Dhoni Yusra, SH, MH.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Esa Unggul, Jakarta

 

Air bukanlah produk dari suatu hasil komersialisasi seperti halnya barang yang lain, namun lebih condong disebut sebagai warisan yang harus dilindungi, dipertahankan, dan diperlakukan dengan benar

Air merupakan hajat hidup kita. Kita meminumnya untuk mempertahankan hidup. Kita mencuci dengan air. Air pula adalah hal yang utama bagi pertanian dalam hal pengairan persa-wahan, dan juga bagi peternakan. Air dalam perindustrian digunakan selain sebagai bagian dari proses produksi juga dipakai sebagai pendingin. Selain itu, air menyediakan habitat hidup bagi ikan dan binatang air lainnya. Disamping itu memiliki peran psikologis yang penting dalam hal menyediakan area rekreasi juga bagi keindahan alam. Sebagai tambahan, air memiliki peran yang sangat penting pula dalam proses dan membuang limbah yang berasal dari domestik atau perindustrian. Pembua-ngan limbah padat atau cair ke perairan dapat menimbulkan pencemaran air. Pencemaran air dapat muncul dalam berbagai macam cara. Bahan-bahan seperti limbah kotoran domestik, bahan kimia, deterjen adalah pencemaran yang umum dibuang ke perairan apakah itu disengaja atau tidak disengaja.. Perta-nian juga salah satu penyebab utama dalam pencemaran air dalam hal penggunaan pestisida atau pupuk yang berbahan kimia, disamping limbah industri, yaitu sisa produksi yang ber-bentuk zat cair yang dibuang melalui pipa-pipa perusahaan ke saluran air umum. Akibat pencemaran air pada  saluran air ini dapat menyebabkan kerusakan atau timbul penyakit bagi binatang serta tetumbuhan air, termasuk manusia.

Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang lautnya meliputi dua per tiga wilayah nasionalnya, dan memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia, dan juga dikenal sebagai negara bahari, memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk melindungi perairannya dari pencemaran air. Untuk itu pengaturan hukum lingkungan yang ada harus bersifat terpadu dan komprehensif. Selain itu, juga diperlukan penerapan prinsip-prinsip hukum pencemaran lintas batas nasional dalam peraturan perundang-undangan yang diatur secara integratif.

Namun demikian aturan hanya tinggal aturan apabila tidak disertai dengan penegakan hukum. Penegakan Hukum dalam mengatasi pelaku pence-maran air memiliki peran yang sangat penting, untuk menimbulkan efek jera (ultimum remedium). Hal ini perlu dilakukan untuk memunculkan wibawa hukum, yang diharapkan dapat mem-bawa perubahan mendasar sikap masyarakat untuk berperan serta dalam setiap gerak pembangunan nasional. Makna inilah yang disodorkan Mochtar Kusumaatmadja yang mengadopsi pemi-kiran Roscoe Pound tentang “law as a tool of social engineering” yaitu hukum sebagai sarana perekayasa masyarakat, yang mendorong penciptaan aturan perundang-undangan dan yurisprudensi. (Otje Salman, dan Eddy Damian, 2002).

Pemberantasan pencemaran air ternyata tidak mudah, hal ini karena kenyataannya banyak tipe perairan seperti sungai, kolam, danau, dan laut yang memiliki kapasitas yang berbeda dalam menyerap dan penyebaran polusi (air). Sebagai contoh, sungai yang memiliki kemampuan lebih dalam memurnikan air yang tercemar karena mikro organisme yang terdapat dalam sungai disamping efek matahari dan aerasi udara, apabila dibandingkan dengan kolam kecil (rawa). Oleh kare-nanya, pembuangan limbah ke sungai dalam batas-batas tertentu masih bisa ditolerir. Hal ini menyebabkan adanya kecenderungan pembuangan limbah ke sungai merupakan hal yang disukai dan dianggap efektif. Sebab biaya yang dikeluarkan sangat murah, bahkan tanpa biaya sama sekali. Ini menjadi persoalan dalam pembuatan aturan, sejauh mana larangan pembuangan limbah ke sungai itu bisa menjamin kemampuan sungai dalam mengabsorsi dan menyebarkan limbah. Atau dengan kata lain, apa ukuran bahwa suatu sungai itu tercemar oleh limbah. Padahal disisi lain, sungai pada umumnya di Indonesia, khususnya di kota besar adalah penyedia bahan baku air minum yang diselenggarakan oleh Perusahaan Air Minum Daerah. Sehingga bila sungai dicemari, akan berdampak langsung pada kehidupan manusia.

Sehingga adalah hal sangat penting dalam mengendalikan pence-maran air, khususnya di sungai. Tinda-kan yang diharapkan, tentunya adalah menghentikan sumber pencemaran. Namun itu sulit, sebab secara alami manusia akan menerbitkan limbah, oleh karenanya mengendalikan sumber polu-tan dengan melihat kemampuan sungai atau perairan dalam mengabsorsi dan mendispersikan polutan itu menjadi isu utama, yang perlu diatur oleh seorang regulator peraturan.

Oleh karena itu upaya pence-gahan pencemaran air secara langsung, atau upaya pembatasan pembuangan limbah, serta bagaimana cara member-sihkan perairan dari limbah, serta sanksi yang diberikan bagi poluter, dan memas-tikan tindakan itu tidak diulangi dan membayar biaya pembersihan, dan juga memberikan kompensansi bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat pence-maran.

Untuk itu pengaturan pembua-ngan kotoran ke saluran air merupakan hal yang menjadi perhatian dalam pengendalian pencemaran air.

Masyarakat Eropa (EC), memi-liki semboyan dalam pengaturan air sebagai berikut :
“Air bukanlah produk dari suatu hasil komersialisasi seperti halnya barang yang lain, namun lebih condong disebut sebagai warisan yang harus dilindungi, dipertahankan, dan diperlakukan dengan benar”.

Harapan yang terkandung dalam semboyan tersebut adalah pengaturan penggunaan air dan kualitas air yang digunakan masyarakat, dalam suatu atu-ran sederhana dan terintegrasi, yang melindungi air baik yang berada diper-mukaan maupun bawah tanah, dari segala bentuk pencemaran yang akan, dan pasti timbul akibat pemanfaatan air. Untuk itu perlu dibuat aturan yang ber-kenaan dengan:

  • Pencegahan kerusakan lebih lanjut dari lingkungan air dan melindungi, dan meningkatkan kualitas air.
  • Peningkatan penggunaan air secara terus menerus, berdasarkan perlin-dungan jangka panjang dari sumber daya air yang ada.
  • Pengurangan bahkan menghentikan (sedapat mungkin) penyebab limbah berbahaya bagi perairan
  • Pengurangan polusi air tanah
  • Pengurangan akibat banjir dan keke-ringan. (Justine Thornton & Silas Beckwith, 2004).

 

Pengaturan air pertama kali harus dimulai dari saluran air yang mengarah ke sungai, yang kemudian harus diklasifikasikan berdasarkan ting-kat pencemaran, apakah itu baik sekali, baik, cukup, buruk dan buruk sekali. Dalam pengelolaan manajemen sungai, hal itu harus ditetapkan untuk mencapai tingkatan status baik untuk setiap per-airan sungai. Ini untuk menjaga status dan kualitas sungai, sebab ini akan berdampak pada manusia, binatang dan tumbuhan yang menggantungkan hidup-nya pada perairan seperti sungai terse-but. Pengaturan itu lebih lanjut harus memastikan status baik itu tetap terjaga.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah:

  • Status ekologi dari sungai, ini berkaitan dengan kualitas dari komunitas biologi, karakteristis kimia dan hidrologi.
  • Status kimia, ini berkenaan dengan standar minimum kandungan kimia yang terdapat dalam sungai. Tentu saja penentuan standar bagus atau tidak didapat dari suatu hasil penelitian sebelumnya tentang kan-dungan kimia suatu perairan.
  • Sasaran lainya.

 

Pengaturan ini diharapkan me-nyediakan tingkat perlindungan yang tinggi dari perairan semacam sungai ini. Perlindungan lain yang termasuk dalam pengaturan air, adalah perlindungan bagi air tanah, pengurangan terhadap bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan.

Pengaturan tentang pengairan selanjutnya diatur dalam UU No. 11 Tahun 1974, yang menganut asas lestari. Namun sayang konsep pencemaran air dalam undang-undang ini belum dida-sarkan pada konsep baku mutu yang diperlukan bagi penetapan peruntukan lingkungan sehingga pengaruhnya pada lingkungan belum dapat diukur. (Daud Silalahi, 1996).

Ironisnya pada tahun 1970-an telah lahir prinsip-prinsip ekologi yang telah dideklarasikan dalam Stockholm Declaration, yang mengatur ukuran mengenai pencemaran atau kerusakan lingkungan, termasuk sumber daya alam hayati. Sehingga seharusnya dalam UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan ini seyogyanya prinsip-prinsip dalam Stockholm Declaration dapat diadopsi.

Penegakan hukum terhadap pencemaran air

Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya berkenaan dengan perlunya aturan hukum mengenai perlindungan terhadap pencemaran air, maka pene-gakan hukumnya pun tak kalah pentingnya. Khususnya untuk mence-gah, dan mengkriminalisasi suatu per-buatan yang dikategorikan sebagai per-buatan pencemaran air, dan pemberian sanksi bagi pencemar bagi wilayah air yang dikendalikan dari pencemaran. Adapun wilayah air yang harus dikenda-likan dari pencemaran terdiri atas:

  • wilayah air yang relevan, yaitu batas perairan wilayah sejauh 12 mil dari surutnya pantai (teritorial water)
  • perairan pantai
  • zona perikanan, ini termasuk danau, waduk, dan saluran air lainnya
  • air tanah. (Justine Thornton & Silas Beckwith, 2004).

 

Wilayah-wilayah tersebut, harus terhindar dari berbagai macam zat pen-cemar apakah yang bersifat padat atau cair.

Apabila mengacu pada keten-tuan Pasal 17 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup, secara umum diatur tentang kewajiban pengelolaan bahan-bahan berbahaya, sedangkan pada Pasal 16 ditekankan mengenai tanggung jawab pengelolaan limbah bagi siapapun yang menjadi penanggung jawab suatu kegiatan usaha.

Pelanggaran atas pencemaran perairan mengakibatkan tanggung jawab mutlak bagi si pelaku, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 35 Ayat 1 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup, dan itu mewajibkan bagi pelaku pencemaran (dalam hal ini pencemaran air), dikenakan kewajiban untuk membayar ganti rugi secara lang-sung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran, apakah itu secara sengaja atau karena kealpaan dengan denda dari Rp. 100.000.000,- sampai dengan Rp. 750.000.000,- disamping pidana penjara. Adapun pengaturan lebih lanjut tentang sanksi ini diatur dalam Pasal 41 – 48 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup.

Alternatif penerapan sanksi lainnya adalah sanksi perdata, yaitu berupa ganti rugi kepada penderita dan biaya pemulihan kepada negara (Pollu-ter pays principle). Prinsip ini meru-pakan bentuk kebijaksanaan lingkungan dan jalan keluar bagi kasus pencemaran pada umumnya di negara maju. Artinya meskipun telah dilakukan pembayaran ganti rugi terhadap penderita, pelaku pencemaran air tetap tidak terbebas dari kewajiban untuk membayar biaya pemulihan lingkungan yang telah rusak atau tercemar kepada negara. Karena negara memiliki fasilitas untuk melaku-kan pemulihan.

Tindakan Pencegahan

Membersihkan suatu perairan yang terkena pencemaran adalah sangat mahal, memakan waktu dan kemung-kinan memakan korban. Hal yang lebih baik yang dapat dilakukan adalah melakukan pencegahan, dengan mem-bangun sistem peringatan dini pence-maran.

Sistem yang dimaksud adalah pembuatan zona perlindungan perairan, yang dibuat berdasarkan undang-undang (peraturan), serta membuat perencanaan tentang pengendalian atau kontrol  per-airan dalam bentuk prosedur baku.

Upaya perlindungan perairan seperti yang dikemukakan diatas telah diterapkan oleh Kanada dengan mene-tapkan Artic Waters Act, 1970 yang memberikan perlindungan lingkungan laut hingga 100 mil dari garis dasar. Hal itu mereka buat berdasarkan anggapan tentang adanya state responsibility as a costal state to the international commu-nity in general; a resposibility to pro-hibit ships from using the seas in a way violate of reasonable standards. Disam-ping itu munculnya hak negara pantai terhadap pencemaran atas perairannya muncul berdasarkan hukum interna-sional umum.
Namun demikian, pencemaran terhadap perairan pasti akan selalu terjadi, dan seperti yang telah diuraikan dalam tulisan terdahulu, alam memiliki kemampuan untuk menyerap, mengu-raikan zat-zat pencemar tersebut sesuai dengan kapasitas yang dimiliki alam. Untuk itu negara bertanggung jawab untuk mengatur pula ambang batas (treshold) pencemaran sebagai ukuran tanggung jawab negara. Amerika dalam beberapa kasus seperti New York v New Jersey (USA, 1921) dan Kasus Georgia v Tennesse Copper (USA, 1906) menya-takan adanya tanggung jawab negara pada perlindungan lingkungan sebagai perwujudan dari konsep kedaulatan, dan pemerintah didorong untuk memperha-tikan moral issues that trascend ques-tion of jurisdiction and procedure. (Daud Silalahi, 1996).

Referensi:
Indonesia. “Undang-undang tentang Pengairan.” No. 11 Tahun 1970.

Indonesia. “Undang-undang tentang Pengelolaan  Lingkungan Hidup.” No. 23 Tahun 1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699.

Kramer, Ludwig, ”EC Environmental Law” 5th Ed., Sweet & Maxwell, London, 2003.

Kusumaatmadja, Mochtar, ”Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” Binacipta, Bandung, 1974.

Salman, Otje dan Eddy Damian. “Konsep-konsep Hukum  dalam Pembangunan.” Ed. 1, Alumni, Bandung, 2002.

Silalahi, Daud. “Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia” Edisi 2, Alumni, Bandung, 1996.

Soemartono, R.M. Gatot P, “Hukum Lingkungan Indonesia” Edisi 2,  Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Thornton, Justine & Silas Beckwith, ”Environmental Law” 2nd Edition, Sweet & Maxwell, London, 2004.