Tanggal 24 April 2020, hari pertama puasa saat pandemi Covid19 melanda dunia, selepas sholat asyar, aku melihat berita di TV, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi selama Masa Mudik Idul Fitri  1441 H dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid19, judulnya cukup panjang, mengingatkan aku tentang cerita hikmah agama, di salah satu stasiun TV.

Ada dua hal yang menarik yang terkait dengan judul PerMen tersebut, soal terminologi, pertama terkait dengan istilah Mudik, yang saat ini sedang diributkan orang, akupun bingung, kenapa ada keributan ? Hanya gara-gara Presiden Jokowi diwawancarai oleh Najwa Shihab, beliau  membedakan istilah Pulang Kampung dengan “Mudik”. Dan yang kedua, perbedaan istilah antara PSBB dengan Karantina Wilayah.

Tanpa seruput kopi hitam, karena sedang berpuasa, aku mencoba berpikir tentang arti kata “Pulang Kampung” dengan “Mudik, yang membuat kegaduhan sosial di medsos, IG, WA, dan FB bahkan berita-berita online.  Ada yang nyinyir kepada Presiden, ada yang salut memuji Pak Jokowi, ada yang bingung, dan lebih banyak memang yang tidak paham, kenapa harus diributkan ? Ini memang persoalan komunikasi publik dengan segala implikasi turunannya, termasuk dari kacamata hokum.

Bermula dari Mbak Nana (panggilan akrab Najwa Shihab), mempertanyakan bahwa paling tidak ada 1 juta orang yang sudah curi start mudik di akhir-akhir bulan maret kemarin, utamanya dari Jakarta. Presiden pun menjawab bahwa itu bukan “Mudik” , tetapi “Pulang Kampong” mereka kebanyakan adalah pekerja migran ibukota. Alasan Pemerintah memperbolehkan mereka pulang kampong, mengingat kondisi lapangan para pekerja migran ibukota, jika tetap tinggal di Jakarta justru berbahaya saat corona melanda.

Adanya aturan PSBB, dan wabah menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan, tentu keadaanya jadi memprihatinkan, tidak ada pekerjaan, tinggal berdesakan, dan wabah mengancam. Mereka menjadi potensi terkena Covid19 dan menularkannya ke mana-mana. Jika mereka diperbolehkan pulang, Pemerintah daerah setempat, sudah menyiapkan sarana isolasi, minimal aturan untuk melakukan isolasi mandiri di desa-desa, atau kampong tempat mereka berasal.

Bagi sebagian orang (mungkin sebagian besar) , makna kata “Pulang Kampung” dengan “Mudik”, tidak memiliki perbedaan, sebab, esensinya sama, sama-sama kembali ke kampong halaman. Ada yang sampai membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , yang mengartikan bahwa Mudik adalah kembali ke kampong halaman, pulang ke rumah asal.

Rasanya, makna kebahasaan , etimologis, seluruh dunia mirip untuk istilah Pulang Kampung, back home. Makna ini jika dikaitkan dengan waktu , bisa kapan saja terjadinya, dan juga tujuannya dapat bersifat temporer, maupun selamanya, back home for good.

Sementara di Indonesia, ada tradisi pada waktu atau saat tertentu, yaitu ketika musim liburan Hari Raya Iedul Fitri (hanya Iedul Fitri atau Lebaran), orang berbondong-bondong dan bergerak dengan jumlah jutaan orang, utamanya di Pulau Jawa, dari kota-kota menuju desa-desa, atau wilayah pinggiran kota, yang disebut Mudik. Hanya ada di negeri +62, saat Iedul Fitri, orsang sibuk bersilahturahmi, mengunjungi sanak famili, untuk berlebaran. Bahkan, tradisi serupa tidak ditemukan di negeri asal agama Islam, Arab Saudi.

Makin penasaran, menurutku, mestinya dalam materi muatan ketentuan umum Peratursn Menteri memberikan makna “Mudik”, sebab “Mudik” dijadikan definisi normatif dalam judul Peraturan Menteri, demikian juga dalam Pasal 1 ayat 1 yang  menyatakan Pengendalian transportasi selama masa mudik idul fitri tahun 1441 Hijriah dst.

Namun sayangnya, hal itu tidak ada. Akan tetapi, tentu berdasarkan tafsir norma, kata Mudik, selalu diapit kata “Masa” dan “Iedul Fitri”, sehingga secara gramatikal, hal ini menunjukan adanya pengertian tempus, waktu, sehingga Mudik adalah kegiatan tertentu dalam waktu tertentu. Sementara, pulang kampong, meskipun esensinya juga kembali ke kampong halaman, hal ini tidak terikat dengan waktu, serta memiliki tujuan kegiatan yang bermacam-macam, bukan hanya saat lebaran.

Akan tetapi, ada yang lebih menarik di tataran implementasi, ketimbang istilah “Mudik” dan “Pulang Kampung” di tataran praksi. Pertanyaanku : Peraturan Menteri tentang larangan mudik tersebut sesungguhnya dalam ruang lingkup aturan PSBB, atau ada peningkatan pola karantina kesehatan, dari PSBB menjadi karantina wilayah ? Tapi dengan Bahasa yang lebih sopan, yaitu PSBB rasa lockdown, hmm.

Dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “larangan sementara penggunaan sarana transportasi berlaku untuk: transportasi darat; transportasi perkeretaapian; transportasi laut; dan transportasi udara, artinya semua moda transportasi publik diberhentikan sementara, untuk masuk dan keluar di wilayah-wilayah yang memberlakukan aturan PSBB, wilayah Zona merah penyebaran Covid19. Pemberlakuan larangan tersebut berlaku dari 24 April 2020 hari ini, hingga 31 Mei 2020, artinya, sampai habis musim libur hari raya, Iedul Fitri.

Pengecualian larangan sementara penggunaan kendaraan bermotor dikecualikan untuk: kendaraan pimpinan lembaga tinggi Negara Republik Indonesia; kendaraan dinas operasional dengan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dinas, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; kendaraan dinas operasional petugas jalan tol; kendaraan pemadam kebakaran, ambulans, dan mobil jenazah; dan mobil barang dengan tidak membawa penumpang. Namun, tidak dijelaskan, apakah penggunaan, kendaraan itu, hanya untuk berdinas, atau kalau pejabat tersebut justru mau mudik ?

Selanjutnya , pada ketentuan 7 ayat 2, dijelaskan bahwa titik pengecekan (check point) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada lokasi berupa, akses utama keluar dan/atau masuk pada jalan tol dan jalan nontol; terminal angkutan penumpang; pelabuhan penyeberangan; dan pelabuhan sungai dan danau.

Ini artinya, di pintu-pintu masuk wilayah tersebut, sehingga saya berpikir, lalu apa bedanya dengan definisi Karantina Wilayah, dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan(UU Karantina Kesehatan), yang berbunyi ” Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi “.
Banyak teman-teman yang bertanya, apakah ini strictly forbidden, sehingga memang terjadi lockdown teritori ? ataukah, masih menggunakan pola PSBB yang sesungguhnya lebih mengacu kepada pembatasan kegiatan, seperti diatur dalam UU Karantina Kesehatan ? Terdapat kesimpang siuran di masyarakat dalam menafsirkan isi materi muatan Peraturan Menteri Perhubungan tersebut, terutama jika disandingkan dengan Peraturan Gubernur yang mengatur soal PSBB, yang masih memperbolehkan aktifitas transportasi di pintu-pintu masuk.

Secara hirarki, memang Peraturan Gubernur dibawah Peraturan Menteri, namun dalam UU Nomor 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, keduanya harus mendapatkan kewenangan delegasi dulu dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, karena tidak tercantum secara eksplisit dalam hirarki perundang-undangan di pasal 7 UU 12 tahun 2011.

Aku berpikir, ah, saat darurat seperti ini, tidak bisa kita melakukan pendekatan hukum dengan sangat normatif sebagaimana kondisi normal. Kondisi darurat, ya berpikir juga darurat, caranya memberi landasan hokum kedaruratan.

Bisa saja, Presiden meneribitkan Perpu untuk meningkatkan kekuatan legislasi penanganan Covid di level UU, termasuk di sektor kesehatan, seperti model karantina saat ini, jadi tidak melulu bicara aspek ekonomi seperti Perpu Nomor 1 tahun 2020, sehingga terkadang menimbulkan persepsi salah di masyarakat soal prioritas penanganan penyakit Covid19 yang lebih memperhatikan sektor ekonomi ketimbang kesehatan.

Meski demikian saya setuju dengan Presiden yang menyatakan antara sektor kesehatan dan ekonomi berhubungan erat, jika ekonomi ambruk , maka virus corona akan berpesta pora di tubuh-tubuh lunglai , dan lemah akibat tidak makan atau kurang nutrisi gegara ngga punya duit.

Nah, barangkali, perlu Perpu soal karantina kesehatan yang dimodifikasi terhadap ketentuan dalam UU Karantina Wilayah, utamanya menyangkut pemberian kompensasi yang sebaiknya bersifat katagoris, misalnya : mereka yang sangat terdampak, mendapat apa ? yang masih bisa makan karena masih mendapat gaji, diberi apa ? pengusaha-pengusaha juga diatur jatah-jatahnya sesuai kriteria, mereka pengusaha yang sulit bekerja karena ada aturan karantina wilayah, harus bagaimana ? Perpu itu menjelaskan secara katagoris dan solutif pelaksanaan Pasal 55 UU Karantina Wilayah, semua sama haknya dalam perlakuan sesuai proporsi masing-masing, bukankah keadilan itu didasarkan pada kesamaan proporsional. Tidak mungkin , orang yang masih punya penghasilan, diberi jatah sama rata dengan mereka yang sudah megap-megap kelaparan.

Dengan demikian,  aturan dapat dilaksanakan, dan terukur, agar masyarakat tidak kebingungan di jalan terhadap aturan-aturan mengenai pola karantina yang saat ini sepertinya Lockdown teritori, tapi menyebutnya PSBB dan “keributan” istilah Mudik dan Pulang Kampung pun terselesaikan, karena jelas, dua-duanya tidak boleh !

Wasis Susetio
25 April 2020