HERU SUSETYO, SH, LLM, M.Si.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Esa Unggul

 

Musibah gempa bumi dan tsunami  yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara, 26 Desember 2004 silam adalah suatu momentum berharga bagi pemerintah dan bangsa Indonesia.   Nyata betul bahwa negara ini begitu tidak berdaya menghadapi musibah tersebut.  Mayat-mayat bergeletakkan, bantuan kemanusiaan menumpuk dan penyebarannya-pun tidak merata, pengungsi terus lapar dan menderita berbagai macam penyakit. Pengamatan penulis selama lima belas hari di Aceh pasca musibah gempa bumi dan tsunami akhir 2004 silam,  juga pengalaman selama di daerah konflik Maluku, Poso, hingga Sambas,  menunjukkan bahwa koordinasi penanganan bencana memang masih carut marut. Tak ada otoritas yang bersifat instruktif maupun finansial untuk menggerakkan seluruh lini dan sektor.  Salah satu pangkal permasalahan dari ketidak-efektifan penanganan bencana ini di Indonesia adalah ketiadaan kebijakan dan regulasi di tingkat pusat mengenai penanganan bencana.

Musibah gempa bumi dan tsunami  yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara, 26 Desember 2004 silam adalah suatu momentum berharga bagi pemerintah dan bangsa Indonesia.   Nyata betul bahwa negara ini begitu tidak berdaya menghadapi musibah tersebut.  Mayat-mayat bergeletakkan, bantuan ke-manusiaan menumpuk dan pe-nyebarannyapun tidak merata, pe-ngungsi terus lapar dan menderita berbagai macam penyakit.

Di sisi lain, kita melihat bahwa negara  ini selama hampir enam puluh tahun usianya terkesan begitu jumawa.  Karena, sampai hari ini kita tidak memiliki undang-undang ataupun kebijakan terpadu yang berkekuatan hukum untuk menangani bencana dan pengungsi.

Padahal,  Allah SWT telah berulangkali menegur kita. Bencana alam berupa air  bah, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi,  gempa bumi, kemarau panjang,  hingga tsunami maupun konflik internal antar masyarakat bergantian menerpa Indonesia. Belum lagi konflik vertikal yang terjadi di Aceh sejak 1989, di Papua, dan di East Timor (Timor Timur) dan konflik horisontal yang terjadi di Sanggau Ledo (1996-1997), Sambas (1999), Ambon – Maluku Utara (1999–2002), Poso (1998-   ) Sampit (2001),  dan dimana-mana.

Dalam program legislasi nasional (selanjutnya disingkat prolegnas) tahun 2005–2009 pemerintah dan DPR  cenderung lebih mem-prioritaskan  pengundang – undangan RUU bidang ekonomi (sebanyak 28 RUU) dan bidang politik (sebanyak 14 RUU).  Rancangan Undang-Undang tentang Manajemen atau Penanganan Bencana tidak diprioritaskan dan tidak disebutkan sama sekali.   Barulah,  pada detik-detik akhir sebelum prolegnas tersebut ditetapkan,  muncul inisiatif anggota dewan untuk turut meng-undangkan UU tersebut di tahun 2005 ini.

Pengamatan penulis selama lima belas hari di Aceh pasca musibah gempa bumi dan tsunami akhir 2004 silam,  juga pengalaman selama di daerah konflik Maluku, Poso, hingga Sambas,  menunjukkan bahwa koordinasi penanganan bencana memang masih carut marut.  Tak ada otoritas yang bersifat instruktif maupun finansial untuk menggerakkan seluruh lini dan sektor.

Di tingkat propinsi memang ada Satuan Koordinasi dan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pe-nanganan Pengungsi (Satkornas PBP),  namun kenyataannya ia tak dapat menggerakkan dan mengkoordinasikan seluruh potensi dan sumber daya yang tersedia.  Bukan salah para personilnya,  namun lebih karena lembaga ini tak diperlengkapi dengan sejumlah otoritas dan payung hukum yang memadai.   Walhasil,  penanganan bencana dan pengungsian berjalan sendiri-sendiri.  Pemerintah melalui satkorlak berjalan dengan program sendiri.  Masyarakat melalui ormas-ormas dan LSM-LSM juga berjalan sendiri-sendiri. Belakangan,  wakil presiden Jusuf Kalla mengeluarkan Surat Keputusan Wakil Presiden (SK Wapres) tentang Tim Penanggulangan Bencana Aceh yang tak kurang bersifat kontroversial.  Apakah Tim ini akan berjalan efektif?  Wallahua’lam.  Yang jelas,  sebuah SK Wapres saja tidak cukup.  Negeri ini memerlukan Undang – Undang Penang- gulangan Bencana.

Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia

Salah satu pangkal per-masalahan dari ketidak-efektifan pe-nanganan bencana ini adalah ketiadaan kebijakan dan regulasi di tingkat pusat mengenai penanganan bencana.  Regulasi yang ada hanyalah Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi  Nasional Penanganan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi,  Keputusan Presiden No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden RI No. 3 tahun 2001,  dan Pedoman Umum Pe-nanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi  yang  ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No.  2 tahun 2001.

Di masa silam, pemerintah Indonesia pernah membentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA) dengan Keputusan Presiden No. 28 taun 1979.  Pada tahun 1990,  melalui Keppres No. 43 tahun 1990,  Badan tersebut disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) yang tidak hanya berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada bencana oleh ulah manusia (man made disaster) (Sekretariat Bakornas PBP, 2001 : 1).

Kemudian, musibah kebakaran hutan dan gangguan asap di Sumatera dan Kalimantan pada 1997-1998,  bencana kekeringan di Papua, dan eksodus besar-besaran warga East Timor ke Timor Barat menyusul konflik pasca jajak pendapat,  membuat pemerintah berfikir bahwa Keputusan Presiden No. 43 tahun 1990 tidak efektif lagi.  Akhirnya,  Keputusan Presiden ini disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi.

Namun demikian, Keputusan Presiden No. 106 tahun 1999 menjadi tidak efektif lagi, setelah Departemen Sosial yang menjadi leading sector dalam penanganan pengungsi di-bubarkan, yang disusul kemudian dengan pembubaran Kantor Menko Kesra dan Taskin, karena Bakornas PB kehilangan ketuanya. Hal ini telah menyebabkan adanya kevakuman kepemimpinan Bakornas PBP yang menyebabkan kevakuman mekanisme koordinasi yang selama ini telah berjalan sangat baik dalam penanganan berbagai bencana dan dampak kerusuhan termasuk pengungsi.

Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang diketuai oleh wakil presiden dan sekretaris wakil presiden secara ex officio menjadi sekretaris Bakornas PBP. Keputusan Presiden ini merupakan penyempurnaan dari Keputusan Presiden No. 106 tahun 1999.

Strategi penanggulangan bencana berdasarkan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Pe-nanganan Pengungsi  yang  ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No.  2 tahun 2001 adalah sebagai berikut:

  1. Tahap penyelamatan; saat kerusuhan terjadi, dilakukan dengan memberikan pertolongan, per-lindungan, dan penampungan sementara, bantuan pangan, sandang, obat-obatan, air bersih, sanitasi dan pembinaan serta pem-berdayaan tanpa membedakan perlakuan

  2. Tahap pemberdayaan; dilakukan dengan upaya perbaikan fisik dan non-fisik serta pemberdayaan, membina kerukunan dan me-ngembalikan harkat hidup pengungsi secara manusiawi sebagai warga negara yang memiliki hak hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

  3. Tahap rekonsiliasi; dilakukan pembinaan terhadap tokoh masya-rakat, pemuka agama, dan tokoh adat yang berpengaruh pada masing-masing pihak serta mendamaikan kembali dengan pendekatan sosial budaya, HAM, dan hukum

  4. Tahap penempatan, pengungsi diarahkan pada 3 (tiga) alternatif yaitu: diutamakan kembali ke tempat semula, penyisipan pada lokasi atau desa yang terdekat atau ke permukiman baru (resettlement) atau transmigrasi lokal yang aman.

 

Sedangkan,  kegiatan penanganan pe-ngungsi meliputi  kegiatan-kegiatan:

  1. Penyelamatan.
  2. Pendataan.
  3. Bantuan tanggap darurat.
  4. Pelibatan masyarakat/ LSM

(Sekretariat Bakornas PBP, 2001 : 2).

Penanganan Bencana di Dunia Internasional

Kritik terhadap kebijakan penanggulangan bencana Indonesia seperti tercantum di atas adalah ketentuannya yang tidak operasional.  Tidak memberikan landasan bertindak yang jelas.  Yang ada adalah pedoman dan strategi-strategi umum.  Itupun dituangkan dalam bentuk Keppres.  Bakornas PBP juga ditaburi oleh para pejabat tinggi negara yang tidak jelas apakah benar-benar dapat bekerja efektif ataukah hanya sekedar portofolio saja.   Kesan elitisnya lebih terlihat daripada efektifitasnya.

Bandingkan dengan India.  Pada tingkat negara bagian Gujarat saja telah memiliki Gujarat State Disaster Management Policy (GSDMP) yang dikeluarkan oleh Gujarat State Disaster Management Authority.   Regulasi ini mengatur secara lengkap prinsip-prinsip penanganan bencana lengkap dengan langkah-langkah penanganan di tahap sebelum bencana (pre disaster phase),  selama bencana (impact phase),  dan pasca bencana (post disaster phase).  Ini baru di tingkat negara bagian, belum di tingkat negara federal-nya.

Afrika Selatan, republik yang baru sembuh dari diskriminasi rasial selama berpuluh tahun,  juga memiliki kebijakan penanggulangan bencana yang komprehensif,  yaitu     Disaster Management Act 2002. Kebijakan ini mengatur hubungan antar lembaga pemerintah (Intergovernmental Structures),  hirarki penanganan mulai dari pusat (National Disaster Management Centre),  propinsi (Provincial Disaster Management Centres),  hingga kota atau kabupaten (Municipal Disaster Management Centre).

Jangan lagi apabila dibanding-kan dengan negara maju.  Pemerintah negara bagian Queensland,  Australia memiliki Department of Emergency Services.  Departemen ini memiliki the Disaster Management Act 2003 dan memiliki struktur hierarkhis mulai dari State Government Agencies, District, hingga Local Disaster Management Group.

Di Amerika Serikat  penanganan bencana sudah menjadi bagian dari denyut nadi masyarakatnya.  Dengan mengontak ‘911’,  masyarakat sudah sekaligus  mendapatkan penanganan medis,  pemadam kebakaran (firefighter), kepolisian, hingga tim SAR yang dapat mencapai lokasi dalam hitungan menit.   Kemudian,  hampir di setiap gedung dan rumah selalu ada prosedur-prosedur evakuasi dan emergency sewaktu-waktu terjadi bencana.  Di daerah American Midwest misalnya yang kerap dilanda badai tornado,  mulai dari lift,  hingga tangga dan hampir semua ruang selalu terdapat prosedur penyelamatan diri dan evakuasi.  Di sekolah-sekolah, sejak dini perihal penyelamatan dari bencana juga sudah diajarkan.  Intensitas pengajaran ini makin terasa sejak peristiwa 11 September 2001.

UU Manajemen Bencana Amat Mendesak

Rasanya tak ada alternatif lain bagi Indonesia selain mempercepat proses penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi.  Di dataran normatif,  proses ini dapat dilakukan dengan mengundang-undangkan ke-bijakan manajemen bencana.  Kebijakan ini mesti dituangkan dalam suatu undang-undang yang komprehensif dan ditunjang oleh peraturan pelaksana yang bersifat operasional dan rinci. Sebagai acuan awal,  barangkali bisa meniru pada “Disaster Management Act” dari beberapa negara yang memiliki karakteristik sama di dunia ketiga seperti India atau Afrika Selatan.  Juga,  bisa merujuk pada Humanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian/ Disaster Relief yang disponsori oleh Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dan beberapa NGO internasional yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan.   Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional,  belakangan turut merumuskan International Disaster Response Law (IDRL)  sebagai satu acuan internasional dalam penanganan bencana.  Kendati belum berkekuatan hukum dan belum diluncurkan,  namun sebagai acuan awal IDRL ini dapat memberi pijakan bagi peraturan sejenis yang dikeluarkan di tingkat nasional maupun regional.

Kemudian,  bagi pemerintah dan DPR mesti segera merumuskan dan mengundangkan RUU Manajemen atau Penanggulangan Bencana pada tahun 2005 sebagaimana yang diamanatkan dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009.  Rancangan Undang-undang ini harus ikut diprioritaskan disamping masalah-masalah ekonomi dan politik.  Selain itu,  ratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees)  harus juga disegerakan.  Karena,  tak jarang dari korban konflik dan bencana di Indonesia yang mengungsi ke negara lain namun mendapat perlakuan buruk.  Hal ini dapat dieliminasi apabila Indonesia memiliki perlindungan terhadap pengungsi sesuai dengan Konvensi Pengungsi 1951.

Selain pengungsi,  masalah yang juga urgent adalah menangani pengungsi dalam negeri (Internally Displaced Persons-IDPs) yang keberadaannya di luar yurisdiksi dari Konvensi Pengungsi 1951 yang hanya mengatur pengungsian antara negara.   Masalah perlindungan pengungsi dalam negeri ini harus diintegrasikan dengan Undang-Undang Manajemen Bencana atau dibuatkan undang-undang tersendiri.  Rujukannya adalah pada The Guiding Principles on Internal Displacement yang diproduksi oleh Office for Coordinating of Humanitarian Agencis (OCHA) PBB pada tahun 1998.

Apabila semua upaya di atas  tidak dilakukan.  Kita khawatir buruknya penanggulangan bencana ini akan terus melembaga dan berdampak pada penanganan-penanganan selanjutnya.  Akhirnya,  kredibilitas pemerintah semakin terpuruk dan masyakat,  utamanya korban bencana,  akan terus hidup dalam ketidakpastian, kemiskinan,  kelaparan,  dan ketidakberdayaan.  Haruskah kita terus menerus menanggung dosa kolektif ini?

Wallahua’lam

Referensi:
Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi  Nasional Penanganan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi.

Keputusan Presiden No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden RI No. 3 tahun 2001.

Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No.  2 tahun 2001 mengenai Pedoman Umum Pe-nanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi