J. Hardjono, SKM, MARS
Dosen FISIOTERAPI
Universitas Esa Unggul

Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan danteknologi membawa dampak perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di suatu negara. Salah satu perubahan yang mulai terasa adalah beranekaragamnya aktifitas yang dilakukan masyarakat. Masyarakat dalam melakukan aktifitasnya tidak pernah ter-lepas dari proses gerak. Gerak merupakan elemen essential bagi kesehatan individu yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal. Gerak yang ada pada tubuh manusia merupakan kontinum dari tingkatan mikro sampai tingkatan makro yaitu mulai dari tingkatan mole-kuler, sel, jaringan, organ, sistem dan individu.
Setiap gerak pada akhirnya akan berkaitan dengan masalah energi, ruang dan waktu. Hal itu dapat dikaitkan dengan adanya efisiensi, yaitu sejauh mana gerak itu bermanfaat bagi kualitas hidup atau derajat kesehatan. Setiap manusia memiliki potensi gerak yang dapat dikembangkan sampai maksimal, tetapi dalam Kenya-taannya gerak yang tersedia bukanlah gerak maksimal melainkan gerak aktual. Gerak aktual belum tentu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam beraktifitas, gerak itu bisa saja berlebih ataupun kurang, dan bahkan bisa juga tepat mencapai tujuan. Gerak aktual yang bisa mencapai tujuan inilah yang disebut sebagai gerak fungsional.
Untuk mencapai gerak fungsional dibutuhkan kerjasama dari tingkat mikro sampai tingkat makro, salah satunya adalah kerjasama dari otot. Otot sebagai salah satu komponen yang dapat menghasilkan gerakan melalui kontrak-sinya membutuhkan suatu kekuatan untuk menghasilkan performance yang tinggi. Kerja otot yang maksimal dapat meningkatkan kemampuan kerja seseorang yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitasnya. Salah satu cara untuk meningkatkan produktifitas seseorang adalah dengan meningkatkan kemampuannya dalam aktifitas weight bearing dan ambulasi.
Dalam aktifitas weight bearing dan ambulasi salah satu struktur jaringan yang berperan penting adalah otot quadriceps. Otot quadriceps merupakan otot pada sendi lutut yang berfungsi sebagai stabilisasi aktif sendi lutut, dan juga berperan dalam pergerakan sendi yaitu gerakan ekstensi lutut yang digunakan dalam aktifitas berjalan, lari, melompat, menendang dan lain sebagainya. Otot quadriceps merupakan otot yang memiliki kekuatan melebihi kekuatan otot-otot ekstensor yang ada, oleh karena itu otot ini memerlukan kekuatan yang maksimal agar dapat melakukan fungsinya dengan sempurna sehingga dapat dihasilkan performance otot yang tinggi. Selain itu otot quadriceps yang kuat juga dapat mencegah terjadinya cidera saat mela-kukan aktifitas.
Terapi latihan sebagai salah satu modalitas fisioterapi, dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot yaitu dengan memberikan latihan strengthening. Karena dengan memberikan latihan strengthening maka akan terjadi penam-bahan jumlah sarkomer dan serabut otot (filamen aktin dan miosin yang diperlukan dalam kontraksi otot), sehingga dengan terbentuknya serabut-serabut otot yang baru maka kekuatan otot dapat meningkat.
Dalam memberikan latihan streng-thening banyak teknik latihan yang dapat dilakukan, salah satunya adalah dengan latihan dengan teknik isotonik yang merupakan suatu teknik latihan yang paling sering dilakukan untuk mening-katkan kekuatan otot. Latihan ini adalah latihan dinamik yang dilakukan dengan prinsip resisten/beban yang konstan dan terjadi perubahan panjang otot. Pada latihan isotonik dapat diberikan dengan beban atau sering disebut dengan ‘heavy resistance exercise’. Karena latihan ini merupakan latihan yang dinamik maka latihan ini dapat meningkatkan tekanan intramuskuler dan menyebabkan mening-katnya aliran darah, sehingga latihan ini tidak cepat menimbulkan kelelahan. Pada latihan isotonik ada beberapa metode yang dapat digunakan, diantaranya adalah metode De Lorme dan metode Oxford. Pada latihan metode De Lorme dilakukan dengan memberikan beban dari beban rendah ke tinggi. Dan sebaliknya latihan metode Oxford diberikan dengan beban dari tinggi ke rendah.

Kekuatan Otot
“Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau grup otot menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun statis”. (Kisner,Carolyn and Lynn Allen Coiby, 1996:14). “Otot skeletal manusia dewasa secara keseluruhan dapat menghasilkan kekuatan otot kurang lebih 22000 kg”. (Ganong, William F, 1995:71). Otot dalam berkontraksi dan menghasilkan tegangan memerlukan suatu tenaga/kekuatan. Kekuatan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, selain dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, kekuatan otot juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; faktor biomekanik, faktor neuromuscular (ukuran cross sectional otot, recruitmen motor unit, tipe kontraksi, jenis serabut otot, dan kecepatan kontraksi), faktor metabolisme (ketersediaan energi) dan faktor psikologis (motivasi).
1.   Perubahan sistem neuromuscular dalam peningkatan kekuatan otot.
a.)   Hypertropi
Kapasitas kekuatan otot secara langsung berhubungan dengan fisiologi cross sectional area pada serabut otot. Dengan desain latihan yang spesifik dapat meningkatkan kekuatan otot, dan ukuran serabut otot skeletal yang disebut hyper-tropi. Faktor yang berperan pada hypertropi meliputi; peningkatan jumlah protein pada serabut otot, peningkatan kepadatan kapiler, perubahan biokimia pada serabut otot.
Walaupun masih dalam tanda tanya, diduga bahwa kekuatan otot juga dapat ditingkatkan dengan resistance exercise yang menye-babkan terjadinya hyperplasia yaitu peningkatan jumlah serabut otot. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh gerak longitudinal serabut otot. Hal ini belum bisa dipastikan karena gerak serabut otot tersebut baru dilakukan penelitan pada binatang.
b.)   Recruitmen
Faktor lain yang penting yang mempengaruhi kapasitas otot untuk meningkatkan kekuatan otot adalah peningkatan jumlah recruitmen motor unit. Banyaknya jumlah motor unit yang aktif akan meng-hasilkan kekuatan otot yang besar. “Kekuatan dapat meningkat tanpa adanya hypertropi otot. Kekuatan otot dapat dicapai dengan cepat pada fase awal dari program resistance exercise yang mungkin lebih menghasilkan recruitmen daripada hypertropi. (Kisner at al,op.cit., 16).
2.   Perubahan pada jaringan nonkontraktil
Program latihan yang didesain untuk meningkatkan kekuatan otot dapat juga meningkatkan kekuatan pada jaringan nonkontraktil seperti; tulang, tendon dan ligamen.
3.   Prinsip untuk meningkatkan kekuatan.
a.)   Overload
Untuk meningkatkan kekuatan otot, beban yang melebihi kapasitas metabolik otot harus digunakan selama latihan. Karena hal ini akan membuat hypertropi otot dan peningkatan recruitmen sehingga akan meningkatkan kekuatan otot. Kapasitas otot untuk menghasilkan tegangan yang tinggi dapat dicapai dengan latihan intensitas tinggi (latihan dengan melawan beban berat) dan dengan repetisi yang relatif rendah serta frekuensi yang latihan yang reguler.
b.)   Specificity
Pada latihan strengthening, jenis aktifitas/gerakan yang akan dilakukan harus spesifik untuk mengetahui apa yang akan ditingkatkan. Gerakan full ROM, kecepatan dan besar beban harus diperhatikan pada setiap latihan.

Anatomi Otot Quadriceps
Quadriceps merupakan suatu grup otot pada sendi lutut yang terletak pada sisi depan yang berfungsi untuk gerakan ekstensi lutut. Grup otot ini terdiri atas beberapa otot yaitu: rectus femoris, vastus medial, vastus intermedius, vastus lateral.
Caput rectus femoris berasal dari spina illiaca anterior superior dan caput reflexum dari pinggir atas lekuk sendi panggul di dalam sulcus supraacetabular. Otot ini paling aktif pada sendi lutut ketika posisi sendi panggul ekstensi. Vastus medial berasal dari linea aspera labium medial. Jika otot ini bersama vastus lateral dilihat sebagai satu otot dan dianggap sebagai struktur bipenniform maka serabutnya sedikit miring pada arah yang berlawanan terhadap otot rectus femoris. Vastus intermedius berasal dari facies anterior dan lateral femur. Otot ini mudah dibedakan dengan vastus lateral, tetapi sangat sukar dipisahkan dari vastus medial. Otot ini menutupi otot sendi lutut yang berasal dari bagian distal menuju ke capsul articular sendi lutut dan berada di bagian belakang otot rectus femoris. Vastus lateral berasal dari facies lateral trochanter major, linea intertrochanter, tuberositas gluteal dan linea aspera labium lateral. Semua grup otot quadriceps femoris tersebut dipersarafi oleh nervus femoralis (L2-L4).
Keempat otot tersebut bersatu membentuk tendon bersama yang berinsertio pada patella. Di distal patella tendonnya berlanjut sebagai ligamen patella, dan berinsertio pada tuberositas tibia. Serabut-serabut dangkal berjalan menyilang patella, sedangkan serabut-serabut tendon profunda berinsertio pada pinggir atas luar. Serabut-serabut otot vastus lateral dan rectus femoris membentuk retinaculum patella lateral dan serabut-serabut utama vastus medial dan sedikit serabut rectus femoris membentuk retinaculum patella medial. Serabut-serabut dari tractus illiotibial juga menuju ke retinaculum patella lateral. Retinaculum terbentang ke distal di sekitar patella terus ke condylus tibia.

Fisiologi Otot
Otot merupakan suatu jaringan yang dapat dieksitasi yang kegiatannya berupa kontraksi, sehingga otot dapat digunakan untuk memindahkan bagian-bagian skelet yang berarti suatu gerakan dapat terjadi. Hal ini terjadi karena otot mempunyai kemampuan untuk eksten-sibilitas, elastisitas, dan kontraktilitas.
Dalam tubuh manusia terdapat lebih dari 500 otot skeletal dan merupakan otot yang membentuk 40% tubuh. Otot ini terdiri dari serabut otot (muscle fiber) yang berdiameter sekitar 10-80 mikron dan panjang meliputi hampir seluruh panjang otot (berkisar sampai beberapa puluh centimeter) serta dipersarafi oleh satu saraf.
Otot rangka tersusun dari serat-serat yang dikenal dengan building bloks sistem otot. Hampir seluruh otot rangka berawal dan berakhir pada tendo dimana serat-serat otot rangka tersusun sejajar diantara ujung-ujung tendo sehingga akan terjadi reaksi saling menguatkan daya kontraksi setiap unit. Setiap serat otot merupakan satu sel otot yang berinti banyak, memanjang, silindris dan diliputi oleh membran sel yang dinamakan sarcolemma.
Serat/serabut otot rangka tersusun dari myofibril yang terbagi dalam beberapa filamen serat. Sedangkan filamen-filamen tersebut terbentuk dari protein-protein kontraktil yaitu: miosin (berat molekul 460.000), aktin (berat molekul 43.000), tropomyosin (berat molekul 70.000), troponin (berat molekul antara 18.000-35.000 dan terdiri dari troponin I, troponin T, troponin C).
Filamen-filamen yang tersusun dari protein kontraktil dibagi dalam dua jenis yaitu; filamen tipis dan filamen tebal. Filamen-filamen tipis tersusun dari aktin, tropomyosin, dan troponin. Sedangkan filamen tebal tersusun dari miosin dengan diameter kurang lebih dua kali diameter filamen tipis.
Pada Filamen tebal, jenis miosin yang terdapat dalam otot adalah bentuk miosin II dengan dua kepala berbentuk globular dan ekor yang panjang. Kepala dan leher molekul-molekul miosin membentuk ikatan silang (cross-link) dengan aktin. Miosin mempunyai rantai tebal dan rantai tipis, dan kepalanya tersusun dari rantai-rantai tipis dan bagian-bagian ujung rantai tebal yang berupa gugus amino. Kepala miosin mempunyai bagian yang berikatan dengan aktin (actin binding site) dan bagian yang bersifat katalitik yang dapat menghidrolisis ATP.
Filamen tipis merupakan polimer yang terdiri dari dua rantai aktin yang membentuk double helix yang panjang. Molekul-molekul tropomyosin merupakan filamen-filamen panjang yang terletak di sepanjang alur diantara dua rantai aktin. Tiap filamen tipis mengandung 300-400 molekul aktin dan 40-60 molekul tropomyosin. Molekul troponin merupakan unit-unit bulat kecil dengan jarak tertentu di sepanjang molekul tropomyosin. Troponin T mengikat komponen lain troponin pada tropomyosin. Troponin I menghalangi interaksi miosin dan aktin, dan troponin C mengandung tempat pengikatan Ca2+ yang akan memicu kontraksi.
Setiap filamen tersusun berselang-seling antara aktin dan miosin serta sejajar antara masing-masing jenis filamen. Karena letaknya yang sejajar tersebut serta pembiasannya terhadap cahaya yang tidak sama, maka kelihatan serabut otot ini terdiri dari bagian melintang (bands) yang disebut bagian I dan bagian A. Bagian I kelihatan lebih terang mengandung filamen aktin dan bagian A yang terlihat lebih gelap mengandung filamen miosin serta sebagian dari filamen aktin yang letaknya bersisian dengan filamen miosin. Filamen-filamen ini lekat pada membran atau garis Z dan bagian antara dua membran Z ini disebut sarcomer.
Jika serabut otot teregang normal, panjang sarcomer kira-kira 2 mikron dan dalam keadaan ini terdapat filamen aktin dan miosin yang letaknya bersisian (overlap), sedangkan jika otot itu diregang ujung sesama filamen aktin menjauh dan timbullah daerah terang di tengah bagian A. Inilah yang disebut zone H. Dalam keadaan kontraksi zone H tidak akan terlihat, karena perubahan panjang sarcomer berkisar 1,6 mikron sampai 2 mikron, dan dalam keadaan ini letak filamen aktin dan miosin bersisian dan hal ini juga terjadi pada sesama filamen aktin. Di tengah dari zone H terdapat garis lintang yang disebut sebagai garis M. Garis M merupakan tempat pembalikan polaritas molekul miosin disetiap filamen tebal. Di tempat-tempat tersebut ditemukan hubungan silang yang tipis yang menjaga keteraturan susunan filamen tebal.
Myofibril berada dalam suatu lingkungan yang terdiri dari enzim protein dan mineral yang disebut sarcoplasma. Di dalam sarcoplasma terdapat suatu jaringan yang letaknya sejajar dengan fibril berbentuk longitudinal yang disebut reticulum sarcoplasma, disamping itu terdapat pula tubulus yang letaknya tegak lurus terhadap serabut otot yang disebut tubulus transversal atau tubulus T. Reticulum sarcoplasma dan tubulus T (sistem T) ini membentuk suatu sistem yang disebut dengan sistem sarcotubuler.
Sietem T tubulus transversal yang merupakan kelanjutan dari membran serat otot, membentuk suatu kisi yang ditembus oleh fibril-fibril otot. Reticulum sarcoplasma yang membentuk tirai tidak beraturan disekeliling tiap fibril, melebar di bagian ujungnya yang dinamakan sisterna terminal yang sangat berdekatan dengan sistem T di tempat-tempat pertemuan pita A dan pita I. Di tempat-tempat ini sistem T dan sisterna reticulum sarcoplasma yang berada dikedua sisinya dinamakan triads untuk menggambarkan sistem tersebut. Fungsi sistem T yang merupakan kelanjutan dari sarcolemma adalah menghantarkan potensial aksi dengan kecepatan tinggi dari membran sel ke seluruh fibril di otot. Reticulum sarcoplasma berperan dalam proses perpindahan Ca2+ dan metabolisme otot.

Jenis-Jenis Serabut Otot
Perbedaan ukuran panjang dan diameter otot dalam tubuh menyebabkan karakteristik kontraksi dari setiap otot juga berbeda tergantung dari fungsi otot itu sendiri. Berdasarkan karakteristik meta-bolisme dan kecepatan kontaksinya maka serabut otot pada otot skeletal dapat diklasifikasikan menjadi dua type serabut otot yaitu; serabut otot type I atau sering disebut dengan slow twitch fiber dan serabut otot type II sering disebut dengan fast twitch fiber.

Tabel 1: Perbedaan otot tipe I dengan tipe II

Sumber: Data Hasil Pengolahan

Energi Dan Metabolisme Otot
Kontraksi otot membutuhkan energi, dan otot disebut sebagai mesin pengubah energi kimia menjadi energi mekanik. Sumber energi yang dapat segera digunakan adalah derivat fosfat organik berenergi tinggi yang terdapat dalam otot. Selain itu sumber utama energi diperoleh dari metabolisme intermedier karbohidrat-lipid dan hidrolisis ATP yang menghasilkan energi untuk kontraksi.
a.)   Hidrolisis ATP
Sumber energi otot yang dibutuhkan pada saat berkontraksi berasal dari ATP (adhenosin triphosphate) yang dihasilkan dalam kondisi aerob maupun anaerob. Energi tersebut juga digunakan untuk pembentukan /penyusutan myofibril cross bridges dan menimbulkan sliding/gerakan antara filamen kontraktil aktin dan miosin.
b.)   Penguraian karbohidrat dan lipid
Dalam keadaan istirahat dan selama kerja ringan, otot meng-gunakan lipid dalam bentuk asam lemak bebas (free fatty acids/FFA) sebagai sumber energi. Bila intensitas kerja meningkat, penyediaan energi yang dibutuhkan dengan cepat tidak dapat diperoleh hanya dari lipid, sehingga pemakaian karbohidrat menjadi penting sebagai komponen campuran bahan bakar otot.
Glukosa sebagai hasil pemecah karbohidrat yang berada dalam darah masuk ke dalam sel dan mengalami degradasi melalui serangkaian reaksi kimia menjadi piruvat. Sumber glukosa intra sel lain yang berarti juga sumber piruvat adalah glikogen, suatu polimer karbohidrat yang terdapat dalam jumlah sangat banyak di dalam hati dan otot rangka. Proses penguraian glukosa (glikolisis) dapat terjadi secara aerob maupun anaerob.
c.)   Phosphorylkreatine
ATP disintesa ulang dari ADP dengan penambahan satu grup phosphat. Sebagian energi yang dibutuhkan untuk reaksi endotermik ini diperoleh dari penguraian glukosa menjadi CO2 dan H2O, tetapi di otot juga terdapat senyawa phosphat berenergi tinggi lain yang dapat memasok energi yang dibutuhkan (untuk jangka pendek). Senyawa phosphat tersebut adalah phosphor-rylkreatine yang dihidrolisis menjadi kreatine dan grup phosphat dengan melepas sejumlah energi. Dalam keadaan istirahat sebagian ATP di mitokondria akan melepaskan phosphat pada kreatine, sehingga terbentuk simpanan phosphor-rylkreatine. Pada waktu kerja phosphorylkreatine mengalami hidro-lisis ditempat pertemuan kepala miosin dengan aktin, membentuk ATP dari ADP yang menyebabkan proses kontraksi dapat berlanjut.

Kontraksi Otot
Proses yang mendasari pemen-dekan elemen-elemen kontraktil di otot adalah pergeseran filamen-filamen tipis pada filamen-filamen tebal. Lebar pita A tetap, sedangkan garis-garis Z bergerak saling mendekat ketika otot berkontraksi dan saling menjauh bila otot diregang.
Selama kontraksi otot, pergeseran terjadi bila kepala-kepala miosin berikatan erat dengan dengan aktin, melekuk pada tempat hubungan kepala miosin dengan lehernya, dan kemudian terlepas kembali. Ayunan tenaga ini bergantung kepada hidrolisis ATP secara simultan. Siklus kejadian untuk sejumlah besar kepala miosin berlangsung dalam waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan. Setiap ayunan tenaga akan memendekkan sarcomer kurang lebih 10 nm. Setiap filamen tebal mengandung 500 kepala miosin, dan siklus ini terulang 5 kali per detik selama berlangsungnya kontraksi cepat.
Proses terpicunya kontraksi oleh depolarisasi serat otot dinamakan proses pasangan eksitasi-kontraksi. Potensial aksi dihantarkan ke seluruh fibril yang terdapat dalam serat otot melalui sistem T. Impuls dari sistem T ini memicu pelepasan ion Ca2+ dari sisterna terminal, yaitu kantung lateral reticulum sarkoplasma yang bersebelahan dengan sistem T. Dimana Ion Ca2+ ini memicu terjadinya kontraksi.
Ca 2+ memicu kontraksi karena diikat oleh troponin C. Pada keadaan otot yang istirahat, troponin I terikat erat dengan aktin, dan tropomyosin menutupi tempat-tempat untuk mengikat kepala miosin di molekul aktin. Jadi, kompleks troponin-tropomyosin membentuk protein relaksan yang menghambat interaksi aktin dengan miosin. Bila ion Ca2+ yang dilepaskan oleh potensial aksi diikat oleh troponin C, ikatan antara troponin I dengan aktin tampaknya melemah, dan hal ini memungkinkan tropomyosin bergerak ke lateral. Gerakan ini membuka tempat-tempat pengikatan kepala-kepala myosin. ATP kemudian terurai dan terjadi kontraksi. Setiap satu molekul troponin mengikat ion kalsium, tujuh tempat pengikatan miosin terbuka.
Segera setelah melepaskan Ca2+, reticulum sarcoplasma mulai mengum-pulkan kembali Ca2+ dengan transport aktif ke dalam bagian longitudinal reticulum. Pompa yang bekerja adalah Ca2+- Mg2+ ATPase. Ca2+ kemudian berdifusi ke dalam sisterna terminal, tempat penyimpanannya, sampai dilepaskan oleh potensial aksi berikutnya. Bila kadar Ca2+ di luar reticulum sudah cukup rendah, interaksi kimiawi antara miosin dan aktin terhenti dan otot relaksasi.
Depolarisasi membran tubulus T menggiatkan reticulum sarcoplasma melalui reseptor dihidropiridin, yang merupakan saluran Ca2+ bergerbang voltase (voltage-gated) di membran tubulus T. Di otot jantung influks Ca2+ melalui saluran-saluran tersebut akan memicu pelepasan Ca2+ yang disimpan di reticulum sarcoplasma. Tetapi di otot rangka, masuknya Ca2+ dari CES melalui jalan ini tidak dibutuhkan untuk pelepasan Ca2+. Di otot rangka reseptor dihidropiridin berfungsi sebagai sensor tegangan listrik dan pemicu yang melepaskan Ca2+ dari reticulum sarkoplasma yang berdekatan. Dinamakan reseptor dihidopiridin karena reseptor tersebut dihambat oleh obat dihidropiridin. Ia mempunyai empat daerah homolog, masing-masing menjangkau membran tubulus T enam kali. Saluran Ca2+ di reticulum sakoplasma yang dilalui Ca2+ untuk keluar, bukan reseptor bergerbang voltase dan dinamakan reseptor rianodin karena reseptor ini akan tetap terbuka oleh adanya alkaloid rianodin tumbuhan.
1.)      Jenis-jenis kontraksi otot
a.)   Isotonik
Kontraksi ini merupakan kontraksi otot dengan beban konstan dan terjadi perubahan panjang otot. Pada kontraksi isotonik dengan menggunakan beban dapat meningkatkan kekuatan otot sepanjang ruang lingkup gerak sendi sehingga kontraksi ini dapat digunakan dalam aktifitas bekerja. Selain itu kontraksi isotonik dengan beban juga dapat menimbulkan hyper-tropi otot, pelebaran kapiler yang menyebabkan peredaran darah meningkat sehingga tidak cepat menimbulkan kelelahan.
“Pada kontraksi isotonik koordinasi neuromuscular dapat dihasilkan lebih baik karena innervasi pada nerve-muscle lebih kompleks, dengan kata lain pada kontraksi isotonik lebih mene-rapkan prinsip motor perfor-mance.”
b.)   Isometrik atau statik kontraksi
Kontraksi otot dimana tidak terjadi perubahan panjang otot dengan beban dapat berubah-ubah. Isometrik juga sering disebut statik kontraksi yaitu kontraksi otot dimana sendi dalam keadaan stastis.Pada kontraksi isometrik terjadi: Resiprocal innervation (Reserve Innervation) yaitu kelompok otot agonis berkontraksi maka akan diikuti oleh rileksasi pada kelompok otot antagonisnya. Pada latihan isometrik banyak menimbulkan sisa metabolisme sehingga akan cepat menimbulkan kelelahan karena sirkulasi yang kurang bagus, yaitu akibat adanya proses pumping action yang mening-katkan sistem sirkulasi darah sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah akibat adanya tekanan dari kontraksi otot yang menyebabkan metabolisme menurun dan dapat meng-akibatkan ischemic.
c.)   Eksentrik
Kontraksi otot dimana kedua ujung/perlekatan otot (ori-go-insertio) saling menjauh, atau otot dalam keadaan memanjang.
d.)   Kosentrik
Kontraksi otot dimana kedua ujung/perlekatan otot (ori-go-insertio) saling mendekat atau otot dalam keadaan memendek.

Latihan Isotonik
Latihan isotonik adalah suatu jenis latihan dinamis dengan kontraksi otot yang menggunakan resisten/beban yang tetap dan terjadi perubahan panjang otot pada lingkup gerak sendi. Pada latihan isotonik kekuatan dinamik, endurance dan power dapat dikembangkan.
Latihan isotonik ini dapat diberikan dalam bentuk latihan dengan tahanan manual dan mekanik, latihan dengan tahanan tetap dan berubah-ubah, eksentrik dan kosentrik, open dan closed kinematic chain.
Latihan dengan isotonik dapat diberikan dengan menggunakan beban eksternal atau lebih dikenal dengan isotonic resistance exercise yaitu suatu bentuk latihan dinamis melawan tahanan yang konstan dengan sejumlah beban tertentu pada sepanjang lingkup gerak sendi.
Karakteristik yang harus dipenuhi pada latihan Isotonik Resistance Exercise untuk dapat meningkatkan kekuatan otot.
a.    Kekuatan menunjukan tenaga yang dihasilkan oleh kontraksi otot dan secara langsung berhubungan dengan sejumlah tegangan yang dihasilkan pada kontraksi otot.
b.   Untuk meningkatkan kekuatan otot, kontraksi otot harus diberikan beban/ tahanan sehingga meningkatkan level tegangan yang akan berkembang akibat hypertropi dan recruitmen motor unit.
c.    Latihan penguatan ditujukan pada otot atau grup otot dan dikontrol dengan pemberian beban berat dan jumlah repetisi yang relatif sedikit.
d.   Pada latihan resistance exercise mempunyai tujuan akhir yang sama yaitu untuk meningkatkan penampilan/ kemampuan fungsional dengan cara meningkatkan kekuatan otot, endurance atau power.
e.    Pada resistance exercise, desain latihan dapat ditentukan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dengan cara mengontrol intensitas, durasi dan jumlah repetisi.

Metode De Lorme
Metode ini disebut juga heavy resistance exercise, namun belakangan ini dikenal dengan progressive resistance Exercise      (PRE) dengan menggunakan pendekatan latihan strengthening .
1.)   Prosedur pelaksanaan
(a.)Tentukan kontrol beban sebesar 10 RM
(b.)Klien melakukan :
(1)     10 kali pengulangan dengan beban ½ dari 10 RM.
(2)     10 kali pengulangan dengan beban ¾ dari 10 RM.
(3)     10 kali pengulangan dengan beban 10 RM penuh.
(c.) Setiap sesi dari latihan tersebut diselingi oleh istirahat singkat.
2.)   Efek yang terjadi pada latihan De Lorme.
Latihan metode De Lorme sebagai suatu jenis latihan strengthening akan menggunakan prinsip-prinsip untuk meningkatkan kekuatan otot. Oleh karena prinsip yang digunakan adalah prinsip-prinsip latihan strengthening, yaitu overload dan specificity, maka efek yang terjadi pada metode ini akan sama seperti pada adaptasi akibat latihan strengthening /resistance exercise.
Latihan ini menggunakan pen-dekatan seperti pada fase warm-up karena beban yang digunakan ber-tingkat dari beban rendah ke tinggi, yaitu dari ½ dari 10 RM, ¾ dari 10 RM, sampai full 10 RM.
Warm-up atau sering disebut dengan pre-elimenary exercise merupakan aktifitas fisik yang membantu mempersiapkan perfor-mance latihan baik secara psikologis maupun fisiologis dan juga berfungsi untuk mengurangi resiko cidera pada sendi maupun otot.
Efek psikologis pada warm-up akan mempengaruhi mental seseorang sebelum melakukan latihan karena dengan mental yang siap maka lebih mudah meningkatkan skill dan koordinasi . Warm-up juga akan mem-pengaruhi fisiologis dari performance latihan itu sendiri karena akan meningkatkan aliran darah, otot dan temperatur. Selain itu pada warm-up juga akan terjadi perubahan – peru-bahan seperti di bawah ini :
(a.)Meningkatkan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot.
(b.)Meningkatkan gerakan karena ketahanan kekentalan pada otot menurun.
(c.) Menfasilitasi penggunaan oksigen oleh otot karena hemoglobin mele-paskan oksigen lebih cepat pada temperatur tinggi
(d.)Memfasilitasi transmisi nerve/saraf dan memetabolisme otot pada temperatur tinggi. Pada spesific warm-up akan memfasilitasi recruitmen motor unit yang diperlukan dalam aktifitas beri-kutnya.
(e.)Meningkatkan aliran darah pada seluruh jaringan yang aktif seperti pada lokal vaskularisasi akibat dilatasi pada metabolisme pada level yang lebih tinggi dan temperatur otot.
(f.) Warm-up secara bertahap akan meningkatkan temperatur dan kemampuan otot tanpa menye-babkan fatigue atau mengurangi cadangan energi.

Metode Oxford
Metode ini merupakan metode yang berlawanan dengan metode De Lorme. Metode ini dirancang dengan mengurangi beban atau tahanan yang bertujuan untuk mengurangi efek fatigue pada otot akibat pemberian beban yang berlebih pada set pertama.
1.)   Prosedur pelaksanaan
(a.)Tentukan kontrol beban sebesar 10 RM
(b.)Klien melakukan :
(1.)   10 kali pengulangan dengan beban 10 RM penuh
(2.)   10 kali pengulangan dengan beban ¾ dari 10 RM.
(3.)   10 kali pengulangan dengan beban ½ dari 10 RM.
(c.)   Setiap sesi dari latihan tersebut diselingi oleh istirahat singkat.
2.)   Efek yang terjadi pada latihan Oxford.
Sama seperti metode De Lorme,  metode Oxford sebagai suatu jenis latihan strengthening juga akan menggunakan prinsip-prinsip untuk meningkatkan kekuatan otot. Oleh karena prinsip yang digunakan adalah prinsip-prinsip latihan strengthening, yaitu overload dan specificity, maka efek yang terjadi pada metode ini akan sama seperti pada adaptasi akibat latihan strengthening / resistance exer-cise.
Pada metode ini dimana latihan dimulai dengan beban yang berat akan menimbulkan efek fatigue pada awal latihan akibat tidak adanya persiapan pada otot. Metode latihan ini berusaha menurunkan kerusakan pada efek fatigue dengan memberikan pe-ngurangan beban dengan tujuan untuk mengurangi efek fatigue yang terjadi. Karena fase istirahat dapat dilakukan dengan istirahat total ataupun dengan melakukan gerakan-gerakan ringan. Secara umum, warm-up yang non-spesifik pada latihan aktif dianjurkan terlebih dahulu dilakukan sebelum memulai resistance exercise.
Fatigue adalah suatu fenomena kompleks yang berpengaruh pada kemampuan fungsional atau dapat diartikan sebagai ketidakmampuan/ kegagalan otot melakukan kontraksi melawan/menahan eksternal force secara efektif dan efisien. Fatigue dibagi menjadi dua, yaitu local muscle fatigue dan general muscle fatigue (total body).

Prinsip-Prinsip Program Latihan
Program latihan yang berhasil adalah program yang terdiri dari suatu rangkaian teknik latihan, yang telah dibuktikan efektif secara fisiologis. Program latihan yang optimal adalah program latihan yang dirancang berdasarkan prosedur-prosedur latihan yang benar. Oleh karena itu sebelum memberikan latihan, sebaiknya therapis menentukan terlebih dahulu program latihan yang akan diberikan pada kliennya. Program latihan pada latihan strengthening yang harus ditentukan oleh terapis antara lain meliputi:
1.)   Frekuensi
Frekuensi latihan harus dilakukan secara rutin dan reguler karena hal ini akan mempengaruhi hasil yang akan dicapai. Apabila latihan tidak dilakukan secara reguler maka kondisi otot akan kembali seperti pada keadaan semula. Pada latihan yang menggunakan beban atau yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot pem-berian latihan dapat dilakukan setiap hari sedangkan pada latihan yang bertujuan untuk meningkatkan endu-rance dapat dilakukan sebanyak 3 kali seminggu, hal ini berkaitan dengan masa recovery dari sistem panyediaan energi yang digunakan pada latihan tersebut.
2.)   Intensitas
Beban yang digunakan disesuaikan dengan metode yang digunakan, tetapi dengan menggunakan prinsip overload yang sama. Pada latihan beban, intensitas yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan repetisi mak-simal (RM), yaitu beban maksimal yang dapat dilakukan/diangkat selama satu kali gerakan atau kontraksi.
Berikut ini adalah intensitas–intensitas latihan dengan tujuannya :
(a.)1RM-3RM – untuk meningkatakan kekuatan neuromuscular.
(b.)4RM-6RM – untuk meningkatkan kekuatan maksimal dengan menstimulasi hypertropi otot.
(c.) 6RM-12RM – untuk meningkatkan ukuran serabut otot (hypertropi) dengan menambah kekuatan otot yang moderate (Fleck & Kraemer, 1996).
(d.)12RM-20RM – untuk meningkatkan ukuran serabut otot dan endurance

3.)   Time/Durasi
Durasi yang diberikan setiap latihan adalah 3 set dengan setiap setnya tergantung dari repetisi yang akan digunakan. Setiap set akan diselingi dengan fase istirahat singkat. Pada latihan dengan beban berat yang menggunakan sistem energi ATP-PC memerlukan waktu istirahat 3-5 menit untuk mengembalikan energi pada setiap setnya.
Pada latihan untuk meningkatkan kekuatan dengan menggunakan beban dan menggunakan sistem energi ATP-PC, latihan dapat diberikan setiap hari karena pengembalian energi pada ATP-PC secara total terbentuk dalam waktu 24 jam. “Sebaliknya latihan untuk meningkatkan endurance memerlukan waktu recovery yang lebih lama yaitu selama 48 jam untuk mengembalikan penyediaan energi glikogen. (Piehl, 1974; Fox et al, 1989).
4.)   Tipe latihan
Tipe latihan akan bergantung pada jenis latihan yang akan dipilih. Jenis latihan ini dibagi menjadi dua yaitu latihan aerobik dan latihan anaerobik. Pada jenis latihan yang bersifat aerobik bertujuan untuk meningkatkan endurance sebaliknya pada latihan yang bersifat anaerobik bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot.
5.)   Repetisi
Pada latihan untuk meningkatkan kekuatan otot repetisi yang harus diberikan adalah 60% sampai 100% dari 1 RM.
Berikut ini hubungan antara persentase beban dengan jumlah repetisi :
(a.)60%   – 17 repetisi
(b.)65%   – 14 repetisi
(c.) 70%   – 12 repetisi
(d.)75%   – 10 repetisi
(e.)80%   –   8 repetisi
(f.) 85%   –   6 repetisi
(g.)90%   –   5 repetisi
(h.)95%   –   3 repetisi
(i.)   100% –   1 repetisi

Adaptasi Otot Terhadap Resis-tance Exercise
Adaptasi merupakan karakteristik utama pada otot skeletal. Sebagai respon dari latihan, perubahan akut dapat terjadi pada sistem, organ atau sel. Sebagai contoh peningkatan denyut nadi terjadi ketika melompat dari kursi atau saat melakukan jogging. Adaptasi selular secara umum dapat meningkatkan atau menurunkan kemampuan rata-rata sintesis pada komponen selular. Sel otot dapat mengalami sintesis dan degradasi. Jika rata-rata sintesis melebihi rata-rata degradasi, maka terjadi peningkatan komponen selular. Perubahan pada sintesis protein memerlukan signal selular, salah satunya adalah faktor biologis dan fisiologis yang melanjutkan proses komunikasi pada otot yang berbeda sehingga menyebabkan perubahan selular.
Pada latihan strengthening dengan resistance exercise akan memberikan dampak atau respon terhadap otot. Adaptasi yang dapat terjadi setelah latihan diantaranya adalah adaptasi neurological, adaptasi struktural dan adaptasi metabolik.
1.)     Adaptasi Neurological
Pada orang tak terlatih yang memulai program latihan penguatan pertama kali akan merasakan peningkatan kekuatan otot secara dra-matis. Peningkatan ini akan berlanjut secara linear selama 8-12 minggu. “Mekanisme yang mendominasi pada awal latihan penguatan adalah adaptasi neurologi secara alami. (Morianti, 1979; Sale, 1988)”. (Haycock, Bryan: 2001). Adaptasi ini dapat terjadi dengan atau tanpa peningkatan cross sectional area. Faktor utama pada resistance exercise untuk meningkatkan kekuatan otot adalah pengetahuan dan koordinasi. Adaptasi neurologi yang terjadi mengalami tahapan sebagai berikut:
a.)   Peningkatan koordinasi inter-muscular. Hal ini meningkatkan kerjasama antara grup otot yang berbeda agar terjadi peningkatan efisiensi gerakan koordinasi. Peru-bahan ini terjadi selama 2-3 minggu pertama setelah latihan rutin.
b.)   Peningkatan koordinasi intra-muscular. Hal ini meningkatkan kerjasama antara serabut otot untuk meningkatkan produksi tenaga. Perubahan ini terjadi selama 4-6 minggu.
c.)   Peningkatan hypertropi otot. Adaptasi ini merupakan restruk-turisasi pada jaringan otot sebagai peningkatan fungsional pada massa otot. Otot menambahkan elemen kontraktil dan meningkatka integritas struktural. Penambahan jaringan konnektif ini mening-katkan ketahanan jaringan terhadap cidera. Adaptasi ini terjadi pada 2-5 bulan setelah adaptasi awal resistance exercise.
d.)   Stagnasi (setelah 5 bulan). Adaptasi struktural dan fungsional mulai menjadi lebih lambat. Untuk melanjutkan perkembangan pada tahap ini adalah sangat penting untuk menentukan kondisi stagnasi, apakah terjadi pengu-rangan kekuatan, pengurangan volume dan intensitas atau pengurangan current adaptive reserve (CAR) pada tubuh yang terjadi sekitar 18-22 minggu (Zhikharevich, 1976 and Sirenko, 1980; sited by Siff and Verkhoshansky, 1996).
2.)   Adaptasi Struktural
Adaptasi structural pertama pada resistance exercise untuk mening-katkan kekuatan otot adalah meningkatnya kekuatan jaringan itu sendiri. Hypertropi otot atau pening-katan ukuran otot skeletal dengan resistance exercise dapat dilihat sebagai adaptasi struktural yang utama. Kompensasi ini merupakan penyesuaian untuk meningkatkan kapasitas otot dalam menghasilkan tegangan sehingga kekuatan otot dapat meningkat.
Hypertropi otot secara langsung berhubungan dengan sintesis material selular, terutama pada protein elemen kontraktil. Peningkatan jumlah protein kontraktil terjadi secara paralel terhadap peningkatan jumlah volume mitokondria dalam sel otot. Di dalam sel, myofibril menjadi bertambah ukuran dan jumlah serta penambahan sarcomer terbentuk sebagai sintesa protein yang dipercepat dan secara bersamaan menurunkan kerusakan protein. Dampak utama yang tampak pada hypertropi otot adalah mening-katnya tegangan atau tenaga yang dihasilkan.
Dua hypertropi dapat terjadi, yaitu Sarcoplasmic hypertropi dan Sarcomere hypertropi (Siff dan Verkhoshansky, 1996) . Pada sarcoplasmic hypertropi volume protein pada jaringan non-kontraktile dan cairan antara serabut otot akan meningkat.         Perbedaan antara sarcoplasmic hypertropi dengan sar-comere hypertropi adalah peningkatan kepadatan myofibril.
Tipe hypertropi bergantung dari cara melatihnya. Repetisi tinggi/sedang (8-12 kali pengulangan) pada latihan akan lebih menyebabkan sarcoplasmic hypertropi, dan pada repetisi rendah (1-6 kali pengulangan) pada latihan akan lebih menyebabkan sarcomere hypertropi (Nikituk dan Samoilov, 1990).
3.)     Adaptasi Metabolik
Pada adaptasi metabolik terdapat tiga enzim kompleks yang terlibat dalam adaptasi resistance exercise, yaitu: phosphocreatine ATP kompleks, glycolysis/glycogenolosis kompleks dan lypolysis kompleks. Adaptasi ini merupakan adaptasi yang berkaitan dengan sistem energi yang digunakan selama latihan.

Hubungan Jenis Latihan Dengan Jenis Serabut Otot.
“Slow twitch fiber akan aktif terutama pada latihan dengan intensitas rendah atau untuk aktifitas yang bersifat endurance”, (Kisner,Carolyn, and Lynn Allen Coiby, ibid: 116). Karena serabut ini mempunyai karakteristik sebagai berikut: respon kontraktil yang lambat, kaya akan myoglobin dan mitokondria, mempunyai kapasitas oksidatif yang tinggi dan kapasitas anaerobik yang rendah serta dihantarkan oleh neuron kecil dengan aktifasi treshold yang rendah.
Pada fast twitch fiber terdapat dua type serabut yaitu tipe IIa dan IIb. “Pada fast twitch fiber tipe IIb akan aktif pada saat melakukan aktifitas yang memerlukan power”, (Kisner, Carolyn And Lynn Allen Coiby, loc.cit). Karena serabut ini mempunyai karakteristik sebagai berikut: respon kontraktil yang cepat, memiliki sedikit myoglobin dan mitokondria serta memiliki kapasitas glykolitik yang tinggi.
Pada fast twitch fiber tipe IIa akan aktif pada saat melakukan aktifitas yang bersifat aerobik maupun anaerobik, hal ini disebabkan karena serabut ini mempunyai dua karakteristik yang merupakan gabungan dari slow twitch fiber dan fast twitch fiber tipe IIb.
Meskipun kedua tipe serabut otot ini mempunyai karakteristik yang berbeda tetapi kedua tipe sarabut otot ini dapat diberikan latihan penguatan. Pada serabut otot tipe I walau aktif pada aktifitas aerobik bukan berarti tipe serabut otot ini tidak dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot. Serabut otot tipe I dapat ditingkatkan kekuatan ototnya dengan prinsip latihan strengthening yang sama tetapi adaptasi yang terjadi akan lebih lama jika dibandingkan serabut otot tipe II yang diberikan latihan strengthening.

Prosedur Pengukuran
a.   Prosedur pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat dynamometer.
b.   Posisi klien tidur telungkup dengan lutut fleksi ± 900.
c.   Terapis memegang dynamometer yang diletakan pada ankle dengan dibantu oleh seorang asisten yang memfiksasi lutut agar pada saat kontraksi maksimal tungkai atas tidak ikut bergerak.
d.   Instruksikan klien untuk meluruskan lutut dengan meminta klien menekan dynamometer yang terletak pada ankle.
e.   Pengukuran ini dilakukan sehari sebelum dilakukan program latihan, setelah 3 minggu pertama dari program latihan dan pada akhir program latihan.
f.    Prosedur ini dilakukan pada awal penelitian sebagai data awal dan dilakukan evaluasi pada akhir penelitian sebagai data akhir.

Hasil Penelitian
Sampel dalam penelitian ini merupakan populasi mahasiswa Indonusa yang datang ke klinik fisioterapi dan bersedia mengikuti program latihan penguatan otot quadriceps pada periode Juli-Agustus.
Sampel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan 1 yang diberi latihan penguatan otot quadriceps dengan menggunakan metode De Loreme dan kelompok perlakuan 2 yang diberi latihan penguatan otot quadriceps dengan menggunakan metode Oxford.
Sebelum diberikan perlakuan sampel terlebih dahulu dilakukan pengukuran kekuatan otot untuk me-ngetahui tingkat kekuatan otot quadcriceps. Selanjutnya sampel diberikan program latihan sebanyak 3 kali seminggu selama 6 minggu dan kemudian dilakukan pengukuran kekuatan otot quadriceps kembali untuk menentukan keberhasilan dari perlakuan yang diberikan. Selanjutnya dilakukan identifikasi data menurut jenis kelamin dan usia.

Tabel 3: Distribusi sampel menurut jenis kelamin

Sumber: Data Hasil Pengolahan

Berdasarkan tabel pada kelompok perlakuan 1 sampel laki-laki 4 orang (14.3%) dan sampel perempuan berjumlah 10 orang (35.7%) dengan jumlah seluruhnya 14 orang (50%). Pada kelompok perlakuan 2 sampel laki-laki 4 orang (14.3%) dan sampel perempuan berjumlah 10 orang (35.7%) dengan jumlah seluruhnya 14 orang (50%). Sehingga jumlah sampel dalam kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2 berjumlah 28 orang (100%).

Tabel 2: Distribusi sampel menurut usia.


Sumber: Data Hasil Pengolahan

Berdasarkan tabel pada kelompok perlakuan 1 sampel usia 17–22th berjumlah 8 orang (28.6%), usia 23–28th berjumlah 5 orang (17.8%), usia 29–34th berjumlah 1 orang (3.6%), dengan jumlah seluruh sampel pada kelompok perlakuan 1 adalah 14 orang (50%). Pada kelompok perlakuan 2 sampel usia 17–22th berjumlah 8 orang (28.6%), usia 23–28th berjumlah 5 orang (17.8%), usia 29–34th berjumlah 1 orang (3.6%), dengan jumlah seluruh sampel pada kelompok perlakuan 1 adalah 14 orang (50%). Sehingga jumlah seluruh sampel perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2 adalah 28 orang (100%).
Berdasarkan data yang terkumpul dari peningkatan kekuatan otot quadriceps pada kelompok perlakuan 1 diketahui mean sebelum perlakuan 16.71 dengan nilai SD 4.548, berarti nilai penyimpangan maksimal rata-rata 26.00 dan nilai penyimpangan minimal rata-rata 9.00, sedangkan nilai mean sesudah perlakuan meningkat menjadi 25.64 dengan nilai SD 4.618 yang berarti nilai penyimpangan maksimal rata-rata 35.00 dan nilai penyimpangan minimal rata-rata 16.00.
Berdasarkan data yang terkumpul dari peningkatan kekuatan otot quadriceps pada kelompok perlakuan 2 diketahui mean sebelum perlakuan 16.29 dengan nilai SD 3.911 berarti nilai penyimpangan maksimal rata-rata 23.00 dan nilai penyimpangan minimal rata-rata 8.00, sedangkan nilai mean sesudah perlakuan meningkat menjadi 26.36 dengan nilai SD 4.781 yang berarti nilai penyimpangan maksimal rata-rata 38.00 dan nilai penyimpangan minimal rata-rata 18.00.
Perbandingan nilai rata-rata kelompok perlakuan 1 dengan kelompok perlakuan 2 divisualisasikan dalam grafik dibawah ini :

Grafik : Nilai peningkatan kekuatan otot quadriceps pada kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2 sebelum dan sesudah intervenís

Sumber: Data Hasil Pengolahan

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa pada awal penelitian tingkat kekuatan otot quadriceps kelompok perlakuan 1 berada diatas nilai rata-rata kelompok perlakuan 2, setelah pemberian latihan kelompok perlakuan 2 mengalami peningkatan kekuatan otot quadriceps yang lebih tinggi dari kelompok perlakuan 1.

Uji Hipotesa
Setelah diberikan perlakuan selama 18 kali terhadap kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2 maka selanjutnya peneliti melihat signifikasi 2 sampel yang berhubungan yaitu nilai peningkatan kekuatan otot sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2 serta signifikasi 2 sampel yang tidak berhubungan yaitu nilai peningkatan kekuatan otot sesudah perlakuan antara kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2.

Tabel 4: Nilai peningkatan kekuatan otot quadriceps sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan 1


Sumber: Data Hasil Pengolahan

Berdasarkan tabel maka didapatkan uji T-Test Related dengan nilai P value 0,000 (P<0,05) berarti sangat bermakna, hal ini menunjukkan kelompok perlakuan 1 sesudah perlakuan mengalami perubahan yang sangat bermakna dibandingkan kelompok perlakuan 1 sebelum perlakuan. Hal ini berarti Ho ditolak atau Ha diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat kekuatan otot quadriceps yang sangat bermakna antara sebelum dan sesudah pemberian latihan pada kelompok perlakuan 1.
Tabel 5: Nilai peningkatan kekuatan otot quadriceps sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan 2
Sumber: Data Hasil Pengolahan

Berdasarkan tabel maka dida-patkan uji T-Test Related dengan nilai P value 0.000 (P<0,05) berarti sangat bermakna, hal ini menunjukkan kelompok perlakuan 2 sesudah perlakuan mengalami perubahan yang sangat bermakna diban-dingkan kelompok perlakuan 2 sebelum perlakuan. Hal ini berarti Ho ditolak atau Ha diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat kekuatan otot quadriceps yang sangat bermakna antara sebelum dan sesudah pemberian latihan pada kelompok perlakuan 2.
Uji beda antara kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2 dengan pengujian hipotesis :
Untuk melihat perbedaan pengaruh peningkatan kekuatan otot quadriceps maka dilakukan uji beda dua mean antara nilai selisih peningkatan kekuatan otot quadriceps pada kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2 dengan menggunakan uji T-Test Independent Sampel.

Tabel 6: Nilai selisih kekuatan otot quadriceps antara kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2


Sumber: Data Hasil Pengolahan

Berdasarkan tabel dengan menggunakan uji T-Test Independent Sampel didapat deskriptif statistik dengan nilai mean untuk nilai selisih peningkatan kekuatan otot pada kelompok perlakuan 1 dengan nilai mean sebesar 9.36 dan nilai SD sebesar 3.992 dan nilai selisih peningkatan kekuatan otot pada kelompok perlakuan 2 dengan nilai mean sebesar 10.07 dan nilai SD sebesar 3.689, didapat nilai P value 0.627 (P>0.05) ini berarti tidak bermakna. Hal ini berarti Ho diterima atau Ha ditolak. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh pemberian latihan metode De Lorme dengan latihan metode Oxford terhadap peningkatan kekuatan otot quadriceps.

Pembahasan
Jenis-jenis latihan, khususnya latihan yang menggunakan beban dapat menimbulkan peningkatan yang besar dan cepat pada kekuatan otot. Peningkatan kekuatan pada tahap awal ini dapat terjadi pada orang tak terlatih setelah pemberian latihan selama 6-8 minggu yang dilakukan secara rutin sebanyak 3 kali seminggu. Latihan yang tidak dilakukan secara rutin atau tidak dilanjutkan kembali akan menyebabkan penurunan kekuatan otot pada otot yang terkait. Oleh karena itu pada latihan strengthening diperlukan waktu yang cukup lama dan dibutuhkan konsistensi dalam latihan untuk melihat perkembangan peningkatan pada kekuatan otot.
Berdasarkan data hasil dapat diketahui bahwa baik pada kelompok perlakuan 1 ataupun kelompok perlakuan 2 terdapat peningkatan tingkat kekuatan otot yang bermakna, namun berdasarkan hasil uji beda dua mean dengan T-Test Independent Sampel didapatkan hasil P value 0,627 (P<0,05) menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan tingkat kekuatan otot setelah pemberian latihan antara kelompok perlakuan 1 dengan kelompok perlakuan 2. Hal itu disebabkan oleh karena adaptasi yang terjadi pada kedua kelompok perlakuan tersebut adalah sama.
Pada kedua metode latihan tersebut yaitu metode De Lorme dan metode Oxford menggunakan prinsip yang sama dalam menyusun program latihan. Kedua metode tersebut menggunakan prinsip overload yang sama, karena tidak terdapat perbedaan jumlah repetisi, perbedaan jumlah set dan perbedaan jumlah beban yang digunakan dalam setiap setnya dan juga menggunakan prinsip specificity yang sama yaitu latihan diberikan secara aktif pada otot yang secara berangsur-angsur ditambahkan bebannya yaitu setelah 3 minggu latihan serta pemberian latihan pada kedua metode tersebut juga memiliki frekuensi dan waktu yang sama yaitu frekuensi 3 kali seminggu selama 6 minggu. Jadi walaupun teknik dan metode latihan yang digunakan berbeda-beda, tetapi akan tetap dapat meningkatkan kekuatan otot jika prinsip yang digunakan adalah sama yaitu prinsip untuk meningkatkan kekuatan otot.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
Pemberian latihan metode De Lorme memberi pengaruh yang sangat bermakna terhadap peningkatan kekuatan otot quadriceps
Pemberian latihan metode Oxfordmemberi pengaruh yang sangat bermakna terhadap peningkatan kekuatan otot quadriceps
Tidak terdapat perbedaan pening-katan kekuatan otot quadriceps yang bermakna antara kelompok yang diberi latihan metode De Lorme dengan kelompok yang diberi latihan metode Oxford.

Implikasi

Pada latihan isotonik, latihan strengthening biasanya diberikan dengan menggunakan tahanan/beban eksternal seperti; dumbell, barbel, sand bag, dll. Penerapan latihan strengthening secara tepat dapat meningkatkan kekuatan otot secara signifikan jika menggunakan prinsip-prinsip latihan yang sesuai. Walaupun metode De Lorme dan metode Oxford kedua mempunyai perbedaan dalam prosedur pelaksanaannya, tetapi karena prinsip latihan yang digunakan adalah prinsip latihan strengthening maka kedua metode ini dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot.

Daftar Pustaka
Ganong, William F, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran” Edisi 17 ,Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995.

Hamilton, Nancy and Kathryn Lutlgens, “Kinesiology Scientific Basis of Human Motion”, McGraw-Hill Book Company, New York, 2002.

http://www.brianmac.demon.co.uk

http://www.fitstep.com

http://www.homehia.com

http://www.muscle.com

http://www.nucleusinc.com

http://www.timinvermont.com

Jensen, Clayne R and Gordon W. Schultz, “Aplied Kinesiology The Scientific Study of Human Performance”, McGraw-Hill Book Company, New York, 1977.

Kisner, Carolyn and Lynn Allen Coiby, “Therapeutic Exercise Foundations and Techniques”, F.A. Davis Company, Philadelphia 1996.

McArdle, Katch, “Esential of Exercise Physiology”, Lea and Febiger, Philadelphia 1994.

Pate, R McClenaghan, terjemahan oleh Kasiyo Dwijowinoto, “Dasar-dasar Ilmiah Kepelatihan”, IKIP Semarang Press, Semarang, 1993.

Yazir, Yasmeiny, Hasjim Effendi dan Dede Kusmana, “Fisiologi Kerja dan Olahraga serta Peranan Tes Kerja (Exercise Test Untuk Diagnostik)”, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.