DIPLOMASI PUBLIK DALAM MEMBANGUN CITRA NEGARA

 

 

Asep Saefudin Ma’mun

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta

Jalan Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510

[email protected]

Abstrak

Diplomasi publik berhubungan dengan upaya memengaruhi sikap publik, meliputi dimensi-dimensi dalam hubungan internasional. Dimensi-dimensi tersebut selain dimensi penanaman opini publik oleh pemerintah kepada masyarakat di negara lain, juga termasuk interaksi kelompok kepentingan suatu negara kepada kelompok kepentingan di negara lain. Dimensi publik sangat memiliki arti dalam suatu perubahan, dan berpengaruh terhadap perilaku diplomasi. Tidak ada masalah besar luar negeri atau inisiatif dalam negeri yang diambil saat ini tanpa pertama-tama diuji oleh opini publik, dan dimensi publik tidak hanya menyangkut opini publik, tetapi juga konsultasi, keterlibatan, dan tindakan publik. Opini publik sangat berhubungan dengan dukungan rakyat terhadap suatu kebijakan negara. Salah satu ciri perbawaan opini publik adalah bahwa rakyat akan kurang melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan yang diambil pimpinan negara, khususnya dalam keadaan krisis apabila dengan cara-cara tertentu mereka merasa diikutsertakan dalam pengambilan keputusan-keputusan tersebut. Hubungan diplomasi publik dengan citra suatu negara adalah, bahwa citra dibangun berdasarkan pengalaman yang dialami suatu bangsa. Citra dapat berubah setiap waktu di saat orang menerima pesan baru. Citra adalah sebuah kesatuan mental atau interpretasi sensual suatu bangsa didasarkan kepada bukti yang tersedia, dikondisikan oleh adanya kesan, kepercayaan, gagasan, dan emosi. Dengan demikian citra yang baik dapat menumbuhkan opini publik yang menguntungkan yang akan menjadi modal utama untuk melaksanakan diplomasi publik yang menguntungkan pula.

 

Kata kunci: diplomasi publik, sikap publik, citra negara

 


Pendahuluan.

Terdapat banyak macam diplomasi sebagaimana dikemukan Roy (1991) bahwa diplomasi dikategorikan menurut metode yang dipakai dalam hubungan diplomatik. Tipe-tipe diplomasi tersebut yaitu :

Diplomasi Komersial, yaitu diplomasi yang didasarkan kepada anggapan bahwa penyelesaian kompromi antara yang berselisih melalui negosiasi pada umumnya lebih menguntungkan daripada penghancuran total musuh. Dalam diplomasi komersial dikenal diplomasi ekonomi dengan sebutan diplomasi dollar.

Diplomasi Demokratis, yaitu diplomasi yang harus dijalankan secara terus terang dan terbuka serta memperoleh pengawasan penuh dari publik. Faktor penting untuk mewujudkan kontrol demokratis atas diplomasi adalah masalah ratifikasi perjanjian oleh pihak legislatif.

Diplomasi Totaliter, pertumbuhannya disebabkan berbagai faktor antara lain ekstrimitas dalam nasionalisme dan dalam ekonomi. Menyangkut pemujaan patriotisme dan loyalitas kepada negara. Nasionalisme ekonomi menguatkan kecenderungan kepada nasionalisme.

Diplomasi Melalui Konperensi, menjadi model pada abad dua puluh. Diplomasi yang tidak mungkin dilakukan dengan diplomasi biasa karena banyak masalah penting yang memerlukan keputusan yang tepat di antara negara-negara yang menjadi sekutu, misalnya dalam menghadapi perang. Tipe diplomasi melalui konperensi yang terorganisasi dan permanen dengan terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa, dan setelah perang dunia kedua dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Diplomasi yang dilakukan PBB sering disebut diplomasi multilateral,  diplomasi konperensi, dan diplomasi publik,  karena diplomasi konperensi PBB sering dilakukan di depan penglihatan umum.

Diplomai Diam-diam, Merupakan pandangan diam-diam oleh para wakil negara tanpa publikasi. Para wakil negara berunding diam-diam , baik secara bilateral, maupun multilateral, di luar pandangan publik.

Diplomasi Preventif, digunakan oleh negara-negara dunia ketiga dengan menjaga perselisihan di dunia ketiga agar tetap bersifat lokal dengan mencari perlindungan di PBB karena tidak ingin terlibat ke dalam konflik negara-negara besar, yang mengakibatkan menjadi negara satelit yang satu atau lainnya.

Diplomasi Sumber Daya, yaitu diplomasi yang menggunakan sumber daya alam untuk mendukung kekuatan suatu negara. Bagi negara yang tidak memiliki sumber daya akan berusaha menguasai wilayah yang mempunyai sumber daya tersebut.

Selain macam-macam diplomasi di atas, menurut Deplu R.I (2004) dalam praktek, banyak berkembang metode diplomasi lain seperti:

Covert Diplomasi, yaitu diplomasi yang dilakukan satu atau beberapa pihak untuk menciptakan situasi dan kondisi yang menguntungkan mereka sebelum melakukan perundingan.

Machiavelli Diplomacy, yaitu diplomasi berdasarkan pengertian dihalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan.

Gunboat Diplomacy, yaitu diplomasi dengan menggunakan ancaman dan mengirim kapal perang.

Pingpong Diplomacy, yaitu cara pendekatan, misalnya sebelum meningkat pada pembukaan hubungan diplomatik, menyelenggarakan pertandingan pingpong antara Amerika Serikat dengan RRC pada masa pemerintahan presiden Nixon.

Humanitarian Diplomacy,yaitu kerjasama antarbangsa dalam rangka PBB atau tidak, untuk memberi bantuan kemanusiaan kepada bangsa yang ditimpa musibah bencana alam, korban perang, para pengungsi, dan lain-lain.

Pertemuan Diplomatik (Encounter Diplomacy), yaitu diplomasi dalam sebuah seminar antarnegara yang berkepentingan untuk melihat perundingan-perundingan yang telah diselenggarakan dalam suatu konteks sejarah yang luas.

Diplomasi kebudayaan, yaitu kegiatan untuk lebih memperkenalkan tanah air melalui kebudayaan bangsa seperti menyelenggarakan pameran kebudayaan, dan lain-lain.

Diplomasi Publik menurut uraian yang dikemukakan Roy termasuk ke dalam diplomasi konperensi. Tetapi apabila aktor-aktor yang melaksanakan diplomasi hanya terbatas kepada aktor-aktor negara, maka pengertian tersebut sudah tidak memadai lagi apabila dihubungkan dengan kebangkitan pentingnya opini publik di negara-negara demokratis mulai abad ke 19. Aktor yang melaksanakan diplomasi publik tidak hanya aktor negara tetapi juga aktor non-negara, seperti anggota masyarakat suatu bangsa, media, dan aktor non-negara lainnya. Oleh karena itu selayaknya pembahasan tentang diplomasi publik memiliki arti penting dan strategis dalam menggerakkan segenap potensi bangsa menuju ke kesatuan pandangan, dan tujuan dalam kerangka memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara.

Diplomasi public menurut Nancy Snow (2009) adalah sesuatu yang tidak terhindarkan yang berhubungan dengan kekuasaan, terutama yang bersifat soft power yang tidak langsung memengaruhi seperti budaya, nilai, dan ideologi.

Diplomasi publik juga sangat berhubungan dengan pembentukan citra suatu negara. Citra dapat dinyatakan secara singkat sebagai “gambaran dalam benak kita”, seperti dikemukakan Walter Lippmann dalam bukunya Publik Opinion (1994, terjemahan) Sudah tentu termasuk gambaran tentang keadaan suatu negara. Gambaran yang diterima sebagai kenyataan, sekalipun bukan kenyataan apa adanya.

Adalah suatu hal yang ideal apabila citra suatu negara yang dibangun oleh diplomasi publik dapat menumbuhkan kepercayaan negara lain tentang potensi dan prestasi negara yang bersangkutan sehingga dapat memberikan keuntungan kepada negara lain apabila melakukan kerjasama dalam berbagai bidang. Di samping sudah tentu mendatangkan keuntungan pula bagi negara yang bersangkutan

Pembahasan

Penyelenggaraan diplomasi didasarkan kepada perkembangan teori  diplomasi yang sejalan dengan perkembangan sejarah penyelenggaraan diplomasi. Sebagaimana dikemukakan Prof.Mowat (Nicolson, 1988) perkembangan diplomasi dapat dibedakan dalam tiga (3) periode. Periode pertama tahun 476-1473, meliputi periode kegelapan ketika diplomasi belum diorganisasikan secara baik. Periode kedua tahun 1473-1914 merepresentasikan satu tahap dalam sejarah ketika teori diplomasi mengikuti sistem kebijakan yang dikenal dengan “Sistem Negara Eropa”. Periode ketiga, diplomasi mengacu pada pernyataan Presiden A.S Woodrow Wilson (1918) dalam sebuah pidato yang dikenal dengan “Diplomasi Demokratis”. Poin pertama pidatonya adalah “perjanjian damai yang terbuka yang dicapai secara terbuka tak boleh diikuti dengan pengertian internasional secara tersendiri dalam bentuk apapun, tetapi diplomasi harus berlangsung secara terbuka dan diketahui umum”.

Jika dianalisis berdasarkan periode dan ciri diplomasi dalam hubungan antarnegara, maka diplomasi memiliki perkembangan yang cukup unik dan berpengaruh terhadap karakter diplomasi. Sebagai misal analisis diplomasi ini dapat dimulai dari tinjauan berdasarkan periode keberlakuan praktek diplomasi. Periode diplomasi demokratis menandai transisi dari diplomasi lama pada periode pertama dan kedua, dengan diplomasi baru. Diplomasi lama (Nicolson 1988) disebut juga diplomasi rahasia yang tidak mempunyai reputasi baik dalam pandangan moral. “All really good speak of the old diplomacy as also her disresputable friend secret diplomacy- in a tone of moral censure”.

Era diplomasi lama (Roy, 1991) mengacu pada periode berkisar sejak munculnya negara bangsa sampai pada Perang Dunia Pertama. Untuk memperoleh tujuan yang lebih besar, negara kadang-kadang menggunakan ancaman atau penggunaan kekuatan sesungguhnya tapi jarang menjadi ancaman nyata. Sedangkan diplomasi demokratis, menurut Wilson (Roy 1991) atau disebut juga diplomasi baru, atau diplomasi terbuka, mengandung tiga gagasan yaitu: pertama, harus tidak ada perjanjian rahasia; kedua, negosiasi harus dilakukan secara terbuka; ketiga, apabila suatu perjanjian sudah dicapai, tidak boleh ada usaha di belakang layar untuk mengubah ketetapannya secara rahasia.

Menurut Nicolson (1988) perkembangan teori diplomasi dalam negara-negara demokratis bersumber dari konsepsi hak-hak nasional secara eksklusif ke arah konsepsi kepentingan internasional bersama. Faktor besar selanjutnya dalam perkembangan teori diplomasi selama abad sembilan belas (19) adalah kebangkitan pentingnya opini publik. Menurut Palmerson (Nicolson, 1988), opini lebih kuat dari tentara. Opini publik yang didasarkan kepada kebenaran dan keadilan akan berhasil melawan bayonet infantri, tembakan artileri, dan serangan kavaleri. Sedangkan faktor ketiga adalah perkembangan sistem komunikasi sehingga dengan penemuan mesin uap, telegraf, pesawat terbang, telepon, telah banyak mengubah praktek-praktek diplomasi lama. Sebagaimana dijelaskan  Nicolson (1988) : The second factor in the development of diplomatic theory during the nineteenth century was the growing realization of the importance of public opinion. Palmerstone was of the same view. “Opinions” he said are stronger than armies. Opinion if they are founded in truth and justice, will in the end prevail against the bayonets of infantry, the fire of artilery, and the charges of cavalery.A third factor in this transition was the improvement in communications. The steam engine, the telegraph, the aeroplane and the telephone have done much to modify the practices of the old diplomacy.  

Perkembangan sejarah penyelenggaraan diplomasi dikemukakan pula oleh Brian White, bahwa diplomasi dapat dibedakan dari tingkatan “tradisional” kepada “baru”; dari “perang dingin” kepada “setelah perang dingin”. Perbedaan pengertian “diplomasi tradisional” dengan “diplomasi baru”, serta “diplomasi perang dingin” dengan “diplomasi setelah perang dingin”, ditinjau melalui struktur, proses, dan agendanya.

“Diplomasi tradisional” memiliki struktur yang menempatkan negara sebagai pusat kegiatan. Pejabat diplomatik bertindak atas nama negara yang kemudian menjadi suatu institusi bahkan menjadi suatu profesi. Mengenai prosesnya, diplomasi diorganisasikan secara luas dalam hubungan bilateral dan biasanya dilaksanakan secara rahasia. Sedangkan “diplomasi baru” timbul karena kegagalan “diplomasi tradisional” mencegah Perang Dunia I sehingga meluaskan keyakinan bahwa bentuk baru diplomasi diperlukan. “Diplomasi baru” timbul dari dua gagasan, yaitu, pertama,  diplomasi seyogyanya lebih membuka pengawasan dan penelitian publik. Kedua, pentingnya membangun organisasi internasional yang bermula Liga Bangsa-Bangsa yang dibentuk setelah perang dunia pertama.

Jika dianalisis berdasarkan struktur, “diplomasi tradisional” hampir sama dengan “diplomasi baru”, yaitu kedua-duanya sama-sama menempatkan negara dan pemerintahan sebagai aktor utama dalam sistem. Namun terdapat dua perubahan penting yang mempunyai implikasi bukan hanya terhadap struktur, tetapi juga terhadap proses, yaitu, pertama, negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor yang terlibat. Negara harus membagi masalah internasional seperti organisasi internasional yang juga terlibat dalam diplomasi. Organisasi internasional terdiri dari dua tipe yaitu antarpemerintah dengan anggota hanya wakil-wakil pemerintah, dan non-pemerintah dengan anggota secara individual dan kelompok. Kedua, mengubah lingkup kegiatan dan memperluas ketentuan yang menyangkut kehidupan warga negara. Kepedulian yang lebih luas, semula hanya untuk keamanan fisik, kepada kesejahteraan sosial dan ekonomi.

Perubahan kepentingan dari negara sebagai aktor internasional dan pertumbuhan sejumlah aktor non-negara yang terlibat dalam perubahan ciri-ciri “Diplomasi Baru” sebagai sebuah proses dalam negosiasi. Dengan demikian kajian diplomasi sebagai suatu kegiatan yang kompleks yang melibatkan aktor yang berbeda, sangat nyata dalam menunjukkan arah perkembangannya.

“Diplomasi Baru” yang ingin menjadikan Perang Dunia Pertama sebagai akhir dari seluruh perang, ternyata tidak berhasil karena pecah Perang Dunia Kedua. Selanjutnya, dengan berakhirnya Perang Dunia Kedua, menurut Hamilton (1995) mengukuhkan pelajaran bagi bangsa Eropa bahwa tidak ada perbedaan antara politik internasional dan ekonomi internasional. Bertambahnya jumlah permasalahan di bidang industri, sosial, dan teknologi, dipersepsikan memiliki dimensi internasional, oleh karena itu juga memiliki dimensi diplomasi. Sebagaimana halnya perang dalam abad ke-20, diplomasi menjadi total dalam sasarannya dan masalah pokoknya. Franklin Delano Roosevelt, mantan Presiden Amerika Serikat juga mendorong orang-orang dari dunia industri dan perdagangan untuk melakukan misi diplomatik. White (Baylis and Smith, 2001) mendefinisikan diplomasi “…as a key process of communication and negotiation in world politics and as an important  foreign policy instrument used by global actors”.

Memperhatikan luasnya cakupan masalah dalam “diplomasi total” yang melibatkan banyak komponen masyarakat, maka dapat dipahami apabila pada tahun 1979 kongres Amerika mengubah nama United States Advisory Commission on International Communication , Cultural, and Educational Affair yang memiliki kewenangan dalam melayani berbagai kepentingan publik, diubah namanya menjadi United States Advisory Commission on Public Diplomacy Komisi ini berkewajiban untuk melaporkan kepada Presiden, Kongres, dan Menteri serta Direktur United States Information Agency (USIA) yang bersangkutan dengan kegiatan diplomasi publik (Van Dinh, 1987).

Istilah diplomasi public menurut Hansen (1984) menjadi popular saat ini dari sebelumnya disebabkan revolusi teknologi komunikasi dan pertumbuhan secara dramatis kesalingtergantungan dalam ekonomi internasional sehingga diplomasi public menjadi penting untuk kepentingan nasional sama pentingnya dengan kesiapan di bidang militer.

Abad 21 menurut Riordan (2004) adalah abad Diplomasi public. Mengingat di abad ini isu-isu internasional seperti degradasi lingkungan, penyebaran penyakit menular, ketidakstabilan keuangan, organisasi kejahatan, migrasi isu sumber daya dan energy saling mengait. Tidak satupun Negara, bahkan kelompok Negara-negara dari satu kawasan dapat mengawasi, seperti mengawasi terorisme internasional, dan kolaborasi antara pemerintah dan elit politik belum cukup.

Menurut Riordan (2004) Tidak hanya dalam kasus yang memerlukan keterlibatan masyarakat dengan jumlah yang terbatas, tetapi juga dalam beberapa kasus yang kunci keberhasilannya bukan terletak kepada pengawasan dan kompetensi. Seperti mengurangi penyebaran penyakit menular, diperlukan kolaborasi dengan tenaga medis professional yang tidak langsung berhubungan dengan pemerintah, dan dapat mengubah sikap dan perilaku sosial dalam populasi yang lebih luas. Sama halnya dengan menangani kerusakan lingkungan memerlukan kolaborasi antara NGO’s dan perusahaan , juga pemerintah Pemikiran bahwa diplomasi public tentang menjual kebijakan dan nilai-nilai serta citra nasional tetap utama, baik secara teoretis maupun praktis dalam penangananj isu.

Diplomasi public menurut Donald (Jelantik: 2008) telah berkembang pesat dipicu oleh kenyataan bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam jalur pertama telah gagal mengatasi konflik antar Negara. Sehingga diplomasi public menjadi cara alternative untuk menyelesaikan konflik-konflik antarnegara.

Diplomasi sebagai mana dikemukakan Baylis and Smith adalah kunci dalam proses komunikasi dan negosiasi dalam dunia politik dan merupakan instrument kebijakan luar negeri yang sangat penting yang digunakan oleh para actor global. Dalam hal ini diplomasi sangat menunjukkan keterpaduan dengan yang menjadi kajian dalam  Ilmu Komunikasi. Cincotta (1999) menyatakan bahwa diplomasi khususnya diplomasi public telah dijadikan stereotype sebagai sebuah termonologi yang sedikit bergengsi untuk public relations.  Menurut Cincottta :Public Diplomacy is a government euphemism for public relations (Disinfopedia:2004).

Cincotta (1999) merumuskan diplomasi public sebagai : a set of skill and tools for any diplomat who must communicate with the vast and varied foreign publics that are now players in international affairs; government certainly, but also news media, academic, regional entities, private enterprises and a vast array of special interests and non governmental organizations.

 

 

 

Kesamaan antara diplomasi dan public relations.

Kesamaan antara diplomasi dan public relations menurut L’Etang ( Theaker, 2004) karena kedua-duanya ditunjukkan oleh kesamaan ketiga fungsi, yaitu fungsi representasi organisasi, fungsi dialog, dan fungsi memberikan pertimbangan atau nasihat.

Menurut Wiryono (2006) perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat dan meluasnya isu internasional membutuhkan kemampuan diplomasi yang kuat, maka diplomasi saat ini tidak lagi menjadi monopoli para diplomat. Munculnya praktek diplomqasi public merupakan keterlibatan luar biasa saat ini dari orang-orang professional public relations dan publicity dalam diplomasi. Dikemukakan contoh : :”…Under Secretary for Public Diplomasi of the United States Department of State to day- Karen Huges,  has been recruited from her job as  head of a public relations/ advertising agency.

Hassan Wirayuda, mantan Menteri luar Negeri Indonesia (Wasesa: 2005) mengemukakan eratnya hubungan antara profesi diplomat dengan public relations. Karena diplomat tidak sekedar memproyeksikan kepentingan nasional, tapi juga sekaligus harus mengkomunikasikan secara representative perkembangan-perkembangan  di dunia luar ke dalam negeri. Karena diplomasi hanya kata-kata maka memerlukan sinergi dengan kemampuan public relations , memerlukan aksi untuk menjadikan kata-kata menjadi berarti..

Keeratan hubungan diplomasi public dengan public relations tidak hanya diketahui dari kesamaan pengertian, sasaran, dan tujuan yang hendak dicapai keduanya, tetapi juga dibuktikan melalui pengujian tentang berlakunya studi public relations pada diplomasi public yang didasarkan kepada teori  public relations .Empat model public relations sebagai representasi public relations  dalam praktek  yang dikemukakan Grunig (1984) yaitu  press agentry/publicity, public information, two-way asymmetric model dan  two-way symmetric model.

Pengujian penerapan studi unggulan menuju teori  public relations  berdasarkan studi diplomasi public telah dikemukakan Hun Yun . (2006). Studi menguji model-model dengan mensurvey data praktek dan manajemen diplomasi public yang dikumpulkan dari 113 kedutaan di Washington DC. Penemuan menunjukkan bahwa kerangka kerja konseptual dan pengukuran studi unggulan dapat diaplikasikan.

Peninjauan kembali literatur diplomasi public dan studi public relations telah menunjukkan terjadinya konvergensi konseptual antara praktek komunikasi dalam manajemen komunikasi antara diplomasi public dan  public relations. Studi menguji penerapan studi  public relations untuk mengembangkan studi tentang diplomasi public melalui penelitian empiris terhadap diplomasi public didasarkan kepada teori public relations. Kesesuaian indeks pada model menunjukkan bahwa kerangka kerja public relations dapat diterapkan atau sesuai terhadap konseptualisasi dan pengukuran perilaku dan kualitas diplomasi public.

Menurut Hun Yun, kontribusi potensial teori public relations tidak diapresiasi oleh kebiasaan utama diplomasi public. Di Amerika Srerikat masalah dalam diplomasi public dipandang tidak lebih hanya sebatas masalah pemasaran karena kurang ekspos sehingga dapat ditangani dengan advertensi sebagai sarana untuk mengekspos. Sebagai akibatnya permasalahan diplomasi public tidak didekati melalui masalah public relations yang berasal dari konsekwensi-konsekwensi atau eksternalitas penampilan perilaku pemerintah terhadap pemerintahan global dan domestic pada public mancanegara yang terpengaruh.

 

Tentang Publik dan Opini Publik.

Tentang definisi publik, John Dewey ((Cutlip.at.all.:2000, 2005) telah mendefinisikan “publik” sebagai berikut : a public as an active social unit consisting of all those affected who recognize a common problem for which they can seek common solutions”. Publik sebagai satuan sosial aktif yang terdiri dari semua pihak yang berpengaruh, yang mengenali masalah bersama dan untuk itu mereka mencari solusi bersama.

John Dewey selanjutnya mengemukakan bahwa “publik” dibentuk oleh pengenalan terhadap konsekwensi buruk yang ditimbulkan oleh suatu kepentingan umum. Tanpa komunikasi, “publik” akan tetap seperti bayangan dan tak berbentuk.  “…publics are formed by recognation of evil consequence brought about a common interest. Without communication, however it will remain shadowy and formless…”.

Grunig selanjutnya mengembangkan konsep John Dewey tentang publik supaya tidak terjadi sebagai bayangan dan tak terbentuk, yaitu dengan menggerakkan publik bayangan menjadi publik aktif yang berkomunikasi melalui tiga faktor. Faktor pertama adalah pengenalan masalah. Taraf ketika mereka sadar bahwa ada sesuatu yang hilang atau keliru dalam suatu situasi sehingga memerlukan informasi. Faktor kedua adalah pengenalan akan hambatan. Tarap ketika mereka melihat diri mereka dibatasi oleh faktor eksternal versus melihat bahwa mereka dapat melakukan sesuatu yang berhubungan dengan situasi itu. Jika mereka berpendapat dapat melakukan perubahan atau memberi efek pada situasi itu mereka akan mencari informasi untuk membuat rencana bertindak. Faktor ketiga adalah tingkat keterlibatan. Taraf ketika mereka melihat dirinya terlibat dan dipengaruhi oleh satu situasi. Semakin mereka terlibat terhubungkan dengan suatu situasi, semakin mungkin mereka mengkomunikasikannya..

Grunig menemukan empat (4) jenis publik setelah menguji “:teori situasional” publik di bermacam-macam isu lingkungan, Pertama, Publik semua isu, yaitu publik yang aktif dalam semua isu. Kedua, Publik apatis yaitu publik yang tidak memiliki perhatian dan tidak aktif dalam semua isu. Ketiga,  Publik isu tunggal, yaitu publik yang aktif dalam satu atau sejumlah terbatas isu yang berkaitan. Keempat, publik isu hangat, yaitu publik yang aktif setelah media membongkar hampir setiap orang, dan isu tersebut menjadi topik percakapan sosial yang tersebar luas.

Orang tidak bisa melepaskan pengertian publik dengan opini publik. Tetapi  menurut Ithiel de Sola Pool (1973) opini  publik bukan sikap publik. Opini adalah kognisi, sedangkan sikap adalah evaluasi. Sebuah opini adalah sebuah proposisi, sedangkan sikap adalah sebuah kecenderungan untuk menyetujui atau anti terhadap sesuatu.. An opinion is a proposition, while an attitude is proclivity to be pro or anti something..Opini publik menurut Sola Pool terdiri dari sejumlah isu yang didiskusikan dalam pers, parlemen, dan dalam berbagai forum publik. Lebih lazim lagi kata “opinion” digunakan sebagai sebuah situasi atau kemungkinan yang menunjukkan ekspressi secara simbolik dari setiap macam yang dapat dibedakan secara jelas dengan fisik, materi, atau aspek-aspek organisasi masyarakat. More usually the word opinion is used as a catchall to designate symbolic expressions of any kind as contrasted with the physical, material, or organizational aspects of society. Opini publik meliputi setiap pernyataan secara verbal, dapat berupa sesuatu yang sudah tentu atau yang belum tentu, yang faktual atau yang normatif. Public opinion encompasses any verbal expression…it may be certain or uncertain, factual or normative.

Opini Publik menurut Cutlip ( 2005) mewakili lebih dari sekedar kumpulan pandangan yang dimiliki oleh kategori individu tertentu pada satu titik waktu. Opini publik tidak secara tepat didefinisikan sebagai keadaan kognisi individu, tetapi opini mencerminkan proses dinamis dengan gagasan yang diekspresikan, disesuaikan, dan dikompromikan dalam perjalanan menuju penentuan kolektif dari serangkaian tindakan. Oipini publik terjadi di kelompok orang-orang yang berkomunikasi, yang bersama-sama menetapkan isunya, yang membangkitkan kepedulian publik, dan membicarakan tentang apa yang dapat dilakukan terhadap isu itu. Proses tersebut jelas melibatkan kognisi individu. Sedangkan pendapat individu tentang satu isu sosial sebagian besar bergantung pada diskusi publik. Oleh karena itu, komunikasi sering diumpamakan sebagai kognisi sebelah luar.

Sehubungan dengan pentingnya opini publik, jajak pendapat opini publik, menurut Cutlip (2005) telah menjadi pedoman politik, program pemerintah, bahkan untuk bahan pengambilan keputusan perusahaan. Namun, sebagaimana  pendapat mantan wakil presiden AT&T yang dikutip Cutlip, mengemukakan bahwa opini publik tidak selalu logis. Opini tidak berbentuk, ambivalen, mudah berubah, sehingga konsekwensinya, yang berharap untuk memengaruhi opini publik hanya berharap dapat membangkitkan konsensus menuju persepsi isu-isu yang masuk akal.

Publik memiliki kemampuan mengejutkan untuk mengabaikan fakta-fakta yang amat penting bila fakta-fakta itu tidak menarik perhatian mereka. Memperbesar pasokan informasi juga tidak selalu menambah pengetahuan publik.Tetapi bagaimanapun opini publik menurut Cutlip, merupakan kekuatan besar dalam masyarakat modern. Semua organisasi harus menghadapi opini publik yang nyata dan dapat dilihat pada saat organisasi membangun dan mempertahankan hubungan dengan banyak publik internal dan eksternal organisasi.

Opini Publik dan Citra Negara.

Setiap organisasi, termasuk organisasi negara, dalam kerangka melaksanakan, mengembangkan program untuk mencapai tujuan organisasi, sangat pasti memerlukan hubungan dengan publiknya, baik publik internal maupun publik eksternal, dan memperhatikan opini publiknya. Opini publik membangkitkan kepedulian publik terhadap suatu isu dan membicarakan tentang apa yang dapat dilakukan terhadap isu itu.

Memahami opini publik, menurut Dennis L. Wilcox at.al (1992) dan bagaimana hal itu dibentuk adalah hal yang fundamental dalam public relations. Sungguh pengetahuan yang memungkinkan praktisi untuk memonitor perubahan opini publik secara efektif ; menunjukkan dengan tepat pimpinan opini formal dan informal yang dapat dijangkau dengan pesan-pesan tertentu; memahami bahwa penyebaran informasi melalui media hanya dapat membangkitkan kesadaran, tidak mengatakan kepada orang apa yang mereka perlu pikirkan.

Orang PR dapat menggunakan sebuah metode untuk memonitor opini publik. Hal itu melipuiti :kontak personal; Monitoring media; laporan lapangan; melalui surat dan telepon; nasihat komite; pertemuan staf; dan jajag pendapat atau melalui sampel. Kegagalan dalam memonitor sikap publik dan konsultasi dengan pemuka pendapat dapat menimbulkan sejumlah masalah dalam organisasi.

Bagaimana kaitan antara opini publik, citra Negara, dan PR, dalam pendefinisian PR menurut  Dennis L. Wilcox (1992) terdapat sebuah definisi yang berlebihan sehingga Harlow menemukan definisi dari yang sederhana sampai mengandung pengertian yang komplek. Seperti PR didefinisikan kinerja yang bagus; apresiasi yang bersifat publik, kedudukan PR untuk kinerja dan kemudian timbul pengakuan; tindakan untuk mempromosikan hubungan yang menyenangkan dengan publik; sebuah upaya organisasi untuk memenangkan kerja sama dengan kelompok orang-orang…

Keterkaitan antara opini publik,dan PR, maka sangat beralasan apabila dalam mempelajari PR, perlu mempelajari pula citra, karena citra menurut Boulding dibangun sebagai sebuah hasil segenap pengalaman yang telah lalu : The image is built up as a result of all experience of the possessor of image(1956). Pencitraan dapat berubah setiap waktu di saat seseorang menerima pesan baru,kemudian mengubah pola-pola perilaku yang bersangkutan.”every time a message reaches him his image is likely to be changed in some degree by it,and as his image is his behavior patterns will be changed likewise”.

Citra menurut Bernays (Davis: 2004) adalah sebuah kesatuan mental atau interpretasi sensual, sebuah persepsi tentang seseorang atau sesuatu hal yang dikonstruksi secara deduktif, didasarkan kepada bukti yang tersedia, secara nyata maupun dalam imajinasi, dikondisikan oleh adanya kesan, kepercayaan, gagasan, dan emosi.

Realitas yang dipandang berbeda karena perbedaan persepsi telah menimbulkan berbagai macam citra seperti dikemukakan Jefkins (1984) citra terdiri dari lima jenis, yaitu pertama: citra bayangan (mirror image), yaitu citra yang meyakini kesan baik pihak luar tentang organisasinya. Kedua: citra saat ini (current image) yang dianut oleh pihak luar organisasi karena miskinnya pengalaman atau pengetahuan mereka. Ketiga citra yang dikehendaki oleh pihak manajemen (wish image) citra yang tidak sesuai dengan kenyataan. Keempat citra dari organisasi itu sendiri atau (corporate image). Kelima, citra yang dimiliki sejumlah individu, cabang atau perwakilan dari organisasi secara keseluruhan.

Baik mirror image, current image, maupun wish image, adalah citra yang tidak sesuai dengan realitas. Citra yang baik menurut Jefkins(1984) adalah citra yang dibangun oleh kesan yang benar yang didasarkan kepada pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman dari suatu fakta dan citra tidak bisa dipoles. Apabila dihubungkan dengan pengertian PR tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa fungsi PR adalah membangun citra yang baik sesuai realitas.

Peranan NGOs dalam membentuk opini public dan menimbulkan citra baik telah teralami dalam proses pergantian rezim dari era Orde Baru ke era Reformasi di Indonesia. NGOs yang bergabung dalam suatu Koalisi untuk kebebasan informasi yang memperjuangkan lahirnya sebuah Undang-undang untuk kebebasan informasi telah mendorong lahirnya undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Indonesia, selanjutnya disebut sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India.

Peranan organisasi massa (ormas) dalam pembentukan opini public dan sebaliknya, potensi opini public dalam pembentukan organisasi massa  telah banyak dikaji. Potensi opini public bagi para pelaku komunikasi merupakan salah satu aspek penting yang paling banyak menentukan suksesnya komunikasi. Potensi opini public merupakan hal yang perlu mendapat perhatian serius dalam berlangsungnya proses komunikasi  (Mimbar XI No.I Januari- Maret 2003)

 

Kesimpulan

Diplomasi publik adalah jenis diplomasi yang bersangkutan dengan  keterlibatan publik dalam diplomasi. Pengikutsertaan publik dalam diplomasi memerlukan upaya penerapan ilmu public relations yang mengkaji berbagai strategi untuk mengikutsertakan aktivitas publik sesuai kehendak pihak yang bersangkutan, apakah organisasi, atau negara. Penerapan ilmu public relations dalam mengevaluasi hasilnya sangat memerlukan kajian tentang kondisi opini publik, dan opini publik yang membangun apresiasi, pengakuan terhadap suatu organisasi, atau negara, sungguh telah membangun citra yang baik yang dibangun oleh kesan yang benar yang didasarkan kepada pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman  yang benar dari suatu fakta.

 

Daftar Pustaka  :

Baylis, J. and S. Smith (ed). “The Globalization of World Politics, an Introduction to International Relations”. Second Edition. Oxford University. 2001

Boulding, Kenneth E. “The Image”, The University of Michigan Press and Simultaneously, Toronto Canada. 1961

Cincotta, Howard, 1999. Thought on Public Diplomacy and Integration. Service Jurnal, Selected Article and Resources on Pubnlic Diplomacy. 1999

Cutlip, Scott  at all.. “Efective Public Relations”. Terjemahan, PT Indeks Kelompok Gramedia. 2005

Dinh, Tran Van. “Communication and Diplomacy in a Changing World”. Ablex PublishingCorporation Norwood. New Jersey. 1987

Disinfopedia, “Public Diplomacy” Center for Media & Democracy. 2004

Grunig, James, E. et al. “Excellence Public Relations and Communications Management”. Makwah, New Jersey: Laorence Ellbourn Associates Publishers.  New Jersey. 1992

Grunig, James E. et al.  Excellence Public Relations and Effective Organizations Mahwah, New Jersey, Laorence Ellbourn Associates Publishers. 2002

Hansen, Allen C. “Public Diplomacy in the Computer Age” Praeger Special Studies, Praeger Scientific. New York. 1984

Hun Yun, Seong. “Toward Public Relations Theory Based Study of Public Diplomacy: Testing the Applicability of the Excellence Study”.  Journal of Public Relations Research 18. 2006       

Jefkins Frank, “Public Relations”, terjemahan. Erlangga Jakarta. 2004

Lippmann, Walter, “Opini Umum”  terjemahan, Yayasan Obor Indonesia Jakarta. 1994

Nicolson, Sir Harold, “Diplomacy”, Institute for the Study of Diplomacy,Editio, Washington. 1988

Riordan, Shaun. “Discussion Papers in Diplomacy, Dialog based Public Diplomacy”. A New Foreign Paradigm Clingendael: Netherlands Instututeof International Relations nomor 95. 2004

Roy, S.L. “Diplomasi”, terjemahan. Rajawali Pers Jakarta. 1984

Silih Agung Wasesa, “Strategi Public Relations”. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2005

Snow, Nancy (editor). “Routledge Handbook of Diplomacy”, 270 Madison Avenue New York. 2009

Sola Pool, Itheil de,(editor), “Hand Book of Public Relations”, Rand M. Nally Publishing Company, USA. 1973

Sukawarsini Djelantik. “Diplomasi antara Teori dan Praktek”. Graha Ilmu Yogyakarta. 2008

Theaker, Alison. “The Public Relations Hand Book”, Great Britain: MPG Books Ltd Bodmin. 2004

Wilcox Denis L at all. “Public Relations Strategies and tactics”, Harpers Collins Publishers. 1992

Wiryono, S. “Public Diplomacy: The Selling of a Country”. Loka Karya Nasional Diplomasi Publik 6-7 Desember 2006 Bandung. 2006

*Jurnal tersebut diatas diterbitkan dalam Jurnal Komunikologi Vol.9 No.2 September 2012