Prof. Maksum Radji, Guru Besar Prodi Farmasi FIKES Universitas Esa Unggul

Esaunggul.ac.id, Dalam beberapa hari ini kasus COVID-19 kembali mengalami lonjakan tajam setelah sempat menurun beberapa bulan yang lalu, termasuk di Indonesia. Lonjakan baru ini dipicu oleh merebaknya sub-varian baru Omicron XBB, yang sejak pertama kali ditemukan pada bulan Agustus 2022 yang lalu di India, kini sub-varian baru Omicron ini telah terdeteksi di beberapa negara termasuk di Indonesia. Sub-variab Omicron XBB ini lebih mudah menular dibandingkan dengan sub-varian Omicron lainnya.

Di Indonesia, kasus harian COVID-19 kembali mengalami peningkatan, sejak diumumkannya temuan Sub-varian XBB pada tanggal 21 Oktober 2022 lalu. Satgas Covid-19 melaporkan sampai dengan tanggal 15 November 2022 kasus aktif bertambah sebanyak 53,774 kasus. Selain itu kasus harian COVID-19 meningkat tajam hingga tercatat sebanyak 7.893 pada tanggal 15 November kemaren, yang merupakan kasus harian tertinggi sejak bulan Maret 2022 yang lalu.

Namun demikian di tengah lonjakan kasus COVID-19 ini ada golongan orang-orang tertentu yang tidak pernah terinfeksi virus penyebab COVID-19 yang disebut dengan istilah NOVID. Lantas apakah yang dimaksud dengan Fenomena NOVID.

Berikut ini hasil perbincangan secara daring dengan Prof. Maksum Radji, Guru Besar Prodi Farmasi FIKES Universitas Esa Unggul Jakarta.

Menurut Prof. Maksum NOVID adalah suatu fenomena yang menunjukkan kondisi seseorang yang tahan terhadap paparan virus SARS-COV-2 dan tidak mengalami gejala COVID-19.

Melansir data https://www.worldometers.info/coronavirus/ Prof. Maksum menambahkan bahwa hingga tanggal 16 November 2022 tercatat sebanyak 6,573,805 dan menyebabkan kematian sebanyak 159,199 orang. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua orang terinfeksi COVID-19 dan tidak semua orang yang terinfeksi melakukan tes COVID-19 atau melaporkan hasil positifnya.

“Sebetulnya istilah NOVID ini dicetuskan oleh Komunitas ilmuwan di beberapa negara, yang berusaha menemukan penjelasan kenapa ada sebagian manusia yang sama sekali tak pernah terinfeksi virus Covid-19. Untuk tujuan tersebut para ilmuan melakukan berbagai studi dan membentuk suatu konsorsium International the COVID Human Genetic Effort”, ungkapnya.

Prof. Maksum menjelaskan bahwa pada salah satu penelitian yang dilakukan oleh Tim peneliti di Trinity College Dublin Irlandia, mereka menemukan sekitar 16.000 petugas kesehatan di rumah sakit yang kebal dan tak pernah terinfeksi virus SARS-COV-2. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa pada orang-orang yang tahan terhadap COVID-19 ini mereka memiliki mutasi genetik yang spesifik.

“Dalam suatu penelitian lainnya yang dilakukan oleh Tim peneliti mikrobiologi klinis dari Rockefeller University New York, menunjukkan bahwa dari sejumlah sampel yang diteliti ditemukan adanya kelompok orang-orang yang tidak pernah tertular virus COVID-19 meskipun memiliki resiko tinggi tertular”. Tambah Prof. Maksum.

Dengan mengutip laman https://www.antaranews.com/infografik tanggal 22 April 2022 yang lalu, Prof. Maksum menjelaskan ada data yang menarik berdasarkan hasil survei serologi yang dilakukan oleh Kemenkes RI dan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, dimana dinyatakan bahwa 99.2 persen masyarakat Indonesia yang sudah memiliki antibodi terhadap COVID-19, diantara ada proporsi penduduk yang telah memiliki antibodi terhadap COVID-19 walaupun mereka belum menerima vaksinasi. Hasil survei serologi tersebut menyebutkan bahwa 93.9 persen dari penduduk yang belum divaksin kadar antibodinya terhadap COVID-19 juga tinggi.

“Bagi mereka yang mengaku tidak pernah menderita COVID-19, ataupun belum pernah menerima vaksin COVID-19 mungkin terkejut ketika mengetahui bahwa mereka telah memiliki antibodi terhadap virus penyebab COVID-19”, ujar Prof. Maksum menambahkan.

“Inilah yang disebut dengan Fenomena NOVID dimana seseorang tidak pernah terinfeksi virus SARS-COV-2 ataupun tidak menyadari bahwa telah terinfeksi karena tidak menngalami gejala COVID-19 sedikitpun. Para NOVID ini umumnya tidak melakukan tes dan tidak mengetahui status infeksinya, serta mereka tidak menyadari bahwa mereka dapat menularkan virus kepada orang lain di sekitarnya. Dari sekian banyak orang yang terinfeksi virus SARS-COV-2 pada kenyataannya ada sebagian kelompok orang yang tidak pernah merasakan bahwa mereka terinfeksi atau menderita COVID-19. Kelompok inilah yang disebut sebagai NOVID, tandasnya.

 

Faktor Genetik

Menjelaskan tentang hubungan antara faktor genetik seseorang dengan NOVID, Prof Maksum mengungkapkan bahwa pada salah satu laporan terbaru yang dilansir laman https://www.abc.net.au/news/2022 tanggal 11 November 2022 yang lalu, para peneliti dari School of Biomedical Sciences and Pharmacy, University of Newcastle, menyebutkan bahwa pengaruh variasi genetik individu atau polimorfisme terhadap risiko penyakit biasanya sangat kecil, jadi untuk mengidentifikasi pengaruh genetik terhadap NOVID ini membutuhkan lebih banyak penelitian yang melibatkan lebih banyak subjek yang terdiri dari berbagai ras dan suku.

“Dalam salah satu studi, para peneliti membandingkan antara genom subjek yang terdiri dari sekitar 50.000 orang penderita COVID-19 dengan genom dari sekitar 2 juta orang yang diketahui tidak terkena infeksi atau NOVID. Para peneliti mengidentifikasi lokus genom tertentu yang terkait dengan risiko tertular COVID-19 dengan tingkat keparahan penyakit. Penelitian ini membuktikan bahwa sebagaimana jenis penyakit lainnya, gen tertentu memang mempengaruhi risiko terinfeksi COVID-19”, ungkap Prof. Maksum.

“Hasil penelitian ini sangat penting untuk lebih memahami aspek biologi molekuler dari patogenesis COVID-19 dan juga untuk menjawab pertanyaan siapa yang mungkin berisiko terkena penyakit parah atau long COVID dan membantu pengembangan terapi baru”, imbuhnya.

Prof. Maksum menambahkan bahwa berdasarkan hasil penelitian lainnya yang dipublikasi pada Jurnal Nature yang terbit pada 7 Maret 2022 yang lalu disebutkan bahwa tim peneliti telah mengidentifikasi 16 jenis gen pada pasien COVID-19 yang kritis. Para peneliti menganalisis sekitar 56.000 sampel untuk membandingkan genom pasien COVID-19. Berdasarkan analisis genetik, peneliti menemukan perbedaan di antara 23 gen pada pasien dengan kondisi kritis dengan pasien COVID-19 tanpa gejala atau dengan gejala ringan. Temuan ini merupakan hasil perbandingan antara 7.491 pasien Covid-19 kritis dengan kelompok kontrol yang terdiri dari 48.400 orang.

“Variasi genetik yang ditemukan pada 16 jenis gen ini dapat memengaruhi risiko keparahan dan perawatan intensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami infeksi COVID-19 parah, mereka memiliki variasi genetik yang membuat tubuhnya rentan terhadap peradangan, pembekuan darah, serta ketidakmampuan tubuh pasien untuk mengatasi replikasi virus di dalam tubuhnya” ungkapnya.

Prof. Maksum mengatakan bahwa berdasarkan hasil study para peneliti mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kelompok manusia yang digolongkan sebagai NOVID yaitu (i). Adanya variasi genetik. Sebagian kecil manusia dilahirkan telah memiliki gen spesifik yang kebal terhadap virus, termasuk virus yang menyebabkan COVID-19; (ii). Kelompok manusia yang kebal karena pernah terinfeksi virus yang sekerabat sebelumnya; (iii). Kelompok yang pernah terinfeksi namun tidak menunjukkan gejala; dan (iv). Kelompok yang memiliki kebiasaan hidup sehat dan sangat berhati-hati.

Hubungan Sistem Kekebalan Tubuh dengan NOVID

Menjawab pertanyaan bagaimana kaitan antara sistem kekebalan tubuh dengan NOVID, Prof. Maksum menjelaskan bahwa sistem imunitas setiap orang berbeda-beda. Bagaimana sistem kekebalan merespons infeksi tertentu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor genetik, jenis kelamin, usia, pola makan, pola tidur, tingkat stres, riwayat penyakit penyerta, obat, status vaksinasi dan tingkat paparan virus.

“Status sistem kekebalan tubuh akan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit infeksi. Sehingga bagi orang yang rentan terhadap COVID-19 adalah mereka yang memiliki kekebalan kurang efektif, terutama karena memiliki penyakit penyerta yang kronis, para lansia, ataupun mereka yang sistem kekebalannya menurun dan tidak berfungsi dengan baik” paparnya.

“Faktor lainnya”, menurut Prof. Maksum, “adalah faktor virus SARS-CoV-2 itu sendiri. Virus ini sejak kemunculannya terus bermutasi menghasilkan varian-variannya yang lebih menular dan lebih virulen. Demikian pula dengan subvarian Omicron baru yang terus bermunculan. Adanya berbagai mutasi, terutama pada protein spike (S) virus berpengaruh terhadap interaksi antigen antibodi dalam tubuh seseorang. Saat ini telah terdeteksi sub-varian Omicron yang jauh lebih menular diantaranya adalah sub-varian Omicron BQ.1, BQ.1.1, XBB, dan XBB.1, yang semuanya berasal dari varian Omicron”.

“Apakah antibodi yang terdapat dalam tubuh seseorang mampu mengenali dan mengikat antigen virus SARS-COV-2 dengan berbagai varian dan sub-variannya akan sangat berpengaruh pada perlindungan dan kerentanan sistem kekebalannya”, paparnya.

Prof. Maksum juga menambahkan bahwa berdasarkan berbagai penelitian, telah diketahui bahwa SARS-CoV-2 sangat mahir berevolusi untuk menghasilkan varian virus yang dapat menghindari sistem kekebalan tubuh seseorang. Selain itu, perlindungan kadar antibodi terhadap SARS-COV-2 yang telah terbentuk mengalami penurunan setelah beberapa bulan jika tidak dilakukan vaksinasi ulang berikutnya atau booster vaksin. Dengan demikian ada kemungkinan beberapa orang tertentu yang lebih kecil kemungkinannya terkena COVID-19 karena kekuatan sistem kekebalan mereka.

Upaya Menghadapi Lonjakan Sub-varian Omicron XBB di Indonesia

Prof. Maksum menjelaskan bahwa pada dasarnya upaya pencegahan untuk semua varian dan subvarian SARS-CoV-2 adalah sama, yaitu penerapan protokol kesehatan yang baik dan program vaksinasi. Oleh karena itu, selama kita menerapkan protokol kesehatan dengan baik kita tidak perlu terlalu khawatir terhadap ancaman transmisi Omicron sub-varian XBB maupun varian lainnya. Apabila kita telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 dosis lengkap dan dosis booster, maka risikonya akan lebih ringan ketika terinfeksi.

Prof. Maksum juga mengharapkan agar Kementerian Kesehatan terus menggencarkan vaksin booster, termasuk bagi mereka yang telah menerima vaksin booster pertama, mengingat bahwa penerima booster pertama ini telah dilakukan sekitar 10 bulan yang lalu, sehingga kemungkinan besar sudah terjadi penurunan kadar antibodi netralisasinya.

“Bagi para NOVID, mari kita hadapi COVID-19 ini dengan bijak, karena pandemi belum benar-benar usai. Sebisa mungkin, tetaplah menerapkan protokol kesehatan, terutama jika berada di kerumunan dan tempat umum. Walaupun kita merasa tergolong orang yang NOVID, dengan kita menjaga diri kita, berarti kita juga telah turut menjaga orang-orang di sekitar kita, terutama para Lansia dengan komorbid dan orang yang mungkin lebih rentan daripada kita. Bagi sebagian besar NOVID, sebetulnya merupakan kombinasi dari tingkat sistem kekebalan yang kuat dan gaya hidup bersih dan sehat. Perlu kita syukuri bahwa kita termasuk NOVID, yang bebas dari COVID selama ini. Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua”, tutup Prof. Maksum mengakhiri perbincangan ini.