Drs. Teguh Imanto
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Esa Unggul, Jakarta

 

Film dengan segala bentuk visualisasinya kini telah mengepung dalam kehidupan. Film sebagai karya seni, merupakan hasil dari proses kreatif berbagai unsur diantaranya seni musik, seni rupa, seni suara, teater serta teknologi dengan kekuatan gambar sebagai bentuk visualisasinya. Film selain sebagai alat untuk mencurahkan ekspresi bagi penciptanya, juga sebagai alat komunikator yang efektif. Ia dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pemikiran dan memberikan doro-ngan, namun juga dikawatirkan menjerumuskan orang ke hal-hal yang negatif serta meruntuhkan nilai-nilai moral dan tatanan hidup yang ada di tengah masyarakat.

Pada awal sejarah film, para sineas semacam Lumiere film yang dibuatnya hanya berkonsep merekam kenyataan yang ada, seperti para pekerja pabrik yang meninggalkan aktifitasnya, suatu peristiwa yang dire-kamnya tanpa menceritakan kisa apapun atau suatu cerita yang telah direncanakan. Tetapi beberapa tahun kemudian oleh George Milles mengu-bah kenyataan yang naïf itu menjadi suatu kisah yang dibumbui oleh fantasi yang menarik. Hasil dari olahan Milles dari kenyataan menjdi suatu tontonan yang penuh dengan dunia impian. Seiring dengan perkembangan populernya aliran “Surealisme”, yaitu sebuah aliran dalam dunia keseni-rupaan yang berkonsep pada takbir mimpi dengan dipenuhi oleh daya fantasi itu, maka perkembangan film tak lepas dari pengaruhnya, Berbagai macam konsep cerita yang berbau fantasi tercipta hingga Amerika dibawah sentuhan pemikiran dan tangan Edwin. S terlahir teknologi editing sejajar (parallel editing) dan  teknologi penciptaan gambar bergerak semakin sempurna ketika D.W.Grith di tahun 1903 menciptakan teknik pengambilan gambar melalui kamera dengan nama Close Up, Tracking dan Planning sehingga hasil gambar yang terbidik menjadi semakain dinamis.

Aliran Surialisme yang berkonsep menguak takbir mimpi kedalam bentuk-bentuk fantasi telah mempe-ngaruhi konsep pembuatan film fantasi. Perkembangan film di abad 21 mengalami perubahan yang spek-takuler, ketika unsur teknologi menjadi bagian penting dalam proses produksi sebuah film. Seiring dengan perkembangan komputer mengarah pada digitalisasi, maka program-program yang mendukung dalam proses produksi film telah tercipta seperti program editing, Animasi, Audio, bahkan special efek yang meng-hasilkan efek-efek gambar yang manajubkanpun tersedia, maka film yang akan terciptapun hasilnya luar biasa. Kwalitas gambar semakin jernih ketika teknik digital kamera mengambil alih teknik manual, dengan hadirnya kamera yang berbasis 3 CCD sehingga output gambar per frame  hasil rekaman menjadi lebih besar diantaranya 720 X 480 pixel sebuah frame film berkwalitas digital menggeser tekniklogi sebelumnya yang mampu menghasilkan frame film 320 X 240 Pixel.
Dari perkembangan teknologi yang begitu drastis tersebut, terutama peralatan yang dipakai dalam proses produksi dengan sumber manusia yang handal, maka karya-karya yang fantastis dan enak ditontonpun dapat tercipta. Keberhasilan sebuah film tidak ditentukan oleh ceritanya saja, akan tetapi unsur-unsur yang terkait dalam proses produksi sebuah film diantaranya produser, sutradara, penulis skenario, panata kamera, penata artistik, penata musik, penata suara dan editing dapat menyatu dalam proses produksinya, bersinergis satu dengan yang lainnya serta saling mengerti masing-masing yang menjadi tanggung jawabnya.

Sebuah film merupakan hasil dari proses kreatif berbagai unsur dian-taranya seni musik, seni rupa, seni suara, teater serta teknologi dengan kekuatan gambar sebagai bentuk visualisasinya. Sebuah film yang dikerjakan dengan konsep yang matang dengan melibatkan sentuhan teknologi akan memacu masyarakat untuk berpikir secara rasional.
Film selain sebagai alat untuk mencurahkan ekspresi bagi penciptanya, juga sebagai alat komu-nikator yang efektif. Ia dapat meng-hibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pemikiran dan mem-berikan dorongan, serta pengalaman pengalaman baru yang tersirat dalam makna yang divisualisasikan lewat gambar-gambar yang manarik. Lalu bagaimana wajah perfilman dan pertelevisian di Indonesia ?

Selain film sebagai sarana pencurahan ekspresif sang penciptanya, namun film juga sebagai alat komunikator massa, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pembuatan seharusnya berpegang pada etika-etika yang ada di masya-rakat. Karena sebuah film diciptakan untuk ditonton oleh masyarakat dan bukan untuk perorangan. Bisa dibayangkan apabila karya film tersebut memvisualisasikan pola hidup yang berlebihan “mengumbar aura”, dan adegan itu dipandang berjuta-juta pasang mata sambil menahan nafas serta mata melotot. Maka, perta-nyaannya adalah  misi apa yang akan terserap olah masyarakat atas tayangan itu?, nilai-nilai apa yang akan tertanam di hati masyarakat?. Suatu renungan, banyak pola hidup atau gaya hidup masyarakat dewasa ini berasal dari mereka yang menonton acara-acara film serta bentuk lain yang   berkaitan dengan dunia insan film. Berita infotainment yang hampir dimiliki oleh stasiun televisi menjadi saluran yang enak mereka tonton, padahal makna didalamnya banyak mengandung nilai tak berarti, dibanding dengan acara yang melatih daya nalar tinngi.

Lembaga sensor film yang seharusnya peka terhadap fenomena ini, tidak mempunyai nyali untuk bertindak yang tegas. Lembaga sensor film yang kita miliki diambang sangat dilematis, peran lembaga ini di tengah tarik menarik antara pembuat film dan kepentingan perkembagan hidup masyarakat.  Disatu pihak melindungi masyarakat terhadap ekses-ekses nega-tif pengaruh film dan dipihak lain penghambat kreatifitas perkembangan film. Dalam kondisi sekarang ini, pemerintah harus bertindak tegas. Kepentingan masyarakat jauh lebih utama daripada melindungi segelintir pemilik modal film, toh hasilnya malah meracuni masyarakat.

Nampaknya kajian estetika yang menjiwai dari produksi film selama ini perlu ditinjau lagi bagi para kreator film. Sumbangan pemikiran dunia pendidikan formal yang mengkaji perfilman dan pertelevisian lebih banyak melakukan diskusi atau seminar dan workshop dengan masyarakat insan film. Kajian ditekankan  pada  konsep pembuatan film secara baik dan benar berdasarkan kode etik periklanan/perfilman dan diarahkan pada fungsi “pencerahan” bukan “kegelapan”. Karena pada kenyataannya  tidak semua insan kreator film memahami hal ini, karena tidak semuanya   berlatar belakang  dari perguruan tinggi yang membuka jurusan perfilman. Dengan melakukan diskusi ini diharapkan ada konsep film yang lebih bertanggung jawab karena dapat dipertangung jawabkan secara ilmiah, daripada konsep yang diha-silkan oleh orang-orang yang hanya berpengalaman dalam teknik peng-orerasian teknologi perfilman.

Referensi:

Atmaja, Tony, “Video and special effect for broadcasting in digital era”, Jakarta, 2002.

Baksin, Askurifal, ”Membuat Film Indie itu gampang”, Kartasis, Bandung, 2003.

Dale, Edgarv, “How to film appreciated Motion Pictures”, Arno Press Fourt edition, New York, 1991.

Effendy, Heru, ”Mari Membuat Film”, Konfiden, Jakarta, 2002.

Kartika, Darsono Sony, ”Seni Rupa Modern”, Rekayasa Sains, Bandung, 2004.

Monaco, James, “How to Read a Film”, Oxford University Press, revised edition, New York, 1981.

Sumarno, Marselli., ”Apresiasi Film”, Grasindo, Jakarta, 1996.

Soekmono, ”Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia”, Kanisius, Yogyakarta, 1973.

Soedarso., ”Sejarah Seni Rupa Barat”, STSRRI-ASRI, Yogyakarta, 1985.

Wheeler, Fleming, “Art Since Mid Century”, The Vendeme Press, Rosenberf, New York, 1980.