Prof. Maksum Radji, Guru Besar Prodi Farmasi FIKES Universitas Esa Unggul

Esaunggul.ac.id, Baru-baru ini telah dilaporkan sebuah hasil study bahwa populasi nyamuk di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Kamboja dan Vietnam telah resisten terhadap insektisida. Temuan baru ini telah memunculkan berbagai kekhawatiran dalam upaya pengendalian penyakit infeksi, terutama penyakit infeksi yang penularannya disebabkan oleh gigitan nyamuk.

Apa sebetulnya nyamuk mutan super ini, dan bagaimana dampaknya terhadap upaya pengendalian infeksi demam berdarah dengue (DBD), serta kenapa hal ini bisa terjadi, berikut ini penjelasan Guru Besar dari Prodi Farmasi FIKES Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof. Dr. Maksum Radji, M. Biomed.

Menurut Prof. Maksum, penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan karena angka kematian dan morbiditas DBD masih tinggi. Nyamuk Aedes Aegypti merupakan vektor utama virus Dengue. Insidensi DBD meningkat di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir, dan World Health Organization (WHO) mencatat bahwa kasus DBD di seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.

“Di Indonesia kasus demam berdarah dengue (DBD) selama tahun 2022 mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Menurut data yang dilaporkan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes terdapat peningkatan kasus DBD yang tinggi di 64 kabupaten/kota pada 4 provinsi diantaranya Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur,” jelasnya.

Melansir laman https://www.ecdc.europa.eu/en/dengue-monthly tanggal 19 Desember 2022 yang lalu, Prof. Maksum menyebutkan bahwa selama tahun 2022 telah dilaporkan sebanyak 3.766.153 kasus dan 3.582 kematian di seluruh dunia. Kasus DBD yang tertinggi dilaporkan dari Brasil (2.182.229), Vietnam (325.604), Filipina (201.509), India (110.473) dan Indonesia (94.355). Mayoritas kematian telah dilaporkan dari Brasil (929), Vietnam (112), Filipina (656), India (86) dan Indonesia (853).

Prof. Maksum menambahkan bahwa baru-baru ini penelitian yang dilakukan oleh Shinji Kasai, seorang peneliti di National Institute of Infectious Diseases di Tokyo Jepang, menyimpulkan bahwa nyamuk Aedes aegypti salah satu nyamuk pembawa beberapa jenis virus, antara lain virus Dengue, virus demam kuning (Yellow fever virus), virus Zika, dan virus Chikungunya, kini semakin kebal dan kuat.

“Sebagaimana penelitian yang dilaporkan pada laman https://www.inverse.com/science/super-resistant-genes-mosquitoes-dengue pada tanggal 25 Desember 2022 yang lalu menunjukkan bahwa sampel nyamuk Aedes aegypti yang diambil dari beberapa negara di wilayah Asia Tenggara yakni Vietnam, Indonesia, Taiwan, Kamboja dan Ghana, terbukti bahwa yamuk-nyamuk Aedes aegypti terutama yang ada di wilayah Vietnam dan Kamboja memiliki kekebalan yang luar biasa terhadap insektisida. Adanya mutasi gen menyebabkan nyamuk menjadi resisten terhadap insektisida. Nyamuk yang super resisten ini membuat para ilmuwan khawatir tentang wabah demam berdarah di masa depan karena akan menyebabkan kesulitan dalam memberantas nyamuk yang menjadi vektor penyebaran beberapa jenis virus terutama virus demam berdarah Dengue”, ungkap Prof. Maksum.

Menurut Prof. Maksum, wabah demam berdarah Dengue telah meningkat 30 kali lipat selama lima puluh tahun terakhir, antara lain disebabkan karena nyamuk pembawa virus Dengue mampu berkembang biak dengan cepat dan memperluas habitatnya karena adanya pemanasan global dan perubahan iklim. Meskipun vaksin Dengue telah tersedia, namun upaya untuk mengendalikan penyakit ini difokuskan pada pemusnahan populasi nyamuk melalui penyemprotan insektisida antara lain golongan piretroid. Namun demikian berdasarkan temuan terakhir disebutkan bahwa tingkat resistensi nyamuk Aedes aegypti sangat tinggi terhadap insektisida golongan piretroid ini. Sehingga jika kita tidak dapat mengendalikan nyamuk yang resisten terhadap insektisida piretroid ini maka jumlah nyamuk akan semakin meningkat. Oleh karena itu, memahami mekanisme molekuler resistensi insektisida akan dapat membantu penanggulangan demam berdarah. Insektisida piretroid yang biasanya banyak digunakan pada penyemprotan atau fogging ini bekerja dengan cara mempengaruhi sistem saraf pusat dan perifer nyamuk atau serangga sehingga menyebabkan kejang, kelumpuhan dan kematian.

Prof. Maksum menambahkan bahwa senyawa piretroid ini akan terikat pada kanal ion natrium pada sel-sel saraf nyamuk yaitu voltage-gated sodium channels (VGSC). Penyemprotan dengan piretroid dapat mempengaruhi kanal ion natrium (voltage-gated sodium channels), menimbulkan respon yang berlebihan pada sel saraf dan selaput otot serangga dan menyebabkan aktivasi sel yang tidak normal, sehingga menyebabkan kejang dan kematian serangga.

“Dengan demikian apabila di suatu wilayah atau negara tertentu terdapat banyak sekali nyamuk yang resisten terhadap insektisida maka insektisida tersebut tidak mampu mematikan nyamuk sehingga pada akhirnya akan semakin banyak virus-virus yang ditularkannya melalui gigitan nyamuk tersebut pada manusia”, urainya.

Mutasi Gen Nyamuk “Super Resisten” terhadap Insektisida

Prof. Maksum menjelaskan bahwa untuk mengetahui adanya mutasi gen pada nyamuk Aedes aegypti, para peneliti telah meneliti sejumlah sampel nyamuk Aedes aegypti dari beberapa negara dan mengekstraksi DNA dari nyamuk tersebut dan menganalisis adanya mutasi pada DNA nyamuk yang telah disolasi dari nyamuk yang kebal terhadap insektisida golongan piretroid.

“Terjadinya mutasi protein yang terdapat pada kanal ion natrium (voltage-gated sodium channels), yang terdiri dari sekitar 2000 molekul asam amino pada nyamuk Aedes aegypti membuat nyamuk ini kebal terhadap insektisida. Gen yang menyandi protein ini bermutasi sehingga susunan sekuen asam aminonya berubah yang dikenal sebagai mutasi substitusi asam amino. Adanya mutasi dan subsitusi asam amino ini dapat mencegah molekul piretroid berinteraksi dengan kanal ion natrium (voltage-gated sodium channels) sehingga mengakibatkan nyamuk Aedes aegypti menjadi resisten terhadap insektisida golongan piretroid, ungkapnya.

Prof. Maksum menambahkan bahwa dalam penelitian yang telah dilakukan, para peneliti menemukan bahwa mutasi spesifik yang disebut L982W terkait dengan resistensi piretroid. Mutasi L982W ini terdeteksi di lebih dari 78 persen nyamuk Aedes aegypti yang diteliti. Teridentifikasinya mutasi L982W dimana asam amino leusin pada posisi 982 ini disubstitusi dengan asam amino triptofan, menyebabkan perubahan konformasi dari protein kanal ion Natrium yang menyebabkan molekul piretroid tidak dapat masuk dan berinteraksi, sehingga nyamuk Aedes aegypti kebal terhadap molekul insektisida golongan piretroid.

“Yang lebih meresahkan lagi ternyata disamping mutasi L982W, juga ditemukan secara bersamaan adanya mutasi gen lainnya yaitu F1534C. Efek gabungan mutasi gen ini menghasilkan resistensi yang 1000 kali lipat lebih tinggi terhadap insektisida. Adanya persilangan mutasi genetik semacam ini dapat membawa dampak serius akibat terjadinya mutasi gen “super-resisten”, imbuhnya.

Untuk mengatasi dan mencegah terjadinya resistensi nyamuk Aedes aegypti ini, menurut Prof. Maksum, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain adalah: (1). Insektisida yang digunakan dalam penyemrotan nyamuk hendaknya menggunakan insektisida lain yang lebih efektif dari piretroid. Selain itu perlu dikembangkan jenis insektisida alternatif lainnya; (2). Penggunaan jenis insektisida harus diatur secara bergiliran dengan jenis insektisida lainnya agar tidak cepat menjadi resisten; (3). Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh beberapa negara, termasuk di Indonesia adalah membuat nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia. Wolbachia adalah bakteri alami yang disuntikkan ke dalam nyamuk Aedes aegypti. Fungsi bakteri Wolbachi adalah untuk menghambat replikasi virus dengue yang ada di dalam tubuh nyamuk Aedes Aegypti sehingga tidak dapat ditularkan kepada manusia. Wolbachia ini banyak ditemukan pada serangga tetapi tidak pada nyamuk Aedes aegypti.

“Bakteri ini tidak berbahaya bagi manusia dan binatang. Ketika nyamuk Aedes aegypti jantan yang membawa bakteri Wolbachia kawin dengan nyamuk betina, maka nyamuk betina tidak bisa bertelur, sehingga selain dapat menghambat replikasi virus Dengue juga dapat mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti secara keseluruhan. Selain itu Gerakan 3M (Menutup, Menguras, dan Mengubur) guna memutus siklus hidup nyamuk Aedes aegypti pembawa virus Dengue, perlu terus dilakukan”, pungkas Prof. Maksum mengakhiri perbincangan ini.