MRP RI Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan di Esa Unggul

MRP RI Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan di Esa Unggul

MPR RI Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan di Esa Unggul

Universitas Esa Unggul menjadi tempat pertama yang di kunjungi Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan yang di selenggarakan MPR RI pada 23 Maret 2017 di Ballroom Kemala. Pembicara semula yang di jadwalkan Dr (H.C) Oesman Sapta berhalangan hadir dan di gantikan oleh Prof. Dr. Bahtiar Aly, MA Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI sebagai narasumber.

Bachtiar Aly mengatakan betapa beruntungnya pada generasi muda sekarang yang dapat dengan mudah mengakses berbagai macam informasi di era teknologi seperti saat ini,“empat pilar ini harus terus digelorakan guna memperkokoh rasa nasionalisme terhadap NKRI dan semangat kebangsaan” ujar Bachtiar.

Prof. Dr. Bachtiar Aly, ketua Fraksi Partai Nasdem di MPR memaparkan bahwa Pancasila enak saja disebutkan, tapi sesungguhnya di situ ada ruhnya, ada kekuatannya. Sudah terbukti 71 tahun Indonesia merdeka, dasar dan ideologi negara kita adalah Pancasila.

Tapi proses itu terbentuk dasar dan ideologi negara tidak sesederhana itu. Terjadi suatu pergulatan pemikiran sedemikian rupa dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan Indonesia. Terutama pada Pembukaan UUD 1945,  bagian tak terpisahkan dari inspirasi utama dari Pancasila itu sendiri.

Pada waktu itu, jelas Prof. Bachtiar Aly, konsep Pembukaan UUD 1945 terinspirasi dan diadopsi dari Piagam Jakarta. Dalam orisinal Piagam Jakarta disebutkan bahwa negara ini: berketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

Maka datanglah utusan dari indonesia bagian timur yang dipimpin oleh Mr. A.A. Maramis menemui Bung Karno dan Bung Hatta. Kepada kedua proklamator ini, Maramis dan rombongan menyatakan, bagaimana bisa kami di Indonesia bagian Timur melaksanakan itu kalau kami di Indonesia bagian Timur umumnya beragama nasrani.

Menanggapi itu, Bung Karno dan Bung Hatta segera membentuk panitia kecil, yang berintikan tiga serangkai, yaitu: Kiai H. Wahid Hasyim, Raden M. Koesno  Tjokrosoejoso, dan Mr. Teuku Mohammad Hasan.

Tiga serangkai ini kemudian memutuskan, menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta: … dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Lalu, kata Ketuhanan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, buat orang Islam, kata  Yang Maha Esa itu Tauhid, dan buat orang nasrani Trinitas. “Jadi, tidak ada masalah,” ujar Prof. Bachtiar Aly.

Prof. Dr. Bahtiar Aly, MA

Prof. Dr. Bahtiar Aly, MA

Jadi, menurut Prof. Bachtiar Aly, soal asal usul konsep Pancasila sudah selesai, dan kita pilih dasar negara yang terbaik, yakni Pancasila. Kalau hari ini ada yang berfikir model D.N Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia, di tahun 1960-an mengatakan, kalau saja kita sudah bersatu — kalau Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa — boleh dong kita ubah dengan ideologi yang lain, misalnya komunis.

Oleh karena itu, menurut Prof. Bachtiar Aly, Pancasila tidak boleh hanya disebut sebagai alat pemersatu. Jadi, Pancasila adalah dasar negara, ideologi negara, cara pandang bangsa ini, way of life. Dan, Pancasila berasal dari akar budaya dari seluruh nusantara.

Satu persoalan sudah selesai, lalu datang permasalahan dari daerah perbatasan. Ada yang mengatakan, tetangga kita (warga Malaysia) adalah orang Islam. Mereka, orang Malaysia umumnya orang Islam, tapi di sana bumi putera sangat menonjol. Bagaimana dengan Indonesia? Mestinya kan sama.

Untuk itu, Prof. Bachtiar Aly menyatakan, konsep kebangsan kita dengan Malaysia berbeda. Indonesia anti imperialisme, kolonialisme, anti feodalisme. Maka, waktu negara kita diproklamasikan, kata Bachtiar Aly, Kesultanan Jogja langsung bergabung dengan republik. Sebagai apresiasi, republik kemudian menjadikan Jogja sebagai daerah istimewa.

Sedangkan Malaysia, menurut Bachtiar Aly,  kalau kita anti feodalisme, Malaysia justru memelihara feodalisme, karena itulah perekat mereka. Ketika negara itu didesain dan dibentuk, mereka kompromi dengan Inggris, penjajahnya. Maka kemudian lahirlah negara Malaysia. Di situ dinyatakan, ini negeri orang Melayu, oleh karena itu etnik China, etnik India adalah pendatang di negeri tersebut.

Maka di konstitusi Malaysia ditulis, kalau ada rancangan undang-undang yang merugikan pihak Melayu dan Islam — karena agama resminya Islam — maka Yang Dipertuan Agung berhak menolaknya, berhak melakukan veto. Jadi, Yang Dipertuan Agung menjaga konstitusinya sekaligus menjaga kepentingan kaum melayu dan islam.

Kalau kita, menurut Bachtiar Aly, lebih egaliter. Ketika seseorang menjadi warga negara Indonesia, dia punya hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Dan, ini adalah prinsip-prinsip universal yang diakui seluruh dunia.

Jadi, bentuk negara kita juga clear, kita memilih republik. Ini paling ideal, dan dalam konsep kenegaraan, itu yang modern. “Karena di situ hak-hak warga negara sama. Ada kesetaraan, disebut egaliter,” ujar Prof. Bachtiar Aly.