Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI

PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI

 

 Pendahuluan

Ada dua sejarah besar dalam judicial review di dunia. Pertama adalah sejarah judicial review dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs. Madison” Tahun 1803. Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, Supreme Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall ketika menjabat Ketua Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.[1] Kedua adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi Austria[2] yang diperkenalkan oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen, yang kemudian  ide tersebut diterima dalam Konstitusi Austria Tahun 1919. Pemikiran Kelsen tersebut mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Kemudian Mahkamah Konstitusi pertama itu berdiri pada tahun 1920 di Austria.[3] Ide Hans Kelsen mengenai pengujian undang-undang tersebut sejalan dengan gagasan yang pernah dikemukakan Prof. Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia mengusulkan seharusnya Balai Agung (sekarang disebut Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk “membanding undang-undang”. Namun usulan Prof. Muhammad Yamin tersebut disanggah oleh Prof. Soepomo dengan alasan antara lain bahwa bahwa konsepsi dasar Undang-Undang Dasar 1945 yang telah disepakati sampai pada tanggal 18 Juli 1945 itu, menentukan bahwa yang kita anut itu adalah pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan. Berhubung karena itu, bangsa kita tidak dapat menerapkan fungsi pengujian undang-undang karena terkait sekali dengan prinsip supremasi MPR. Selain itu, pengujian juga dianggap “tabu” untuk diterapkan, karena hakim tidak boleh menilai dan menguji undang-undang produk legislatif. Hakim tugasnya adalah menerapkan undang-undang bukan menilai undang-undang. Menurut Prof. Jimly Asshiddie, doktrin ini diwarisi atas pengaruh Belanda, karena dalam sistem hukum Belanda ada doktrin bahwa undang-undang memang tidak dapat diganggu gugat. Atas dasar itulah, Soepomo tidak menerima ide untuk menguji undang-undang oleh Mahkamah Agung.[4] Di Indonesia, ide pembentukan MK yang tersendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung merupakan hal yang relatif baru di Indonesia. Meski demikian, ide pengujian undang-undang sebagai mekanisme peradilan konstitusional (constitutional adjudication) untuk membanding, menilai, atau menguji hasil kerja mekanisme demokrasi politik sudah sejak sebelum kemerdekaan diperdebatkan oleh “the founding leaders” dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika naskah UUD 1945 pertama kali disusun.[5]  

Seiring dengan momentum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada era reformasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia diterima keberadaannya sebagai mekanisme untuk mengontrol pelaksanaan UUD 1945 dalam bentuk undang-undang. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[6] (UU MK), kewenangan MK adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945[7]; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan umum kepala daerah[8]. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan ayat (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU MK, kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Dengan serangkaian kewenangan dan kewajiban tersebut, dalam perjalanan waktu delapan tahun kehadiran MK sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dalam kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang menjadi mayoritas kerja MK. Kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 merupakan ide awal pembentukan MK.[9] Sejak berdirinya MK pada tahun 2003 sampai dengan pertengahan Desember 2012, MK menerima 531 perkara pengujian Undang-Undang, 21 perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN), 116 perkara perselisihan hasil pemilihan umum, dan 489 perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah.[10]

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung.[11] Keberadaan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang kewenangannya ditentukan dalam UUD 1945, sangatlah diperlukan karena perubahan UUD 1945 telah menyebabkan: (1) UUD 1945 kedudukannya sebagai hukum tertinggi negara yang di dalamnya kewenangan lembaga-lembaga negara diatur, artinya segala persoalan kenegaraan harus didasarkan dan bersumber dari UUD 1945 tersebut; (2) MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan kedudukan lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 adalah sederajat, serta masing-masing lembaga negara mempunyai kewenangan sesuai dengan fungsinya yang diberikan oleh UUD 1945; (3) Diakuinya hak-hak asasi manusia sebagai hak konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, serta hak-hak warga negara Pasal 27, Pasal 30, dan Pasal 31 UUD 1945 yang terhadap hak-hak tersebut negara harus menghormati, melindungi atau memenuhi, di samping juga adanya hak warga negara yang timbul karena adanya kewajiban dari negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Untuk menjaga agar kehidupan ketatanegaraan secara hukum tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUD 1945, maka diperlukan suatu tata cara hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945. Oleh karenanya kewenangan MK untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang kewenangan diberikan oleh UUD 1945 adalah dimaksudkan untuk menegakkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 karena dari hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat timbul.

Pengujian Peraturan Perundang-undangan

Salah satu kewenangan MK yang diberikan oleh UUD 1945 dan UU MK adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Berdasarkan data pada Kepaniteraan MK, sejak berdirinya MK pada tahun 2003 sampai dengan pertengahan Desember 2012, MK telah menerima 531 perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Banyaknya perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang terima oleh MK adalah salah satu bukti adanya kesadaran masyarakat dalam berkonstitusi. Dalam UU MK ditegaskan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang salah satunya adalah perorangan warga negara Indonesia.[12] MK juga telah membuat kualifikasi kerugian konstitusional yang disebabkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji harus dipenuhi lima syarat yang bersifat kumulatif yaitu: a. adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang sedang diuji; c. kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional Pemohon dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.[13] Hak-hak warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 apabila dilanggar adanya ketentuan dalam Undang-Undang dapat diajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 ke MK. Pengujian yang dilakukan oleh MK hanya sebatas pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dilakukan oleh Mahkamah Agung.[14] Pemisahan pengujian peraturan perundang-undangan semula dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penyelesaian pengujian norma. Namun seiring dengan perkembangan hukum di Indonesia, kiranya perlu dipertimbangkan pengujian peraturan perundang-undangan dalam satu atap. Ide menyatukan pengujian peraturan perundang-undangan dalam satu lembaga negara yudikatif, yaitu MK, sudah muncul ketika pembahasan perubahan ketiga UUD 1945. Bahwa dalam pembahasan tersebut MK diusulkan dapat menguji pertentangan antar Undang-Undang terhadap UUD 1945.[15]

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan[16] menjelaskan bahwa Peraturan Perundangan-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.[17] Hukum dalam arti luas mencakup semua peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu sesuai dengan tingkat dan lingkup kewenangannya yang biasanya disebut peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan adalah berbagai jenis peraturan tertulis yang dibentuk oleh berbagai lembaga sesuai tingkat dan lingkupnya masing-masing. Semua peraturan yang mengikat itu disusun secara hierarki untuk menentukan derajatnya masing-masing dengan konsekuensi jika ada dua peraturan yang bertentangan maka yang dinyatakan berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Studi hukum hampir selalu mengaitkan masalah susunan hierarki ini dengan “Teori Penjenjangan” (stufenbouw theory) yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Nawiasky.[18] Jika suatu peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka untuk memastikan keabsahannya bisa dilakukan melalui pengujian oleh lembaga yudikatif, pengujian ini biasanya disebut judicial review. Salah satu tujuan adanya forum judicial review satu atap adalah untuk menjamin konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dengan konstitusi.[19]

Pengaduan Konstitusional

Indonesia, berdasarkan UUD 1945, merupakan Negara Hukum yang menganut supremasi konstitusi yang tidak terlepas dari tiga hal, yaitu konstitusi, konstitusionalitas dan konstitusionalisme. Konstitusi merupakan hukum tertinggi, konstitusionalitas merupakan perbuatan dan tindakan yang sesuai dengan konstitusi dan konstitusionalisme merupakan paham berkonstitusi warga negara. Salah satu unsur dari Negara Hukum adalah pemenuhan terhadap hak-hak dasar warga negara dan paham konstitusionalisme. Mekanisme pengaduan konstitusional atau yang biasa dikenal dengan sebutan constitutional complaint adalah bentuk pengejawantahan dari Negara Hukum sendiri. Constitutional complaint adalah wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi pada umumnya di beberapa negara, antara lain, Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman, namun di Negara Indonesia wewenang ini tidak termasuk sebagai wewenang dari MK.

Konstitusi bertujuan untuk mengatur, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar (basic right) warga negara, demi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dalam perkembangan ketatanegaraan di Indonesia, MK lahir sebagai salah satu pilar demokrasi yang mengambil peran strategis dalam mewujudkan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Lahirnya MK setelah perubahan ketiga UUD 1945 yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dimana MK mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban. MK merupakan lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi (the guardian and the interpreter of the constitution). Seiring perkembangannya, MK telah banyak melakukan sidang berkaitan dengan pelanggaran terhadap konstitusi yang masuk dalam kewenangan MK yang terdapat pada Pasal 24C UUD 1945. Akan tetapi kewenangan yang dimiliki MK tersebut, masih terdapat satu hal mendasar yang masih mengganjal di benak para pencari keadilan, yaitu belum terbukanya fungsi MK selaku lembaga yang dapat menampung dan menyalurkan keluh kesah (personal grievance) atau pengaduan konstitusional sebagai upaya hukum yang luar biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional bagi setiap warga negara, atau lebih dikenal dengan istilah constitutional complaint.

Berdasarkan perjalanan MK dalam delapan tahun terakhir, Penulis mempunyai catatan yang perlu dipertimbangkan dalam pemikiran untuk penambahan kewenangan MK. Terlepas dari berbagai kritik yang tak mungkin dihindari haruslah diakui bahwa pada saat ini dapat dikatakan MK menjadi kiblat dalam penegakan supremasi konstitusi; artinya hampir setiap ada masalah konstitusi masyarakat selalu berpaling ke MK. Keadaan tersebut disebabkan oleh karena keberanian MK melakukan ijtihad dalam menyelesaikan perkara yang diterima, antara lain pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 dan kewenangan lainnya. Berdasarkan hal tersebut perlu dipertimbangkan kemungkinan MK diberikan kewenangan terhadap pengaduan konstitusional (constitutional complaint). Penambahan kewenangan MK tersebut dipertimbangkan jika ada perubahan lanjutan atas UUD 1945. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa pengaduan konstitusional merupakan pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitusional yang tidak ada instrumen hukumnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi jalur penyelesaian hukum, yaitu peradilan. Salah satu contoh masalah pengaduan konstitusional adalah adanya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang melanggar isi Undang-Undang Dasar (Konstitusi), tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di bawah UUD 1945. Begitu juga bisa dijadikan objek pengaduan konstitusional putusan pengadilan yang melanggar hak konstitusional padahal sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi; misalnya adanya putusan kasasi atau peninjauan kembali dari Mahkamah Agung yang ternyata merugikan hak konstitusional seseorang. Akan tetapi, karena sampai sekarang MK tidak mempunyai wewenang untuk menangani pengaduan konstitusional maka masalah-masalah tersebut tetap belum dapat diajukan ke MK atau ke jalur penyelesai hukum yang lain. Itulah sebabnya menjadi penting agar dipikirkan kemungkinan menambah kewenangan MK untuk memutus pengaduan konstitusional agar pelanggaran hak konstitusional yang tak ada jalur penyelesaian hukumnya dapat ditangani oleh MK. Menurut Penulis perlindungan hak-hak konstitusional merupakan tanggung jawab MK dan sudah saatnya MK memiliki kewenangan penanganan perkara pengaduan konstitusi (constitutional complaint).

Pertanyaan Konstitusional

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa konstitusi bertujuan untuk mengatur, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar (basic right) warga negara, demi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. MK lahir sebagai salah satu pilar demokrasi untuk mengambil peran strategis dalam mengawal konstitusi dan mewujudkan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Salah satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang saat ini dimiliki oleh MK adalah melalui mekanisme pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Kemudian bentuk perlindungan lain yang dapat menjadi kewenangan MK adalah pengaduan konsitusional.

Selain pengaduan konstitusional dapat juga dipertimbangkan kemungkinan dimasukkannya pertanyaan konstitusional (constitutional question) ke dalam lingkup kewenangan MK jika kelak akan dilakukan perubahan lanjutan atas UUD 1945. Dengan pertanyaan konstitusional dimaksudkan bahwa hakim yang sedang mengadili satu perkara menanyakan kepada MK tentang konstitusionalitas sebuah Undang-Undang yang dijadikan dasar perkara yang sedang diperiksanya. Kalau ada orang diajukan ke pengadilan karena melanggar Undang-Undang tertentu dan Undang-Undang tersebut dipersoalkan atau diragukan konstitusionalitasnya maka sebelum memutus perkara tersebut, hakim terlebih dahulu meminta pendapat MK, apakah Undang-Undang tersebut konstitusional atau tidak. Berdasarkan putusan atau jawaban MK atas pertanyaan konstitusional itulah hakim kemudian dapat memutus perkara yang ditanganinya.[20]

Harapan dan Prospek MK

Banyak hal penting yang dapat dikemukakan sebagai harapan dan prospek MK sebagai pengadilan ketatanegaraan di masa yang akan datang. Pertama, sebagai lembaga kekuasan kehakiman yang khusus menangani peradilan ketatanegaraan, MK telah memberi sumbangan positif bagi kemajuan sistem ketatanegaraan dan tertib tata hukum di Indonesia. MK sangat produktif dan menunjukkan prestasi sehingga menjadi kiblat atau tempat berpaling dalam berbagai persoalan konstitusi. Kedua, agar tidak melampaui kewenangan sehingga masuk ke ranah kekuasaan lain (legislatif), implementasi kewenangan MK haruslah dibatasi sesuai dengan original intent muatan UUD 1945. Kewenangan berbeda dalam pengujian peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh MK dan MA dapat menimbulkan persilangan kewenangan dalam pengujian peraturan perundang-undangan, namun ada dua catatan tentang persilangan kewenangan tersebut, yaitu, idealnya MK berfungsi untuk menjamin konsistensi semua peraturan perundang-undangan sehingga lembaga ini hanya memeriksa konflik peraturan perundang-undangan (court of legal) mulai dari yang paling tinggi sampai dengan yang paling rendah derajatnya. Oleh sebab itu, kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi lebih ideal jika diberikan pada MK ini. Dengan ide ini maka konsistensi dan sinkronisasi semua peraturan perundang-undangan secara linier ada di satu lembaga, yaitu MK. Kemudian MA menangani semua konflik peristiwa antar person dan/atau antar rechtspersoon (court of justice) sehingga masalah hasil pemilu dan pembubaran partai politik dan sebagainya dijadikan kewenangan MA, dan MA dibebaskan dari kewenangan menguji materi peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Tampaknya yang lebih tepat MK mengurusi konflik peraturan perundang-undangan sedangkan MA mengurus konflik/peristiwa antar person dan/atau rechtspersoon. Kaitannya dengan kewenangan MK untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, dari tahun ke tahun ada kecenderungan meningkatnya jumlah perkara permohonan pengujian Undang-Undang ke MK. Hal ini membuktikan mulai menguatnya kesadaran  konstitusional warga negara terhadap hak-hak konstitusionalnya, akibat hadirnya sebuah produk legislasi yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.

Penambahan kewenangan MK melalui mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan terhadap UUD 1945 secara menyeluruh mungkin saja dapat dilakukan melalui putusan-putusan MK sendiri. Ada beberapa Putusan MK yang menjadi yurisprudensi antara lain, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 telah menjadi salah satu terobosan menarik dalam praktik ketatanegaraan kekinian. Dalam pertimbangan Putusan MK tersebut menyatakan, “bahwa Mahkamah tidak menilai atau menguji baik Putusan Mahkamah Agung maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Mahkamah Agung yang telah melakukan pengujian terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 telah melakukan tindakan menurut kewenangannya; begitu pula Komisi Pemilihan Umum telah melakukan regulasi menurut kewenangannya. Meskipun demikian, karena Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 telah dinilai oleh Mahkamah sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), maka dengan sendirinya semua isi peraturan atau putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan ini menjadi tidak berlaku karena kehilangan dasar pijakannya”. Secara tersurat memang pertimbangan MK tidak menyebutkan secara tegas tentang keberadaan Putusan Mahkamah Agung, namun tersirat bahwa dengan adanya Putusan MK tersebut secara tidak langsung dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam memutusan perkara tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Putusan MK tersebut merupakan salah satu bukti perlu adanya satu forum ajudikasi yang berwenang khusus menguji peraturan perundang-undangan secara keseluruhan yang bertujuan sinkronisasi peraturan perundang-undangan.

Kemudian dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 perihal pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945, MK telah membuka diri terhadap pengujian sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) terhadap UUD 1945. Dalam pertimbanganya, MK menegaskan bahwa “Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang”.

Sebagai penjaga dan penafsir UUD 1945, MK mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah peraturan perundang-undangan telah sesuai atau tidak dengan UUD 1945. Kedua contoh Putusan MK tersebut di atas membuktikan bahwa MK pun dapat membuat Yurisprudensi sebagai dasar MK dalam memeriksa perkara yang belum menjadi kewenangannya dengan mendasarkan kepada UUD 1945. Selama ini muncul persepsi, tidaklah mungkin menambah atau mengurangi kewenangan MK tanpa melalui prosedur perubahan UUD 1945. Artinya, ke depan sangat terbuka kemungkinan untuk menambah atau mengurangi kewenangan MK, tanpa harus menunggu proses perubahan UUD 1945. Penulis mengusulkan juga untuk dipertimbangkannya pemberian kewenangan lain kepada MK, yaitu kewenangan pengaduan konstitusional dan pertanyaan konstitusional yang berada di luar kewenangan MK bahkan di luar kewenangan lembaga yudikatif lain. Kiranya perlu pewadahan ke dalam kompetensi MK untuk masalah-masalah konstitutional yang belum memiliki jalur peradilan seperti kedua masalah tersebut. Kita dapat mengukur sejauh mana profesionalitas MK dalam menjalankan kewenangannya yang besar itu. Untuk kemudian mempertimbangkan usulan melengkapi kewenangan MK, khususnya kewenangan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dan pertanyaan konstitusional (constitutional question), serta usulan judicial review satu atap. Perihal ini patut menjadi perhatian bersama, sebab berkait erat dengan upaya penguatan dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara yang selama ini seringkali terabaikan penikmatannya. Seiring dengan wacana tersebut, ke depan MK harus membangun manajemen perkara yang profesional dan akuntabel, mengingat besarnya kewenangan MK dan tingginya ekspektasi masyarakat terhadap keberadaan MK sebagai penjaga dan penafsir konstitusi. (the guardian and the interpreter of the constitution).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005;

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007;

Asshiddiqie, Jimly, dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konsitusi RI, Jakarta, 2005;

Harun, Refly, Zainal A. M. Husein, dan Bisariyadi, Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004.

Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius: Yogyakarta, 2007;

MD, Moh. Mahfud, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009;

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002;

Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

———-, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

———, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

———, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

———, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009;

——–, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dan 11/PUU-V/2007.

———, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009;


[1] Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 31-35.

[2] Austria adalah negara pertama di Eropa yang memiliki organ penjamin konstitusi dengan nomenklatur Mahkamah Konstitusi. Organ ini diusulkan oleh Prof. Hans Kelsen ketika ia diberi tugas mendesain konstitusi demokratis Austria sekitar tahun 1919.

[3] Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konsitusi RI, Jakarta, 2005, hlm. 1.

[4] Jimly Asshiddiqie, Setahun Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan dan Penyelenggaraan, serta Setangkup Harapan, (Buku: Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004), hlm. 4.

[5] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm. 581.

[6] Bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

[7] Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 perihal pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945, MK telah membuka diri terhadap pengujian sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) terhadap UUD 1945.

[8] Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan: “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

[9] Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002.

[10] Data tersebut berdasarkan Rekapitulasi Penanganan Perkara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2003-2012 yang diperoleh dari Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

[11] Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[12] Pasal 51 ayat (1) UU MK berbunyi Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

[13] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dan 11/PUU-V/2007.

[14] Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[15] Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2008, hlm. 340.

[16] Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan .

[17] Pasal 1 (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

[18] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 41.

[19] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 yang diucapkan pada tanggal 7 Agustus 2009 dalam sidang terbuka untuk umum merupakan salah satu cantoh perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang memberikan penafsiran terhadap norma dalam Undang-Undang  tentang Pemilu terkait dengan permohonan pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 kepada Mahkamah Agung. Dalam Putusan a quo Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir yang berbeda dengan tafsir yang diberikan oleh Mahkamah Agung terhadap beberapa Pasal dalam UU Pemilu tersebut.

[20] Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 289.

Download PDF Files

Prospek Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal dan Penafsir Konstitusi – Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.