Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed

Esaunggul.ac.id, Indonesia telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) polio, setelah ditemukannya kasus polio pertama di kabupaten Pidie, Aceh. Penetapan status KLB ini dilakukan karena Indonesia sudah mendapatkan sertifikat bebas polio sejak tahun 2014.

Lantas kenapa hal ini terjadi, berikut ini penjelasan Guru Besar dari Prodi Farmasi FIKES Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed. Menurut Prof. Maksum, penetapan status KLB ini merupakan suatu langkah pencegahan dan kehati-hatian, karena Indonesia sudah mendapatkan sertifikat eradikasi polio. Jangan sampai kasus ini membuka kembali sejarah kelam di Indonesia atas penyakit polio yang menyebabkan kelumpuhan, setelah Indonesia menerima sertifikat bebas polio dari WHO pada tahuin 2014 yang lalu.

“Munculnya kembali kasus polio ini harus dinyatakan KLB apalagi penyebabnya virus polio tipe 2, dimana virus polio tipe 2 ini sudah dianggap tidak ada lagi. Berdasarkan study epidemiologi, dari 1 kasus polio yang mengalami kelumpuhan, setidaknya kemungkinan ada sekitar 200 orang yang telah terinfeksi virus polio, dengan gejala yang lebih ringan,” jelasnya.

Bagaimana kasus virus polio di dunia?

Prof. Maksum menjelaskan bahwa belakangan ini kasus polio muncul di belahan dunia, yang selama beberapa dekade terakhir tidak ditemukan kasus polio. Temuan virus polio tipe 2 di Aceh tersebut, menempatkan Indonesia sebagai negara ke 16 yang menemukan kembali kasus polio. Melansir informasi pada laman United Nation Foundation, https://unfoundation.org/blog/post/is-polio-coming tanggal 26 September 2022 yang lalu Prof. Maksum menambahkan bahwa beberapa negara antara lain Malawi, Mozambik, Israel, Inggris, dan Amerika Serikat melaporkan telah mendeteksi munculnya virus polio. Kasus polio telah dilaporkan di Malawi dan Mozambik telah memicu peringatan di seluruh dunia. Padahal strain virus polio liar ini sudah tidak terdeteksi di kedua negara tersebut selama 30 tahun. Pada bulan Maret 2022 yang lalu, Israel mendeteksi kasus polio pertamanya sejak 1989 pada seorang anak laki-laki dari Yerusalem, dan pada bulan Juni yang lalu, otoritas kesehatan di Inggris mendeteksi virus polio dalam beberapa sampel air limbah yang diambil di timur laut London. Kemudian pada bulan Juli 2022, Departemen Kesehatan Negara Bagian New York melaporkan kasus polio pada seorang pemuda yang belum divaksinasi. Kasus ini merupakan kasus polio pertama yang tercatat di Amerika Serikat dalam kurun waktu lebih dari satu dekade.

Bagaimana kasus polio di Indonesia?

Menurut Prof. Maksum, Indonesia telah mengalami perjalanan panjang dalam menangani wabah virus polio ini. Dengan adanya resolusi WHO dan program The Global Polio Eradication Initiative pada tahun 1988, Indonesia telah melaksanakan program imunisasi nasional polio selama 3 tahun berturut-turut pada tahun 1995, 1996 dan 1997, serta telah berhasil memberantas virus polio di Indonesia sejak tahun 1996. Namun pada 13 Maret 2005 ditemukan kasus polio pertama di Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sehingga dalam kurun waktu 2005 sampai awal 2006, kasus polio tersebut berkembang menjadi KLB yang menyerang 305 orang, dan tersebar di 47 kabupaten/ kota di 10 provinsi di Indonesia.

“Kasus wabah polio lainnya di Indonesia adalah ditemukannya 46 kasus Vaccine Derived Poliovirus (VDPV), yaitu kasus polio yang disebabkan oleh virus dari vaksin. Kasus ini terjadi apabila cakupan vaksinasinya rendah. Kasus polio ini ditemukan di Pulau Madura dan di Probolinggo, Jawa Timur. Disamping itu, kasus polio pernah terjadi secara sporadis, dimana Kemenkes juga pernah melaporkan kepada WHO, tentang ditemukannya satu kasus polio di Kabupaten Yakuhimo, Papua pada tanggal 27 November 2018 yang lalu. Oleh sebab itu munculnya kembali kasus polio ini di suatu daerah tertentu perlu terus diwaspadai, terutama jika cakupan vaksinasi nya rendah. Setiap negara tetap berisiko mengalami munculnya kembali virus polio sampai virus tersebut benar-benar dapat dieradikasi di seluruh dunia”, papar Prof. Maksum.

Patogenesis dan cara penularan virus polio

Prof. Maksum menjelaskan bahwa masa inkubasi virus polio biasanya sekitar 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Umumnya sebagian besar orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala atau gejala ringan. Pada kondisi tertentu orang yang terinfeksi mengalami demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan di leher dan nyeri di tungkai. Gejala klinis polio terdiri dari (1). polio non-paralisis ditandai oleh mual muntah, lemah otot, demam, meningitis, letih, sakit tenggorokan, sakit kepala serta kaki, tangan, leher dan punggung terasa kaku; (2). polio paralisis menyebabkan sakit kepala, demam, lemah otot, kaki dan lengan terasa lemah, dan kehilangan refleks tubuh; (3). sindrom pasca-polio menyebabkan sulit bernapas atau menelan, sulit berkonsentrasi, lemah otot, depresi, gangguan tidur dengan kesulitan bernapas, mudah lelah dan massa otot tubuh menurun.

“Polio atau poliomyelitis ini merupakan penyakit yang melumpuhkan dan mengancam jiwa. Kebanyakan orang yang terinfeksi virus polio tidak mengalami gejala, dan sekitar 25% orang yang terinfeksi akan mengalami gejala seperti flu. Namun, sekitar 1 dari 200 orang akan lumpuh akibat infeksi virus tersebut, yang menyebabkan kecacatan permanen dan dapat menyebabkan kematian”, tambahnya,

Virus polio, kata Prof. Maksum, akan berkembang di saluran pencernaan, kemudian virus itu menyerang sistem syaraf pada balita, sehingga otot tersebut tidak berkembang dengan normal, sehingga kekuatan otot berkurang dan lama-lama otot mengecil dan bisa terjadi kelumpuhan.

Adapun cara transmisi polio adalah melalui fecal oral. Ketika seorang anak terinfeksi virus polio, virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan berkembang biak di usus. Virus ini kemudian melalui tinja penderita polio dapat menyebar dengan cepat pada komunitas, terutama bila kebersihan dan sanitasi lingkungan yang tidak higienis, serta buang air besar di sembarang tempat dapat menyebabkan penyebaran virus polio.

Bagaimana virus polio bisa muncul kembali?

Menurut Prof Maksum, sejak vaksin polio dikembangkan pada 1950-an dan program vaksinasi dicanangkan, maka secara dramatis imunisasi polio dapat mencegah dan menurunkan penyebaran virus polio, serta menghilangkan kasus polio di berbagai negara di dunia. Namun, virus polio masih mampu hidup pada komunitas atau individu yang tidak diimunisasi. Sehingga virus polio ini memungkinkan untuk terus beredar di wilayah tertentu yang tingkat imunisasinya rendah.

“Dalam dua tahun terakhir, tingkat vaksinasi anak secara global terhadap polio dan program vaksinasi lainnya termasuk di Indonesia, mengalami penurunan yang drastis  akibat dampak dari pandemi COVID-19. Hal ini dapat berakibat pada penyebaran kembali virus polio di beberapa negara termasuk di Indonesia. Oleh sebab itu, cakupan vaksinasi polio harus tetap tinggi dan upaya pengawasan perlu terus ditingkatkan. Penemuan kasus polio baru-baru ini, termasuk di negara-negara yang selama beberapa dekade tidak ditemukan lagi kasus polio, merupakan peringatan kuat bahwa setiap negara tetap berisiko mengalami munculnya kembali kasus polio sampai virus polio dieradikasi di seluruh dunia”, jelasnya.

Apa yang harus kita lakukan guna menghindari munculnya kembali wabah polio?

“Imunisasi merupakan kunci penting dalam upaya pencegahan kasus polio. Upaya untuk meningkatkan capaian dan cakupan imunisasi perlu terus ditingkatkan. Selain itu pemerintah perlu memastikan sistem surveilans kesehatan berjalan secara optimal, dan peningkatan edukasi dan komunikasi kepada masyarakat melalui kerjasama para pemangku kepentingan termasuk peran aktif para tokoh masyarakat untuk berkomitmen guna terus mempertahankan status bebas polio ini di Indonesia”, pungkasnya, mengakhiri perbincangan ini.