. mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis;
  3. memperoleh data dan informasi publik seputar Corona Virus Disease (COVID-19);
  4. kemudahan akses di dalam melakukan pengaduan seputar Corona Virus Disease (COVID-19); dan
  5. pelayanan pemulasaraan dan pemakaman jenazah Corona Virus Disease (COVID-19) dan/atau terduga Corona Virus Disease (COVID- 19).

Hal ini berbeda dengan pasal 8 UU Karantina wilayah yang menyatakan bahwa bahwa setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina. Ada 3 hak, 1) hak kesehatan; 2) hak pangan 3) hak kehidupan sehari-hari.

Demikian juga persoalan , pihak yang berhak (addresat norma) Pergub a quo kurang sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang PSBB DALAM RANGKA PERCEPATAN PENANGANAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19), Pasal 4 ayat (3) yang menyatakan pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (pembatasan PSBB) dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kcbutuhan dasar penduduk. Artinya, penduduk secara keseluruhan, dan tidak direduksi hanya kepada penduduk rentan yang terdampak. Apalagi tidak ada kriteria dalam pergub yang dimaksud dengan siapa penduduk rentan yang terdampak, semuanya diserahkan pada Keputusan Gubernur, hal ini berpotensi adanya penyimpangan kewenangan.

Selanjutnya, pasal 22 menyatakan Pasal 22

(1) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan insentif kepada Pelaku Usaha

yang terdampak atas pelaksanaan PSBB.

(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:

  1. pengurangan pajak dan retribusi daerah bagi pelaku usaha;
  2. pemberian bantuan sosial kepada karyawan yang terdampak atas

pelaksanaan PSBB; dan/ atau

  1. bantuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan adanya pasal ini, kembali kata “dapat” menjadi hak Pemerintah Propinsi untuk menjalankan atau tidak, sementara pihak penerima juga harus jelas, sebab, hampir seluruh pelaku usaha pasti terdampak PSBB, hal ini bisa dilihat dengan statistic penurunan pendapatan di hampir semua sektor usaha. Dengan ketidak adaan kriteria pelaku usaha, serta dampak yang dimaksud, hal ini dikhawtirkan justru menimbulkan rasa ketidak adilan bagi yang tidak menerima, dan bukan tidak mungkin hal ini malah menimbulkan praktek kolusi dan nepotisme.

6. Kesimpulan

Dengan melihat materi muatan Pergub Nomor 33 tahun 2020, terdapat beberapa hal yang kurang sejalan antara Pergub a quo, khusunya Pasal 21 yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok penduduk yang terkena PSBB, dengan UU Karantina Wilayah dan PP tentang PSBB. Penetapan penerima bantuan sosial selanjutnya diserahkan kepada Gubernur, sesuai Pasl 21 ayat 3 yang berbunyi “ Penetapan penerima bantuan sosial ditetapkan dengan Keputusan Gubernur”.

Keputusan Gubernur tentang Bantuan Sosial dalam hal penerima bantuan social PSBB di Jakarta hingga saat ini belum keluar, tentu hal ini harus dibuat dengan asas keterbukaan, transparan dan penuh kehati-hatian (prudent) , sebab jangan sampai salah sasaran. Meskipun demikian, sejalan dengan norma dalam UU Karantina Kesehatan, setiap penduduk mendapatkan hak yang sama. Oleh karena itu, materi muatan PerGub membuat penjelasan lebih jelas.

Pada pasal 22 Pergub, merupakan upaya Pemerintah DKI Jakarta  untuk memberikan kepada seluruh lapisan masyarakat, namun ketiadaan kriteria secara jelas dalam materi muatan Pergub Nomor 33 tahun 2020, dapat menimbulkan persoalan hokum di kemudian hari.

 

Dr. Wasis Susetio,SH,MH