Winanti Siwi Respati
Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul Jakarta
Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510
[email protected]

 

 

Abstrak

Masa remaja adalah masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa itu remaja sering diliputi oleh banyak ketidaktahuan tentang perkembangan dirinya yang dapat me-nimbulkan problematika tersendiri. Problematika yang banyak dihadapi oleh remaja tidak lain bersumber pada kurangnya informasi tentang perubahan dalam dirinya terutama yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Secara khusus kesehatan reproduksi memang tidak dipelajari di sekolah seba-gai bagian dari kurikulum. Sedangkan di rumah dan di lingkungan, juga tidak banyak informasi ter-buka mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi secara benar. Dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994, telah dirumuskan hak-hak reproduksi yang berlaku bagi setiap manusia tanpa pandang bulu, dan sebagai konsekuensinya, remaja juga mempunyai hak reproduksi sebagaimana yang lain. Belum terpenuhinya hak-hak re­produksi itu mengakibatkan timbulnya masalah dan bahkan petaka (kematian) bagi remaja. Untuk terwujudnya masa depan generasi penerus, maka pemenuhan hak-hak reproduksi remaja tidak dapat ditunda-tunda lagi. Apalagi hasil konferensi ICPD dan MDG’s, mengharapkan di akhir tahun 2015 nanti, minimal 90 persen dari seluruh jumlah remaja sudah harus mendapatkan informasi tentang ke­sehatan reproduksi dan seksual serta hak-hak yang menyertainya. Kalau memang negara komitmen dengan Goals itu, maka negara juga harus memfasilitasi dan bekerjasama dengan berbagai pihak de-mi tercapainya tujuan itu. Agar Goals itu dapat tercapai maka harus diupayakan beberapa tindakan. Pertama, melakukan peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi yang ditun-jang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), dan dilakukan secara proaktif melalui pendidikan formal maupun non formal. Kedua, dalam lingkup kebijakan, pemerintah, para akademisi, organisasi non pemerintah dan masyarakat, harus sepakat untuk tidak mengabaikan hak-hak remaja sehingga masalah ketidaktahuan akan kesehatan reproduksi, aborsi, kehamilan tak dike-hendaki, anemia, angka kematian ibu, dan lain sebagainya dapat dikurangi. Ketiga, penelitian ten­tang kesehatan reproduksi remaja harus lebih banyak dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan remaja dan mengimplementasi undang-undang kesehatan reproduksi yang seharusnya menjadi hak remaja. Keempat, dalam lingkup yang lebih praktis, harus mengadakan pelatihan dan kaderisasi ber­kaitan dengan pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi remaja, dan mulai memasukkan agenda kesehatan reproduksi remaja dan melaksanakannya di setiap bidang pelayanan kesehatan di Indonesia.

Kata Kunci: Remaja, Kesehatan Reproduksi, Hak Asasi.

Pendahuluan   

Suatu hari, seorang remaja kuranglebih berusia 11 tahun dibawa(digotong)menginginkan   pertolongan   segera   daridokter. Berhubung perawatterbatas   dan   sedang   melayani   pasienlainnya, maka segera dibawa masuk ke ruang tindakan dan ditangani oleh dokter. Di luar ruangan, saya bertanya pada orang-tuanya apa yang terjadi, tapi mereka menga-takan tidak tahu apa yang terjadi. Menu-rutnya, mereka panik ketika melihat anak-nya hampir pingsan dengan kondisi berda-rah-darah. Mereka semakin panik karena anaknya tidak menjawab sewaktu ditanya apa yang terjadi. Keputusan pertama yang dipikirkan adalah membawa segera anaknya ke layanan kesehatan terdekat. Apa yang terjadi? Ternyata remaja itu mendapatkan menstruasi pertama kalinya. Solusi segera secara sederhana yang diberikan oleh dokter adalah memberinya pembalut, resep vitamin dan konsultasi tentang kesehatan reproduksi terhadap remaja dan orang tuanya.

Kasus lainnya, seorang remaja putri berjilbab, berusia kurang lebih 18 tahun, da-tang ke sarana kesehatan diantar temannya dengan keluhan sudah empat bulan tidak menstruasi. Remaja itu kelihatan pucat dan ingin mengetahui mengapa dirinya tidak menstruasi lagi, padahal sebelumnya selalu lancar. Setelah diperiksa dokter, akhirnya remaja itu diminta untuk cek urine (tes ke-hamilan). Hasilnya adalah positif hamil. Re­maja itu tidak menyangka bahwa dirinya hamil karena tidak mengetahui tanda-tan-danya. Temannya pun demikian, sama-sa-ma tidak mengetahui. Remaja yang hamil itu nampak terkejut dan kebingungan. Keta-kutan melanda dirinya akan kemarahan orang tuanya, dan malu menghadapi teman-temannya. Tentang kehamilannya, dia me-ngatakan tidak tahu apa yang akan dila-kukannya. Dia memikirkan hal-hal terburuk akan terjadi pada dirinya, dan berharap pa-carnya mau bertanggung jawab. Dia juga menanyakan kepada dokter kemungkinan untuk pengguguran kandungan. Berhubung orang tuanya tinggal di kota yang berbeda, dia berencana tidak akan memberitahukan orangtuanya terlebih dahulu, sebelum pa-carnya mau bertanggung jawab.Permasalahan yang dihadapi oleh remaja di atas adalah persoalan perubahan di dalam dirinya yang terkait dengan kese­hatan reproduksi. Secara khusus kesehatan reproduksi memang tidak dipelajari di se-kolah sebagai bagian dari kurikulum. Se-dangkan di rumah dan di lingkungan, mungkin juga tidak banyak informasi ter-buka mengenai hal-hal yang berkaitan de­ngan kesehatan reproduksi secara benar. Sampai saat ini pun masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi re­maja putri masih cukup banyak. Selain dua kasus di awal, masih ada aborsi tidak aman (unsafety abortion), kematian karena melahirkan pada usia muda, ketidakwas-padaan terhadap penyakit menular seksual, kasus HIV/AIDS yang terus meningkat, serta diskriminasi gender yang seringkali meminggirkan dalam banyak hal, baik da­lam pendidikan (wawasan), pelayanan ke­sehatan, dan lainnya.

Menarik untuk dijelaskan bagai-mana permasalahan itu dapat terjadi pada remaja, seberapa penting informasi kese­hatan reproduksi bagi remaja dan bagai-mana akses para remaja terhadap infor­masi itu?

Pembahasan

Menurut Santrock (2003), remaja (adolescence) diartikan sebagai masa per-kembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun. Perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi sek­sual, proses berfikir abstrak sampai pada kemandirian.
Dalam dunia hukum, konsep “re­maja” tidak dikenal dalam sebagian un-dang-undang   yang   berlaku.   Hukum   diIndonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa walaupun batasan yang diberikan untuk itu pun bermacam-macam. Misalnya, hukum perdata memberikan batas 21 tahun atau kurang dari itu asalkan sudah menikah untuk menyatakan seseorang telah dewasa. Hukum pidana memberi batasan 18 tahun atau kurang dari itu asalkan sudah menikah sebagai batasan usia dewasa. UU no 23/ 2002 tentang perlindungan anak membatasi usia anak adalah sebelum 18 tahun. Se-dangkan UU no 1/1974 tentang perkawinan membolehkan usia 16 tahun untuk menikah dan dianggap sudah dewasa.

Terlepas dari batasan usia kronolo-gis, masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dalam segala aspek, baik biologis, psikologis mau-pun sosial. Masa transisi ini adalah hal yang sulit bagi remaja, dimana proses perubahan di dalam tubuh sedang berlangsung. Ada proses perubahan biologis antara lain peru­bahan hormon, khususnya hormon repro-duksi. Juga ada perubahan psikologis yang dipengaruhi oleh pergaulan di lingkungan. Perubahan-perubahan ini membuat kehidu-pan remaja menjadi sulit dan rawan. Seiring perkembangan biologis, mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan so­sial yang saling bertentangan.

Remaja yang sedang berada pada masa sulit, tidak pasti dan cenderung labil, mudah sekali terpengaruh informasi global melalui media audio-visual yang semakin mudah diakses, namun minim informasi ke­sehatan reproduksi. Dengan informasi akan kesehatan reproduksi yang terbatas dan per­kembangan emosi yang masih labil, remaja dihadapkan pada kebiasaan yang tidak sehat seperti seks bebas, merokok, minum-mi-numan beralkohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang. Adaptasi kebiasaan itu, seiring dengan alat-alat reproduksi re­maja yang mulai berfungsi, pada akhirnya hanya akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang beresiko tinggi.
Jenis resiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dengan anak-anak maupun orang dewasa. Jenis resiko kesehatan re­produksi yang harus dihadapi remaja antara lain kehamilan dini maupun keha-milan yang tidak diinginkan, aborsi, pe-nyakit menular seksual (PMS), kekerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kese­hatan. Resiko ini dipengaruhi oleh berba-gai faktor yang saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk menikah muda dan hu-bungan seksual, akses yang rendah terha­dap pendidikan dan pekerjaan, ketidak-setaraan gender, kekerasan seksual dan pe-ngaruh media massa maupun gaya hidup remaja.

Remaja juga kekurangan infor­masi dasar mengenai keterampilan mene-gosiasikan hubungan seksual dengan pasa-ngannya. Mereka juga memiliki kesem-patan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pa­da akhirnya akan mempengaruhi pengam-bilan keputusan dan pemberdayaan mere­ka untuk menunda perkawinan dan keha­milan serta mencegah kehamilan yang ti­dak dikehendaki. Bahkan pada remaja di pedesaan, menstruasi pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka pada resiko kehamilan dan persalinan dini.

Keterbatasan pengetahuan dan in­formasi tentang kesehatan reproduksi orang tua juga dapat menjadi pencetus pe-rilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja. Hal ini berawal dari sikap orang tua yang menabukan pertanyaan remaja tentang fungsi dan proses reproduksi, serta penyebab rangsangan seksualitas. Orang tua cenderung risih dan tidak mampu memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi itu. Tiadanya informasi dari orang tua membuat remaja mengalami kebingu-ngan akan fungsi dan proses reproduksinya. Ketakutan kalangan orang tua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu per-kembangan organ reproduksi dan fungsinya akan mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah, justru mengaki-batkan remaja diliputi oleh ketidaktahuan atau mencari informasi yang belum tentu benar, yang pada akhirnya justru dapat menjerumuskan remaja kepada ketidakse-hatan reproduksi.
WHO mendefinisikan kesehatan re­produksi sebagai keadaan sejahtera secara fisik, mental dan sosial yang bukan karena ketiadaan penyakit dan kecacatan, yang ber-kaitan dengan sistem, fungsi dan proses-prosesnya (Saparinah Sadli, dkk. 2006). Dari definisi itu nampak bahwa masalah kesehatan reproduksi adalah masalah yang menyeluruh, luas dan saling terkait.

Kesehatan reproduksi harus dipa-hami dan dijabarkan sebagai siklus kehi-dupan (life cycle) mulai dari konsepsi sampai mengalami menopause dan menjadi tua. Hal ini berarti menyangkut kesehatan balita, anak, remaja, ibu usia subur, ibu hamil dan menyusui, dan ibu yang me­nopause. Setiap tahap dalam siklus kehi-dupan itu memiliki keunikan permasalahan masing-masing, namun juga saling terkait dengan tahap lainnya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi dalam siklus itu, di antaranya kemiskinan, status sosial yang rendah, diskriminasi, ku­rangnya pelayanan dan pemeliharaan ke­sehatan, pendidikan yang rendah, dan kehamilan usia muda. Setiap faktor akan membawa dampak bagi kesehatan repro­duksi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kesehatan reproduksi juga sangat penting karena sangat kompleks. Alat re­produksinya sendiri berada di dalam, ber-beda halnya dengan laki-laki yang lebihnampak di luar. Oleh karenanya, tanda-tanda yang keluar berkaitan dengan kese­hatan reproduksi sering disikapi tidak serius oleh medis, misalnya keputihan yang dianggap sebagai hal yang biasa, padahal bisa saja merupakan tanda-tanda ketidaksehatan yang serius. Di masyarakat juga banyak pantangan atau mitos, serta kebijakan-kebijakan pengaturan kepen-dudukan yang dibebankan pada rahim , sehingga tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri. Kompleksnya kesehatan repro­duksi menuntut pemahaman yang kom-prehensif dan menuntut dirumuskannya hak-hak kesehatan reproduksi .

Sesuai kesepakatan dalam Kon-ferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994, akhirnya dirumuskan hak-hak re­produksi yang berlaku bagi setiap manusia tanpa pandang bulu. Sebagai konse-kuensinya, remaja juga mempunyai hak reproduksi sebagaimana yang lain. Hak remaja atas kesehatan reproduksi mulai diakui secara internasional pada Konvensi Hak-hak Anak tahun 1989. Sebagai tindak lanjutnya, hak reproduksi remaja dibahas sangat mendalam pada International Youth Forum yang diadakan di Den Haag bulan Februari 1999 dan diikuti oleh 132 peserta remaja dari seluruh dunia. Forum ini secara khusus menekankan perlunya keikutsertaan remaja dalam seluruh kebi-jakan politis yang mempengaruhi kehi-dupan mereka, mulai dari segi desain, implementasi sampai evaluasi, serta men-desak diprioritaskannya alokasi dana dan sumber-sumber bagi kesehatan reproduksi remaja.

Dalam UU No.7 tahun 1984 ten-tang Konvensi Penghapusan Segala ben-tuk Diskriminasi terhadap (CEDAW) ter-cantum hak-hak asasi. Negara wajib men-jamin perkembangan dan kemajuan untuk menikmati hak asasi manusia (pasal 3), wajib memberantas   segala bentuk perdagangan dan eksploitasi pelacuran (pasal 6), dan wajib mengurangi angka putus se-kolah anak dan penyelenggaraan program untuk anak-anak sebelum waktunya me-ninggalkan sekolah (pasal 10). Dinyatakan juga bahwa berhak memperoleh pene-rangan edukatif yang berkaitan dengan hak reproduksinya, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi. juga ber­hak memperoleh penerangan, pendidikan dan sarana-sarana yang berkaitan dengan hak reproduksi (pasal 16).

Melihat pasal-pasal di atas, sebagai remaja putri, mereka memiliki hak asasi yang harus diperjuangkan untuk terjamin terpenuhinya hak-hak atas kesehatan repro­duksinya. Untuk itu remaja putri harus me-ngetahui dan memperjuangkan hak-hak yang berkaitan dengan kesehataan repro­duksinya, yang antara lain adalah: 1) hak memperoleh akses pelayanan kesehatan, mengingat banyaknya pelayanan kesehatan reproduksi yang diprioritaskan bagi orang dewasa, sehingga remaja seringkali terabaikan; 2) hak untuk mendapatkan pen­didikan tanpa ada diskriminasi jender serta informasi atas kesehatan reproduksinya; 3) hak untuk bebas dari paksaan pernikahan usia muda karena berdampak buruk bagi perkembangan fisik, mental dan sosialnya; 4) hak atas akses informasi dan pelayanan kontrasepsi, pelayanan pra dan pasca mela-hirkan tanpa memandang status perka-winan; 5) hak untuk terhindar dari resiko aborsi yang tidak aman, dan mendapatkan akses pelayanan yang aman, dalam hal kehamilan yang tidak diinginkan yang membahayakan kehidupan remaja; 6) hak atas informasi yang berkaitan dengan in-feksi menular seksual, sehubungan dengan faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka seperti adanya kekerasan dan eksploitasi seksual, kurangnya pendidikan termasuk pendidikan seksual dan kurangnya akses terhadap kontrasepsi dan layanan ke­sehatan   reproduksi;   7)   hak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari keta-kutan akan ancaman kekerasan seksual yang dilakukan baik oleh sesama remaja sendiri maupun oleh orang dewasa.
Remaja perlu memahami hak-hak reproduksinya agar menyadari bahwa pe-megang kendali utama atas tubuhnya ada­lah dirinya sendiri, bukan orang lain. Se­perti yang dikatakan oleh feminisme ra-dikal bahwa otonomi itu penting. Apapun yang berhubungan dengan tubuh adalah politik (personal is political). Dengan me­nyadari hak-hak reproduksi, remaja tidak akan mudah menjadi korban atas berbagai paksaan yang menyangkut tubuh dan mentalnya, sehingga dapat memperjuang­kan dan membela diri dari orang lain yang akan melanggar haknya.

Dalam kebanyakan kasus remaja di Indonesia, mereka belum banyak yang menyadari akan hak reproduksi yang harus diperjuangkannya. Misalnya hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa ada diskri­minasi jender serta informasi atas kese­hatan reproduksinya. Jika harus memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki atau, suatu keluarga yang ekonominya pas-pa-san biasanya akan memilih anak laki-la-kinya yang bersekolah. Anak biasanya menerima saja disuruh berhenti sekolah dan segera menikah.

Feminisme liberal melihat diskri­minasi terhadap kebebasan menjadi dasar terjadinya penindasan. Dalam hal ini, keti-dakbebasan remaja mengeksplorasi diri, sulitnya memeroleh informasi dan kesem-patan pendidikan, baik secara umum mau­pun yang berkaitan dengan kesehatan re­produksi, membuat remaja kekurangan wawasan dan akhirnya terabaikan hak-haknya, termasuk hak atas kesehatan re­produksinya.

Kebijakan negara yang cenderung mengabaikan kebutuhan kesehatan repro­duksi remaja, merupakan jawaban atas ketidaktahuan dan kebingungan remaja.Remaja tidak mengetahui harus bertanya dan memperoleh informasi darimana, dari siapa, boleh-atau tidak dan sebagainya. Se-bagai contoh, kondisi menstruasi yang membuat remaja hampir pingsan adalah karena kondisi kekurangan darah, dan hal ini dapat berhubungan dengan kekurangan gizi pada remaja itu. Mengapa remaja ke­kurangan gizi? Jika dirunut maka akan sampai juga pada adanya sistem yang lebih mengutamakan laki-laki, bahkan dalam hal pemberian gizi. Mungkin juga karena ketidaktahuan (kurangnya pendidikan) bah-wa seharusnya memperoleh hak yang sama dengan laki-laki dalam segala hal termasuk perolehan gizi. Bahkan, seharusnya perem-puan mendapatkan gizi lebih karena ke-butuhan yang berbeda dan kondisi yang mengalami menstruasi sehingga kehilangan banyak darah bersih. Dengan gizi yang memadai maka memungkinkan terhindar dari anemia.

Kondisi kehamilan yang mungkin tidak dikehendaki, sangat berkaitan dengan rendahnya kualitas pendidikan dan ren-dahnya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi bagi. Mudanya usia dalam ke­hamilan tidak menutup kemungkinan akan menjadi petaka bagi remaja itu. Selain ti­dak dapat melanjutkan pendidikan, yang berdampak pada rendahnya akses ekonomi yang akan menuju pada kemiskinan, juga harus menghadapi kehamilan yang mem-bawa problem tersendiri. Problem keha­milan di luar nikah dapat sangat luas, mem-butuhkan kondisi fisik, mental dan sosial yang kuat untuk menghadapinya. Mulai dari penerimaan cemoohan dari lingkungan ka­rena norma perkawinan yang dianut, ke-marahan orang-orang yang tidak memahami kondisi remaja, sampai dengan pertaruhan kondisi fisik ketika harus melahirkan dan kemungkinan resiko besar terkena kanker seviks akibat melakukan hubungan seksual pada usia muda.

Kesimpulan

Problematika yang dihadapi oleh remaja tidak lain bersumber pada kurang­nya informasi tentang kesehatan repro­duksi. Dalam masa transisi dari anak me­nuju dewasa, remaja membutuhkan infor­masi berkaitan dengan perubahan-peru-bahan dalam dirinya, baik secara fisik, mental maupun sosial, yang tidak terlepas dari fungsi, proses dan sistem repro-duksinya. Remaja putri yang tidak paham tentang kesehatan reproduksi, bagaimana pun terkait dengan sistem di lingkungan yang lebih meminggirkan dalam banyak hal.

Sebenarnya remaja memiliki jami-nan perlindungan atas kesehatan repro­duksi dan hak atas reproduksinya. Keti­daktahuan, ketidakpahaman dan belum terpenuhinya hak-hak reproduksi itu me-ngakibatkan timbulnya masalah dan bah­kan petaka (kematian) bagi remaja. Pada, hal ini dapat membawa dampak pada kua­litas generasi selanjutnya karena adalah penerus keturunan.

Sebenarnya banyak hal dapat dila-kukan untuk memenuhi hak-hak kesehatan reproduksi remaja. Tentu saja hal ini dise-suaikan dengan kebutuhan masa remaja akan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai.
Sebagai langkah awal pencega-han, dapat dilakukan peningkatan pengeta-huan remaja mengenai kesehatan repro­duksi yang ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang segala hal yang berkai­tan dengan kesehatan reproduksi remaja. Bahkan mungkin tidak harus menunggu remaja memanfaatkan sarana layanan ini, tetapi dapat secara proaktif menghampiri para remaja, dan menyosialisasikan hak-hak atas kesehatan reproduksinya, melalui pendidikan formal maupun non formal.

Dalam lingkup kebijakan, peme-rintah, para akademisi, organisasi non pemerintah dan masyarakat yang lebih dulu memahami dan menyadari hak-hak atas kesehatan reproduksi harus sepakat untuk tidak mengabaikan hak-hak remaja, sehing-ga masalah ketidaktahuan akan kesehatan reproduksi, aborsi, KTD, anemia, AKI, dan lain sebagainya dapat dikurangi. Penelitian-penelitian terhadap kesehatan reproduksi remaja harus lebih banyak dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan remaja dan mengimplementasi undang-undang keseha­tan reproduksi yang seharusnya menjadi hak remaja.

Dalam lingkup yang lebih praktis, harus mengadakan pelatihan dan kaderisasi berkaitan dengan pemenuhan hak-hak ke­sehatan reproduksi remaja, dan mulai me-masukkan agenda kesehatan reproduksi re­maja dan melaksanakannya di setiap bi-dang pelayanan kesehatan di Indonesia, tan-pa ada diskriminasi lagi. Sarana pelayanan kesehatan harus mulai dilengkapi sesuai kebutuhan remaja berkaitan dengan hak-hak kesehatan reproduksinya. Youth-Youth Center yang ada di Indonesia sebaiknya mulai memperluas diri untuk merangkul semua remaja tanpa kecuali, dengan infor­masi yang benar dan akurat. Untuk itu, ten-tu dibutuhkan kerjasama dan dukungan dari segenap pihak, mulai dari microsystem dimana remaja berinteraksi secara langsung yakni keluarga, mesosystem yang biasanya melibatkan lingkungan yang lebih luas seperti di sekolah dan organisasi atau klub-klub, macrosystem yang melibatkan media informasi dan pengaruh kultur yang lebih luas, bahkan mendunia.
Dengan kerjasama dan niat yang baik untuk kebaikan remaja kita, dan untuk terwujudnya masa depan generasi penerus, maka pemenuhan hak-hak reproduksi re­maja tidak dapat ditunda-tunda lagi. Apa-lagi hasil konferensi ICPD dan MDG’s, mengharapkan di akhir tahun 2015 nanti, minimal 90% dari seluruh jumlah remaja sudah mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual serta hak-hak yang menyertainya. Kalau memang negara komitmen dengan Goals ini, maka mau tidak mau negara juga harus memfasilitasi dan bekerjasama dengan berbagai pihak demi tercapainya tujuan itu.

Daftar Pustaka
Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, “Hak Asasi, Instrumen Hukum Untuk Mewu-judkan Keadilan Gender”, Yaya-san Obor, Jakarta, 2007.

Sadli, Saparinah; A.Rahman; A. Habsjah, “Implementasi Pasal 12 Undang-undang Nomor 7 tahun 1984, Pe­layanan Kehamilan, Persalinan dan Pasca Persalinan”, Kelompok Kerja
Convention Watch Univer-sitas Indonesia. Surviva Paski, Yogyakarta, 2006.

Sarwono, Sarlito Wirawan, “Psikologi Remaja”, Ed. Revisi 9, RajaGrafindo    Persada,    Jakarta,
2005.

Santrock, John W, “Adolescence, Perkem-bangan Remaja”, Ed.ke-6. Terj. oleh Shinto B. Adelar & Sherly Saragih, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2003.

Tong, Rosemarie Putnam, “Feminist Thought. Pengantar Paling Kom-prehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis”, Terj. oleh Aquarini Priatna Prabasmoro, Jalasutra, Yogyakarta, 2005.

Wahyuni, Budi., F.Sustiwi. “Remaja dan Lajang: Hak yang Terbuang”. Jurnal No. 53. hal 91-100, Yaya-san Jurnal, Jakarta, 2007.