J. Hardjono, Azizah Ervina

Fisioterapi

Universitas Esa Unggul, Jakarta

 

 

 

 

Pendahuluan

Penelitian yang dilakukan oleh Danish (Simon Strauss, 1999) terhadap 1504 sample yang dipilih secara random dengan usia 30-60 tahun di temukan 37% pria dan 65% wanita mengalami nyeri sindroma miofasial yang terlokalisir. Sebuah penelitian di Amerika terhadap 100 sample dan 100 wanita petugas penerbangan dengan rata-rata umur 19 tahun ditemukan bahwa 45% pria dan 54% wanita mengalami tenderness otot leher yang lokal disebut juga sebagai latent trigger point. Mahasiswa keperawatan wanita yang berjumlah 269 yang diperiksa ditemukan 45% mengalami sindroma trigger point di otot masseter, 35% di otot trapezius dan 28% mengalami nyeri sindroma miofasial pada saat pemeriksaan. Pemeriksaan pada otot lumbogluteal pada 100 sampel yang tanpa gejala miofasial ditemukan 45% latent trigger point pada otot quadratus lumborum, 41% di otot gluteus medius, 11% di otot gluteus minimus dan 5% di otot pirifromis. Pada kelompok pasien di pusat komunitas nyeri medikal ditemukan oleh seorang neurologis bahwa dari 96 pasien 93% diantaranya mengalami nyeri yang diakibatkan oleh trigger point sindroma miofasial dan 74% dari pasien itu diduga penyebab utama nyerinya adalah karena trigger point sindroma miofasial.

Di Indonesia sendiri hasil penelitian yang khusus tentang nyeri sindroma miofasial belum selengkap seperti yang dijelaskan diatas hal ini juga mendasari penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang nyeri sindroma miofasial khususnya daerah bahu dengan spesifikasi otot Supraspinatus.

Nyeri pada otot Supraspinatus disebabkan oleh trauma ringan ataupun gerakan yang terus-menerus ketika bekerja seperti mengetik dalam waktu yang lama, menggunakan komputer yang terus-menerus, bekerja pada meja yang terlalu rendah, membawa barang berat, serta pekerjaan yang melakukan gerakan bahu secara berulang tanpa istirahat. Nyeri bahu sangat mengganggu aktivitas seseorang yang melibatkan gerakan bahu sehingga mengalami hambatan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, nyeri bahu yang diderita sangatlah mengganggu kinerja, sehingga menjadi masalah yang besar dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.Sedangkan definisi dari miofasial sindrom adalah suatu kondisi yang bercirikan adanya regio yang hipersensitif, yang disebut sebagai trigger area pada otot atau jaringan ikat longgar yang besama-sama dengan adanya reaksi nyeri yang spesifik pada daerah yang berhubungan dengan titik itu pada saat trigger area diberi suatu rangsangan.

Sindroma ini didirikan dengan adanya spasme otot, tenderness, stifness (kekakuan), keterbatasan gerak, kelemahan otot dan sering pula timbul disfungsi autonomik pada area yang dipengaruhi yang umumnya gejala timbul cukup jauh dari trigger area. Kondisi ini sering ditemukan pada leher, bahu, punggung atas, punggung bawah dan ekstremitas bawah. Pada kondisi sindroma miofosial umumnya pasien datang dengan keluhan nyeri yang menjalar apabila dilakukan penekanan pada daerah tersebut, sehingga ditemukan adanya taut band yaitu berbentuk seperti tali yang membengkak yang ditemukan diotot, yang membuat pemendekan serabut otot yang terus-menerus, sehingga terjadi peningkatan ketegangan serabut otot. Sehingga pembebanan dari otot yang terus-menerus atau karena penggunaan yang berlebihan, sehingga otot akan mengalami ketegangan atau kontraksi terus-menerus yang kemudian menimbulkan stress mekanis pada jaringan miofasial dalam waktu yang lama sehingga akan menstimulasi nosiseptor yang ada di dalam otot. Semakin sering dan kuat nosiseptor tersebut terstimulasi maka akan semakin kuat aktifitas refleks ketegangan otot tersebut. hal ini akan meningkatkan nyeri sehingga menimbulkan keadaan viscous cycle. Keadaan viscous cycle akan mengakibatkan adanya daerah pada jaringan miofasial yang mengakibatkan iskemik lokal akibat dari kontraksi otot yang kuat dan terus-menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat sehingga jaringan ini akan mengalami kekurangan nutrisi dan oksigen serta menumpuknya zat-zat sisa metabolisme. Keadaan ini akan merangsang ujung-ujung saraf tepi nosiseptif tipe C untuk melepaskan suatu neuropeptida yaitu substansi P. karena adanya pelepasan substansi P akan membebaskan prostaglendin dan diikuti juga dengan pembebasan bradikinin, potassium ion, serotonin, yang merupakan noxius atau chemical stimuli sehingga dapat menimbulkan nyeri.

Nyeri sindroma miofasial di akibatkan oleh cidera, inflamasi, strain yang hebat dapat menyebabkan fasia menjadi jaringan perut (scarred) dan mengeras. Hal ini mengakibatkan tidak hanya peningkatan ketegangan , nyeri, sensitivitas struktur yang berdekatan dengan fasia juga pada daerah yang lain. Selain itu fasia juga akan mendapatkan tekanan pada kasus-kasus trauma, stress biomekanis yang intermitten dan immobilisasi, reaksi normal dari fasia terhadap stresor yang ada adalah dengan meningkatkan kepadatan pada daerah fasia yang mendapatkan penekanan dan seringkali daerah tersebut terbentuk menjadi trigger point. Walaupun trigger point kadang-kadang dapat diraba, keberadaanya lebih sering ditegakkan dari reaksi nyeri pasien pada waktu tempat tersebut ditekan. Besarnya trigger point diperkirakan sekitar 3-6 mm, trigger point disebabkan oleh adanya darah dan bahan ekstraselular yang tidak diserap sesudah kerusakan oleh sebab apapun pada jaringan lunak. Akibat adanya perlekatan terdapat hambatan aktivitas menggunakan (glinding) otot yang mengakibatkan ketegangan, kekakuan dan terbentuknya iritan lebih lanjut.

Istilah sindroma miofasial ini sering disamakan dengan kondisi gangguan otot yang fasia seperti fibromialgia, miositis, muscular rheumatism, myofasatis, fibromyositis, fibrositis, myalgia dan muscular strains. Walaupun secara patologis hal tersebut berbeda, sering menunjukkan tanda dan gejala yang hampir sama. Sehingga akan membuat kekeliruan dalam penegakan diagnosa terlebih lagi dalam hal pemberian terapi. Dalam hal ini penulis memandang perlu meneliti lebih mendalam tentang kondisi sindrom miofasial ini. Karena sering penulis temukan dalam praktek klinis sehari-hari adanya kesalahan diagnosa dan kesalahan dalam pemberian terapi pula harapan penulis dengan adanya penelitian ini kesalahan-kesalahan tersebut dapat dikurangi dan bahkan mungkin tidak terjadi lagi.

Nyeri Sindroma Miofasial M Supras-pinatus

Banyak istilah yang sering dipakai dalam praktek klinis sehari-hari untuk menggambarkan kondisi sindroma nyeri miofasial atau myofascial pain syndrome seperti myofascial trigger point syndrome, myofascitis, fibrositis, tension myalgia, muscular rheumatism, nonarticular rheumatism, overuse syndrome dengan pengertian yang sama ataupun jelas jauh berbeda. Sedangkan sindroma nyeri miofasial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau beberapa titik picu (trigger point).

Sindroma miofasial M Supraspinatus adalah suatu kondisi yang bercirikan adanya regio yang hipersensitif yang disebut sebagai trigger area pada otot atau jaringan ikat longgar pada bahu yang bersama-sama dengan adanya reaksi nyeri yang spesifik pada daerah-daerah yang berhubungan dengan titik picu pada saat trigger area diberi suatu rangsangan. Sindroma tadi dicirikan dengan adanya spasme otot, tenderness, stiffness (kekakuan), keterbatasan gerak, kelemahan otot dan sering pula timbul disfungsi autonomik pada area yang dipengaruhi yang umumnya gejala yang timbul cukup jauh dari trigger area tadi pada kasus ini ciri-ciri tadi ditemukan khususnya pada bahu.

Penyebab sindroma miofasial M Supraspinatus.

Penyebab terjadinya nyeri miofascial otot Supraspinatus disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :

  1. Trauma makro pada struktur miofasial

    Akibat suatu cidera akut pada otot, tulang dan sendi maka akan membentuk trigger area. Trigger area ini dapat diartikan sebagai daerah yang kecil terbatas tegas dan hipersensitif pada otot atau jaringan ikat (connective tissue) dimana bila daerah tersebut diberi rangsangan atau penekanan akan menimbulkan nyeri lokal dan juga menyerang sistem saraf pusat yang menimbulkan nyeri yang menjalar (referred pain). Disebut trigger area karena perangsangannya seperti membidikan pelatuk dari sebuah senapan yang menghasilkan pengaruh pada daerah lain (target tertentu) yang disebut daerah referensi.

  2. rauma Mikro

    Sebagai akibat tambahan dari trauma makro yang hebat menimbulkan serangan gejala yang jelas dan timbul dengan cepat, trauma dari cidera yang ringan juga dapat memainkan peranan yang sama pentingnya. Pada trauma yang ringan terdapat hubungan antara cidera dengan sindroma nyeri tidak begitu jelas terlihat dan hubungan tersebut dapat diabaikan karena gejala yang timbul secara bertahap. Walaupun frekuensinya jarang diakui tetapi hal ini sama pentingnya sebagai penyebab nyeri miofasial adalah trauma mikro yang berulang-ulang (repetitive injury) akibat aktifitas sehari-hari dan strains otot khususnya pada individu dengan kegiatan yang sama dan menetap setiap harinya pada usia diatas 35 tahun.

  3. Faktor lainnya

    Trigger area dapat ditimbulkan akibat kelelahan otot yang berat, kondisi-kondisi arthrosis, cidera saraf, postur yang berat dan masalah neuromuskuloskelatal yang lain seperti adanya scoliosis, kifosis, lordosis pada daerah servikal dan upper thorakal dan juga akibat adanya disfungsi organ-oragan dalam tubuh. Kelelahan yang umum dan rendahnya tingkat metabolisme dengan ketidak seimbangan kimiawi, infeksi kronis dan stress psikogenik dapat menjadi faktor pemicu timbulnya trigger area.

Tanda dan gejala sindroma miofasial otot Supraspinatus

Beberapa tanda dan gejala yang dimunculkan pada sindroma miofasial otot Supraspinatus.

  1. Nyeri yang terlokalisir pada otot Supraspinatus.
  2. Terdapat taut band pada otot dan fasia serta jaringan ikat longgar (connective tissue).
  3. Reffered pain umumnya dengan pola yang dapat diprediksi
  4. Adanya titik tenderness pada satu tempat sepanjang taut band yang disebut sebagai trigger point / jump sign.
  5. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan lingkup gerak sendiri.
  6. Spasme otot akibat sekunder dari rasa nyeri yang timbul juga akibat penumpukan zat-zat iritan / zat metabolit.
  7. Perubahan otonomik seperti vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat yang berlebihan disepanjang area rujukan (reffered pain). Untuk pemahaman lebih lanjut, berikut ini penulis menjelaskan terapan dan patologi sindroma miofasial otot Supraspinatus.

Anatomi dan fisiologi otot Supras-pinatus

Glenohumeral Joint

Merupakan ‘ball and socked joint’ dibentuk oleh glenoid cavity yang konkaf menghadap ke lateral serong ke ventrocranial dengan caput humeri yang berbentuk konfeks. Memiliki 3 derajat kebebasan gerak dalam 3 bidang gerak dan 3 sumbu utama : Sumbu transversal mengontrol gerak fleksi – ekstensi dalam bidang sagital, sumbu antero – posterior mengontrol gerak adduksi dalam bidang frontal, sumbu vertikal mengontrol gerak fleksi – ekstensi dalam bidang horizontal pada posisi lengan abduksi 900, pada sumbu longitudinal humerus terjadi gerak rotasi. Gerak fisiologis fleksi – extension ROM. Fleksi = 1800 bersamaan rotasi internal, external : 30 – 450 stretched end feel (elastic) dan gerak osteokinematiknya yang utama berupa rotasi spin. Gerak artrokinematiknya yang utama spin. Gerak fisiologis abduksi dalam bidang frontal dengan ROM 900 dan end feel elastic harder. Gerak arthrokinematiknya berupa caudal translation.Gerak fisiologis internal rotation dalam bidang transversal dengan ROM 900 dan elastic end feel. Dan gerak arthrokinematiknya berupa dorsal translation. Gerak fisiologis eksternal rotation dalam bidang transversal dengan ROM 800 dan elastic end feel serta dengan gerak arthrokinematiknya berupa ventral translation.

Gerak fisiologis horizontal abduction dan horizontal adduction dalam bidang transversal ROM 1200 dan 300 dengan elastic end feel gerak arthrokinematiknya berupa ventral translation dan dorsal translation. Seluruh komponen diatas memiliki gerak arthrokinematik traction dengan arah lateral serong ventrocranial. Maximally lose pack position adalah : posisi dimana kekenduran capsulo ligamentairnya maksimal, yaitu fleksi, abduction ± 300 dan sedikit internal rotation Close pack position adalah : posisi sendi dimana terjadi penguncian permukaan sendi atau koaptasi maksimal yaitu posisi abduksi dan fleksi penuh.

Capsular pattern adalah : keterbatasan gerak sendi sebagai akibat pemendekan seluruh capsulo ligamentair, yaitu dengan pola ROM: external rotation , abduction , internal rotation.

Otot-otot Rotator Cuff
Beberapa otot yang berperan pada aktifitas sendi bahu, antara lain :

  1. Muskulus Supraspinatus

    Dimulai dari fascia supraspinata dan fossa supraspinata. Otot ini melewati capsula articularis dan bersatu untuk mencapai facies superior tuberculum majus. Otot ini memperkuat humerus pada lekuk sendi, menegangkan capsula articularis dan abduksi lenga. Kadang-kadang terdapat bursa sinovial dekat cavitas glenoidalis. Persyaratan: N suprascapularis (C4–C6). Kepentingan klinik: tendonopati M Supraspinatus disebabkan regangan berlebihan atau trauma yang sering terjadi. Tendonopati ini berhubungan dengan klasifikasi pada tendo dekat tuberculus majus dan menimbulkan rasa nyeri hebat pada abduksi setelah usia 40 tahun ruptur tendo juga sering terjadi.

  2. Musculus Infraspinatus

    Di mulai dari fossa intraspinata, spina scapula dan fasia infraspinata dan berjalan menuju tuberculum majus : permukaan tengah, m infrasipantus memperkuat capsula articularis sendi bahu, fungsi utamanya adlah rotasi eksterna lengan. Dekat dengan lekuk sendi sering terdapat bursa subtendinea M infraspinatus, Persyarafan : N suprascapularis (C4 – C6) variasi : seringkali bergabung dengan M teres minor.

  3. Musculus Subscapularis

    Berasal dari fossa subscapularis dan berinsertio pada tuberculum minor dan bagian proximal crista tuberculi minoris. Dekat perlekatan antara M subscapularis dan capsula articularis terdapat bursa subtendinea M subscapularis dan diantara bursa tendinea dan basis processus coracoideus terletak bursa sub coracoidea. Kedua bursa berhubungan dengan cavum articularis. Otot ini bekerja untuk rotasi medialis lengan atas. Persyaratan-persyaratan N subscapularis (C5 – C8). Kepentingan klinik : paralisis m subscapularis mengakibatkan maksimal rotasi lateralis (eksternalis) anggota badan atas, yang menunjukan bahwa otot ini adalah rotator medialis kuat lengan atas.

  4. Musculus Teres Minor

    Dimulai dari pinggir lateral scapula superior terhadap origo M teres major dan berinsertio pada permukaan bawah tuberculum majus. Otot ini bekerja sebagai rotasi lateralis lengan yang lemah persyaratan : N axillaris (circumflexus) (C5 – C6) variasi : otot ini dapat bersatu dengan m intraspinatis.

Histologi Muskuler

Otot Rangka

Otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan “balok penyusun” (building blocks) sistem otot dalam arti yang sama dengan neuron merupakan “balok penyusun” sistem saraf. Hampir seluruh otot rangka berawal dan berakhir ditendo dan serat-serat otot rangka tersusun sejajar diantara ujung-ujung tendo, sehingga daya kontraksi setiap unit akan saling menguatkan. Setiap serta otot merupakan satu sel otot yang berinti banyak, memanjang, silinder dan diliputi oleh membran sel yang dinamakan sarkolema. Antara sel-selnya tidak terdapat jembatan sinsition. Serat-serat otot tersusun atas miofibril yang terbagi menjadi filamen-filamen. Filamen-filamen ini tersusun dari protein-protein kontraktil.

Mekanisme kontraktil otot rangka tergantung dari protein miosin (berat molekul 460.000). aktin (berat molekul 43.000), tropomiosin berat molekul 70.000 dan troponin dengan berat molekul 18.000-35.000 dan terdiri dari troponin I,T,C. filamen yang tersusun dari protein kontraktil dibagi dalam dua jenis yaitu filamen tipis (yang tersusun dari aktin, tripomiosin dan troponin) dan filamen tebal yang tersusun dari miosin yang berkaitan dengan aktin. Jenis miosin yang t erdapat pada otot adalah bentuk miosin II dengan dua kepala berbentuk globular serta ekor yang panjang.

Sistem T merupakan kelanjutan dari membran serat otot yang membentuk jaringan berlubang pada tiap fibril yang berfungsi menghantar potensial aksi dengan kecepatan tinggi dari membran sel keseluruh fibril otot. Retikulum sorkoplasmik membentuk substansi secara acak mengelilingi fibril dengan bentuk tak beraturan dan melebar pada bagian ujung yang disebut sebagai sisterna terminal dan berfungsi dalam proses perpindahan ion Ca2+ dan metabolisme otot.

Serabut otot memiliki dua tipe otot yang berbeda, dimana kedua tipe serabut otot tersebut memiliki fungsi dan peranan yang berbeda-beda pula dengan mengetahui dan memahami dari kedua tipe serabut otot dapat yaitu :

  1. Tipe I (slow twitch) atau otot tonik

    Disebut juga red muscle karna berwarna lebih gelap dari otot lainnya, yang banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria (tahan lama terhadap tahanan). Yang berfungsi untuk mempertahankan sikap, kelainan tipe otot ini cenderung tegang dan memendek diantaranya adalah otot-otot postural seperti m. quadratus lumborum, group ekstensor trunk yang terdiri diantaranya adalah m. erector spine, m. longisimus thoraksis, m. rotatores, m. multifidus, group fleksor panggul yang meliputi : m. Illopsoas, m. tensor fascia latae, m. rektus femoris, group eksorotasi panggul yang meliputi m. piriformis, m. adduktur panggul, group hamstring dan m. gastrocnemius dan soleus.

  2. Tipe II (fast twitch) atau otot pashik.

    Disebut juga white muscle karena berwarna lebih pucat, yang banyak mengandung myofibril (tidak tahan l ama terhadap tekanan), durasi kontraksi lebih pendek dan menghasilkan gerakan-gerakan halus dengan ketrampilan gerak, yang berfungsi untuk gerakan cepat dan kuat, yang berasal dari dua macam serabut yaitu serabut otot tipe 2A yang kelelahannya rata-rata intermediate (sedang) dan serabut tipe 2B yang kelelahannya sangat cepat. Kelainan tipe otot ini cenderung lemah dan lembek diantaranya adalah otot-otot perut, otot gasroknemius, otot gluteus maksimus dan minimus, otot peroneal, otot tibialis anterior, otot extra ocular, dan otot-otot tangan.

Serabut otot fast twitch: serabut-serabut lebih besar untuk kekuatan kontraksi yang besar, retikulum sarkoplasma yang luas sehingga cepat melepaskan ion-ion kalsium untuk memulai kontraksi otot, enzim glikolitik yang banyak untuk pengeluaran energi yang cepat melalui proses glikolitik. Persediaan darah yang tidak terlalu luas karena metabo-lisme oksidatif tidak begitu penting.

Serabut otot slow twich: serabut-serabutnya lebih kecil, juga disarafi oleh serabut saraf yang lebih kecil, sistem pembuluh darah lebih luas untuk menyediakan oksigen ekstra, besarnya mitokondria, juga sangat membantu metabolisme oksidatif, serabut-serabut mengandung sejumlah besar mioglobin sel-sel darah merah. Mioglobin bergabung dengan oksigen dan menyimpannya didalam sel otot sampai oksigen tersebut diperlukan oleh mitokondria.

Adapun type dari pada otot Supras-pinatus tersebut adalah otot dengan tipe tonik/ otot tipe I yang berfungsi sebagai stabilisator/ mempertahankan sikap tubuh dengan meka-nisme kerja otot dan respon yang lambat, masa laten yang panjang sehingga dapat beradaptasi pada kontraksi yang panjang/lama. Kemam-puan tipe otot ini dalam pemompaan Ca2+ retikulum sarkoplasmiknya juga sedang dan kapasitas oksidasi yang tinggi berhubung otot tipe I ini mempunyai kandungan mitokondria, kepadatan kapiler dan kandungan mioglobin yang besar dibanding dengan otot tipe II. Secara mikroskopis otot ini mempunyai warna merah. Dalam hal ini otot yang ingin ditangani yang mengalami kondisi sindroma miofasial antara lain adalah otot Supraspinatus.

Jaringan Miofasial

Sehatnya jaringan miofasial memungkinkan adanya keseimbangan antara kompresi dan ketegangan dengan rileksasi. Di dalam jaringan miofasial terdapat suatu bahan yang disebut substansi dasar (ground substance). Substansi dasar ini mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai alat transportasi yang memin-dahkan zat nutrient dari daerah dimana maka-nan dipecahkan ke daerah dimana zat gizi tersebut diperlukan, juga berfungsi untuk mengangkut zat-zat sisa metabolisme, meru-bah konsistensi gelatin bebas ke gel form (busa gel) sehingga apbilat terkena trauma baik biokimia maupun mekanis maka akan menge-ras dan kehilangan elastisitas sehingga pada akhirnya miofasial akan mengalami ketegangan untuk mempertahankan jarak antar serabut jaringan ikat sehingga terjaga dari pemben-tukan perlengkapan (microadhession) serta menjaga jaringan agar tetap fleksibel.

Fascia

Fascia merupakan jaringan ikat longgar (connective tissue) dan tersebar di sepanjang tubuh. Fascia membungkus setiap otot, tulang, saraf, pembuluh darah dan organ tubuh. Fascia terdiri atas substansi dasar dan dua serabut dasar protein.

Substansi dasar yang disebut juga mukopolisakarida ini mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai pelumas yang mengijinkan serabut mudah bergeser satu sama lain dan sebagai perekat yang menahan serabut dari jaringan supaya tetap dalam satu ikatan.

Sedangkan dua macam serabut dasar protein yaitu jaringan ikat kolagen dan jaringan ikat elastik. Jaringan ikat kolagen terdiri atas sebagian besar kolagen ikat elastik terdiri atas sebagian besar elastin yang mengizinkan adanya elastisitas. Berdasarkan tempat dimana fasia ditemukan dalam otot, maka fascia dibedakan menjadi :

Epy misium, merupakan jaringan fascia yang terluas yang mengikat seluruh fascikel.

Perimysium merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok serabtu otot ke dalam individual fasikuli.

Endomysium, merupakan jaringan fasial terdalam yang membungkus individual otot. Fascia akan lebih tebal dan padat pada beberapa daerah di bandingkan dengan daerah yang lain. Kepadatan dan ketebalan fascial sangat mudah dikenali dan terlihat seperti membran putih yang kuat seperti yang sering kita lihat pada potongan daging. Sehatnya jaringan miofasial memungkinkan adanya keseimbangan antara kompresi dan ketega-ngan dengan relaksasi.

Di dalam jaringan miofasial terdapat suatu bahan yang disebut substansi dasar (ground substance). Substansi dasar ini mem-punyai beberapa fungsi yaitu sebagai alat transport yang memindahkan nutrisi atau zat gizi dari daerah dimana makanan di pecahkan kedarah dimana zat gizi ini dibutuhkan, mengangkut zat-zat metabolisme, merubah konsitensi gelatin bebas ke gel-foam (busa – gel) sehingga apabila terkena trauma baik biokimia maupun mekanis maka akan menjadi mengeras dan kehilangan elasisitas sehingga pada akhirnya miofascial akan mengalami kete-gangan mempertahankan jarak antar serabut jaringan ikat sehingga terjadi dari pemben-tukan perlengkapan (microadhesion) serta menjaga jaringan ini tetap fleksibel.

Fisiologi Muskular

Mekanisme kontraksi otot dimulai dengan adanya beda potensial pada motor end plate akibat suatu stimulus sehingga terce-tusnya suatu potensial aksi pada serat otot. Penyebaran depolarrisasi terjadi ke dalam tubulus T dan mengakibatkan pelepasan Ca2+ dari sisterna terminal retikulum sarkoplasmik serta difusi Ca2+ ke filamen tebal dan filaman tipis. Selanjutnya terjadi suatu pengikatan Ca2+ oleh troponin C, yang membuka tempat pengikatan miosin dari aktin. Proses tadi menyebabkan terbentuknya ikatan silang (cross links) antara aktin dan miosin dan terjadi pergeseran filamen tipis pada filemen tebal (pemendekan atau kontraksi). Apda tahap relaksasi Ca2+ akan dipompakan kembali ke dalam retikulum sarkoplasmik dan terjadi pelepasan Ca2+ dari troponin sehingga interaksi antara aktin dan miosin berhenti.

Pathofisiologi nyeri sindroma miofa-sial otot Supraspinatus

Otot Supraspinatus merupakan otot postural atau otot tonik yang bekerja mela-kukan gerakan abduksi bahu. Kerja otot ini akan bertambah berat dengan adanya postur yang jelek, mikro dan makro trauma. Akibatnya yang terjadi adalah fase kompresi dan ketegangan lebih lama dari pada rileksasi, terjadinya suatu keadaan melebihi batas critical load dan juga otot tadi mengalami kelelahan otot yang cepat.

Trauma pada jaringan baik akut maupun kronik akan menimbulkan kejadian yang berurutan yaitu hiperalgesia dan spasme otot skelet, vasokontriksi kapiler. Akibatnya pada jaringan miofascial terjadi penumpukan zat-zat nutrisi dan oksigen ke jaringan serta tidak dapat di pertahankannya jarak antar serabut jaringan ikat sehingga akan menim-bulkan iskemik pada jaringan miofasial. Dan keadaan iskemia inilah jaringan miofasial akan menegang, sehingga akan merangsang subs-tansi P hingga menjadi suatu peradangan kronis yang menghasilkan zat algogen berupa prostaglandin, bradikinin dan serotonin yang dapat menimbulkan sensori nyeri. Proses radang dapat juga menimbulkan respon neuromuskular berupa ketegangan otot diseki-tar area yang mengalami kerusakan otot ter-sebut, sehingga timbulan viscous circle.

Dalam waktu yang bersamaan pula akan terjadi proses perbaikan jarigan miofasial yang mengalami kerusakan dengan cara men-stimulasi fibroblas dalam jaringan miofasial untuk menghasilkan banyak kolagen. Kolagen yang terbentuk mempunyai susunan yang tidak beraturan atau cross unik sehingga terbentuk jaringan fibrous yang kurang elastis.

Adanya iritasi saraf oleh karena rasa nyeri yang berlangsung lama akan menu-runkan ambang rangsang Aδ dan C sehingga terjadi hiperalgesia dan alodynia sehingga menimbulkan reflex hiperaktifitas simpatis, sehingga terjadi vasokonstriksi kapiler dan terjadi gangguan sirkulasi. Oleh karena rasa nyeri umumnya pasien enggan menggerakan bagian tersebut, sehingga berada pada posisi immobilisasi akibatnya otot akan menjadi kontraktur. Terbentuk taut band dan trigger point. Pada serabut saraf terjadi peningkatan mekanisme refleks segmental dan supra seg-mental seperti adanya spasme otot, hiper-aktivitas vasomotor dan glandular, penurunan ambang rangsang nyeri dan peningkatan kecepatan konduksi saraf serta terjebaknya reseptor saraf tipe Aδ dan C akibat tekanan jaringan fibrous sehingga menimbulkan tende-rness lokal dan nyeri rujukan.



Sumber: Hasil Pengolahan Data
Gambar 1
Mekanisme kontraksi otot

Ketika jaringan miofasial dalam keadaan immobilisasi, maka akan terjadi perubahan pada substansi dan serabut kolagen, protein dan karbohidrat kompleks dalam substansia dasar akan mengikat air dan menjadikan banyak gel tak terbentuk yang dikenal sebagai glikoaminoglikan.

Dengan immobilisasi viskositas matrix akan berkurang dan bagian terbesar dari substansia dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen akan saling berdempetan, ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen lain menurun hingga pada ambang kritis, yang terjadi adalah molekul mulai membentuk ikatan menyilang (cross binding). Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena serabut kolagen dan lapisan fascia kehilangan pelumas. Hal ini akan menyebabkan molekul dari lembaran fascia ternyata terikat bersama-sama.

Keadaan immobilisasi dari jaringan miofasial ini banyak disebabkan misalnya oleh ergonomik kerja yang jelek, dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan fibroblast dan banyak kolagen membuat ikatan tali (cross link). Cross link kolagen secara fisiologis timbul perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam jaringan. Akibatnya akan menurunkan jarak kritis pada area ini. Disamping itu aliran darah pada area ini juga akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia sehingga mencetuskan timbulnya nyeri.

Proses yang terjadi pada nocisepsi

  1. Proses transduksi (transduction) meru-pakan proses dimana stimulasi nyeri diubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve ending). Stimulus ini bisa berupa stimulasi fisik mekanik (tekanan), termis (panas dan dingin) atau kimiawi (substansi nyeri).

  2. Proses transmisi (transmission) yaitu penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut saraf C sebagai neuron pertama dari perifer ke medulla spinalis dimana bimpuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus spinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerahsomato sensorik dikortek serebri melalui neuron ketiga dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

  3. Proses modulasi (modulation)

    Adalah proses dimana terjadi interaksi antara system analgesic endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem analgesic endogen ini meliputi enkefalin, endorphin, serotonin dan adrenalin memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri. Proses perjalanan nyeri sampai terjadi sensasi melalui modulasi dalam 4 tingkat yaitu :

    • Level sensorik

      Jika terjadi kerusakan jaringan, maka sel-sel yang rusak melepaskan zat-zat kimiawi seperti prostaglandin, histamine dan bradikinin. Zat-zat iritan yang meningkatkan sensitivitas nosiseptor sehingga timbul nyeri hebat atau hiperalgesia. Selama proses peradangan, juga terjadi ketidak seimbangan ion pada membran sel saraf dimana ion Na+ cenderung terakumulasi didalam sel sehingga terbentuk aksi potensial yang terus menerus pada serabut aferen A-delta dan C. Semakin besar aktivitas serabut aferent A-delta dan C maka semakin cepat konduksinya.

      Modulasi nyeri melalui level sensorik dapat dicapai dengan mengangkut zat-zat algogen, mengaktifkan kembali sodium potassium pump sehingga tercipta keseimbangan ion secara normal, dengan demikian terjadi penu-runan aksi potensial serabut afferent A-delta dan C serta menghambat atau memperlambat konduktivitas serabut afferent tersebut.

    • Level Spinal

      Adanya stimulus fisik-mekanik, thermis dan kimiawi yang dapat menimbulkan nyeri menyebabkan aksi potensial dari ujung-ujung saraf sensoris. Stimulus nyeri tersebut menjadi aktivitas listrik yang disebut dengan impuls nyeri. Impuls tersebut dibawa ke kornu posterior medulla spinalis melalui sera-but afferen A-delta dan C. Serabut saraf afferen A-delta dan C merupakan serabut saraf nyeri yang berdiameter kecil. Serabut saraf A-delta memiliki myelin tipis, sedangkan serabut saraf C tidak bermyelin sehingga konduksi serabut saraf afferen A-delta lebih besar dari serabut saraf afferent C. Pada nyeri akut, nyeri pertama dibawa oleh serabut afferent A-delta dengan sifat nyeri yang terlokalisir dan lebih khas, sedangkan nyeri kedua dibawa oleh serabut afferent C dengan sifat nyeri yang menyebar (difusi) dan kurang khas.

      Modulasi nyeri pada level spinal diarahkan pada stimulasi terhadap serabut saraf afferent A-beta dan propiosepsi yang berdiameter besar untuk memblokade impuls-impuls nyeri yang dibawa oleh serabut afferent A-delta dan C di kornu posterior medulla spinalis.

    • Level Supra Spinal

      Modulasi nyeri pada level supraspinal melibatkan sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh. Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorphin, serotonin dan adrenalin dimana memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Pelepasan sistem analgesik endogen oleh tubuh dipengaruhi oleh stimulasi pada serabut saraf afferen yang berdiameter kecil (serabut A-delta dan C). Adanya serabut saraf afferen A-delta dan C dapat merangsang pelepasan sistem analgesik endogen dan analgesik endogen tersebut dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis sehingga menutup pintu gerbang pada kornu posterior.

      Modulasi nyeri pada level supraspinalis dapat dihasilkan oleh modalitas fisio-terapi, yaitu Ultrasonik dan transfer friction dengan efek mekaniknya dapat merangsang serabut afferen A-delta dan C sehingga memicu pelepasan sys-tem analgesic endogen oleh tubuh.

    • Level Sentral

      Modulasi nyeri pada level sentral melibatkan sistem limbik sebagai pusat emosional. Proses terakhir dari rang-kaian proses nosisepsi adalah persepsi. Persepsi merupakan cara seseorang memperlakukan secara aktual nyeri yang diraskaannya, yang menca-kupsifat/tingkah laku yang kompleks, psikis dan faktor emosional. Keadaan emosional yang tinggi mencakup rasa takut yang berlebihan atau gembira, kadang-kadang secara temporer dapat memblokade impuls nyeri di kornu posterior medula spinalis. Sebagai contoh nyeri kepala dapat terabaikan jika seseorang melakukan aktivitas olahraga dengan semangat yang tinggi.

  4. Perseption atau persepsi, salah satu hasil akhir dari proses interaksi yang komplek dimulai dari proses tranduksi, transisi dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal dengan persepsi nyeri.

Mekanisme Timbulnya Nyeri Sindro-ma Miofasial otot Supraspinatus

Otot suprapsinatus merupakan otot tipe tonik. Dengan demikian otot ini mudah terjadi lelah bila digunakan secara berlebihan teru-tama pada gerakan abduksi bahu.

Sebagaimana diketahui pada jaringan miofasial yang sehat terdapat keseimbangan antara kompresi atau ketegangan dan rileksasi yang dipelihara oleh adanya substansi dasar (ground substances) dari jaringan miofasial itu sendiri. Substansi dasar ini mempertahankan keseimbangan kompresi atau ketegangan dengan rileksasi melalui cara mempertahankan jarak antar serabut jaringan ikat, dan juga berperan sebagai alat transport gizi dan alat transportasi zat-zat sisa metabolisme. Adanya kerja konstan dari otot tonik ini ditambah dengan adanya faktor-faktor yang memper-berat kerjanya seperti yang telah disebutkan diatas maka keseimbangan antara kompresi dan rileksasi pada jaringan miofasial tidak dapat dipertahankan lagi oleh ground subs-tance. Sehingga jaringan miofasial ini akan mengalami ketegangan atau kontraksi terus-menerus yang kemudian menimbulkan stress mekanis pada jaringan miofasial dalam waktu yang lama sehingga akan menstimulasi nosiseptor yang ada di di dalam otot dan tendon.

Semakin sering dan kuat nosisptor tersebut terstimulasi maka akan semakin kuat aktifitas refleks ketegangan otot tersebut. hal ini akan meningkatkan nyeri sehingga menim-bulkan keadaan viscous circle. Keadaan viscous circle akan mengakibatkan adanya daerah pada jaringan miofasial yang mengalami iskemi lokal sehingga akibat dari kontraksi otot yang kuat dan terus-menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat sehingga jaringan ini akan mengalami kekurangan nutrisi dan oksigen serta menumpuknya zat-zat sisa metabolisme. Keadaan ini akan merangsang ujung-ujung saraf tepi nosiseptif tipe C untuk melepaskan suatui neuropeptida yaitu substansi P. karena adanya pelepasan substansi P akan membe-baskan prostaglandin dan diikuti juga dengan pembebasan bradikinin, potassium ion, sero-tinin, yang merupakan noxius atau chemical simuli yang dapat menimbulkan nyeri.

Interferential Current (IFC)

Interferential current merupakan suatu jenis arus frekuensi menengah (middle frecuency current) yang merupakan pengga-bungan dua buah arus dengan frekuensi berbeda. Sifat pulsa dari arus interferential adalah sinusoidal biphasic simetris sehingga arus interferential tidak menimbulkan reaksi elektrokimiawi pada jaringan dibawah elektroda. Dalam aplikasi klinis sering digu-nakan frekeunsi 2000 dan 10.000 Hz tergan-tung pada tujuan yang diinginkan. Perbedaan arus menghasilkan amplitudo modulasi. Besarnya frekeunsi amplitudo modulasi (AMF) ditentukan oleh selisih antara kedua arus dan merupakan frekeunsi treatmen. Modifikasi amplitudo modulasi dilakukan melalui penga-turan spektrum sehingga pulsa arus dapat diatur sempit atau lebar dan melonjak tajam atau datar. Ini sangat penting karena berkaitan dnegan aplikasi pada kondisi yang diterapi. Perbedaan AMF akan membedakan sensasi yang dirasakan pasien.

Efek fisiologis penggunaan interferential adalah stimulasi afferent nerve fibers bermyelin tebal yang menyebabkan pengurangan nyeri dan normalisasi keseimbangan neuro – vegetative berupa rileksasi dan peningkatan sirkulasi stimulasi afferent nerve fibers ber-myelin tebal akan menghambat atau memberikan efek blocking sinaps di PHC yang berasal dari afferent nerve fibers bermyelin tipis dan tidak bermyelin sehingga persepsi nyeri berkurang atau dihilangkan sesuai dengan “gerbang control teori”

Melzack dan Wall menjelaskan efek stimulasi afferent nerve fibers bermyelin tebal sebagai “gate control” theory yang intinya adalah stimulasi secara selektif afferent II dan III untuk inhibisi afferent IV (nocicencoric) di lamina V.

Pengurangan nyeri melalui stimulasi afferent nerve fibers bermyelin tebal akan menormalisasi keseimbangan neurovegetative yang akan mendumping symphathetic system sehingga terjadi rileksasi dan peningkatan sirkulasi yang menghasilkan pengurangan nyeri melalui afferent II dan III. Stimulasi nerve fibers bermyelin pada jaringan otot dan kulit menyebabkan symphatetic reflex berkurang yang diikuti post-excitatory depression pada aktifitas symphatetic reflex.

Bahwa secara subjektif pasien akan merasakan stimulasi yang diberikan akan berkurang dengan bertambahnya waktu hal ini dikenal sebagai akomodasi yang timbul karena sensor stimulasi berupa informasi mengalami penurunan. Stimulasi tanpa perubahan stimulus akan menurunkan efek stimulasi. Untuk mencegah akomodasi dapat dilakukan dengan peningkatan intensitas atau variasi frekuensi dan berkaitan dengan akut dan kronis kondisi adalah intensitas relatif rendah, AMF relatif tinggi, specrum relatif lebar dan program spectrum relatif “mild (lembut” untuk kondisi akut, dan intensitas relatif tinggi, AMF relatif lebih rendah, spectrum relatif sempit dan program spectrum relatif “abrupt (kasar)” untuk kondisi kronis.

Ultrasonik (Ultrasound / US)

Gelombang suara dimana terjadi peristiwa getaran mekanik dengan bentuk gelombang longitudinal yang berjalan melalui medium tertentu dengan frekuensi yang beraraisi. Jenis gelombang ultra sonik meru-pakan gelombang longitudinal yang memer-lukan medium yang elastis sebagai media perambatan. Setiap medium elastis kecuali yang hampa udara. Gelombang mekanik longitudinal menyebabkan kompresi dan ekspansi medium pada jarak separoh gelom-bang yang menyebabkan variasi tekananpada medium.

Tahanan akutik spesifik adalah nilai perambatan gelombang suara pada media tertentu dengan media lainnya. Dimana gelombang suara lebih mudah merambatpada media yang tahanan akustiknya tinggi. Tahanan akustik merupakan sifat dari suatu medium yang mana suara masih dapat lewat. Besarnya tahanan akustik tergantung pada kerapatan media (Q) dan kecepatan gelombang suara (C). Adapun nilai sifat medium adalah dari hasil kerapatan massa dengan kecepatan gelombang suara. Bila gelombang suara melewati suatu media maka kemungkinan sebagian akan dipantulkan, diserap atau merambat terus sampai medis berikutnya.

Refleksi atau pemantulan terjadi bila gelom-bang ultra sonik melalui dua media yang berbeda. Banyak energi yang dipantulkan tergantung besarnya perbedaan impedance acustik spesifik dari suatu media ke media lainnya. Karena adanya refeleksi tersebut, maka energi US lebih besar diserap pada jaringan interface.

Jaringan antar permukaan jaringan dengan nilai tahanan akustik berbeda akan dipantulkan, sehingga pada daerah tersebut memperoleh energi ultra sonik lebih besar dari daerah lain.

Jika gelombang ultra sonic masuk ke dalam jaringan maka efek yang diharapkan adalah efek biologis. Oleh karena adanya penyerapan tersebut maka semakin dalam gelombang ultra sonik masuk dan intensitasnya semakin berkurang. Gelombang ultra sonik diserap oleh jaringan dalam berbagai ukuran tergantung pada frekuensi, frekuensi rendah penyerapannya lebih sedikit disbanding dengan frekuensi tinggi. Jadi ada ketergantungan antara frekuensi, penyerapan dan kedalaman efek dari gelumbang ultra sonic. Disamping itu refleksi, koefisien penyerapan menentukan penyebarluasan ultra sonic didalam jaringan tubuh.

Pembiasan gelombang ultra sonic ditentukan oleh nilai indeks bias tiap-tiap media pada jaringan, dimana indeks bias ditentukan oleh kecepatan bgelombang ultra sonic pada tiap-tiap medium. Nilai indeks bias (n) = 1 berarti tanpa pembiasan sedangkan nilai indeks bias lebih darui 1 berarti pembiasan mendekati normal dan jika indeks bias kurang 1 berarti ditentukan oleh sudut dating dan kecepatan gelombang suara pada media yang dilaluinya.

Untuk dapat meneruskan gelombang ultra sonik ke dalam jaringan tubuh maka dibutuhkan suatu medium yang berada transduser dan permukaan tubuh yang akan di ultra sonic. Adapun cirri-ciri coupling media yang baik adalah :

  1. bersih dan steril
  2. Tidak terlalu cair (kecuali metode under water)
  3. Tidak terlalu cepat diserap oleh kulit
  4. Transparasi
  5. Mudah dibersihkan.

Efek Biofisik Ultrasonik

  1. Efek Mekanik

    Bila gelombang ultra sonik masuk kedalam tubuh maka akan menimbulkan pemam-patan dan peregangan dalam jaringan sama dengan frekuensi dari tranduser ultra sonik sehingga terjadi varisasi tekanan dalam jaringan. Dengan adanya variasi tersebut menyebabkan efek mekanik yang sering disebut dengan istilah micro massage yang merupakan efek terapeutik yang sangat penting karena hamper semua efek yang timbul oleh ultra sonic disebabkan oleh micro massage. Pemam-patan dan peregangan oleh selubung longitudinal dari ultra sonic mampu menim-bulkan micro tissue damage dan menim-bulkan reaksi inflamasi primer.

    Pengaruh mekanik tersebut juga dengan terstimulasinya saraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu produksi “P subtance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau dikenal “neurogeic inflammation”.

  2. Efek Thermal

    Micro massage pada jaringan akan menimbulkan efek friction yang hangat. Panas yang ditimbulkan oleh jaringan tidak sama tergantung dari nilai acustik impedance, pemilihan bentuk gelombang, intensitas yang digunakan dan durasi pengobatan. Area yang paling banyak men-dapatkan panas adalah jaringan interface yaitu antara kulit dan otot serta periosteum. Hal ini disebabkan oleh adanya gelombang yang diserap dan dipantulkan. Agar efek panas tidak terlalu dominan digunakan intermitten ultra sonic yang efek terapeutiknya lebih dominan dibandingkan efek panas. Perubahan konsentrasi ion sehingga mempengaruhi nilai ambang rangsang dari sel-sel. Efek thermal ultra-sonic pengaruhnya lebih kecil mengingat durasi panas yang diperoleh jaringan hanya selama 1 (satu) menit. Tetapi bila terkonsentrasi pada satu jaringan dapat menimbulkan “heat burn”, yaitu bila pada tempat menonjol atau transduser static.

  3. Efek Piezoelectrik

    Adalah suatu efek yang dihasilkan apabila bahan-bahan piezoelektrik seperti kristal kwarts, bahan keramik polycrystalline seperti lead-zirconate-titanate dan barium titanate mendapatkan pukulan atau teka-nan sehingga menyebabkan terjadinya aliran muatan listrik pada sisi luar dari bahan piezoelectric tadi. Pada manusia seperti pada jaringan tulang, kolagen dan protein tubuh juga merupakan bahan-bahan piezoelectric. Oleh karena itu apabila jaringan-jaringan tadi mendapatkan suatu tekanan atau perubahan ketegangan akibat mendapatkan aliran listrik dari ultrasonic akan menyebabkan perubahan muatan elektrostatik pada membrane sel yang dapat mengikat ion-ion. Efek piezoelektrik antara lain dapat meningkatkan meta-bolisme dan dapat dimanfaatkan untuk penyambungan tulang.

    Secara umum ultrasonic akan mempe-ngaruhi proses electrode dan kejenuhan dari elektrolit tubuh sehingga mengganggu ion-ion yang berada pada lapisan yang tipis di daerah perbatasan antara zat padat dengan larutan elektrolit.

Contract Relax Stretching

Pada umumnya stretching dibagi dalam dua kelompok yaitu stretching dinamis dan statis. Pada stretching dinamis ditemukan fleksibilitas dinamis sedangkan pada stretching statis ditemukan fleksibilitas statis dan juga dinamis pada derajat tertentu. Ada beberapa tipe stretching yaitu: stretching balistik, stretching dinamis, stretching aktif, stretching pasif, stretching statis, stretching isometrik, stretching PNF. Contract relax stretching merupakan kombinasi dari tipe stretching isometrik dengan stretching pasif. Dikatakan demikian karena teknik contract relax streaching yang dilakukan adalah memberikan kontraksi isometrik pada otot yang memendek dan dilanjutkan dengan rileksasi dan stretching pada otot tersebut. Adapun tujuan dari pemberian contract relax streching yaitu untuk memanjangkan / mengulur struktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot, fasia tendon dan ligamen yang memendek secara patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS) dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot / akibat fibrosis. Sebelum menerapkan teknik contract relax stretching ada beberapa konsep yang harus dipahami yaitu konsep dasar dan konsep-neurofisiologi yang berperan sangat penting saat terjadi stretching otot. Beberapa konsep dasar stretching telah dijelaskan pada materi yang membahas tentang otot seperti konsep sistem muskuloskeletal, komposisi otot, proses terjadinya suatu kontraksi otot, jenis serabut otot dan jaringan penghubung, kerja kelompok otot, tipe kontraksi otot.

Klasifikasi dan Metode Contract relax stretching :

  1. Contract Relax Stretching pasif : merupakan tindakan contract relax stretching yang dilakukan dengan kekuatan dari luar tubuh yaitu dengan bantuan fisioterapis yang diaplikasikan secara manual atau dengan alat bantu mekanik.

  2. Contract Relax Stretching aktif : merupakan metode contract relax stretching yang dilakukan secara aktif dengan kekuatan pasien sendiri yang bertujuan untuk menginhibisi otot yang spasme dan memendek.

Indikasi dan Kontraindikasi :

  1. Miostatik kontraktur : merupakan kasus yang paling sering tejadi biasanya tanpa disertai patologis pada jaringan lunak (soft tissue) dan dapat diatasi dengan gentle stretching exercise dalam waktuyang pendek misalnya pada otot hamstring, otot rektus femoris dan otot gastroknemius.

  2. Scar Tissue Contracture Adhession : paling sering terjadi pada kapsul sendi bahu dan bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga pasien cenderung mela-kukan imobilisasi akibatnya kadar glikoami-noglikans dan air dalam sendi berkurang sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas sendi berkurang.

  3. Fibrotic Adhession : kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas karena biasanya bersifat kronis dan terdapat jaringan fibrotik seperti pada kondisi tortikolis.

  4. Ireversibel Kontraktur : biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup gerak sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual tidak menghasilkan dampak yang baik.

  5. Pseudomiostatik Kontraktur: Pada umum-nya diakibatkan gangguan pada susunan saraf pusat sehingga mengaki-batkan gangguan sistem muskuloskeletal.

  6. Kontraindikasi dilakukan suatu intervensi contract relax stretching antara lain adalah apabila terdapat faktur yang masih baru pada daerah shoulder girdle, post immo-bilisasi yang lama karena otot sudah kehilangan tensile strength, dan ditemukan adanya tanda-tanda inflamsi akut.

Tujuan Contract relax stretching :

  1. Meningkatkan lingkup gerak sendi.
  2. Menghilangkan spasme otot.
  3. Meningkatkan panjang jaringan lunak (soft tissue).
  4. Meningkatkan komplians jaringan sebagai persiapan pertandingan (Vujnovich dan Dawson, 1994).

Respon Otot Terhadap Contract Relax Stretching

Apabila Contract relax stretching diberikan pada otot maka pengaruh stretching pertama terjadi pada komponen ealstrik (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer meman-jang dan bila hal ini dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan pan-jang otot yang diinginkan (Kischner & Colby, 1990). Contract relax stretching yang dilakukan pada serabut otot pertama kali mempengaruhi sarkomer yang merupakan unit kontraksi dasar pada serabut otot. Pada saat sarkomer berkontraksi area yang tumpang tindih antara komponen miofilamen tebal dan komponen miofilamen tipis akan meningkat. Apabila terjadi penguluran (stretch) area yang tum-pang tindih ini akan berkurang yang menyebabkan serabut otot memanjang. Pada saat serabut otot berada pada posisi memanjang yang maksimum maka seluruh sarkomer terulur secara penuh dan mem-berikan dorongan kepada jaringan penghubung yang ada di pada jaringan penghubung berubah posisinya di sepanjang diterimanya dorongan tersebut. Oleh sebab itu pada saat terjadi suatu penguluran maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu pada kondisi normal yang dihasilkan oleh sarkomer. Ketika penguluran terjadi hal ini menyebabkan serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur dirubah posisinya sehingga menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Perubahan dan pelurusan posisi ini memulihkan jaringan parut / scarred untuk kembali normal.

Mekanisme penurunan Nyeri sindro-ma Miofasial Melalui Intervensi Contract Relax Stretching

Mekanisme penurunan nyeri akibat sindroma miofasial otot supraspinatus dengan intervensi contracrt relax stretching dengan adanya komponen stretching maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktifasi golgi tendon organ sehingga rileksasi dapat dicapai dengan nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan mata rantai viscous circle dapat diputuskan. Pemberian intervensi contract relax stretching dapat mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal cross link dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan intervensi contract relax stretching serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau abnorma cross link pada ketegangan akibat sindroma miofasial. Pada kontraksi isometrik selama 6 detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Kontraksi maksimal juga akan menstimulus golgi tendo organ sehingga memicu rileksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang menyebabkan terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon. Pada metode contract relax stretching rileksasi setelah kontraksi isometrik maksimal dilakukan 9 detik dimana dalam proses ini diperoleh rileksasi maksimal yang difasilitasi reverse innervation. Proses rileksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan peregangan secara bersamaan pada saat rileksasi dan ekspresi maksimal maka diperoleh pencapaian panjang otot yang tightness/kontraktur lebih maksimal karena contract relax melalui mekanisme stretch relax, autogenic inhibition sehingga dapat dikatakan bahwa stretching pada mak-simal range of motion (ROM) akan merangsang golgi tendon organ sehingga timbul relaksasi pada otot antegonis. Adanya kontraksi otot yang kuat akan mempermudah mekanisme pumping action sehingga proses metabolisme dan sirkulasi lokal dapat berlangsung dengan baik sebagai akibat dari vasodilatasi dan relaksasi setelah kontraksi maksimal dari otot tersebut. Dengan demikian maka pengang-kutan sisa-sisa metabolisme (P substance) dan asetabolic yang diproduksi melalui proses inflamasi dapat berjalan dengan lancar sehingga rasa nyeri dapat berkurang.

Metode

Penelitian ini bersifat kuasi eksperimen yang bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan Contract Relax Stretching pada interferential current dan Ultrasonik untuk mengurangi nyeri pada kondisi sindroma miofasial otot supraspinatus.

Pada penelitian ini subyek penelitian berjumlah 16 orang yang terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama berjumlah 8 orang yang diberikan interferential current dan ultrasonik sedangkan kelompok yang kedua juga berjumlah 8 orang yang diberikan inter-ferential current, ultrasonik dan penambahan contract relax stretching. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penambahan contract relax stretching pada salah satu kelompok dalam hal mengurangi nyeri sindroma miofasial ototsupraspinatus. Intensitas nyeri diukur dengan menggunakan instrumen pengukuran Visual Analogue Scale. Hasil pengukuran intensitas nyeri terbut kemudian akan dianalisa dan dibandingkan antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II.

Hasil

Secara keseluruhan sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan masing-masing kelompok berjumlah 8 orang sampel. Kelompok kontrol mendapatkan intervensi Interferential current dan ultrsonik sedangkan kelompok perlakuan mendapatkan intervensi Interferential current, ultrasonik dan Contrac Relax Stretching


Pada table 1 di atas menunjukkanpada kelompok kontrol sampel laki-laki 1 orang ( 6,25 %) dan sampel perempuan 7 orang (43,75 %) dengan jumlah keseluruhan 8 orang (50%). Pada kelompok perlakuan sampel laki-laki 2 orang (12,5 %) dan sampel perempuan 6 orang (81,25 %) dengan jumlah keseluruhan 8 orang ( 50%). Sehingga jumlah sampel dalam kelompok control dan kelompok perlakuan 16 orang ( 100% ).

Hasil Pengukuran nyeri

Pengukuran skala nyeri VAS pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi VI, dengan parameter VAS, dapat dilihat pada tabel 2.

Dari tabel 2 dapat dilihat, pada kelompok kontrol dengan jumlah 8 orang, sebelum intervensi di peroleh nilai mean 65,63 dan standar deviasi 12,374, berarti nilai penyimpangan maksimal rata-rata 83 dan nilai penyimpangan minimum rata-rata 50. Sedangkan sesudah intervensi di peroleh nilai mean 39,38 dan standar deviasi 4,779 berarti nilai penyimpangan maksimum rata-rata 47 dan nilai penyimpangan minimum rata-rata 32.Terdapat penurunan nilai VAS sesudah mendapatkan intervensi selama 6 kali.

Pengukuran skala nyeri VAS pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi VI, dengan parameter VAS sebagai dapat dilihat pada tabel 3.



Sumber: Hasil pengolahan Data
Grafik 1
Nilai nyeri setiap intervensi pada klp kontrol




Sumber: Hasil pengolahan Data
Grafik 2
Nilai nyeri setiap intervensi pada klp perlakuan

Berdasarkan tabel di atas pada kelompok perlakuan dengan jumlah 8 orang, sebelum intervensi di peroleh nilai mean 66,88 dan standar deviasi 12,911 berarti nilai penyimpangan maksimal rata-rata 88 dan nilai penyimpangan minimum rata-rata 51. Sedangkan sesudah intervensi di peroleh nilai mean 23,63 dan standar deviasi 3,926 berarti nilai penyimpangan maksimum rata-rata 31 dan nilai penyimpangan minimum rata-rata 18.terdapat penurunan nilai VAS sesudah mendapatkan intervensi selama 6 kali.

Sehingga Perbandingan nilai rata-rata kelompok kontrol pada intervensi IFC, Ultra-sound dengan kelompok perlakuan pada intervensi IFC, Ultrasound dan contract relax stretching dapat divisualisasikan dalam grafik dibawah ini :



Sumber: Hasil pengolahan Data
Grafik 3
Perbandingan nilai rata-rata kelompok kontrol dan kelompok perlakuan

Untuk mengetahui pengeruh pemberian intervensi IFC, Ultrasonik terhadap pengu-rangan nyeri miofasial otot supra spinatus maka dilakukan uji statistic mengunakan Uji Wilcoxon match pairs. berdasarkan hasil Uji Wilcoxon match pairs menunjukkan bahwa nilai p=0,012 (p

Untuk mengetahui pengaruh pemberian intervensi IFC, Ultrasonik dan contract relax stretching terhadap pengurangan nyeri pada kondisi miofasial otot surpra spinatus maka, dilakukan Uji statistic dengan mengunakan Uji Wilcoxon match pairs.

Berdasarkan hasil Uji Wilcoxon menun-jukkan bahwa nilai p=0,012 (p

Untuk mengetahui perbedaan antara pemberian IFC, Ultrasound dengan IFC, Ultrasound, Contract Relax Stretching pada kelompok Kontrol dan kelompok perlakuan dengan Uji Mann-Whitney U test.

Berdasarkan hasil Uji Mann-Whitney U test menunjukkan bahwa nilai p=0,006 (p

Pembahasan

Terjadinya nilai penurunan nyeri pada kedua kelompok dikarenakan pada saat pemberian intervensi IFC dan ultra sonik akan terjadi pengurangan nyeri melalui stimulasi afferen nerve fibre serabut saraf bermielin tebal Aβ dan propiosepsi untuk memblokade implus-implus nyeri yang dibawa oleh serabut saraf afferent Aδ dan C dimana impuls nyeri dibawa oleh PHC, sehingga sensasi nyeri berkurang pada level spinal. selain itu efek yang diharapkan dengan pemberian US dapat melepaskan abnormal crosslink yang ada pada fasia dan serabut otot yang mengalami sindroma nyeri miofasial sehingga terjadi suatu proses peradangan baru yang terkontrol. Pengaruh mekanik tersebut dengan tersti-mulasinya saraf polymodal akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu produksi ”P substance” sehingga terjadi inflamasi sekunder atau dikenal ”neurogenic inflamation”. Dengan memicu produksi ”P substance” mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih terpacu sehingga mempercepat terjadinya proses penyembuhan jaringan.

Pada kelompok kontrol bila dilihat ber-dasarkan pekerjaan, kelompok kontrol memiliki pekerjaan sebesar 18.75 % adalah ibu rumah tangga dan karyawan. Pada sampel nomor 1 dengan nilai VAS adalah 13 dengan pekerjaan adalah ibu rumah tangga dan usia 40 tahun terjadi penurunan nyeri yang rendah karena disamping faktor usia juga faktor aktivitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga yang tidak bisa di tinggalkan atau istiharat selama program terapi. Sedangkan selisih nilai VAS yang paling tinggi pada sampel nomor 7 dengan nilai VAS adalah 41 dengan pekerjaan karyawan dan usia 36 tahuin, pekerjaannya sebagai seorang karyawan sedang tidak aktif.

Hal ini terjadi karena pada pemberian Contract Relax Stretching bertujuan untuk memanjangkan atau mengulurkan struktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot fasia dan ligamen, tendon dan ligamen yang memendek secara patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi dan mengu-rangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot akibat fibrosis dengan metode pemberian kontraksi isometrik pada otot yang memendek dan dilanjutkan dengan rileksasi dan stretching pada otot tersebut. Sedangkan pemberian contract relax stretching dengan kondisi sindroma miofasial otot supra spinatus mem-punyai efek penguluran dan pemanjangan dari sarcomer, peningkatan elastisitas dan fleksi-bilitas otot dan fasia dan juga memberikan efek rileksasi otot

Pada kelompok perlakuan ini terdapat sample yang mengalami perubahan penurunan rasa nyeri sangat jauh. Hal ini dapat dilihat pada sample nomor 4 sebagai mahasiswa dalam aktivitas sehari-harinya tidak terlalu berat dan mengetahui ergonomi yang sesuai untuk melakukan aktivitasnya,sedangkan pada sample nomor 2 didapatkan hasil dari penu-runan nyeri setelah 3 kali intervensi terjadi peningkatan nyeri, hal ini terjadi aktifitas sehari-hari mengetik didepan komputer dengan posisi bahu yang statis.

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa baik pada kelompok kontrol ataupun perlakuan terdapat penurunan nyeri yang signifikan.sedangkan untuk melihat beda pengaruh yang sangat bermakna antara kedua kelompok sample maka kami menggunakan uji Man-Whitney untuk melihat pengaruh hasil dari kedua kelompok sample.

Faktor-faktor yang sangat mempe-ngaruhi keberhasilan intervensi ini selain dilihat dari usia, dimana usia yang lebih muda memiliki elastisitas serabut otot, jaringan penghubung, pembuluh darah yang lebih baik sehingga dapat mendukung penyembuhan bila dibanding usia yang lebih tua.selain faktor usia,pekerjaan dan aktifitas sehari-hari juga mempengaruhi keberhasilan intervensi dimana aktifitas yang dilakukan secara intermitten akan mempengaruhi kerja otot, sehingga terjadi ketegangan serabut otot dan menurunkan mobilitas dari jaringan miofasial sehingga juga akan mempermudah terjadinya pemendekan serabut kolagen. Karena serabut kolagen memendek tekanan dalam jaringan miofasial yang akan menekan arteri, vena yang menyebabkan ketegangan jaringan.Hal ini akan menyebabkan iskemik dan timbul miofasial trigger point sehingga jaringan akan mudah kontraktur.sindroma miofasial M supraspinatus adalah suatu kondisi yang bercirikan adanya regio yang hipersensitif yang disebut sebagai trigger area pada otot atau jaringan ikat longgar pada bahu yang bersama-sama dengan adanya reaksi nyeri yang spesifik pada daerah-daerah yang berhubungan dengan titik itu pada saat trigger area diberi suatu rangsangan. Penyebab terjadinya nyeri miofascial M supraspinatus disebabkan oleh beberapa faktor antara lain,trauma makro,mikro,serta postur yang jelek.

Daftar Pustaka

Donatelli, Robert and Woden Michael J, “Orthopedic Physical Therapy”, Churchill Livingstone, New York, 1982.

Enraf Nonius, Interferential Therapy.

Ericton James R, “Myofascial Pain and Fibromyalgia”, Advances in Pain Reserarch and Therapy Welcome 17, New York, 1990.

Ganong WK, ”Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Edisi 14, Cetakan I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1992.

Heru Purbo Kuntoro, ”Perkembangan Konsep Aplikasi Tens, Diadynamis dan Interferensi pada kondisi Nyeri”, Surakarta.

KRT Lucas Meliala, “Nyeri Neuropatik”, Makalah dibawakan kelompok studi nyeri perhimpunan dokter spesialis syaraf Indonesia (PERDOSI), 2001.

Kysner Caroline & Colby Lyn Allen, “Therapeutic Exercise Foundation and Techniques”, FA. Davis, Philadelphia, 1988.

Low John and Ann Rees, “Electrotheraphy Explained Priciples and Practice”, Third Edition, London, England, 2000.

Plarzer, Wirner, ”Atlas Berwarna dan Teks Anatomi Manusia: Sistem Lokomotor”,. Edisi ke-6 Alih Bahasa H.M. Symsir, Hipokrates, Jakarta, 1997.

Prentice, William E, “Therapeutic Modulities for Sports Medicine and Athletic Traning”, (fifth edition), Mc. Graw Mill, Nort Carolina,USA Ne, 1999.

Randolph W. Evans, “Neurology and Trauma”, Philadelphia, 1996.

Satyanegara, “The Theory and Therapy of Pain”, Jakarta, 1978.

Shea Michael J. & Dale Keyworth, “Myofascial Release”, Shea Eduicational Group, Inc, Shea.

Wadsworth, Hilary, A.P.P, Chanmugam, “Electrophysical Agents in Physio-therapy”, Science Press, New South Wales, Australia, 1988