PERAN PR MENERAPKAN MANAJEMEN KRISIS DALAM MEMULIHKAN CITRA PT.GARUDA INDONESIA PASCA KECELAKAAN PESAWAT BOEING G.737/400 DI YOGYAKARTA

 

Kiki Handayani1, Erman Anom1

1Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Esa Unggul, Jakarta

Jl. Arjuna Utara Tol Tomang-Kebun Jeruk, Jakarta 11510

[email protected]

 

Abstrak

Krisis adalah sesuatu yang paling ditakuti oleh perusahaan, karena bisa menghancurkan reputasi perusahaan. krisis ini datangnya tidak dapat diketahui, melainkan secara tiba-tiba. Tetapi krisis tidak semuanya mendatangkan bahaya, sebaliknya mendatangkan peluang untuk memajukan perusahaan. Ini semua tergantung dengan bagaimana cara menanganainya. Dengan melakukan pengelolaan manajemen krisis yang tepat, maka krisis bisa dijadikan peluang untuk lebih baik. Seperti penanganan yang dilakukan humas Garuda Indonesia dengan sangat maksimal. Dalam mengelola krisis ini humas Garuda Indonesia melakukan jenis krisis bersifat segera, dan tahapan yang digunakan terkait dengan tipe krisis tersebut adalah masuk kedalam tahap akut. Tahap ini merupakan sudah cukup berat, karena dalam kecelakaaan tersebut memakan jumlah korban yang meninggal cukup banyak. Selanjutnya barulah dimulai tahap mengelola krisis. Terlebih dahulu mengidentifikasi serta menganalisisnya sampai pada pemulihan citra. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui Manajemen Krisis di PT Garuda Idonesia, selain itu juga untuk mengetahui Strategi manajemen krisis , serta untuk mengetahui Peran Humas dalam mengelola krisis manajemen tersebut. Hasil penelitian yang diperoleh adalah Pengelolaan PR dalam melakukan penanganan krisis tersebut sangat baik. Walaupun langkah­langkah strategi yang terdapat dalam teori tidak sepenuhnya dilakukan oleh humas Garuda. Dengan hasil penanganan yang maksimal humas Garuda sudah menjalankan perannya dengan baik, yaitu dapat membantu perusahaan untuk menciptakan kondisi perusahaan yang sedang mengalami krisis menjadi kembali sedia kala.

 

Kata kunci: manajemen krisis, citra, kecelakaan pesawat

 

Pendahuluan

Garuda Indonesia merupakan maskapai penerbangan pertama di Indonesia dan berhasil menguasai pangsa penerbangan hingga go Internasional. Berbeda dengan banyak perusahaan penerbangan lainnya, Garuda Indonesia dilahirkan di tengah kancah perjuangan bangsanya. Lahir pada masa mempertahankan untuk mengisi kemerdekaan. Bermula dari sebuah pesawat Dakota di tahun 1948, Garuda Indonesia kini memiliki 73 armada pesawat terbang, membuatnya terbesar di Asia Tenggara. Menghubungkan setiap Ibu kota propinsi dan melayani penerbangan teratur kelima benua di dunia. Sehingga Dalam waktu yang cukup lama, hingga sampai detik sekarang ini, Garuda Indonesia berhasil mempertahankan visi  dan misinya, sehingga dapat menjadi pilihan utama bagi penumpang di kelas affluent dan high networth, yaitu melayani segmen pasar masyarakat kelas menengah keatas dengan mengutamakan layanan yang prima dan unik.

PT. Garuda Indonesia selalu memberikan citra yang positif di mata khalayaknya, terutama untuk memuaskan pelanggan yang selalu setia terbang menggunakan jasa penerbangan Garuda Indonesia dalam menomersatukan pelayanan. Contohnya PT. Garuda Indonesia selalu memberikan produk mengenai layanan terbaru untuk menambah kenyamanan bagi pelanggan Garuda. Selain itu juga Garuda Indonesia Dalam mempertahankan Citranya  yang baik, PT. Garuda Indonesia selalu menciptakan hubungan yang baik antara pihak internal, diantaranya selalu melakukan komunikasi yang baik antara karyawan dengan pimpinan, serta saling mendukung antara unit yang satu dengan yang lainnya dalam membangun Citra Garuda Indonesia. Sedangkan eksternalnya Garuda Indonesia selalu menjalin hubungan baik dengan pihak luar dan stakeholdersnya, diantaranya Humas Garuda Indonesia selalu mengadakan kerja sama dengan perusahaan lain. Selain itu juga pihak humas Garuda Indonesia selalu menjaga hubungan baik dengan pers dan juga kepada publik,terutama pelanggan. Misi Inilah yang dijalankan PT. Garuda Indonesia guna terciptanya citra yang positif dimata khalayaknya, Sebagai Penerbangan no satu di Indonesia yang berdaya saing Internasional.

Kondisi pada saat sebelum terjadinya krisis di Garuda Indonesia,terutama di ruang lingkup Humasnya,pada setiap harinya kondisi suasananya sangat harmonis, melainkan biasabiasa saja, karena masing-masing bagian sudah mempunyai tugasnya sendiri, melainkan tidak ada tanda-tanda apapun ketika akan mengalami krisis. Tapi serentak Garuda Indonesia, terutama pihak humasnya sangat terkejut, ketika diberitahukan kabar yang sangat menyedihkan pada tanggal 7 Maret 2007, Tragedi Accident pesawat Garuda Indonesia kembali terjadi, suasana diruangan humas yang tadinya sangat tenang, ketika dikabarkan berita Accident tersebut, suasanapun langsung berubah seketika menjadi hiruk pikuk, melainkan semua pihak garuda dibikin sibuk, terutama humasnya tingkat kesibukan menjadi meningkat dalam menghadapi krisis tersebut, dalam mencari informasi yang akurat mengenai accident tersebut. kini PT. Garuda Indonesiapun kembali berduka. Pesawat Garuda Indonesia berjenis Boeing 737/400 jurusan Jakarta – Jogya dengan nomor penerbangan GA-200 bergistrasi PK-GZC, yang diterbangkan oleh Capt. M. Marwoto Komar tersebut, Terbakar di Bandara Adi Sucipto Jogyakarta dengan membawa 133 penumpang dan 7 awak kabin. Diantaranya penumpang yang tewas berjumlah 22 penumpang, dan 4 zenazah diantaranya warga Asing (WNA), sedangkan penumpang yang lainnya mengalami cedera dan luka-luka, hingga diantaranya ada yang dirawat di Rumah Sakit Bethesda, RS Panti Rapih, dan RS dr Sardjito. Dari kecelakaan yang menimpa Garuda tersebut, banyak munculnya spekulasi, diantaranya banyak mengatakan bahwa penyebab kecelakaan tersebut adalah campur tanggan manusia yang tidak bertanggung jawab (Human Eror), melainkan dugaan sabotase adanya unsur terorisme. Dugaan sabotase muncul, karena di dalam pesawat ada 8 warga Australia yang hendak mengikuti kunjungan Alexander Downer ke Jogyakarta.

Adanya dugaan sabotase tersebut langsung dibantah oleh ketua Federasi Pilot Indonesia (FPI) Manotar Napitupuluh, yang mengatakan, bahwa kemungkinan adanya dugaan sabotase atau aksi terorisme sangat kecil. Sebab, sistem pengamanan di bandara sangat ketat bahkan berlapis-lapis. Mulai dari pintu keberangkatan, gerbang boarding, maupun saat masuk ke gate menuju pesawat.”Demikian pula untuk masuk ke area bandara, termasuk apron, sangat ketat. Jadi kemungkinan adanya sabotase sangat kecil. Ketika kecelakaan Pesawat GA 200 terjadi, ada salah satu saksi mata yang melihat munculnya asap sebelum (bouncing) tiga kali, sehingga mesin kanan pesawat menyentuh landasan dan menimbulkan percikan api. Pesawat kemudian kehilanggan keseimbangan dan terperosok ke sawah di sekitar bandara, mesin kanan pesawat terlepas. Seketika itu pun api berkobar dahsyat dalam hitungan menit dan para penumpang panik luar biasa. Sebagian besar penumpang lolos dari maut setelah berhasil keluar dari pintu darurat didekat sayap pesawat. Namun puluhan orang yang hendak lewat pintu depan pesawat justru terjebak sehingga tewas terbakar. Penyebab terjadinya kecelakaaan GA 200 itu kemungkinan kecepatan pesawat yang menjadi faktor kecelakaan itu. Menurut “Profesor Heat dari Universitas South Australia, pesawat mendarat tanpa kerusakan dan kemungkinan kelebihan kecepatan menjadi penyebabnya.

Mengenai kecelakaan (accident) yang dialami PT. Garuda Indonesia tersebut menaruh luka yang sangat mendalam bagi masyarakat Indonesia seluruhnya, terutama bagi keluarga korban, dari Accident tersebut masyarakat banyak bertanya-tanya, Mengapa accident ini bisa terjadi kepada Garuda Indonesia yang sebelumnya terkenal dengan image sebagai maskapai penerbangan yang paling aman dan no satu di Indonesia. Kini kepercayaan Masyarakat Indonesia terhadap Garuda telah luntur, melainkan masyarakat Indonesia menjadi sedikit trauma untuk menggunakan jasa penerbangan Garuda Indonesia. Menurut berita dari surat kabar Investor Daily”…. Garuda Indonesia dicitrakan sebagai perusahaan penerbangan paling aman. Meski tarif diatas rata-rata penerbangan swasta, Garuda tetap menjadi prioritas penumpang berduit karena citra ‘best safety’ itu. Kecelakaan kemarin pagi di Yogyakarta itu boleh jadi memupuskan semua kesan positif tentang Garuda sebagai maskapai penerbangan paling aman, melainkan kini tidak ada lagi maskapai penerbangan nasional yang menyandang citra Aman….” ( Daily, 8/03/07 : 4 ). Kini masyarakat Indonesia semakin dibuat bingung oleh maskapai penerbangan, karena penerbangan yang terbilang paling amanpun seperti Garuda Indonesia bisa mengalami nasib tragis seperti ini. Citra Garuda Indonesia kini buruk dimata masyarakat, lalu langkah apa yang akan di lakukan Garuda Indonesia selanjutnya. Akankah Garuda Indonesia berhasil memulihkan Citra yang dinilai  buruk menjadi baik lagi di mata khalayaknya ?

Musibah GA-200 tersebut memunculkan dugaan tentang kondisi pesawat yang tidak bagus.Pujobroto, selaku Kepala Komunikasi Garuda Indonesia menjamin bahwa GA-200 itu dalam kondisi laik terbang serta sudah menjalani perawatan sesuai regulasi dan standarinternasional. Selain menjalani perawatan rutin, pesawat GA-200 juga menjalani perawatan jam terbang. Pesawat GA-200 yang bergabung dengan Garuda sejak 10 oktober 2002 itu telah menjalani semua cek. Kepala Komunikasi Garuda Indonesia mengatakan, perawatan A Check terakhir dilakukan pada 7 Februari 2007 di Denpasar dengan jam terbang 3.960. Berdasarkan data terakhir pada 31 Oktober 2006, pesawat GA­200 telah menempuh 34.112 jam penerbangan atau setiap tahun rata-rata menempuh 2.441 jam terbang. Pesawat ini pertama kali digunakan oleh Aloha Airlines di Hawaii pada November 1992. pesawat kemudian digunakan oleh Star Europe pada 23 April 1996. kurang dari satu tahun, pada 28 November 1997, pesawat ini kemudian dikembalikan ke pusat pemeliharaan General Electric di AS. Selanjutnya pesawat dioperasikan oleh Jet Airways (India) hingga 21 Oktober 1999 dengan nomor seri VT-JAP, sebelum dibeli oleh perusahaan penjualan pesawat Aircraft Finance Trust. Pesawat ini kemudian dipakai kembali oleh Jet Airways hingga 9 mei 2002.

Pasca terjadinya accident tersebut secara tidak langsung Citra Garuda Indonesia tercoreng dimata khalayaknya, untuk itu upaya-upaya yang dilakukan Humas Garuda Indonesia dalam menangani acident tersebut adalah ketika krisis itu muncul, tentunya banyak ketidakpastian muncul atau spekulasi, untuk itu pihak humas harus mengklarifikasinya, melainkan kondisi seperti itu harus segera ditritmen/ditangani secara bertahap, setelah melakukan tritmen baru muncul penjelasan, misalnya dari sumber data yang dikumpulkan humas memastikan data tersebut akurat atau tidak. Dan tiap hari setelah accident tersebut humas mengeluarkan berita pers, mengenai data terbaru dari accident tersebut. Dan yang paling mendasar ketika accident itu terjadi adalah pihak humas harus benar-benar mencari sumber data yang akurat, yang benar-benar informasi yang didapat bisa dipertanggungjawabkan, selain itu pihak humas juga mencari tahu kenapa terjadinya accident tersebut, gimana terjadinya, apakah ada korban jiwa, ada berapa korban jiwa yang selamat atau tidak. Garuda Indonesia merasa bersalah, untuk itu pihak Garuda Indonesia memberikan uang simpati kepada semua penumpang Garuda Indonesia yang selamat 25 juta rupah, sedangkan bagi korban meninggal dunia, untuk keluarga korban diserahkan uang sebesar 600 juta rupiah.

Sedangkan Upaya yang dilakukan Humas Dalam Pemulihan citra Garuda Indonesia dalam menerapkan manajemen krisis terhadap accident GA 200 tersebut, Pihak humas termasuk sangat siap sekali ketika menghadapi accident itu tertjadi, sehingga penanganannya pun terbilang sangat cepat. Dan untuk memulihkan citra tersebut, tentunya pihak humas berupaya untuk menggunakan pilihan Strategi yang tepat dan mantap dalam menangani krisis manajemen, guna mengembalikan citranya yang positif di mata khalayaknya.

Fokus Penelitian

Dengan adanya musibah terjadinya accident Pesawat Boeing 737/400 di Jogyakarta itu, PT. Garuda indonesia mengalami krisis Manajemen yang dapat menjatuhkan Citra  Garuda Indonesia dimata publik. Sebelum accident naas ini terjadi Garuda Indonesia dicitrakan sebagai perusahaan penerbangan paling aman. Meski tarif jauh lebih mahal dibandingkan dengan penerbangan swasta lainnya, Garuda Indonesia tetap menjadi prioritas pilihan utama penumpang berkelas. Setelah terjadinya kecelakaan tersebut citra Garuda Indonesia tercoreng. Banyak publik yang kecewa dan merasa prihatin atas musibah yang menimpa Garuda Indonesia. sebelum terjadinya accident tersebut masyarakat menilai citra Garuda Indonesia yang paling baik dalam soal pelayanannya bila dibandingkan dengan maskapai penerbangan yang ada di Indonesia. Dan setelah Accident itu terjadi kepercayaan masyarakat terhadap citra Garuda Indonesia telah hilang sebagai maskapai penerbangan yang paling aman. Sehingga masyarakat merasa takut untuk menggunakan pesawat terbang.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka tujuan penulis meneliti studi kasus ini, yaitu :

  1. Untuk mengetahui Manajemen Krisis di PT. Garuda Indonesia
  2. Untuk mengetahui Stategi Manajemen Krisis apa yang digunakan PT. Garuda Indonesia
  3. Untuk mengetahui Peran Humas dalam Manajemen Krisisi di PT.Garuda Indonesia

Manajemen Krisis

Pada hakeketnya PR dan public Affairs adalah kegiatan mengantisipasi, berusaha melihat kejadian apa yang akan terjadi di masa mendatang. Juga untuk melihat kecenderungan dan isu yang bisa berkembang sehingga merusak hubungan yang penting. Krisis menciptakan perusahaan dalam posisi menjadi perhatian masyarakat sehingga mempertanyakan kompetensi manajemen perusahaan. Oleh karena itu perusahaan harus berkomunikasi dengan cepat, akurat dan terampil dengan beberapa kelompok penting seperti karyawan, media dan pemegang saham. Definisi krisis menurut Linke (1999: 84) adalah : Merupakan suatu ketidak normalan dari konsekuensi negative yang mengganggu operasi sehari-hari sebuah organisasi yang mungkin berakibat adanya kematian, menurunnya kualitas kehidupan, berkurangnya tingkat kesejahteraan dan menurunnya reputasi perusahaan. Dari definisi tersebut, penulis memahami bahwa krisis perusahaan bisa dilihat dari ketidaknormalan dari konsekuensi negative yang mengganggu operasi sehari-hari sebuah organisasi. Penulis juga memahami bahwa krisis itu juga bisa dikatakan sebagai suatu keadaan yang genting, yang datangnya secara tiba-tiba atau tidak pernah diduga sama sekali. Krisis bisa juga dikatakan sebagai penyakit menular, yang kalau tidak segera diatasi bisa fatal akibatnya. Untuk itu, krisis perlu dikarantina sebelum tindakan serius diambil. Ketika krisis muncul, tindakan yang harus dilakukan praktisi PR adalah harus cepat memberi respon dalam memberikan konfirmasi yang akurat pada media, serta dalam mengambil keputusan praktisi PR harus bekerja dengan cepat dalam menanggulangi krisis tersebut. Sementara menurut Kasali (1994 : 222 ) Krisis adalah “ Suatu waktu yang krusial, atau momen yang menentukan (decisive moment). Krisis merupakan suatu turning point yang diselesaikan dengan baik akan melahirkan kemenagan (for better). Dan bila gagal akan menimbulkan korban (for worse). Oleh karena itu perlu diketahui bahwa krisis tidak timbul begitu saja, sebelum ia mencapai suatu turning point, ia pasti akan memberi tanda-tanda.” Dari definisi tersebut, penulis memahami bahwa krisis merupakan suatu turning point for better or worse (titik balik untuk makin baik atau makin buruk). Bila suatu perusahaan mengalami situasi krisis yang termasuk jenis krisis akut dan ditangani langsung oleh pihak perusahaan, maka keadaan terburuk tidak akan dialami oleh perusahaan, melainkan melahirkan kemenangan bagi perusahaan tersebut. Karena kemenangan tersebut dapat dimanfaatkan menjadi peluang untuk memulihkan kembali citra yang tadinya buruk menjadi baik lagi.

Begitu juga dengan PT. Garuda Indonesia yang merupakan salah satu maskapai penerbangan yang mengalami krisis manajemen ketika Accident pesawat GA-200 di Yogyakarta pada 7 Maret 2007. Pasca Accident tersebut Garuda Indonesia mengalami penurunan citra di mata masyarakat. Untuk itu, pihak humas Garuda Indonesia langsung merespon cepat dalam penanganan krisis tersebut. Ada definisi lain yang sangat menarik yang berasal dari Cina. Masyarakat cina menggunakan symbol wei-ji. Wei-ji merupakan kombinasi dari dua kata dalam bahasa Cina yang berarti “bahaya” dan “peluang”. Memang benar, krisis bisa menjadi bahaya atau bisa pula keberuntungan ; peluang. (Kasali,1994: 222) Dari pendapat tersebut, penulis memahami bahwa arti krisis dalam bahasa Cina bisa berarti menjadi bahaya dan bisa juga jadi peluang. Maksudnya, bila suatu perusahaan mengalami krisis dan tidak cepat langsung ditangani, maka sangat bahaya sekali bagi perusahaan tersebut, bisa-bisa hidup matinya perusahaan itu dipertaruhkan. Sedangkan bagi perusahaan yang bisa mengatasi krisis dengan baik, maka perusahaan tersebut akan memanfaatkan keberhasilan itu menjadi peluang yang baik, untuk memulihkan citra positifnya kembali. Jadi kesimpulan penulis mengenai krisis adalah penyakit menular yang sangat merugikan perusahaan, yang semestinya harus dikarantina terlebih dahulu. Krisis juga bisa dikatakan sebagai keadaan yang genting, yang datangnya tiba-tiba atau tidak pernah diduga sebelumnya. Krisis bisa juga mendatangkan bahaya atau peluang bagi perusahaan yang mengalaminya. Oleh karena itu krisis jangan dianggap remeh oleh perusahaan, karena bila tidak langsung diatasi atau diambil tindakan yang serius, maka bisa berakibat fatal. Bisa-bisa bagi perusahaan yang mengalaminya bukan peluang yang didapat, melainkan nama baik perusahaan tersebut dipertaruhkan.

Setelah memaparkan definisi krisis, penulis juga paparkan manajemen krisis dalam perusahaan. Iriantara (2004: 116), mengatakan “manajemen krisis ialah salah satu bentuk saja dari ketiga bentuk respon manajemen terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi”. Respon tersebut antara lain dilakukan dalam konteks mengelola perubahan. Pada sisi lain, perubahan lingkungan yang tidak terduga memang sering terjadi di dunia ini, siapa yang membayangkan bahwa desas-desus bisa menghancurkan nama baik suatu perusahaan atau merek dagang sedemikian besar. Dalam hal kegiatan public Relations, manajemen krisis merupakan salah satu aspek yang mendapatkan perhatian. Manajemen krisis ini boleh dikatakan sebagai “bantalan” yang dipersiapkan oleh organisasi untuk menghadapi krisis yang sifatnya tidak terduga dan mendadak. (Iriantara, 2004: 116) Sedangkan definisi manajemen krisis menurut sumber dari http://www.dephan.go.id. Adalah : “upaya untuk menekan faktor ketidakpastian dan faktor resiko hingga tingkat serendah mungkin, dengan demikian akan lebih mampu menampilkan sebanyak mungkin faktor kepastiannya”. Sebenarnya yang disebut manajemen krisis itu diawali dengan langkah mengupayakan sebanyak mungkin informasi mengenai alternatif-alternatif, maupun mengenai probabilitas, bahkan jika mungkin mengenai langkah-langkah yang direncanakan untuk ditempuh, dapat lebih didasarkan pada sebanyak mungkin dan selengkap mungkin serta setajam (setepat) mungkin informasinya. Tentu saja diupayakan dari sumber yang dapat diandalkan (reliable), sedangkan materilnya juga menyandang bobot nalar yang cukup. (http://www.dephan.go.id.) Dari kedua pernyataan definisi tersebut, penulis memahami bahwa manajemen krisis memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut antara lain yang dikatakan Iriantara bahwa manajemen krisis sebagai bentuk dari ketiga bentuk respon manajemen terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan eksternal, sedangkan menurut situs www.dephan.go.id penjelasan manajemen krisis lebih pada faktor ketidakpastian dan menampilkan sebanyak mungkin faktor kepastian dalam mengambil suatu langkah atau keputusan dalam menghadapi suatu krisis. Namun pada intinya kedua definisi itu memiliki satu tujuan yang sama dimana manajemen krisis merupakan suatu bentuk sandaran yang telah dipersiapkan oleh organisasi/perusahaan untuk menghadapi krisis yang sifatnya tidak terduga atau datangnya tidak diketahui secara tiba-tiba. Ketika krisis itu datang, manajemen krisis sudah harus dalam keadaan siap dalam menangani krisis tersebut. Sedangkan manajemen krisis menurut Rosan, selaku senior staff humas di PT. Garuda Indonesia adalah upaya atau cara mengelola krisis dari saat mulai kejadian, penanganan, hingga proses Recovery dalam upaya mempertahankan image perusahaan.

Jadi menurut penulis manajemen krisis adalah suatu persiapan/bisa juga dikatakan sebagi suatu bentuk sanggahan/sandaran dalam menghadapi situasi krisis yang datangnya secara tiba-tiba atau tidak di duga sama sekali. Jadi ketika krisis datang menerpa suatu perusahaan, dan perusahaan tersebut memiliki manajemen krisis yang baik, maka perusahaan siap menghadapi krisis yang datang. Karena di dalam manajemen krisis tersebut sudah terbentuk tim yang khusus menangani krisis.

Tipe dan Anatomi Krisis

Ada tiga tipe krisis dikemukakan Claudia Reinhardt, (Morissan, 2006: 154), berdasarkan kategori waktu, yaitu :

  1. Krisis bersifat segera (immediate crises)
  2. Krisis baru muncul (emerging crises)
  3. Krisis bertahan (sustained crises) Berikut penjelasan ketiga tipe krisis tersebut :

1. Krisis bersifat segera (immediate crises)

Tipe krisis yang paling ditakuti karena terjadi begitu tiba-tiba, tidak terduga dan tidak diharapkan. Tidak ada waktu untuk melakukan riset dan perencanaan. Contoh : pesawat jatuh, eksekutif penting meninggal, kebakaran, gempa bumi, serangan bom, produk yang tercemar, penembakan di tempat kerja oleh karyawan yang baru di phk dan sebagainya. Krisis jenis ini membutuhkan consensus terlebih dahulu pada level manajemen puncak untuk mempersiapkan rencana umum (general plan) mengenai bagaimana bereaksi jika terjadi krisis yang bersifat segera agar tidak menimbulkan kebingungan, konflik dan penundaan dalam menangani krisis yang muncul.

2. Krisis baru muncul (emerging crises)

Tipe krisis ini masih memungkinkan praktisi humas untuk melakukan penelitian dan perencanaan terlebih dahulu, namun krisis dapat meledak jika terlalu lama ditangani. Contoh : munculnya ketidakpuasaan di kalangan karyawan, semangat karyawan yang rendah, pelecehan seksual di tempat kerja, penyalahgunaan jabatan dan sebagainya Tantangan bagi praktisi humas jika terjadi krisis jenis ini adalah meyakinkan manajemen puncak untuk mengambil tindakan perbaikan sebelum krisis mencapai tahapan kritis.

3. Krisis bertahan (sustained crises)

Krisis bertahan adalah krisis yang tetap muncul selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun walaupun telah dilakukan upaya terbaik oleh pihak manajemen perusahaan atau organisasi untuk mengatasinya. Contoh : rumor atau spekulasi mengenai perusahaan yang menyebar dari mulut ke mulut dan disebarluaskan oleh media massa yang kesemuanya di luar kontrol praktisi humas.

Walaupun telah berkali-kali dibantah pihak pihak perusahaan namun upaya itu belum juga berhasil. Rumor dan isu terus beredar. Contoh : isu atau rumor mengenai pemutusan hubungan kerja besar-besaran di perusahaan atau rumor yang menimpa perusahaan AS, Procter & Gamble, yang diisukan sebagai perusahaan ‘pemuja setan’ karena logo perusahaan dianggap sebagai symbol setan. Dalam penjelasan tipe krisis diatas, penulis memahami bahwa dalam ketiga tipe krisis tersebut mewakili jenis-jenis krisis yang ada, karena itu tipe krisis bersifat segera ini merupakan tipe krisis yang dialami oleh PT Garuda Indonesia mengenai Accident pesawat Garuda Indonesia GA 200 yang terbakar di Yogyakarta. Dalam tipe krisis ini memang datangnya sangat tiba-tiba, tidak terduga dan tidak pernah diharapkan sama sekali. Sehingga dalam jenis tipe krisis ini setiap perusahaan harus dalam keadaan siap, dengan datangnya krisis secara mendadak. Dari penjelasan tipe krisis diatas, berikut penulis paparkan anatomi krisis berdasarkan tingkat tahapannya. Menurut Steven Fink (Kasali, 1994: 227-230), anatomi krisis itu berdasarkan tahapan-tahapan. Ada empat tahapan krisis sebagai berikut :

  1. Tahap Prodromal
  2. Tahap Akut
  3. Tahap Kronis
  4. Tahap Resolusi (Penyembuhan) Berikut penjelasan mengenai empat tahapan krisis tersebut :

1. Tahap Prodromal

Krisis pada tahap ini sering dilupakan orang karena perusahaan masih bergerak dengan lincah. Padahal, pada tahap ini bukan pada tahap krisis sudah kronis (meledak),melainkan krisis sudah mulai muncul. Tahap prodromal sering disebut juga warning stage, karena ia memberi sirene tanda bahaya mengenai simtom-simtom yang harus segera diatasi. Ada tindakan yang musti di lakukan supaya krisis tidak menjadi akut.  Tahap prodromal biasanya muncul dalam salah satu dari tiga bentuk ini, yaitu : Jelas sekali Tatkala gejala awal memang sudah bisa di lihat dengan jelas seperti munculnya desas-desus atau adanya kebocoran pipa gas di pabrik. Samar-samar Yakni gejala yang muncul hanya samar-samar sehingga sulit menafsirkan dan menduga luasnya satu kejadian, seperti munculnya pesaing baru atau tindakan/ucapan dari pemuka pendapat. Sama sekali tidak terlihat. Gejala-gejala krisis bisa tak terlihat sama sekali. Perusahaan tidak dapat membaca gejala ini karena kelihatannya segalanya oke-oke saja. Laba perusahaan meningkat dengan baik. Perusahaan beranggapan “sulit untuk memuaskan semua pihak”. Maka, kalau ada kerugian pada salah satu produk atau keburukan pada salah satu lini, itu adalah sangat wajar. untuk itu perusahaan perlu melakukan general check-up secara rutin, missal tiga atau enam bulan sekali dengan memanggil konsultan. Metode yang biasanya di pakai adalah management audit yang menyangkut segala aspek di dalam perusahaan.

2. Tahap Akut

Pada tahap ini krisis sudah kelihatan dan orang menyadari krisis sudah terjadi. Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis pada tahap akut ini adalah intensitas dan kecepatan serangan yang datang dari berbagai pihak menyertai tahap ini. Kecepatan ditentukan oleh jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitasnya ditentukan oleh kompleksnya permasalahan. Tahap akut merupakan antara krisis berikutnya, yakni tahap kronis.

3. Tahap Kronis

Pada tahap ini sisa krisis kelihatan. Ini merupakan tahap untuk melakukan pemulihan dan analisa diri. Ada langkah-langkah yang dilakukan, seperti pergantian manajemen, perusahaan struktur perusahaan atau perubahan nama perusahaan. Tahap kronis adalah tahap terenyuh. Kadang-kadang dengan bantuan seorang krisis manager yang handal, perusahaan akan memasuki keadaan yang lebih baik, sehingga pujian-pujian berdatangan dan penyembuhan (resolution) mulai berlangsung.

4. Tahap Resolusi (penyembuhan)

Tahap ini adalah tahap penyembuhan (pulih kembali) dan tahap terakhir dari 4 tahap krisis. Meski bencana besar dianggap sudah berlalu, crisis manager tetap perlu berhati-hati, karena riset dalam kasus-kasus krisis menunjukan bahwa krisis tidak akan berhenti begitu saja pada tahap ini. Krisis umumnya berbentuk siklus yang akan membawa kembali keadaan semula (prodromal stage). Bila pasien yang sedang dalam proses penyembuhan (tahap resolusi) tidak dapat menahan diri, dan bila penyembuhannya tidak tuntas benar, ia akan kembali lagi ke tahap prodromal. Penulis memahami bahwa dengan adanya anatomi krisis, dapat mempermudah praktisi PR untuk peka terhadap datangnya krisis di perusahaan. Apabila suatu perusahaan sudah memperlihatkan tanda-tanda tahapan krisis tersebut, praktisi PR harus peka dan harus mengambil tindakan yang cepat, sebelum krisis itu menyebar luas. Sama halnya yang dialami PT. Garuda Indonesia mengenai accident pesawat Garuda GA 200 di Yogyakarta, dilihat dari tahapan krisis diatas, Garuda Indonesia mengalami krisis manajemen termasuk kedalam tahapan krisis akut. Karena pada tahap krisis ini sudah kelihatan sangat jelas sekali. tetapi krisis ini dapat ditangani dengan cepat oleh pihak Garuda.

Pada tahapan krisis yang dialami oleh Garuda termasuk dalam tahapan krisis akut, dan kaitannya dengan siklus krisis adalah bahwa siklus krisis tersebut hanya menggambarkan secara skematis  dari tahapan-tahap krisis tersebut secara berurutan menuju ke tahap penyembuhan. Dan bila dilihat dari cara kerja Garuda Indonesia dalam penanganan krisis tersebut, garuda menggambarkan siklusnya dari tahap akut langsung beralih ketahap penyembuhan (resolusi), melainkan tidak ketahap kronik dulu, karena krisis tersebut dapat ditangani dengan baik, sehingga tidak menjadi parah. Krisis yang menimpa organisasi itu, melalui tahapan-tahapan di atas secara siklikal. Secara skematis, menurut steven Fink (Kasali,1994:226), menggambarkannya sebagai berikut.

Siklus Krisis

Dari gambar siklus krisis diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut : Salah satu tugas penting yang harus dilakukan dalam mengelola krisis adalah memotong siklus tersebut, sehingga krisis tersebut dari krisis prodromal langsung menjadi krisis resolusi, tidak harus melalui tahapan krisis akut atau krisis kronis terlebih dulu. Kegiatan public relations adalah mengupayakan agar titik balik ini tidak mengikuti siklus seperti digambarkan dalam skema di atas, melainkan membalikkan krisis prodromal langsung menuju tahap penyembuhan. Kejelian membaca situasi tentu sangat diperlukan untuk bisa memotong siklus ini. (Kasali, 1994: 226) Dari uraian diatas, penulis memahami bahwa bagan suatu siklus krisis, adalah seperti bagan diatas, akan tetapi untuk mengubah siklus krisis yang diinginkan, dibutuhkan diagnosis yang mendalam dan tindakan yang cermat. Siklus yang diinginkan tersebut adalah memotong siklus, sehingga krisis prodromal menuju langsung ke krisis resolusi, tidak harus melalui tahapan krisis akut dan kronik terlebih dulu. Pemotongan siklus ini digunakan, agar dalam menangani krisis tersebut cepat menuju dalam tahap penyembuhannya.

Mengelola Krisis

Dalam mengelola krisis ada dua pendapat ahli yang penulis tulis,yaitu : Yosal iriantara (2004: 124), langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mengelola krisis antara lain : Identifikasi krisis, Analisis krisis, Isolasi krisis, Pilihan strategi, Program pengendalian. Sedangkan menurut, IFAS (2001: 63), Langkah-langkah dalam menghadapi krisis tersebut antara lain : Mengidentifikasi krisis, Fact-finding selama masa tidak krisis, Membentuk tim, Fine-tune jaringan komunikasi. Berikut penjelasan dari kedua pendapat ahli dalam mengelola krisis tersebut :   langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mengelola krisis, menurut Iriantara (2004: 124) sebagai berikut :

  1. 1.       Identifikasi krisis

Dalam mengidentifikasi krisis, praktisi public relations melakukan penelitian, yang penelitiannya bisa saja bersifat informal dan kilat, bila krisisnya terjadi sedemikian cepat. Katakanlah di sini praktisi public relations mendiagnosis krisis tersebut. Diagnosis itu merupakan langkah awal yang penting untuk mendapatkan data dan informasi yang akan digunakan untuk melakukan tindakan

pada tahap berikutnya.

  1. 2.       Analisis krisis

Data dan informasi yang dikumpulkan tersebut untuk selanjutnya diurai, baik bagian per bagian, artinya melakukan analisis parsial atau analisis menyeluruh. Analisis ini dilakukan sebagai dasar untuk menentukan pengambilan tindakan yang tepat.

  1. 3.       Isolasi krisis

Krisis adalah penyakit. Kadang bisa juga berarti lebih dari sekadar penyakit biasa, ia adalah penyakit menular. Untuk mencegah krisis menyebar luas ia harus diisolasi, dikarantinakan sebelum tindakan serius dilakukan.

  1. 4.       Pilihan Strategi

Sebelum langkah berkomunikasi dilakukan, setelah melakukan analisis dan mengisolasi krisis, penting untuk menentukan strategi mana yang akan dipergunakan. Strategi generic dalam menangani krisis ini ada tiga bentuk.

  1. Strategi Defensif

Langkah-langkah yang diambil untuk strategi ini adalah :

  • Mengulur waktu
  • Tidak melakukan apa-apa
  • Membentengi diri sekuat-kuatnya
  1. Strategi Adaptif

Langkah yang diambil untuk strategi ini mencakup hal-hal yang lebih luas, yakni :

  • Mengubah kebijakan
  • Memodifikasi operasional
  • Kompromi
  • Meluruskan citra
  1. Strategi Dinamis

Langkah yang diambil untuk strategi ini bersifat makro dan dapat mengubah karakter organisasi. Pilihan dalam strategi ini mencakup

  • Merger dan akuisisi
  • Investasi baru
  • Menjual saham
  • Meluncurkan produk baru/menarik peredaran produk lama
  • Menggandeng kekuasaan
  • Melempar isu baru untuk mengalihkan perhatian

5. Program Pengendalian

Program pengendalian adalah langkah penerapan yang dilakukan menuju strategi generic yang dirumuskan. Umumnya strategi generic dapat dirumuskan jauh-jauh hari sebelum krisis timbul, yakni sebagai guidance agar para eksekutif bisa mengambil langkah yang pasti. Berbeda dari strategi generic, program pengendalian biasanya disusun di lapangan ketika krisis muncul.

Implementasi pengendalian diterapkan pada :

  • Perusahaan (beserta cabang)
  • Industri (gabungan usaha sejenis)
  • Komunitas
  • Divisi-divisi perusahaan (Iriantara, 2004: 124)

IFAS (2001: 63), langkah-langkah dalam menangani krisis tersebut adalah: Mengidentifikasi krisis, disini dilakukan identifikasi atas krisis yang terjadi, mencari penyebabnya, dan mempersiapkan scenario masa depan organisasi. Fact-finding selama masa tidak krisis, pada masa organisasi dalam keadaan tenang, tim manajemen krisis menganalisa berbagai informasi, bahkan termasuk desas-desus. Kemudian diklasifikasi, mana fakta dan mana desas-desus. Fakta harus selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan, sedangkan untuk desas-desus harus diberi penjelasan yang sebenarnya. Membentuk tim, tim secara berkala mendapatkan pelatihan untuk mengelola krisis. Tim inilah yang menganalisa fakta dan desas-desua serta penanganan yang harus dilakukan. Fine-tune jaringan komunikasi, menjaga jaringan komunikasi dengan pihak internal dan eksternal, terutama untuk menjaga integritas organisasi. Integritas organisasi ini akan penting saat organisasi diterpa krisis, karena merupakan salah satu asset penting untuk kegiatan komunikasi yang dijalankan. (IFAS, 2001) Dalam pemaparan diatas, penulis memahami bahwa apa yang diungkapkan

Iriantara diatas kurang lebih sama dengan apa yang dinyatakan oleh IFAS. Pemaparan mengelola krisis tersebut yang di kemukakan oleh Iriantara lebih kepada cara penanganan saat krisis sudah terjadi, sedangkan dalam pernyataan IFAS ialah tentang manajemen krisis yang menekankan persiapan dalam menghadapi krisis. Artinya, ketika organisasi tidak menghadapi krisis sekalipun, tim manajemen krisis sudah dibentuk dan bekerja.

Sebelum krisis terjadi, ada hal-hal yang harus dipersiapkan dalam menghadapi krisis. Berikut penulis paparkan panduan untuk mempersiapkan krisis.

Morissan (2006: 155) memaparkan panduan untuk mempersiapkan krisis adalah :

  1. Lakukan identifikasi terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan, juga lakukan penilaian terhadap kelemahan-kelemahan secara menyeluruh yang dimiliki perusahaan atau organisasi saat ini \
  2. Tentukan prioritas penanganan berdasarkan kelemahan yang dirasa paling mendesak untuk ditangani.
  3. Rancang pertanyaan, jawaban dan solusi bagi setiap masalah yang memiliki potensi untuk menjadi krisis.
  4. Fokus pada dua tugas yang paling penting yaitu: Apa yang harus dilakukan, dan Apa yang harus dikatakan pada saat kritis yaitu pada jam-jam pertama ketika krisis muncul.
  5. Mengembangkan suatu strategi untuk menahan diri dan bersikap netral, tidak reaktif dan tidak memberikan respon berlebihan.

Dalam pemaparan di atas, penulis memahami bahwa sebelum krisis itu muncul, ada baiknya setiap perusahaan mempunyai panduan khusus untuk

mempersiapkan dalam menghadapi krisis. Dan dalam panduan tersebut sangat membantu sekali manager krisis, agar ketika krisis datang sudah tidak kaget lagi, dan tahu cara apa yang pertama musti dilakukan ketika krisis baru muncul. Keberhasilan dalam menangani krisis membutuhkan kemampuan untuk melakukan antisipasi terhadap kondisi yang rentan serta kemungkinan munculnya keadaan darurat (emergencies), keahlian dalam merencanakan strategi yang dapat merespon segala kemungkinan scenario keadaan darurat, pengenalan terhadap krisis pada tahap yang paling awal serta kemampuan untuk merespon secepat mungkin sebagai bagian dari proses perencanaan manajemen krisis secara sistematis. Berikut penulis paparkan panduan dalam menghadapi krisis.

 

Strategi Manajemen Krisis

Istilah strategic manajement sering disebut pula rencana strategis atau rencana jangka panjang perusahaan. Dalam suatu rencana strategis perusahaan menetapkan garis-garis besar tindakan strategis yang akan diambil dalam kurun waktu tertentu kedepan. Untuk melihat kedepan perusahaan perlu melihat kebelakang, yakni hal-hal yang telah di capai di masa lalu, harapan yang di janjikan dari prestasi itu, dan persepsi yang muncul dari lingkungannya. Seorang praktisi public relations tidaklah dibenarkan mengabaikan pelaksanaan penyusunan rencana jangka panjang ini. Ia perlu turut aktif mengobservasi pendapat dan harapan tersebut. Karena prosesnya melibatkan banyak pihak, suatu rencana jangka panjang yang berhasil disatukan sering disebut pula suatu “consensus”.

Rencana inilah yang menjadi pegangan bagi para praktisi public relations untuk menyusun berbagai rencana teknis, dan langkah komunikasi yang akan diambil sehari-hari. Untuk dapat bertindak secara strategis, kegiatan public relations harus menyatu dengan visi atau misi organisasinya, yakni alasan organisasi atau perusahaan untuk tetap hidup, dari sinilah seorang praktisi public relations dapat menetapkan objektifnya dan bekerja berdasarkan objective tersebut. (Kasali, 1994: 34) Dari pemaparan diatas, penulis memahami bahwa strategi manajemen sering di sebut juga rencana strategis atau rencana jangka pangka panjang perusahaan, dan biasanya sebagian besar perusahaan menetapkan rencana jangka panjang tersebut dalam lima sampai sepuluh tahun, alasan perusahaan membatasi berapa lamanya sangat masuk akal, karena perubahan yang terjadi belakangan ini sangat sulit di terka arahnya.

Masing-masing perubahan itu saling kait mengait sehingga perkiraan terjauh yang dapat di duga menjadi amat terbatas. Sehingga untuk melihat ke depan perusahaan perlu melihat ke belakang, yakni hal-hal yang telah dicapai dimasa lalu harapan yang di janjikan dari prestasi itu, dan persepsi yang muncul dari lingkungannya. Rencana jangka panjang inilah yang menjadi pegangan bagi para praktisi public relations untuk menyusun berbagi rencana teknis, dan langkah komunikasi yang akan diambil sehari-hari..jadi strategi manajemen sangat penting sekali bagi perusahaan, terutama ketika perusahaan mengalami suatu krisis manajemen.. disini public relations dituntut apakah strategi yang dibuat harus di perbaharui atau di lanjutkan, guna untuk mempertahankan perusahaannya itu. Menurut KBBI strategi adalah”…rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus…”. Jadi strategi adalah suatu rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Sedangkan yang dimaksud dengan sasaran khusus tergantung dari sasaran yang ingin dicapai oleh si pembuat rencana, dalam hal ini yang membuat rencana adalah pihak perusahaan

Definisi lain manajemen strategis menurut Ansoff dan Mc Donnell (1990 : XV) ialah :

“Manajemen strategis sebagai pendekatan sistematis terhadap tanggung jawab umum manajemen yang besar dan terus meningkat, arti pentingnya :

untuk memposisikan dan mengaitkan perusahaan dengan lingkungannya dengan cara yang akan menjamin keberhasilan perusahaan dan mengamankan perusahaan dari ketidakterdugaan”.

Dari definisi tersebut, penulis memahami bahwa arti penting dalam manajemen strategis untuk memposisikan dan mengaitkan perusahaan dengan lingkungannya, serta mengamankan perusahaan dari ketidakterdugaan, maksud dari kalimat tersebut maksudnya, ketidakterdugaan merupakan bagian dari kehidupan ini, kadang perusahaan tidak tau apa yang akan terjadi nantinya. Untuk itu dalam perencanaan yang dilakukan oleh manajemen satu perusahaan selalu harus disediakan ruang untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang terjadi pada lingkungannya.Sedangkan Hari Lubis (1992 : 1), mengemukakan : “ Proses iterative yang kontinu untuk menyelaraskan organisasi secara keseluruhan terhadap lingkungannya”.

Lebih lanjut Lubis memaparkan dengan definisi manajemen strategis yang seperti demikian itu, maka manajemen strategis merupakan rangkaian tindakan yang dimulai dari analisis lingkungan, penetapan arah organisasi, perumusan strategi organisasi, implementasi organisasi, serta evaluasi dan pengendalian strategi. Dari definisi diatas, penulis memahami bahwa proses manajemen strategis itu bersifat kontinu dan iterative, maksudnya adalah diawali dengan langkah pertama, berakhir dengan langkah terakhir dan kembali lagi pada langkah pertama, terus demikian secara berulang-ulang. Langkah-langkah stragic management Pearce dan Robinson dalam Kasali (1994: 43), mengembangkan langkah­langkah strategic management sebagai berikut :

  1. Menentukan mission perusahan. Termasuk di dalamnya adalah pernyataan yang umum mengenai maksud pendirian (purpose), filosofi, dan sasaran (goals).
  2. Mengembangkan company profile yang mencerminkan kondisi intern perusahan dan kemampuan yang dimilikinya.
  3. Penilaian terjhadap lingkungan ekstern perusahaan, baik dari segi semangat kompetitif maupun secara umum.
  4. Analisis terhadap peluang yang tersedia dari lingkungan (yang melahirkan pilihan-pilihan).
  5. Identifikasi atas pilihan yang dikehendaki yang tidak dapat digenapi untuk memenuhi tuntutan misi perusahaan.
  6. Pemilihan strategi atas objective jangka panjang dan garis besar strategi yang dibutuhkan untuk mencapai objective tersebut.
  7. Mengembangkan objective tahunan dan rencana jangka pendek yang selaras dengan objective jangka panjang dan garis besar strategi.
  8. Implementasi atas hal-hal di atas dengan menggunakan sumber yang tercantum pada anggaran (budget) dan mengawinkan rencana tersebut dengan sumber daya manusia, struktur, teknologi, dan sistem balas jasa yang memungkinkan.
  9. Review dan evaluasi atas hal-hal yang telah dicapai dalam setiap periode jangka pendek sebagai suatu proses  untuk melakukan kontrol dan sebagai input bagi pengambilan keputusan di masa depan.

Dari pemaparan  diatas, penulis memahami bahwa langkah yang perlu dilalui melibatkan sejumlah pihak di dalam perusahaan yang terdiri atas berbagai

latar belakang. Sebenarnya tujuan di buat langkah-langkah tersebut sederhana sekali yakni, menyelaraskan program dan tindakan setiap komponen (bagian)

perusahaan menuju suatu sasaran yang sama.

Berikut penulis paparkan Tahapan-tahapan dalam Perencanaan strategis yang dibuat oleh Robson (1997:17):

Dari model tahapan perencanaan strategis diatas, penulis menjelaskan bahwa dalam manajemen strategis, merumuskan visi/misi dan objektif organisasi merupakan langkah awal sebelum melakukan analisis lingkungan internal dan eksternal. Analisis lingkungan internal dan eksternal tersebut antara lain menggunakan Analisis SWOT menjadi dasar untuk merumuskan strategi organisasi. Selanjutnya adalah implementasi strategis, yang tentunya akan diikuti evaluasi dan kontrol. Semua proses manajemen strategis itu, ketika masih dalam bentuk konsep, dinamakan perencanaan strategis.

Dalam hal ini penulis menggunakan tahap-tahapan proses perencanaan strategis adalah guna untuk mendukung dalam pemilihan strategi yang akan digunakan. Karena pada tingkat perencanaan manaje-men strategis, visi/misi dan tujuan organisasi menjadi dasar dalam pemilihan strategi yang akan diterapkan, karena Visi milik organisasi yang merupakan gambaran masa depan atau bisa juga disebut sebagai model mental. Dengan begitu, dalam visi itu setidaknyaa terefleksikan apa yang ingin dicapai oleh organisasi.

Sedangkan misi adalah alasan mengapa organisasi ada, apa yang dikerjakan organisasi tersebut dan bagaimana melakukannya, ringkasnya, misi itu menunjukkan maksud pendirian organisasi atau perusahaan. Jadi dari tahapan model di atas untuk menentukan strategi yang digunakan berawal dari analisa strategi dahulu, lalu menentukan pilihan strategisnya, dan terakhir mengimplementasikan strategi, terdiri dari menentukan kebijakkan, mengambil keputusan, dan selanjutnya mengambil tindakan.

Sebelum mengetahui strategi yang digunakan, berikut penulis paparkan ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam menyusun strategi (Iriantara, 2004: 30-31), yaitu :

  1. Pendekatan Skenario, yang mendeskripsikan sejumlah gambaran tentang organisasi pada masa depan untuk kemudian dipilih gambaran yang dipandang paling sesuai. Pendekatan ini tepat digunakan oleh organisasi nonprofit atau organisasi berskala kecil dan menengah.
  2. Pendekatan Permasalahan kritis, yaitu yang mengumpulkan sejumlah permasalahan kritis yang teridentifikasi melalui analisis situasi, lalu menyusunnya berdasarkan tingkat kerawanannya. Selanjutnya, dipilih solusi yang baik. Seperti halnya pendekatan scenario, pendekatan ini tepat digunakan oleh organisasi nonprofit dan organisasi berskala kecil dan menengah.
  3. Pendekatan Sasaran, yaitu yang dalam menyusun strateginya terlebih dulu menetapkan sasaran yang inggin dicapai oleh organisasi pada masa depan. Setelah itu, ditetapkan strategi yang tepat untuk mencapai sasaran tersebut. Pendekatan ini biasanya digunakan oleh organisasi-organisasi bisnis yang besar.

Sebelum menentukan strategi yang digunakan penulis terlebih dahulu menggunakan pendekatan dalam penyusunan strategi. Penulis menggunakan pendekatan tersebut, karena salah satu dari pendekatan yang penulis paparkan tersebut, sesuai dengan pendekatan yang diterapkan Humas Garuda Indonesia. Pendekatan yang diterapkan tersebut adalah Pendekatan sasaran, pendekakan ini digunakan guna untuk mengetahui sasaran yang dicapai oleh Garuda Indonesia. Sasaran yang ingin dicapai oleh Garuda Indonesia antara lain :

  1. Secara bertahap Garuda Indonesia mampu menciptakan (merubah) situasi “ketidakpastian” menjadi kondisi yang “pasti”.
  2. Membantu media massa untuk senantiasa focus terhadap data dan fakta yang ada, sesuai perkembangan penanganan accident.
  3. Menjaga kepercayaan publik bahwa penerbangan merupakan moda transportasi yang aman dan mengutamakan aspek “safety”
  4. Menciptakan kondisi /gambaran bahwa Garuda Indonesia merupakan penerbangan yang “safe” dan perusahaan menunjukkan sikap yang “caring” terhadap para korban dan anggota keluarganya.

Pemilihan Strategi

Adapun alternatif strategi umum dan kondisi yang sesuai untuk penggunaannya, menurut lubis (1992: 28-31), sebagai berikut :

  1. Strategi Konsentrasi (Concentration strategy) Dengan strategi ini, organisasi memusatkan perhatian pada satu lini bisnis saja dengan tujuan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dari spesialis dan efisiensi, sekaligus menghindari masalah manajemen yang muncul akibat terlalu banyaknya jenis usaha yang dikelola. Namun, strategi seperti ini bisa berbahaya bila terjadi perubahan linngkungan eksternal seperti mengecilnya pasar dan munculnya pesaing yang agresif. Strategi konsentrasi ini misalnya dilakukan oleh McDonald’s yang mengkonsentrasikan diri pada fast-food.
  2. Strategi Stabilitas (Stability Strategi) Strategi ini pada dasarnya menjaga apa yang sudah ada, sehingga organisasi memusatkan perhatian pada pengelolaan jenis usaha yang sedang dijalankannya sambil memelihara bidang usaha itu. Strategi ini tepat dijalankan bidang usaha yang pertumbuhannya rendah atau sama sekali tidak mengalami pertumbuhan. Organisasi-organisasi yang cukup besar dan mendominasi pasar biasanya akan berupaya untuk menstabilkan pasar.
  3. Strategi Pertumbuhan (Growth Strategy) Strategi ini sebenernya merupakan hal yang alami. Setiap organisasi ingin dirinya menjadi besar. Dengan strategi ini, organisasi berupaya untuk mengembangkan berbagai aspek usahanya, seperti omset, laba atau pangsa pasar. Strategi pertumbuhan dilakukan dengan berbagai cara, yakni :
  4. Integrasi vertical Strategi ini dijalankan guna memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap jenis usaha dan mendapatkan peningkatan laba, karena meningkatnya efisiansi atau kemampuan memasarkan. Integrasi vertical ini dilakukan dengan mengakuisisi organisasi lain yang terdapat pada jalur distribusi yang sama.
  5. Integrasi horizontal Strategi ini biasanya dilakukan oleh perusahaan kecil yang bersaing dalam pasar yang sama dengan perusahaan besar melalui akuisisi perusahaan saingan pada jenis usaha yang sama, sehingga memperbesar tingkat keuntungan, ukuran perusahaan, omset atau pangsa pasar.
  6. Diversifikasi Strategi ini menginginkan pertumbuhan melalui akuisisi perusahaan pada lini bisnis yang tak sejenis dengan bisnis organisasi. Strategi ini bermanfaat jika sumber daya digunakan secara bersama sehingga efisien atau dampak dari penggabungan itu akan memperbesar pasar. Strategi ini bisa juga dilakukan dengan strategi konglomerasi, yakni dengan membeli perusahaan yang berada pada jalur pertumbuhan yang cepat, sedangkan organisasi yang membeli berada pada jalur pertumbuhan yang lambat.
  7. Merger dan joint-venture Strategi ini digunakan agar organisasi bisa menembus pembatasan perdagangan antar negara atau mengefisienkan penggunaan sumber daya. Merger merupakan penggabungan dua organisasi dengan membentuk organisasi baru, sedangakan joint venture merupakan kerja sama satu organisasi dengan organisasi lain untuk menjalankan satu proyek yang terlalu besar untuk dikerjakan sendiri.
    1. Retrennchment strategy  Strategi ini digunakan bila organisasi memandang dirinya tidak mampu bersaing secara efektif dan merasa terancam. Strategi ini  memiliki strategi dasar, yakni sebagai berikut.
    2. Turnaround Strategy

Jika kinerja organisasi memburuk namun belum kritis, maka dihentikan memproduksi produk yang kerjanya buruk, menciutkan jumlah karyawan, memperpendek jalur distribusi, dan mencari metode baru yang bisa digunakan untuk memperbaiki kinerja.jika ini berhasil, maka organisasi selanjutnya menggunakan strategi pertumbuhan.

  1. Divestment Strateg.

Organisasi menjual salah satu unit usaha atau menceraikannya dari organisasi semula. Ini dilakukan jika usaha itu tak cocok berada dalam organisasi atau karena kinerjanya jelek.

  1. Liquidation Strategi

Strategi ini dijalankan dengan menutup usaha dan menjual seluruh asetnya.

  1. Strategi Kombinasi (Combination Strategy) Strategi ini dilakukan organisasi besar untuk mengejar pertumbuhan dengan mengakuisisi usaha baru, sambil menjalankan strategi stabilitas pada beberapa unit usaha yang lain dengan menggunakan strategi divestment pada usaha yang merugi. Bisa juga dilakukan dengan merumuskan strategi diversifikasi.

Adapun strategi yang diungkapkan oleh IFAS dalam Iriantara (2004 : 125) Pada saat menghadapi krisis kombinasi dari keempat strategi dasar sebagai berikut

  1. Tak berbuat apa-apa, merupakan pendekatan yang tidak banyak dilakukan organisasi karena tidak berbuat apa-apa saat menghadapi krisis akan membuat organisasi jadi terbelah, integritas terganggu, dan melunturkan semangat karyawan. Namun, ada kalanya organisasi tak mengakui terjadi krisis, sehingga membiarkan krisis muncul dan berlalu. Organisasi menutup diri dari opini publik.
  2. Dinding batu, dalam strategi ini perusahaan tak memberi respons secara eksternal terhadap krisis karena tak memandang penting apa yang dipandang sebagai tuduhan yang salah atau keliru. Stategi ini mengundang resiko munculnya sikap negatif publik dan diadili oleh media. Sikap membisu organisasi seperti itu bisa mengundang tuduhan dari publik bahwa organisasi itu menerima apa yang dituduhkan, arogan atau tidak mau berkompromi. Strategi ini digunakan misalnya saat organisasi menghadapi masalah hokum di pengadilan.
  3. Merespon dan bertahan, dengan strategi ini organisasi secara positif dan agresif secepat-cepatnya mencari penyelesain masalah. Ini merupakan strategi yang dilukiskan paling baik. Hal penting dalam memberi respon bertahan iniadalah mengkomunikasi informasi factual dan menunjuk juru bicara yang tepat bagi organisasi.
  4. Menyerang, strategi memanfaatkan krisis untuk mendapatkan keuntungan dari peluang yang tercipta karena krisis guna menciptakan opini publik yang positif. Dalam strategi ini, diungkapkan respon organisasi organisasi terhadap krisis dan proyeksi posisi organisasi yang menunjukan penyelesaian krisis demi memberikan kemaslahatan pada organisasi, para karyawan dan publik secara keseluruhan. Namun, strategi ini mengandung resiko akan membuat krisis tanpa disadari jadi berlangsung lama atau justru malah membuat organisasi kehilangan kontrol dibandingkan dengan penanganan krisis secara diam-diam dan cepat.

Dari pemaparan diatas, penulis memahami bahwa ada bermacam-macam tipe strategi dalam menangani suatu krisis di perusahaan. Strategi ini digunakan tergantung dari perusahaan itu sendiri menggunakan jenis strategi yang digunakan. Menurut pendapat penulis ,terkait dengan kasus accident pesawat Garuda Indonesia itu, PT Garuda Indonesia termasuk menggunakan tipe strategi dasar yang merespon dan bertahan, karena penulis amati pada saat accident itu terjadi, divisi humasnya cepat merespon dan mengkomunikasikannya pada media, sehingga dalam penanganannya pun terbilang sangat cepat, dari maskapai penerbangan lain. Dan dalam pentritmentannya pun secara bertahap.

Adapun Pihak-pihak Garuda Indonesia yang terkait dalam pembentukan strategi dalam krisis manajemen Accident GA-200 antara lain : Dari Unit Operasi, Unit Teknik, Pelayanan, Unit Humas, Unit Keuangan, dan Direksi yang utama.

Untuk itu strategi yang relevan dalam manajemen krisis ini Garuda Indonesia menggunakan strategi merespon dan bertahan,  antara lain :

  1. Mengaktifkan “communications team” sesuai perincian tugas dan tanggungjawabnya.
  2. Melaksanakan koordinasi dengan pihak terkait dalam penanganan accident, antara lain; ECC (Emergency Control Center), OCC (Operation Control Center), FAC (Family Assistance Center), PIC (Passenger Inquiry Center), SCC (Site Control Center), ESMT (Emergency Support Management Team), Go Team, ART (Aircraft Recovery Team), GA Policy Group)
  3. Menjadi sumber informasi yang cepat, akurat serta menyampaikan informasi yang penting dan mengurangi situasi”ketidakpastian”.
  4. Bersikap penuh perhatian, jujur, terbuka serta tidak berspekulatif.
  5. Memahami data/informasi tentang aspek “safety” dan prosedur dalam penanganan Accident

Berikut merupakan rangkuman penulis mengenai manajemen krisis dan manajemen strategi. Krisis adalah suatu yang besar, kejadian/ peristiwa yang tidak bisa diperkirakan yang memiliki potensi hasil-hasil yang negatif. Peristiwa yang merupakan penyebab kerusakan yang cukup signifikan terhadap organisasi perusahaan mencakup para pegawai, produk yang dihasilkan, jasa-jasa, kondisi keuangan maupun reputasinya. Dalam penelitian penulis ini, merupakan termasuk dalam krisis manajemen, yakni krisis yang menyangkut kecelakaan/Accident pesawat Garuda Indonesia GA-200 di Yogyakarta. Accident ini pun dilihat dari tahapan- tahapan krisisnya termasuk kedalam jenis krisis akut, yaitu pada krisis jenis ini sudah kelihatan dan orang menyadari krisis sudah terjadi. Suatu keadaan yang mengalami krisis ini harus segera ditangani secara serius. Dan dikerjakan oleh orang-orang yang handal dalam menangani krisis tersebut. Dan dalam hal tersebut Public Relationslah yang sangat berperan penting untuk membantu manajemen perusahaan dalam memulihkan nama baik perusahaan, khususnya di PT. Garuda Indonesia ketika mengalami krisis manajemen Accident pesawat GA­200.untuk itu dalam keadaan sebuah krisis hubungan masyarakatlah yang memainkan peranan fleksibel, Diantaranya humas peran dalam manajerial atau teknisinya. Tapi pada saat dihadapkan dalam situasi krisis ini peran humas lebih ke manejerial. Oleh karena itu public relations juga berperan sebagi problem Solving process facilitator, yakni peranan sebagai fasilitator dalam proses pemecahan masalah. Pada peranan ini petugas humas melibatkan diri atau dilibatkan dalam setiap manajemen (krisis). Dia menjadi anggota tim. Bahkan bila

memungkinkan menjadi leader dalam penanganan krisis. Ketika krisis accident ini muncul, yang dilakukan humas antara lain langkahnya humas harus cepat dalam memberikan informasi yang akurat yang berguna, serta secara aktif berkomunikasi; regular brefing, secara teratur, mengupdate/memperbaharui informasi, memantau perkembangan media, dan memperbaiki ketidak akuratan dan salah informasi secepatnya. Setelah itu semuanya diatasi, barulah humasnya dihadapkan dalam pembuatan strategi. Istilah strategi manajemen sering pula disebut sebagai rencana jangka panjang. Seorang public relations tidaklah dibenarkan mengabaikan pelaksanaan penyusunan rencana jangka panjang ini. Karena ia harus turut aktif mengobservasi pendapat dan harapan tersebut. Rencana inilah yang menjadi pegangan bagi praktisi public relation untuk menyusun berbagai rencana teknis. Oleh karena itu pada umumnya bagian/divisi public relations diperankan untuk mengkomunikasikan strategi perusahaan tersebut. Terkait dari menajemen krisis tersebut praktisi Public relationa membuat strategi dalam aspek komunikasinya. Terlebih dahulu pendekatan yang digunakan ialah pendekatan sasaran, yaitu dalam menyusun strateginya terlebih dulu menetapkan sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi pada masa depan. Dan strategi yang cocok digunakan dalam menangani krisis ini adalah strategi merespon dan bertahan, karena dengan strategi ini organisasi secara positif dan agresif secepat­cepatnya mencari penyelesaian masalah.

 

Peran Public Relations

Berikut penulis paparkan definisi peran praktisi humas menurut Frida Kusumastuti. Penulis menjelaskannya sebagai berikut : Kusumastuti (2002: 24), peranan praktisi humas adalah merupakan satu kunci penting untuk pemahaman fungsi humas dan komunikasi organisasi.

Dari pemaparan diatas, penulis memahami peranan humas dalam perusahaan itu sangat penting sekali untuk pemahaman fungsi humas dan komunikasi organisasi, karena humas merupakan sebagai ujung tombak dari suatu perusahaan. Berikut penulis menggambarkannya peran public relations secara skematis. (Kotter dan Heskett, 1992: 8)

Bagian/divisi public relations misalnya, mengkomunikasikan kultur organisasi/perusahaan yang mereflesikan visi-misi dan strategi organisasi/perusahaan untuk mencapai objektifnya (Kotler dan Heskett, 1992: 8) Dari pemaparan diatas, penulis memahami public relation berperan sebagai salah satu unit dalam organisasi menjalankan strategi dan mendukung strategi organisasi. Dan juga public relations diperankan untuk mengkomunikasikan strategi perusahaan. Begitu juga dengan di PT. Garuda Indonesia mendudukan Humasnya pada posisi liaison/mediator/boundary role antara organisasi dengan publiknya dimana humas Garuda Indonesia berperan, membantu manajemen untuk peka (memonitor), memenage dan mengcounter issue-issue yang berkembang. Selain itu PR juga berperan membantu manajemen dalam membangun opini publik, serta membantu manajemen dalam memanfaatkan teknik-teknik komunikasi dalam upaya membangun citra perusahaan.

Peran Public Relations dalam Manajemen krisis

Peran praktisi PR menjadi sangat penting ketika perusahaan mengalami krisis. PR dapat membantu perusahaan untuk menciptakan kondisi yang dapat membawa perusahaan yang sedang menurun kembali ke sedia kala. Hal itu hanya dimungkinkan bila praktisi  PR mengenal gejala-gejala krisis dari awal dan melakukan tindakan yang terintegrasi dengan aktor-aktor penting lainnya dalam perusahaan. (Kasali: 1994: 223). Adapun salah satu Peran yang dilakukan PR ketika krisis datang yaitu yang paling penting mengenali gejala-gejala krisis terlebih dahulu. Gejala krisis ini mempunyai tiga tipe, yaitu, krisis bersifat segera, krisis baru muncul, dan krisis bertahan. Dan disinilah PR berperan harus dapat mengenali salah satu dari gejala­gejala tipe krisis tersebut yang dikaitkan dengan krisis yang dialaminya. Setelah mengenali jenis krisisnya, barulah PR menentukan tahapan krisis. Dalam tahapan krisis ini terdiri dari empat tipe, yaitu Tahap Prodromal, Tahap Akut, Tahap Kronis, dan Tahap Resolusi. Setelah mengetahui empat tahapan tersebut, barulah PR menentukan salah satu dari keempat tahapan tersebut yang terkait dengan gejala krisis. Tujuan dari mengetahui gejala krisis dan tahapan krisis tersebut adalah guna untuk mempermudah praktisi PR dalam menangani krisis. Kemudian setelah gejala dan tahapan krisisnya sudah jelas, barulah PR mengambil tindakan dalam mengelola krisis. Adapun langkah- langkah PR dalam mengelola krisis, yaitu :

  1. Identifikasi Krisis

Untuk dapat mengidentifikasi krisis, praktisi PR perlu melakukan penelitian. Bila krisis terjadi dengan cepat penelitian harus dilakukan secara informal dan kilat. Pada hari itu juga tim diterjunkan  dan mengumpulkan data, hari itu pula kesimpulan harus ditarik. Hal ini hanya memungkinkan bila praktisi PR mempunyai kecakapan dan kepekaan untuk mengumpulkan data.

  1. Analisis Krisis

Sebelum melakukan komunikasi, terlebih dahulu PR harus melakukan analisis    atas masukan yang di peroleh. Analisis yang dilakukan mempunyai cakupan yang luas, mulai dari analisis parsial sampai analisis yang kait mengait.

  1. Isolasi Krisi

Krisis adalah penyakit menular. Untuk mencegah krisis menyebar luas, maka krisis harus diisolasi, dikarantinakan terlebihdahulu sebelum tindakan serius diambil. (Kasali: 1994: 231-232) Dari penjelasan diatas penulis memahami bahwa sesuai dengan perannya di manajemen krisis, praktisi PR membantu manajemen dalam mengelola krisis, mengidentifikasi krisis terlebih dahulu, guna untuk mendapatkan data yang akurat. Setelah itu lalu menganalisis krisis dengan membaca suatu permasalahan. Dan selanjutnya mengisolasi krisis. Isolasi krisis ini dilakukan supaya krisis tidak menyebar secara luas, sebelum tindakan serius dilakukan. Setelah itu baru ditentukan Strategi yang digunakan terkait dalam manajemen krisis. Tapi sebelum mengetahui strategi yang digunakan, sebelumnya praktisi PR menggunakan pendekatan dalam menyusun strategi, salah satunya adalah pendekatan sasaran,yaitu pendekatan yang dalam menyusun strateginya terlebih dahulu menetapkan sasaran yang ingin dicapai oleh perusahaan pada masa depan. Setelah iu ditetapkan strategi yang tepat untuk mencapai sasaran tersebut.. Pendekatan sasaran ini digunakan oleh PR Garuda Indonesia. sebelum menentukan strategi yang digunakan, Selanjutnya menetapkan strategi yang diinginkan perusahaan dalam menangani krisis. Ada tiga strategi untuk menangani krisis adalah Defensive Strategi, Adaptive Strategi dan Dynamic strategy. Dan terkait dalam menangani krisis di PT Garuda Indonesia Strategi yang dipilih dalam menangani krisis tersebut adalah Adaptive Strategy. Adaptive strategi ini mencakup seperti, mengubah kebijakan, modifikasi operasional, kompromi, dan meluruskan citra.  Dengan demikian yang sudah penulis paparkan diatas, peran PR dalam manajemen krisis sangat berpengaruh sekali, karena PR dapat membantu perusahaan untuk menciptakan kondisi yang dapat membawa perusahaan yang sedang menurun kembali seperti semula.

Citra Perusahaan

Setelah mengetahui pemaparan manajemen krisis dengan strategi perusahaan, dalam pemilihan strategi tersebut, antara lain adalah agar terciptanya citra positif di mata publiknya. Terkait dalam penanganan krisis yang dilakukan Garuda Indonesia sangat baik, terutama humas yang yang melakukan perannya dengan baik dalam membantu manajemen mengatasi penanganan krisis tersebut, maka citra Garuda Indonesiapun dapat terselamatkan, bahkan Pelanggan Garudapun semakin puas dengan Garuda Indonesia, karena dapat mengatasi krisis ini dengan baik dan  Garuda pun sangat bertanggung jawab atas kerugian yang dialami penumpang. Oleh karena itu Garuda Indonesia mengalami penurunan citra di mata pelanggannya. Penanganan yang dilakukan Humas Garuda Indonesia cukup membuahkan hasil, buktinya menurut Majalah Marketing 05/VII/Mei 2007, mengatakan” Citra Garuda Indonesia dimata pelanggan tidak menurun. Buktinya yang terdaftar sebagai anggota Garuda Frequent Flyer mengaku tetap memilih Garuda Indonesia sebagai maskapai yang mereka gunakan, alasanya, selain milik Badan Usaha Milik Negara, Garuda Indonesia memiliki pelayanan paling memuaskan, dibandingkan maskapi penerbangan lain. Berikut penulis kutip ada dua definisi citra, menurut : Rose De Vene (1988: 270), Donal F. Roberts (1997: 364)

Secara bebas penulis mengartikan pengertian diatas, bahwa citra adalah keseluruhan kesan yang diciptakan oleh organisasi kepada publiknya melalui berbagai produk, berbagai kebijakan, berbagai aktifitas dan berbagai usaha periklanan dari organisasi tersebut.

Kesimpulan penulis mengenai citra diatas adalah keseluruhan kesan/gambaran mengenai perusahaan yang diberikan orang banyak dengan melihat produk, kebijakasanaan, aktifitas, periklanan dari perusahaan tersebut. Sedangkan definisi citra yang dikemukakan Roberts(1997: 364), adalah “ The Image which is simply a metaphor representing the totality of all the information about the world any individual has processed, organized, and stored, may be conceived as a kind of template or strandard against which new information is compared in order to give it meaning”.  Dari definisi diatas, penulis mengartikan citra merupakan suatu kiasan yang menggambarkan keseluruhan informasi tentang dunia yang telah diolah, diataur, dan disimpan oleh setiap orang, dibayangkan sebagai suatu bentuk atau suatu standar berlawanan yang mana informasi baru dibandingkan untuk memberikan pengertian terhadap citra. Dari pemaparan kedua definisi citra diatas, penulis menyimpulkan bahwa dari kedua definisi tersebut, terdapat sedikit perbedaan dari arti kedua definisi tersebut. Menurut De Vene definisi citra tersebut lebih kepada kesan atau gambaran mengenai perusahaan yang diberikan orang banyak dengan melihat produk, kebijaksanaan dan aktifitas dari perusahaan tersebut. Sedangkan menurut Roberts pengertian citra yang menggambarkan lebih kepada informasi tentang dunia dan disimpan di dalam diri setiap individu, yang dibandingkan untuk memberikan pengertian kembali citra apabila memperoleh informasi baru. Sebelum membahas tingkatan citra, terlebih dahulu penulis paparkan mengenai jenis-jenis citra.

Penulis memahami bahwa dari kelima jenis citra tersebut memiliki definisi atau arti yang berbeda. Untuk memiliki dari salah satu kelima citra ini, tergantung dari suatu perusahaannya masing –masing, ia mau menerapkan citra yang mana. Salah satunya adalah maskapai Garuda Indonesia yang secara nyata, bila dikaitkan dari jenis citra diatas, Garuda Indonesia sebagai maskapai penerbangan juga memiliki citra majemuk. Salah satu contohnya adalah logo diekor pesawat dan warna cat ditubuh pesawat dibuat semenarik mungkin. Ini dilakukan merupakan menjadi suatu ciri khas Garuda Indonesia. Selain itu dia juga Terkait dengan Accident pesawat Garuda Indonesia GA-200, dalam krisis manajemen ini Garuda Indonesia termasuk kedalam jenis citra yang diharapkan, karena dari accident tersebut pihak humas Garuda Indonesia telah bekerja keras dalam mengelola krisis untuk memperbaiki citra Garuda Indonesia di mata khalayaknya.

Citra perusahaan yang bagus menjadi tujuan sekaligus impian bagi semua bagi organisasi/perusahaan. Karena dengan citra yang positif akan timbul

kepercayaan dari masyarakat. Kepercyaan itu sangat membantu perusahaan dalam menjalankan tujuannya.

Ada beberapa gradasi (tingkatan) dari citra sebuah organisasi, Menurut Ruslan (2003: 301), membuat empat tingkatan dari citra sebuah arganisasi/perusahaan, yaitu : Poin A, Poin B, Poin C, dan Poin D. Bertikut penjelasan mengenai empat tingkatan citra tersebut :

  1. Poin A. Ini merupakan tingkat (grade) citra perusahaan atau organisasi yang paling ideal. Dimana organisasi dikenal sangat baik oleh masyarakat dan juga dicitrakan dengan sangat baik pula oleh masyarakat.
  2. Poin B. Tingkat (grade) perusahaan atau organisasi dimana dicitrakan dengan sangat baik, tetapi perusahaaan atau organisasi ini kurang begitu dikenal.
  3. Poin C. Tingkat (grade) dimana citra perusahaan atau organisasi buruk tetapi organisasi ini tidak dikenal oleh masyarakat.
  4. Poin D. Tingkat (grade) dimana penilaian terhadap citra perusahaan atau organisasi buruk, ditambah dengan pengenalan masyarakat terhadap perusahaan atau organisasi itu juga buruk. Poin D ini adalah kondisi citra organisasi yang paling buruk. Dari penjelasan diatas, menulis memahami bahwa dalam tingkatan citra tersebut menggambarkan kondisi suatu perusahaan. Bila dimana suatu perusahaan dikenal sangat baik oleh masyarakat dan dicitrakan sangat baik, maka perusahaan tersebut termasuk dalam tingkatan citra poin A, begitu juga sebaliknya, apabila

perusahaan itu dinilai masyarakat buruk, maka termasuk ke tingkatan citra poin D.

begitu pula seterusnya.

Penulis akan memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan di PT. Garuda Indonesia, tepatnya pada Corporate Comunications Garuda Indonesia, yaitu Divisi Humas Garuda Indonesia. Penjelasaan yang diberikan adalah mengenai penanganan krisis manajemen terhadap Accident pesawat Boeing Garuda Indonesia G.737/400 di Yogyakarta. Krisis merupakan suatu keadaan yang paling ditakuti oleh setiap perusahaan, karena krisis datangnya tidak terduga, melainkan kedatangannya tersebut bisa kapan saja terjadi. Tetapi krisis bisa juga dikatakan sebagai “suatu turning point yang diselesaikan dengan baik akan melahirkan kemenangan (for better). Dan bila gagal akan menimbulkan korban (for worse)”. (Kasali, 1994 :222).

Jadi tidak semua krisis dapat membahayakan suatu perusahaan. Krisis juga dapat mendatangkan suatu kemenangan atau keberhasilan. Kemenangan  bisa didapat tergantung dengan bagaimana cara menanganinya. Seperti halnya dalam penelitian suatu krisis manajemen yang dialami oleh PT. Garuda Indonesia pasca Accident pesawat boeing G.737/400 di Yogyakarta, pihak Garuda Indonesia merespon krisis tersebut dengan sangat cepat (Responsive). Secara tidak langsung dalam sikap responsif seperti itu, krisis tidak berkembang menjadi luas, sehingga bisa juga melahirkan kemenangan.  Terkait terhadap krisis yang dialami oleh Garuda tersebut, berikut hasil wawancara penulis dengan Pujobroto, selaku kepala Komunikasi Garuda Indonesia, mengenai bagaimana tanggapan dari pihak komunikasi Garuda Indonesia, setelah terjadi Accident tersebut? “Maka dari itu, begitu pesawat Garuda mengalami kecelakaan, tidak berapa lama kemudian kami melakukan konferensi pers yang bertujuan menjelaskan bahwa memang kejadian itu benar terjadi. Konferensi pers dan pembuatan release dilakukan secara terus menerus. Begitu liaison officer kami menyampaikan perkembangan di lapangan atau di pos-pos lainnya, kami langsung menyampaikannya kepada publik agar tidak terjadi miss comunications”. Disini penulis memahami dari pernyataan yang diberikan oleh Pujobroto tersebut, bahwa respon dari seluruh pihak Garuda Indonesia, terlebih dari pihak humasnya, terhadap krisis tersebut sangat cepat bertindak. Karena dengan keberaniannya untuk menginformasikan kebenarannya yang sesungguhnya kepada publik, maka publik paham akan kejadian yang sebenarnya, sehingga krisis ini pun tidak akan berkembang menjadi luas.

Manajemen Krisis

Berdasarkan hasil penelitian, cara responsive yang dilakukan pihak Garuda Indonesia dan Humasnya sangat jelas terlihat. Berdasarkan pengamatan penulis, baik dilapangan, di media massa, maupun dari ruang lingkup kerja ketika pasca krisis, terlihat humasnya sangat sibuk dalam mencari kebenaran berita untuk langsung mempublikasikannya ke media massa. Di ruang kerja ketika pasca krisis tersebut, humas tak henti-hentinya membuat release yang menginformasikan mengenai penanganan krisis dan rasa tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap korban Accident itu.

Selain PR,dalam penanganan krisis manajemen yang dialami PT. Garuda Indonesia ini, banyak unit-unit terkait yang terlibat dalam mengatasi krisis ini, karena PT. Garuda Indonesia mempunyai Emergency Respon Plane (ERP) yang dapat merespon krisis tersebut. Jadi ketika PT. Garuda mengalami suatu krisis semacam ini, maka Emergecy Response Plane (ERP) ini, akan berfungsi secara otomatis, dan pihak-pihak yang telah ditetapkan dalam ERP ini secara langsung bergerak ke posisisnya masing-masing (go team). Adapun pusat-pusat yang terlibat dalam menangani krisis di PT Garuda Indonesia, antara lain : Operation Control Center, Emergency Control Center, Passenger Inquiry Center, Family Assistance Center, Passenger Inquiry center, Emergency Support Management Team, Air Craft Recovery Team, dan Branch Offices. Disetiap pos terdapat satu liaison officer. Petugas ini berada dibawah Media Information Center (MIC) yang tugasnya menghimpun informasi seputar perkembangan penanganan yang ada di pos-pos tempatnya memantau. Informasi- informasi yang diterima dari liaison officer itu kemudian menjadi bahan komunikasi internal, pernyataan perusahaan (yang dilakukan oleh CEO atau Juru Bicara), konferensi dan berita pers.

Berikut merupakan struktur Emergency Respon Plane (ERP) ketika menghadapi krisis :

1. Media Information Center (MIC)

2. Operation Control Center (OCC)

3. Emergency Control Center (ECC)

4. Site Control Center (SCC)

5. Family Assistance Center (FAC)

6. Passengenger Inquiry Center (PIC)

7. Emergency Support Management Team (EMST)

8. Aircraft Recovery Team (ART)

9. Go Team

10. Garuda Indonesia Policy Group (GA Policy

Group)

11. Banch Office Garuda Indonesia

Dari struktur ERP diatas, penulis menjelaskan bahwa dibawah posisi MIC sampai dengan posisi Banch office Garuda indonesia tersebut bertugas untuk mencari data mengenai accident tersebut, dari mencari tahu penyebab kecelakaan sampai dengan jumlah korban yang selamat dan tidak. Setelah data terkumpul barulah dari team-team tersebut melaporkannya kepada Media Information Center (MIC). Sedangkan posisi humas dalam struktur tersebut berada di Media Information Center (MIC). Dan MIC ini berada di posisi paling atas dari struktur ERP, karena MIC ini merupakan penghubung dari seluruh Team ERP tersebut. Tugas dari Media Informations Center ini menghimpun informasi seputar perkembangan penanganan yang ada di pos-pos tempat ia memantau. Dari informasi yang diterima  dari liaison officer tersebut. Kemudian menjadi bahan informasi bagi komunikasi internal. Disinilah humas yang mengelola data tersebut, apakah data itu akurat atau tidak. Dan kemudian humas nenunjuk Emirsyah satar, selaku Direktur utama Garuda sebagai juru bicara untuk menginformasikan kejadian yang sebenarnya kepada media dan khalayak. Dalam menangani krisis ini pertama-tama hal yang dilakukan PR PT. Garuda Indonesia adalah mengenali gejala krisisnya  terlebih dahulu. Berdasarkan pengamatan penulis, krisis yang menimpa kecelakaan, seperti pesawat jatuh termasuk kedalam jenis tipe krisis yang bersifat segera. Hal itu di nyatakan pula oleh informan bahwa kejadian Accident kecelakaan pesawat tersebut sangat mengagetkan pihak Garuda Indonesia, dan tidak dikira sebelumnya, dikarenakan pesawat tersebut dalam keadaan laik terbang, dan sebelum keberangkatan pesawat juga diperiksa terlebih dahulu. Pernyataan informan tersebut sesuai dengan pendapat morissan (2006: 154) bahwa kecelakaan yang terjadi begitu tiba-tiba, dan tidak terduga atau diharapkan termasuk dalm jenis tipe krisis bersifat segera. Contoh : Pesawat jatuh, gempa bumi, kebakaran, serangan bom, produk yang tercemar.

Menurut dari pernyataan informan tersebut, setelah humas mengetahui jenis tipe krisisnya, baru masuk kepada tahapan krisis. Dalam menentukan tahapan krisis perlu dikaitkan dengan tipe krisis yang sudah ditentukan. Berikut petikan hasil wawancara dengan informan. “ untuk dapat melakukan penanganan krisis yang maksimal, kita harus mengenali dan paham benar terhadap jenis krisis apa yang sedang kita hadapi sekarang, apakah jenis krisis tersebut berbahaya atau tidak. Dan biasanya setelah kita sudah menemukan jenis krisis yang cocok terkait dengan accident pesawat Garuda tersebut, kita lebih mudah dapat mengenali tahapan krisis yang akan digunakan. Karena Semuanya itu ibaratkan sudah ada pasangannya masing- masing. Oleh karena itu bisa dilihat dari tipe krisis tersebut bersifat segera, maka tahapan yang cocok digunakan termasuk kedalam tahap Akut. Karena pada tahap ini sudah terbilang cukup bahaya, dan sudah memakan korban”. Setelah tipe krisis di identifikasi, barulah ditetapkan cara mengelola krisis. Dari pengamatan penulis, cara kerja humas dan unit terkait sangat kompak. Dalam hal ini PR Garuda Indonesia mempunyai kecakapan, responsive, dan kepekaan dalam mengumpulkan data. Untuk itu ketika krisis datang PR Garuda mengawalinya dengan mengidentifikasi terlebih dahulu, setelah itu baru mengklarifikasinya. Dalam hal ini PR bekerja sama dengan tim ERP untuk mengelola krisis tersebut. Dan ERP ditugaskan untuk mencari data dan informasi mengenai kejadian accident pesawat GA. 200. dan setelah data terkumpul barulah PR melakukan diagnosis krisis tersebut, untuk menentukan langkah – langkah yang akan diambil selanjutnya. Berikut merupakan penjelasan berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dari kerja sama antara humas dan anggota ERP pada tanggal 7 Maret 2007:

  1. Pada hari pertama pasca accident banyak yang menduga accident tersebut dikarenakan adanya dugaan sabotase.
  2. Pesawat GA-200 melayani rute Jakarta-yogyakarta, berangkat dari Jakarta tepat waktu pukul 06.00 WIB. tiba di Yogyakarta rencana nya pukul 06.55 WIB.
  3. Awak pesawat GA.200 sebanyak 7 orang terdiri dari : Capt. M  Marwoto Komar (Pilot in Command), Gagam Saman Rohmana (First Officer), Wiranto Wooryono( Purser), Irawati (Senior awak kabin), Mariati (senior awak kain), Imam arif Iskandar (Senior awak kabin, dan Ratna Budiyanti( Junior awak kabin).
  4. Pesawat mengalami accident dalam kondisi terbakar. Pesawat saat itu berada di ujung runway 09 sebelah Timur Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta.
  5. Hingga pada hari pertama kejadian, telah berhasil dievakuasi sebanyak 93 penumpang. Mereka yang berhasil dievakusi telah dibawa ke rumah sakit antara lain RS Panti Rapih, RS Panti Rini. Proses evakuasi terus berlangsung, selain petugas bagian operasi dan bagian teknik Garuda, pelaksanaan juga dibantu oleh kesatuan TNI-AU, TNI-AD, dan Polri.
  6. Dalam kecelakaan itu, Garuda menanggung seluruh biaya pengobatan para penumpang.
  7. Sementara itu bagi keluarga korban yang ingin menghubungi kantor Garuda Indonesia, Jakarta dapat melalui nomor telepon : 021-23113993, 021-2310049 dan 021-389-00128, faximile : 021-2311105. posko Garuda  di Bandara Soekarno Hatta : 021-5506721, 021-550-8747
  8. Untuk membantu keluarga korban menunju ke Yogyakarta, Garuda Indonesia pada hari pertama menyiapkan dua pesawat, yang akan diberangkatkan pada pukul 15.00 WIB (GA-2022) dan pukul17.30 WIB (GA-2062). Untuk keperluan keberangkatan tersebut, para keluarga korban dapat menghubungi nomor telepon posko Garuda di Bandara Soekarno Hatta : 021-5506721.
  9. Setelah dilaksanakan proses evakuasi, diketahui sebanyak 112 penumpang dalam kondisi selamat, sedangkan 21 penumpang lainnya meninggal dunia. Mereka yang meninggal dunia tersebut dari 19 penumpang meninggal di lokasi kejadian, 1 penumpang di RS Angkatan Udara,  penumpang meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dalam mengidentifikasi krisis ini,barulah PR Garuda Indonesia mendiagnosisnya untuk melakukan tindakan selanjutnya. Setelah identifikasi krisis selesai, selanjutnya PR melakukan Analisis krisis. PR memilah data yang benar atau tidak. Karena disinilah peran PR Garuda Indonesia untuk bisa mengkomunikasikannya kepada khalayak bahwa memang benar terjadi Accident di Yogyakarta pada tanggal 7 Maret 2007, sehingga khalayak menjadi tahu akan kejadian yang sebenarnya. Sehingga tidak menimbulkan kabar yang simpang siur, seperti ada yang menduga kecelakaan pesawat tersebut

dikarenakan adanya dugaan sabotase. Kabar palsu itu langsung di tampik oleh Key Informan sebagai berikut : “Bahwa sebenarnya dalam accident itu bukan adanya unsur terorisme, melainkan hanya kesalahan tekhnis saja, jadi penyebab dari kecelakaan tersebut dari kecepatan pesawat yang menjadi faktor kecelakaan itu”. Dan untuk menghadapi kabar yang tidak jelas itu, PR Garuda Indonesia langsung segera untuk mengklarifikasikannya, dengan menceritakan kejadian tersebut dengan jujur dan terbuka kepada media massa.

Terkait dalam penjelasan informan diatas, Pujobroto menjelaskan  : “ Pada prinsipnya , dalam upaya menangani krisis, pihaknya memerhatikan tiga hal : pertama, kejujuran atau akurasi, kedua kecepatan (Responsive), ketiga tanggng jawab. Kalau tidak jujur berarti kami membohongi publik. Kalau kami melakukan kebohongan sekali saja, maka diperlukan kebohongan­kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Kami sangat jujur dalam menginformasikan tentang kejadian-kejadian yang ada “.

Penulis menjelaskan bahwa penanganan yang dilakukan oleh pihak Garuda Indonesia sangat baik, selain pihak Garuda sangat cepat untuk mengklarifikasikan dan juga sangat bertanggung jawab atas Accident tersebut.Oleh karena itu Garuda menanggung seluruh biaya pengobatan bagi penumpang yang mengalami cidera, luka ringan, maupun yang parah hingga sehat (termasuk berobat jalan hingga saat ini).Garuda juga menyediakan penerbangan gratis bagi keluarga korban dari tempat asal menuju Yogyakarta dan sebaliknya, antara lain Garuda menyiapkan 2 flights dari Jakarta ke Yogyakarta pada hari pertama kejadian pada 7 Maret 2007; dan rute Yogyakarta ke Jakarta pada hari kedua kejadian pada 8 Maret 2007.

Garuda Indonesia juga menerbangkan para korban yang selamat ke kota atau tempat sesuai keinginan korban. Selain itu Garuda juga menerbangkan korban yang meninggal dunia ke tempat sesuai keinginan keluarga korban dan memberikan “Uang Bantuan Pemakaman” sebesar Rp 10 juta. Dan untuk uang santunan kepada korban meninggal dunia Garuda Indonesia memberikan sebesar 600 juta (termasuk uang asuransi, uang simpati, dan penggantian bagasi). Sedangkan kepada korban yang selamat Garuda memberikan uang sebesar Rp 75 juta (termasuk ung simpati dan penggantian bagasi). Dan khusus korban meninggal Prof.DR. Koesnadi H (mantan Rektor UGM) karena yang bersangkutan adalah anggota New Executive Card Plus (New EC Plus), maka Prof. DR. Koesnadi H mendapat santunan asuransi jiwa sebagai anggota EC Plus sebesar Rp 1 miliar (belum termasuk uang santunan asuransi sebesar Rp 600 juta yang juga akan diterima ahli waris almarhum). Prof.Dr. Koesnadi H menjadi anggota New EC sejak tahun 1999; dan telah terbang menggunakan Garuda Indonesia sebanyak 802 kali.Oleh karena itu penanganan Garuda ini terbilang cepat, karena hanya dalam waktu 8 hari pasca musibah GA-200, Garuda Indonesia telah mulai melaksanakan penyerahan uang santunan asuransi kepada korban GA-200 yang meninggal dunia.

Terkait dalam mengelola krisis ini langkah- langkah yang dilakukan Humas Garuda Indonesia dalam mengelola krisis hanya pada sampai analisis krisis saja, dalam kenyataan ini agak sedikit berbeda dengan di teori. Sedangkan diteori melalui tahap mengisolasi krisis. Sedangkan pada kenyataannya humas Garuda pada tahapan mengelola krisis hanya pada analisis krisis, karena menurut GM komunikasi eksternal Garuda penanganan dalam melakukan krisis tersebut tidak perlu adanya pengisolasian krisis, Karena ketika terjadi krisis, sudah ada team manajemen yang kuat yang khusus menangani krisis tersebut secara bertahap untulk melakukan pemulihan. Dan selanjutnya beralih menentukan strategi yang digunakan terkait dalam penanganan krisis.

Strategi Manajemen Krisis

Dalam melakukan penanganan krisis Garuda Indonesia tentunya harus ada tahapan strategi khusus yang dilakukan oleh pihak Garuda untuk memulihkan cita dimata khalayaknya. Singgih Handoyo, selaku GM. Komunikasi eksternal mengungkapkan “ Bahwa dalam melakukan penanganan krisis ini kita tidak memakai tahapan strategi khusus, akan tetapi kita lebih memaksimalkan penanganannya. Semua itu kan tergantung dengan bagaimana menanganinya. Biarpun kalau ada strategi khusus, namun pelayananya tidak berhasil, jadi kan sia-sia. Dan sebaliknya bila krisis tersebut ditangani seara serius dan sesuai dengan kendak penumpang, maka citra perusahaan akan makin terdongkrak”.

Dari pernyataan singgih Handoyo diatas, jadi jelas bahwa pihak Garuda Indonesia tidak memakai Tahapan strategi khusus, melainkan sistem penanganan saja yang dioptimalkan.

Terkait dengan strategi manajemen krisis, Pujobroto pun mengatakan : “Strategi itu kan, bagaimana kita bisa  mengatasi permasalahan atu krisis itu dengan memberikan gen, tentunya itu adalah pertama dari sisi internet ada perbaikan dikita. Kedua dari sisi citra juga perbaikan karena pada prinsipnya citra itu kan cerminan dari kinerja kita”. Penulis memahami bahwa dari kedua pendapat key informan tersebut keduanya memberi pernyatan yang sama dalam melakukan krisis, yaitu tidak ada tahapan strategi khusus, untuk itu humas Garuda Indonesia dalam menyempurkan cita sebagai penerbangan yang aman, maka yang dilakukan humas dengan melakukan penanganan yang secara berkesinambungan dan benar-benar dilakukan dengan serius, maka nantinya bisa berjalan dengan baik. Akan tetapi penulis membandingkan dari tahapan strategi yang ada di PT Garuda Indonesia dalam menangani krisis dengan yang ada diteori, berbeda dengan strategi yang diterapkan di PT. Garuda Indonesia. Sedangkan dalam teori setelah tahap mengelola krisis baru dipilih strategi yang akan digunakan, terkait dengan kerangka pemikiran, dalam pilihan strategi dibagi 3; Defensive strategi, Adaptive strategi, dan dinamic strategi. Dalam kerangka pemikiran strategi yang cocok dalam meluruskan citra adalah strategi Adaptive, karena langkah yang diambil dalam strategi ini mencakup hal-hal yang luas, yakni; mengubah kebijakan, memodifikasi operasional, kompromi, dan terakhir meluruskan citra. Dan dibandingkan dari hasil penelitian yang penulis dapat, bahwa di PT. Garuda Indonesia dalam mengelola krisis tidak ada pembentukan strategi khusus, melainkan strategi yang di gunakan oleh Humas Garuda Indonesia ialah Strategi dari aspek komunikasi dalam melakukan penanganan Accident Pesawat Boeing G.737/400. dan dalam melakukan strategi dalam penanganan krisis ini, sama halnya dengan yang ada di teori sebelumnya terlebih dahulu menggunakan pendekatan, hanya saja strateginya yang berbeda. Untuk itu pendekatan yang digunakan humas Garuda ialah pendekatan Sasaran:

  1. Secara bertahap mampu menciptakan (merubah) situasi “ketidakpastian” menjadi kondisi yang “pasti”
  2. Membantu media massa untuk senantiasa fokus terhadap data dan fakta yang ada, sesuai perkembangan penanganan accident.
  3. Menjaga kepercayaan publik bahwa penerbangan merupakan penerbangan yang “safe” dan perusahaan menunjukkan sikap yang “caring” terhadap para korban dan anggota keluarganya.

Alasan Garuda memilih pendekatan Sasaran tersebut adalah untuk mengetahui sasaran yang ingin dicapai ole PT. Garuda Indonesia. jadi maksud dari sasaran tersebut adalah khalayak dan pelanggan. Untuk itu pihak Garuda  Indonesia memberikan informasi yang fakta kepada media massa, bahwa setiap perkembangan penanganan krisis terbaru harus cepat menginformasikannya ke media. Pendekatan sasaran itu dilakukan, karena Garuda tidak ingin mengecewakan banyak pihak, terutama kepada pelanggan setia Garuda. Jadi dengan sasaran tersebut dalam penanganan krisis Garuda Indonesia sangat bertanggung jawab atas kerugian yang dialami korban.

Terkait dalam mengelola krisis strategi yang digunakan humas dalam aspek komunikasi adalah:

  1. Mengaktifkan “Communications team” sesuai perincian tugas dan tanggung jawabnya.
  2. Melaksanakan koordinasi dengan pihak terkait dalam penanganan accident.
  3. Menjadi sumber informasi yang cepat, akurat serta menyampaikan informasi yang penting dan mengurangi situasi “ketidakpastian”.
  4. Bersikap penuh perhatian, jujur, terbuka serta tidak berspekulatif

Dari ke empat strategi dalam menanganai krisis tersebut semua itu sudah dijalankan oleh Pihak PT. Garuda Indonesia secara tepat dalam mengelola krisis.

Diantaranya dalam mengaktifkan comunikasi team, seperti yang dilakukan humas dan pihak terkait dalam anggota ERP melakukan kordinasi semuanya saling berhubungan dan melakukan tugasnya dengan baik terhadap penanganan tersebut. Dan juga pihak Humas Garuda selalu jujur dan terbuka kepada pers dan media massa dalam menginformasikan dari awal kejadian krisis hingga pada tahap sampai memulihkan citra Garuda Indonesia. dalam menginformasikan tersebut terbilang sangat cepat, akurat, dan sangat jelas tidak berspekulatif dalam menginformasikannya.

Peran PR

Setelah melakukan tahapan dalam melakukan penanganan krisis tersebut. Disini dapat terlihat jelas, bahwa dari penanganan krisis peran PR dalam manajemen krisis tersebut penting sekali bagi perusahaan dalam membantu perusahaan untuk menciptakan kondisi yang dapat membawa perusahaan yang sedang menurun kembali pulih kesedia kala. Hal itu hanya dimungkinkan bila praktisi PR mengenal gejala-gejala krisis dari awal dan melakukan tindakan yang terintegrasi dengan akto­aktor penting lainnya dalam perusahaan. (Kasali: 1994: 223) Sama halnya yang dilakukan oleh PR Garuda Indonesia, sebelum melakukan langkah apa yang digunakan dalam menangani krisis tersebut. Terlebih dahulu PR Garuda dapat mengenali dari jenis krisis, tahapan krisis yang digunakan, hingga sampai pada mengelola krisis. Dari tahapan yang dilakukan oleh PR Garuda Indonesia tersebut dapat terlihat jelas, bahwa penanganan yang dilakukan PR Garuda sangat baik. Karena PT. Garuda Indonesia mempunyai team manajemen yang khusus menangani krisis (ERP). Jadi untuk memaksimalkan penangananya, Garuda Indonesia melakukan simulasi krisis secara berkala, yaitu setahun dua kali. Dalam proses latihan penanganan krisis itu pun ditangani oleh petugas setingkat general manager. Berikut Singgih Handoyo mengatakan :

“terakhir, kami melakukan simulasi kecelakaan penerbangan pada januari 2007. saat itu maskapai kami seolah-olah terbang dari Jakarta ke Denpasar dan mengalami kecelakaan. situasi simulasi itu didesain benar-benar mirip dengan kejadian sebenarnya. Jadi ketika kecelakaan terjadi, kami sudah tahu apa yang harus kami lakukan”. Terkait dengan penanganan krisis di PT.Garuda Indonesia, dapat terlihat ketika terjadi krisis sudah tau apa yang harus dilakukan oleh pihak Garuda beserta humas dan unit lainnya. Terbukti dari upaya penanganan yang sudah dilakukan oleh Humas Garuda Indonesia sangat maksimal membuahkan hasil. Citra Garuda Indonesia di mata pelanggan tidak menurun. Berikut wawancara penulis dengan slamet Riyadi pelanggan Garuda Indonesia yang terdaftar sebagai anggota Frequent Flyer mengaku tetap memilih Garuda Indonesia sebagai maskapai yang digunakan, alasanya : “Selain milik badan usaha negara, Garuda Indonesia memiliki pelayanan paling memuaskan dibandingkan maskapai domestik lainnya. Karena kalau soal kecelakaan semua maskapai bisa celaka, ya. Namun Garuda Indonesia menangani kecelakaan yang terjadi dengan cukup bagus”.

Dari pernyataan diatas, penulis memahami bahwa accident yang terjadi pada pesawat Garuda Indonesia, sama sekali tidak berpengaruh kepada pelanggan Garuda Indonesia. karena terlihat penanganan yang dilakukan Garuda Indonesi sangat maksimal. Maka tidak memudarkan kepercayaan masyarakat untuk tetap menggunakan maskapai penerbangan Garuda Indonesia.  Pendapat diatas dibenarkan oleh Emirsyah Satar : “Peristiwa krisis Garuda Indonesia di Yogyakarta tidak berdampak buruk

bagi penjualan. Bahkan, maskapainya tetap diminati dengan load factor hampir 100%. Karena itu, pihaknya optimistis akan mampu membukukan keuntungan RP 25 miliar tahun ini, setelah sebelumnya mengalami kerugian terus-menerus. Tahun 2004 kami mengalami kerugian Rp 811 miliar, tahun 2005 rugi Rp 688 miliar, dan tahun 2006 kami rugi Rp 197 miliar. Tahun ini kami optimistis akan meraup keuntungan Rp 25 miliar, jelas terkait dengan krisis yang terjadi, publik percaya terhadap pelayanan dan penanganan krisis yang dilakukan oleh Garuda Indonesia”.

Terkait dalam penanganan krisis yang di lakukan pihak Garuda Indonesia tersebut. Maka tujuan penelitian penulis pun terjawab. Penulis sudah mengetahui manajemen krisis di PT. Garuda Indonesia, yaitu lebih memusatkan penanganan dan tanggung jawab terhadap para korban, dan juga penulis mengetahui strategi dari aspek komunikasi terkait terhadap penanganan krisis, walaupun tidak sepenunya sama dengan yang ada diteori. Dari mengetahui adanya krisis, jenis krisis, tahapan krisis yang digunakan, mengelola krisis, sampai dengan pemulihan citra tersebut. Penulis mmemahami bahwa yang tergambar dalam penanganan krisis tersebut. PR Garuda Indonesia benar sangat berperan sekali dalam melakukan penanganan krisis.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada PT. Garuda Indonesia, penulis menyimpulkan sebagai berikut : Untuk melakukan penanganan krisis yang dilakukan pihak humas Garuda Indonesia, terlebih dahulu humas mengenali jenis krisisnya terlebih dahulu, baru tahapan krisisnya, hingga sampai pada pengelolaan krisis. Berdasarkan hasil penelitian Tipe krisis yang dihadapi Garuda Indonesia adalah jenis tipe krisis yang bersifat segera, karena menyangkut kecelakaan pesawat. Terkait dari tipe krisis tersebut, humas menentukan tahapan dari jenis krisis tersebut termasuk kedalam tahap akut, karena krisis yang dialami ini sudah termasuk besar, karena memakan banyak korban. Dan untuk selanjutnya dilakukan pengelolaan krisis dari mulai mengidentifikasi krisis, Analisis Krisis, dan Isolasi Krisis. Penanganaan yang dilakukan Humas Garuda Indonesia itu, ternyata berdampak baik bagi perusahaan. Itu terbukti, karena pelangan percaya akan penanganan yang dilakukan oleh Garuda Indonesia sangat bagus. Untuk itu khalayak terutama pelanggan masih mempercayai Garuda Indonesia sebagai maskapai penerbangan yang paling aman. Dapat terlihat dalam penanganan krisis ini humas

Garuda Indonesia melakukan perannya dengan sangat baik dan maksimal.

Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro dan Erdinaya, Lukiati Komala, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005.

Bogdan, dan Taylor, Participan Observation In Organicational3 Setting, NewYork University Press, 1975.

Donnell, Mc, Edward. J., Imlanting Strategi Manajemen, 2nd.ed. Newyork: Prentice Hall, 1990

Heskett, Kotler, Corporate Culture and Performance, Newyork : The Free Press, 1992.

Institutute of Food and Agricultural Scienses (IFAS, Eksternal Relations Manual For Public Accountability, Gainessvine : University of Florida, 2001.

Iriantara, Yosal, Manajemen Strategis Public Relations, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004

Jefkins, Frank, Public Reletions Edisi Keempat, Erlangga, Jakarta, 1995.

Kasali, Rhenald, Manajemen Public Relations, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia ( PT. Pustaka Utama Grafisi, Jakarta 1994.

Kusumastuti, Frida, Dasar-dasar Humas, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Lubis, Hari S.B, Pengantar Manajemen Strategik, Bandung: TP Shinoff Group, 1992.

Moleong, Dr.Lexy j, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, 2000.

Morissan, Pengantar Public Relations Strategi Menjadi Humas Profesional, Ramdina Prakarsa, Bandung, 2006.

Robson, Wendy, Strategic Manajemen and Informations System : An Integrate Approach, 2nd ed, Harlow : Person Education Ltd, 1997.

Rose, De Vene The Desagner’s Guide to Creating Corporate I.D System Firs Edition, R&W Dublicat Ions Ohio, 1992.

Ruslan, Rosady, Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Schramm, Wilbur dan Donal F. Roberts, The Process and Efec Of Mass Communication, of Florida University of Illinuis Press, 1977.

Yin, Robert K, Studi Kasus (Desain dan Metode), PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Sumber lain :

PT. Garuda Indonesia. Company Profile Dokumen dan Rekaman Arsip milik Divisi Corporate Comunications PT. Garuda

Indonesia Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1995 http : //www. Dephan.go.id. http : //www.google.co.id.

* Jurnal diatas diterbitkan dalam Jurnal Komunikologi Vol.7 No.1  Maret 2010