“PENINGKATAN PROFESIONALISME DAN ETIKA HUKUM”

Oleh:

Dr. H. Darmono, SH, MH

Wakil Jaksa Agung, RI

[icon name=”star_2.png” url=”http://https://www.esaunggul.ac.id/index.php?mib=info.detail&id=63&title=Meningkatkan%20Profesionalisme%20dan%20Etika%20Penegak%20Hukum”] Disampaikan pada Seminar “Meningkatkan Profesionalisme dan Etika Sebagai Penegak Hukum” [/icon]

I.   PENDAHULUAN
Di era reformasi menuju demokrasi dan transparansi, salah satu agenda yang harus dilaksanakan adalah menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menegakkan supremasi hukum berarti menempatkan hukum sebagai patokan tertinggi berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, dimana Negara dengan kekuasaannya tunduk pada hukum, dan setiap subyek hukum baik orang maupun badan hukum berkesamaan kedudukannya dihadapan hukum, wajib mentaati serta menjunjung tinggi hukum tanpa ada kecualinya.

Di kalangan masyarakat luas konotasi supremasi hukum seringkali dipahami dengan sebutan menjadikan hukum sebagai panglima, intinya segala permasalahan hukum wajib diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku. Tegasnya orientasi penegakan hukum diarahkan untuk mencapai tujuan hukum dan tujuan sosial melalui institusi penegak hukum yang berwenang, berkewajiban dan bertanggung jawab atas pelaksanaan penegakan hukum secara tegas, konsekuen dan konsisten terhadap segala bentuk perbuatan melanggar hukum, baik bidang publik maupun hukum privat, termasuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Sehubungan dengan itulah maka alat negara penegak hukum dalam melaksanakan tugas kewenangannya bertolak pangkal bukan semata-mata dari kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya melainkan ia adalah alat negara yang melayani kebutuhan secara serasi dan seimbang antara kepentingan anggota masyarakat dan masyarakat negara itu sebagai suatu kesatuan. Keseimbangan dan keserasian ini di satu segi berarti tindakan tegas bagi setiap pelanggar hukum sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan di segi lain berarti perlindungan bagi setiap orang yang tidak melanggar hukum dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Tata cara penindakan yang pasti, batas kewenangan, hak dan kewajiban penegak hukum serta perlindungan bagi mereka yang hak asasinya akan dikurangi, secara tegas telah diatur dalam Hukum Acara Pidana Nasional yang dalam waktu dekat diharapkan akan sudah diundangkan. Sehingga jaminan hukum yang jelas, tepat dan benar akan semakin mewujudkan tujuan hukum pada umumnya yaitu ketertiban dan kepastian, yang selanjutnya akan lebih mempercepat perputaran usaha pembangunan serta akan menumbuhkan pula kesadaran hukum dalam masyarakat.

Era reformasi dan globalisasi yang ditafsirkan penegak hukum sebagai reformasi dan globalisasi di bidang hukum, maka sumberdaya manusia penegak hukum harus diiringi suatu ketrampilan penuh dinamika sesuai predikat yang disandang. Dikaitkan dengan pemberitaan dan penilaian sebagian besar masyarakat bahwa aparat penegak hukum belum bersikap profesional, terutama dalam upaya memberantas praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang semakin marak akhir-akhir ini; maka sumberdaya manusia penegak hukum perlu direorientasikan pada eksistensi misi penegak hukum yang berpangkal pada perlindungan dan penegakan kepentingan umum dan kepentingan hukum pada umumnya, dengan senantiasa berpegang pada asas persamaan di depan hukum, supremasi hukum dan konstitusi.

Reformasi dan globalisasi sumberdaya manusia penegak hukum tidak dapat dilepaskan keterkaitannya sebagai Aparatur Negara. Dalam bersikap perilaku sebagai abdi masyarakat, aparatur negara harus bersifat akomodatif, berorientasi terhadap kepentingan umum, pengupayaan aspirasi rakyat dalam kenyataan dan perwujudan demokrasi sesungguhnya.

Pembinaan aparatur negara agar bersih dan berwibawa bukan upaya mudah. Aparatur negara yang berwibawa senantiasa menghindar/terhindar dari penyelewengan, pemborosan, kebocoran, pungutan liar dan korupsi. Dengan mensyaratkan kebersihannya lebih dahulu kemudian untuk menambah kewibawaannya, aparat pebegak hukum harus menambah bekal profesi agar pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai abdi masyarakat menjadi sempurna.
Pembinaan sumberdaya manusia penegak hukum dalam era reformasi dan globalisasi merupakan masalah kompleks dan memiliki interdependensi dengan orientasi penegak hukum, serta dipengaruhi oleh berbagai tantangan dan masalah stategis; baik internal (menyangkut struktur organisasi) maupun eksternal (berkaitan dengan pengaruh perkembangan politik, pergeseran tata nilai maupun peningkatan kesadaran hukum masyarakat).
Semua ini dapat diawali dengan upaya rekrutmen dan selanjutnya melakukan pembinaan sumberdaya manusia penegak hukum yang berkualifikasi profesional, memiliki integritas dan berdisiplin.

II.  JABATAN PROFESI DAN PROFESIONALISME
Jabatan penegak hukum bukan sekedar lahan pekerjaan (vocation) namun juga merupakan profesi. Penegak hukum sebagai seorang profesional dituntut untuk mempunyai tiga karakteristik, yaitu: keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility) / pertanggungjawaban sosial (social responsibility), serta rasa kesatuan dan keterikatan (corporateness) dalam menegakkan martabat kompetensi profesinya. Samuel P. Huntington dalam bukunya berjudul”Prajurit dan Negara. Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil. (The Soldier and The State)” menegaskan : “The distinguishing characteristics of a profession as a special type of vocation are its expertise, responsibility and corporateness” (Hal yang membedakan karakteristik sebuah profesi sebagai suatu jenis pekerjaan yang khusus adalah keahlian, tanggung jawab, dan kesatuannya).

Expertise. The professional man is an expert with specialized knowledge and skill in a significant field of human endeavor. His expertise is acquired only by prolonged education and experience. It is the basic of objective standards of professional competence for separating the profession from laymen and measuring the relative competence of members of the profession. Such standard are universal. They inhere in the knowledge and skill and are capable of
general application irrespective of time and place…..

(Keahlian. Orang yang profesional adalah seorang ahli yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan khusus dalam suatu bidang yang penting, yang merupakan kerja keras manusia. Keahliannya diperoleh hanya dari pendidikan yang tinggi dan pengalaman. Ini menjadi dasar dari standar objektif kemampuan profesional yang membedakan profesi dengan orang awam dan mengukur kemampuan relatif para anggota profesi tersebut. Standar-standar tersebut bersifat universal. Melekat dalam pengetahuan dan ketrampilan serta dapat diaplikasikan secara umum tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat…..)

Responsibility. The professional man is a practicing expert, working in social contex, and performing a service, … which is essential to the functioning of society. … The essential and general character of his service and his monopoly of his skill impose upon the professional man the responsibility to perform the service when required by society. This social responsibility distinguishes the professional man from other experts with only intellectual skills in a manner harmful to society……

(Tanggung jawab. Orang yang profesional adalah seorang yang ahli dalam praktek profesinya, bekerja dalam sebuah konteks sosial, dan melakukan suatu pelayanan, … yang sifatnya penting bagi fungsi masyarakat. … Karakter inti dan umum pelayanannya dan sifat monopoli terhadap ketrampilan yang dimilikinya membebani para profesional dengan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan pada saat diperlukan oleh masyarakat. Tanggung jawab sosial ini membedakan seorang profesional dengan para ahli lainnya yang hanya memiliki ketrampilan intelektual……)

Corporateness. The members of a profession share a sense of organic unity and consciousness of themselves as a group apart from laymen. This collective sense has its origins in the lengthy discipline and training necessary for professional competence, the common bond of work, and the sharing of a unique social responsibility. The sense of unity manifests itself in a professional organization which formalizes and applies the standards of professional competence and establishes and enforces the standards of professional responsibility……….

(Kesatuan. Para anggota dari suatu profesi saling berbagi rasa persatuan dan kesadaran akan keberadaan mereka sebagai sebuah kelompok yang berbeda dari orang awam. Rasa kebersamaan ini bersumber dan kedisiplinan dan pelatihan kemampuan profesional, ikatan kerja bersama, dan saling berbagi suatu tanggung jawab sosial yang unik. Rasa kesatuan terwujud dalam suatu organisasi profesional yang membentuk dan menerapkan standar tanggung jawab profesional……..)

Mengacu pada penegasan di muka, jabatan penegak hukum sebagai jabatan profesi, di samping harus mempunyai tugas dan wewenang sesuai dengan perkembangan zaman serta dinamika masyarakat; juga dituntut memiliki kemampuan kognitif dan afektif dalam penegakan hukum dan keadilan. Kemampuan kognitif berarti kemampuan yang berkaitan dengan pengenalan dan penafsiran lingkungan oleh seseorang yang bercirikan keilmuan. Sedangkan kemampuan afektif berkenaan dengan perasaan yang tercermin pada sikap seseorang yang ditandai oleh tanggungjawab sosialnya.

Contohnya, di kalangan Kejaksaan yang merupakan salah satu dari institusi penegak hukum, sebagai upaya untuk mewujudkan karakteristik profesi Jaksa yang memenuhi tuntutan kognitif dan afektif sesuai misi dan tugas Kejaksaan, sejak lama Kejaksaan telah memiliki Doktrin Tri Krama Adhyaksa yang mengandung 3 (tiga) ajaran fundamental, yaitu :
  1. Satya, berarti kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga, maupun kepada sesama manusia.
  2. Adhi, berarti kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tanggungjawab, bertanggungjawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga, dan terhadap sesama.
  3. Wicaksana, berarti bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.

Doktrin ini kemudian dijabarkan dalam Tata Krama Adhyaksa sebagai kode etik Jaksa yang menjadi tuntutan, tata pikir, tata tutur dan tata laku dalam mewujudkan jati diri Jaksa mandiri yang mumpuni.

Dalam rangka mewujudkan jabatan penegak hukum sebagai jabatan profesi yang mempunyai tiga kualifikasi yaitu mempunyai keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesatuan (corporateness); dimulai sejak penentuan kualifikasi dan penerimaan calon pegawai (penegak hukum). Penentuan kualifikasi atau sifat dan keadaan pekerjaan serta kecakapan pegawai yang akan melakukan pekerjaan tersebut dapat dilakukan melalui job analysis.

M. Manullang dalam bukunya “Management Personalia,”mengatakan bahwa, job analysis atau analisa jabatan adalah “suatu proses untuk membuat uraian pekerjaan sedemikian rupa, sehingga dari uraian tersebut dapat diperoleh keterangan-keterangan yang perlu untuk dapat menilai jabatan itu guna sesuatu keperluan.”

Analisa jabatan sesuai tujuannya, dibedakan menjadi :
  1. Job analysis for training purpose, yaitu yang bertujuan untuk menentukan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengajarkan sesuatu pekerjaan kepada seseorang pegawai baru. Analisa jabatan ini pada umumnya digunakan untuk kebutuhan pelatihan atau pendidikan
  2. Job analysis for setting rates, yaitu bertujuan untuk menentukan nilai masing-masing jabatan, sehingga dapat ditentukan nilai masing-masing jabatan, sehingga dapat ditentukan tingkat pendapatan atau gaji masing-masing jabatan secara adil
  3. Job analysis for method improvements, yaitu ditujukan untuk memperoleh cara bekerja pegawai pada suatu jabatan tertentu dengan maksud menghilangkan gerak pegawai yang tidak perlu
  4. Job analysis for personel specifications, yaitu bertujuan untuk memberikan fakta-fakta atau keterangan tentang apa yang dikerjakan dalam suatu jabatan dan jenis pegawai mana atau pegawai yang mempunyai kualifikasi bagaimana dibutuhkan untuk memangku jabatan tersebut.

Yang perlu mendapat perhatian dalam menentukan kualifikasi calon penegak hukum adalah jenis ke-empat. Karena dengan analisa jabatan ini akan didapat 4 (empat) informasi, yaitu :

  1. What is done. Informasi ini menjelaskan jawaban dari pertanyaan apa yang dikerjakan, bagaimana cara mengerjakannya, dan bahan-bahan apa yang dipergunakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan
  2. Personel qualification. Dari informasi ini diperoleh pernjelasan tentang keahlian, pengetahuan, latihan, kekuatan badan, syarat mental dan fisik pegawai yang dibutuhkan untuk jabatan tertentu
  3. Job responsibilities. Informasi ini menjelaskan tanggung jawab pemegang jabatan, seperti berapa orang yang menjadi bawahannya, dan sebagainya
  4. Working conditions, yaitu yang menjelaskan tentang syarat dari pekerjaan.

Berdasarkan uraian di muka, diperoleh standar minimum profesi penegak hukum, sebagai berikut :

  1. Memiliki kecakapan teknis akademisdilandasi kepribadian profesional hukum:
    • Mampu menganalisis masalah hukum dalam masyarakat
    • Mampu menggunakan hukum sebagai sarana memecahkan masalah konkret secara bijaksana dengan tetap berdasarkan prinsip-prinsip hukum
    • Menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum
    • Mengenal dan peka akan masalah keadilan serta masalah sosial.
  2. Memiliki sifat dan sikap dilandasi nilai moralyang kuat :
    • Manusiawi : tidak menanggapi hukum secara formal belaka melainkan kebenaran sesuai hati nurani
    • Adil : mencari kelayakan sesuai perasaan masyarakat
    • Patut : mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara konkret
    • Jujur : menyatakan sesuatu itu benar menurut apa adanya, dan menjauhi yang tidak benar/tidak patut
    • Otentik : menghayati dan menunjukkan diri sesuai keaslian, kepribadian sebenarnya (tidak menyalahgunakan wewenang/ melakukan perbuatan tercela, berani berinisiatif dan bijaksana)
    • Bertanggungjawab : kesediaan melakukan tugas secara proporsional dan memberi laporan pelaksanaan kewajiban
    • Kemandirian moral : tidak mudah terpengaruh atau mengikuti pandangan moral sekitar, melainkan membentuk penilaian dan pendirian sendiri
    • Keberanian moral : kesetiaan terhadap suara hati nurani untuk menanggung risiko konflik (menolak segala bentuk KKN, pungli, suap, tawaran damai/penyelesaian dengan cara tidak sah)
  3. Paham akan standar etika sebagai pelayanan publik dan memiliki sifat lebih mendahulukan pelayanan daripada imbalan, agar dapat diterapkan dalam pelaksanaan tugas
  4. Menyadari kewajiban yang harus dipenuhi dalam menjalankan profesi, dan idealisme sebagai perwujudan makna misi organisasi.

Persyaratan ini terkait dengan Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang menegaskan :

Pengangkatan pegawai negeri sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip jabatan, dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat objektif lain tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan.”

Berkaitan dengan Kejaksaan, jabatan fungsional Jaksa merupakan jabatan fungsional keahlian dan kriteria yang harus dipenuhi tunduk pada ketentuan Pasal

3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pengangkatan Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil :

  1. Mempunyai metodologi, teknik analisis, teknik dan prosedur kerja yang didasarkan atas disiplin ilmu pengetahuan dan/atau pelatihan teknis tertentu dengan sertifikasi.
  2. Memiliki etika profesi yang ditegaskan oleh organisasi profesi.
  3. Dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan tingkat keahlian.
  4. Pelaksanaan tugas bersifat mandiri.
  5. Jabatan fungsional diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi.

Perlu dicatat bahwa menurut (United Nations)The Guidelines on The Role of Prosecutor, syarat-syarat atau kualifikasi seorang Jaksa antara lain :

  • .. shall be individuals of integrity and ability, with appropriate training and qualifications.
    (… jujur dan cakap, dengan memperoleh pelatihan yang layak disertai persyaratan yang layak)
  • … shall at all times maintain the honour and dignity of their profession.
    (… selalu menjaga kehormatan dan martabat profesinya)
  • … perform their duties fairly, consistently and expeditiously, and respect and protect human dignity and uphold human rights….
    (… dalam melaksanakan tugasnya dengan adil, mantap dan cepat, serta menghargai dan melindungi martabat manusia dan mempertahankan hak asasi manusia)
  • Carry out their functions impartially and avoid all political, social, religious, racial, cultural, sexual or any other kind of discrimination.
    (Melaksanakan fungsinya tidak memihak dan menghindari diskriminasi politik, sosial, agama, ras, budaya, jenis kelamin atau segala diskriminasi lainnya)
  • Protec the public interest, act with objectivity, take proper account of the position of the suspect and the victim, and pay attention to all relevant circumstances irrespective of whether they are to the advantage or disadvantage of the suspect.
    (Melindungi kepentingan umum, bertindak objektif, memperhatikan kedudukan tersangka dan korban dengan wajar, dan memperhatikan segala keadaan yang relevan terlepas apakah keadaan-keadaan tersebut dapat menguntungkan atau merugikan tersangka).

Selain melalui jabatan fungsional, peningkatan kualitas penegak hukum dilakukan pula melalui pendidikan dan pelatihan (DIKLAT). Diklat adalah bidang paling potensial dalam pembinaan kemampuan Jaksa. Menurut M. Manullang dalambukunyaPengembangan Pegawai,” bahwa: “Diklat dapat berupa on the job training, in service training; sedangkan tindakan pemindahan atau promosi dapat pula dianggap sebagai bentuk lain dari pengembangan pegawai.”

On the job training adalah peningkatan kemampuan profesional pegawai pada saat melakukan kegiatan-kegiatannya sehari-hari, tidak dalam suatu kelas khusus. Latihan ini dilakukan terutama kepada pegawai baru yang belum mempunyai pengalaman kerja, dengan maksud agar pegawai baru tersebut dapat melakukan pekerjaan tanpa banyak membuat kesalahan. Mereka disuruh bekerja di bawah pimpinan atau pengawasan pegawai yang sudah berpengalaman. Kegiatan on the job training dilaksanakan dalam upaya peningkatan kemampuan profesional pegawai.

In Service Training adalah suatu pendidikan bagi para pegawai, yang ditujukan untuk mempertinggi mutu pelaksanaan pekerjaan atau tugas-tugas khusus. Pendidikan dalam bentuk ini dapat berupa training inside the organization maupun outside the organization.

Profesionalisme mengandung pemahaman akan pelaksanaan atau implementasi dari tugas, wewenang serta fungsi seseorang sehubungan dengan pangkat, jabatan dan kedudukannya yang bermuara pada pertanggung jawaban (Responsibility), yang mencakup :
  1. Pertanggungjawaban secara ilmiah atau keilmuan (Science Responbility)
  2. Pertanggungjawaban secara hukum (Legal/Law Responbility)
  3. Pertanggungjawaban secara sosial (Social Responbility).

Ketiga pertanggungjawaban di atas (keilmuan, hukum dan sosial) bisa dimaknai juga merupakan pertanggungjawaban kepada Tuhan YME, artinya apabila seorang – apapun kedudukannya dan jabatannya apabila – telah dapat melaksanakan tugas dan wewenang yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, secara hukum dan secara sosial,  maka dengan sendirinya dan dapat kita yakini bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan YME.

Integritas : Pelaksanaan tugas dan wewenang dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara terutama dalam penegakan hukum yang baik selain harus didasarkan pada prinsip-prinsip profesionalisme juga harus didasarkan pada integritas yang terpuji dan tidak tercela dari para penyelenggara penegak hukum itu sendiri.

Penilaian ada tidaknya integritas yang baik dari aparatur penyelenggara penegak hukum dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan dan penegakan hukum pada pokoknya dapat dilihat atau diukur dari :
  1. Pelaksanaan tugas semata-mata didasarkan pada kepercayaan atau amanah baik dari undang-undang atau dari negara.
  2. Terbebas dari kepentingan apapun baik kepentingan pribadi, keluarga atau kepentingan politik.
  3. Adanya niat atau kemauan yang sungguh-sungguh (komitmen) demi semua aparatur penyelenggara negara dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan dan penegakan hukum, bukan semata untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan masyarakat.

Oleh karena itu, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum diperlukan suatu tata cara dengan memperhatikan suatu etika dan profesi dalam penegakan hukum.

III.       ETIKA PROFESI PENEGAK HUKUM

Penegakan hukum adalah suatu proses yang berhubungan erat dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan negara yang berisi suatu tuntutan agar suatu ketentuan hukum terutama hukum positif dapat dipedomani atau dipatuhi oleh segenap warga negara baik dalam kedudukannya sebagai warganegara (masyarakat) maupun sebagai penyelenggara negara (pemegang kekuasaan negara).

Untuk menuju ke arah suatu kondisi terciptanya penyelenggaraan pemerintahan negara khususnya dalam penegakan hukum agar bisa berjalan dengan baik, diperlukan suatu ”Etika Profesi Penegak Hukum”.

Etika Profesi Penegak Hukum pada intinya adalah ketentuan atau norma yang bersumber pada nilai-nilai kepatutan baik tertulis maupun tidak tertulis (kepatutan) yang harus dipedomani dan ditaati oleh aparatur penyelenggara penegakan hukum dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, sehingga penyelenggaraan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan dapat memberikan hasil atau keluaran (output) suatu penegakan hukum (kebijakan, keputusan) yang berintikan kekuasaan dan keadilan.

Secara garis besar, norma atau ketentuan-ketentuan sebagai nilai-nilai moral yang harus dipenuhi atau ditaati oleh seluruh aparatur pemerintah penyelenggara penegak hukum sebagai etika profesi dalam penegakan hukum adalah mencakup:

  1. Pelaksanaan penegakan hukum tidak boleh dicampuri, dipengaruhi oleh suatu kepentingan-kepentingan lain selain untuk kepentingan penegakan hukum (hukum hanya bisa mengatakan “benar atau salah” atau “Hitam dan Putih” sesuai aturan hukum atau menyimpang dari aturan hukum) (According to the Law or Unaccording to the Law or Contrary to the Law)
  2. Pelaksanaan penegakan hukum (termasuk proses peradilan) tidak boleh memihak dan berlaku untuk siapa saja atau seluruh warga negara tanpa kecuali (Justice for All, Justice for Everybody). Contoh : Pemanggilan untuk hadir di persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik oleh para aktivis LSM Bendera terhadap para pejabat negara.
  3. Pelaksanaan penegakan hukum tidak boleh parsial tetapi harus menyeluruh dan tuntas. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam penegakan hukum khususnya dalam proses peradilan atas suatu kasus seharusnya dapat diungkap dengan sejelas-jelasnya dengan mengungkapkan fakta apa adanya tanpa harus ada yang ditutupi dan dilindungi.
  4. Dalam penegakan hukum suatu institusi tidak boleh melampaui batas-batas kewenangannya dan mencampuri hak-hak atau kewenangan lembaga lain, kecuali secara khusus dibolehkan menurut ketentuan undang-undang. Implementasinya antara lain (misalnya) :
    • Jaksa atau Penuntut Umum dibolehkan mempengaruhi penyidik dalam menyempurnakan suatu berkas perkara dengan memberikan petunjuk untuk dilengkapi oleh penyidik (vide pasal 138 ayat 2 KUHAP yaitu dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal tersebut yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
    • Hakim tidak dibenarkan atau tidak dibolehkan meminta atau mendesak kepada penuntut umum (Jaksa) untuk melimpahkan suatu perkara ke pengadilan.
  5. Pelaksanaan penegakan hukum wajib dilaksanakan dengan landasan kejujuran dan terhindar dari sikap balas dendam dengan penerapan prinsip “Kebenaran dan Keadilan”, yaitu melaksanakan tugas dan wewenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat.
  6. Dalam hal ditemukan permasalahan-permasalahan teknis di lapangan dalam rangka penyelenggaraan pengakan hukum, tidak boleh dilakukan atau harus dihindari sikap “Arogansi kekuasaan ataupun arogansi sektoral” melainkan harus dilakukan langkah–langkah koordinasi antar penegak hukum dengan memperhatikan prinsip-prinsip :
    • Penghormatan dan penghargaan terhadap institusi atau lembaga lain (Prinsip kesetaraan).
    • Tidak menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
    • Penyelesaian masalah diyakini dapat dilakukan secara tuntas dan tidak menimbulkan permasalah-permasalan hukum (Kasus) yang baru di kemudian hari

Namun demikian kondisi obyektif yang ada dalam implementasi penyelenggaraan penegakan hukum saat ini terasa masih jauh dari harapan, yaitu belum dilaksanakannya etika profesi penegakan hukum secara baik dan bertanggung jawab yang ditandai dengan, antara lain :

  • Masih banyak terjadi praktek-praktek penyalahgunaan wewenang oleh aparatur/penegak hukum
  • Masih banyak campur tangan pejabat, penguasa, kekuasaan politik dalam penegakan hukum
  • Penyelesaian suatu masalah / kasus yang tidak tuntas
  • Masih adanya intervensi lembaga penegak hukum yang satu terhadap lembaga penegak hukum lainnya
  • Penegakan hukum yang tidak didasarkan atas dasar prinsip kejujuran, keadilan tetapi atas dasar faktor/ pengaruh lain (misal : dendam pribadi, politik dll)

Dengan kondisi yang ada tersebut, memberi gambaran secara umum bahwa penegakan hukum saat ini masih jauh terlaksana dengan baik dan sesuai dengan harapan masyarakat pencari keadilan, karena belum dilaksanakannya etika profesi penegak hukum sebagaimana mestinya. Untuk mengatasi kondisi tersebut diatas perlu segera diambil langkah-langkah strategis, terencana, dan berkelanjutan oleh pemerintah dan seluruh komponen bangsa dengan melakukan reformasi penegakan hukum secara menyeluruh dan berkelanjutan yang pada pokoknnya :

  1. Penyempurnaan produk-produk hukum yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman (termasuk yang terkait dengan sistem politik)
  2. Penyempurnaan kelembagaan yang terkait dengan penyelenggaraan penegakan hukum
  3. Penerapan prosedur dan mekanisme kerja (Standart Operating Procedure) pada semua lembaga penegak hukum
  4. Peningkatan pelaksanaan pengawasan baik melalui pengawasan melekat maupun pengawasan fungsional.

Berbagai nilai yang merupakan implementasi dari etika dan profesi dalam penegakan baik yang berupa tindakan atau sikap, tindakan-tindakan yang harus dilakukan maupun tindakan atau sikap yang tidak boleh dilakukan atau seyogyanya dihindari pada dasarnya telah sejalan dengan langkah-langkah upaya yang harus kita lakukan dalam kerangka terwujudnya sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System/ICJS), yaitu terintegrasinya semua proses peradilan pidana sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan sampai dengan pelaksanaan atas putusan hakim yang mencerminkan tuntutan rasa keadilan masyarakat sebagai satu kesatuan sistem yang satu sama lain saling terkait dan ikut menentukan keberhasilan proses peradilan.

Selama ini langkah-langkah atau upaya untuk mewujudkan mekanisme ICJS tersebut telah dilakukan antara lain melalui forum koordinasi MAHKUMJAPOL yaitu koordinasi antar lembaga Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung dan Kepolisian, yang dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 2010 dan dituangkan dalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI,  Nomor : 099/KAM/SKB/V/2010; Nomor : M.HH-35.UM.03.01.Tahun 2010; Nomor : KEP-059/A/JA/05/2010; Nomor : B/14/V/2010 tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana Dalam Mewujudkan Penegakan Hukum yang Berkeadilan.

Berbagai pandangan dan komentar telah bermunculan terkait dengan terbentuk / terlaksananya MAHKUMJAPOL dimaksud. Ada yang berpandangan bahwa forum tersebut tidak ada gunanya, dan akan berakibat terabaikannya bahkan kemungkinan akan terjadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan perundangan-undangan yang ada. Pandangan dimaksud bisa dipahami sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat akan penyelenggaraan penegakan hukum yang harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa.

Disisi lain kekhawatiran-kekhawatiran dimaksud merupakan bentuk ketidakpahaman sebagian masyarakat atas prinsip-prinsip koordinasi serta materi dari Forum Koordinasi dimaksud. Secara substansi dapat disampaikan bahwa lembaga forum koordinasi antar penegak hukum selama ini termasuk forum koordinasi MAHKUMJAPOL adalah dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah teknis yang dihadapi oleh aparatur penegak hukum di lapangan yang tidak di atur lebih lanjut dalam ketentuan Undang-Undang yang ada, namun masalah tersebut harus diselesaikan oleh aparatur / lembaga penegak hukum sesuai dengan tahapan dan kewenangannya karena apabila tidak diselesaikan, diatasi atau dicari jalan keluarnya akan dapat menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan merugikan dari sisi penegakan hukum.
Misal :
  1. Permasalahan :
    • Lapas atau Rutan sering tidak mendapatkan atau terlambat menerima tembusan penetapan penahanan/perpanjangan penahanan baik dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan di semua tingkatan.
  2. Dasar Hukum :
    • UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP pasal 24 (2), pasal 25 (2), pasa 26 (1 dan 2) pasal 27 (1 dan 2), pasal 28 (1 dan 2), pasal 238 dan pasal 254 KUHAP, penetapan / perpanjangan penahanan.
    • SEMA/10/1983 tanggal 8 Desember 1983, perihal penetapan penahanan jangan sampai terlambat disampaikan kepada Penuntut Umum paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum masa penahanan.
  3. Tindakan :
    • Hakim, Jaksa dan Polisi agar melaksanakan tahapan penahanan sesuai dengan aturan dalam KUHAP.
    • Setiap perpanjangan penahanan dari Polisi, Jaksa dan Hakim selalu ditembuskan kepada Lapas/Rutan.
    • Ka.Lapas / Ka.Rutan memberitahukan 10 (sepuluh) hari sebelum habis masa penahanannya.
    • Jika masa penahanan sudah habis dan tidak ada perpanjangan penahanan, maka tersangka/terdakwa dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
  4. Keluaran :
    • Terdakwa dan pihak Lapas/Rutan mendapatkan tembusan penetapan penahanan dan perpanjangannya secara tepat waktu dari kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan pada semua tingkatan.
    • Apabila tempatnya terlalu jauh, maka perpanjangan penahanan terlebih dahulu disampaikan melalui sarana yang lebih cepat (Fax/Email)yang dapat dijadikan sebagai dasar sementara perpanjangan penahanan yang sah, setelah dilakukan pengecekan ulang tentang nomor fax atau alamat email yang resmi melalui surat edaran dari masing-masing instansi.
  5. Sasaran :
    Lapas/Rutan mendapatkan tembusan sehingga:
  • Adanya kepastian hukum bagi terdakwa (terlindunginya Hak Asasi terdakwa).
  • Terhindarnya Lapas/Rutan melaksanakan penahanan secara tidak sah.

 

Selain masalah penahanan kiranya masih banyak masalah teknis yang dihadapi dan terjadi di lapangan oleh aparat penegak hukum. Masalah-masalah teknis dimaksud dapat diatasi dan diselesaikan di lapangan melalui mekanisme koordinasi antar aparat penegak hukum

 

IV.          PENUTUP
Memperhatikan hal-hal sebagaimana terurai pada Bab I s/d Bab III di atas dapat disampaikan beberapa catatan sebagai berikut :
  1. Penyelenggaraan pemerintahan negara sebagai suatu proses atas eksistensi sebuah negara tidak dapat dipisahkan dengan suatu proses penyelenggaraan penegakan hukum. Penyelenggaraan pemerintahan akan berhasil dengan baik apabila dilaksanakan melalui proses penegakan hukum yang baik pula.
  2. Penyelenggaraan pemerintahan negara dan penegakan hukum selain diperlukan sistem dan hukum yang baik mutlak diperlukan penyelenggara negara dan penyelenggara penegak hukum yang baik yaitu aparatur yang mempunyai landasan profesional dan integritas kepribadian yang baik.
  3. Agar terlaksananya penyelenggaraan penegakan hukum yang baik, para penegak hukum perlu meningkatkan profesionalisme, etos kerja dan dedikasi. Para penegak hukum harus mengikuti doktrin supremacy of moral, artinya dituntut tidak hanya menjadi profesional dalam bidangnya melainkan juga manusia yang bekerja dengan sepenuh hatinya. Secara kelembagaan juga diperlukan suatu penerapan etika profesi sehingga satu sama lain dapat menunjang terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum yang berkesejahteraan dan berkeadilan.
  4. Penegakan hukum terutama yang terkait dengan pelaksanaan sistem peradilan pidana sering dijumpai permasalahan-permasalahan yang timbul di lapangan, sehingga dalam rangka penegakan hukum di bidang peradilan pidana perlu diterapkan secara konsisten suatu sistem peradilan pidana terpadu dan pelaksanaan koordinasi antar penegak hukum.
  5. Kebaikan pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum, tidak semata-mata dalam menangani perkara; namun juga diperlukan adanya pengawasan lebih intensif di segala lini penanganan perkara. Di sini, yang perlu dan paling utama adalah aparat penegak hukum itu sendiri. Kecakapan, moral baik, mental kuat, serta dedikasi pengabdian penuh rasa tanggung jawab; inilah yang akan menjamin kesempurnaan dan kebaikan undang-undang.