Diskusi Panel Tragedi Lapindo dan Summer Course

Minggu, 20 Juni 2010

 

Universitas Indonusa Esa Unggul bekerjasama dengan Pusat Kajian Konstitusi Universitas Surabaya Universitas Surabaya mengadakan diskusi panel dengan tema Penyelesaian Masalah dan Sengketa Pelepasan Hak di atas Tanah Milik Korban Lapindo (Tinjauan Yuridis Peraturan Presiden No.14 Tahun 2007) pada (19/12) 2007 di R. 207 & 208 di Gedung Utama UIEU.

Tragedi Lapindo hampir memasuki tahun ketiga, namun penyelesaian masalahnya masih jauh dari selesai, seperti juga lumpur yang terus mengalir tanpa tahu kapan berakhir. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai upaya, baik dalam rangka untuk menghentikan lumpur, maupun dampaknya, demikian juga dengan upaya penyelesaian pemberian ganti rugi bagi korban lapindo yang rumah, tanah, pabrik, maupun harta benda lainnya terkubur lumpur. Salah satu upaya pemerintah adalah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, namun pelaksanaan dari Perpres ini masih dianggap tidak efektif, bahkan menimbulkan beberapa masalah di lapangan yang berujung pada gugatan kelompok (class action) dari beberapa warga Sidoarjo, Jawa Timur yang merasa haknya tidak dipedulikan oleh keluarnya PerPres tersebut.

Perpres 14/2007 tersebut sebenarnya merupakan pijakan bagi penyelesaian ganti rugi bagi para warga, namun akibat adannya ketidak efektifan implementasinya maka banyak pihak yang menganggap perlu lebih lanjut untuk melihat lebih jauh terhadap substansi Perpres tersebut, untuk sebuah pertanyaan mendasar: perlukah dibuat dasar hukum baru untuk menggantikan Perpres tersebut? Oleh karena itu, Universitas Indonusa Esa Unggul bekerjasama dengan Pusat Kajian Konstitusi Jawa Timur, dan Fakultas Hukum Universitas Surabaya ingin mengadakan diskusi panel dengan tema Penyelesaian Masalah dan Sengketa Pelepasan Hak di atas Tanah Milik Korban Lapindo, yang rencananya juga akan dilakukan secara berseri di 4 kota yaitu: Surabaya, Ujung Pandang, Jogjakarta dan Jakarta.

Dalam diskusi panel ini menghadirkan beberapa pembicara yang memiliki analisis masing – masing terhadap kajian hukum atas undang – undang yang berlaku, yaitu Martono, SH., MH (ahli Hak Asasi Manusia, dari FH Universitas Surabaya, Kurnia Toha, SH., LLM, PhD (ahli Hukum Pertanahan dan Hukum Ekonomi), Dr. Freddy Harris, SH., LLM (ahli Investasi dan Konsultan Hukum), Muniyati Sullam, SH., MA (Praktisi/ Notaris – PPAT dan Pegiat HAM).

Hasil Diskusi ini mencakup 2 tindakan, yaitu legal movement dan political movement.

Legal Movement : – Perlu dilakukan revisi terhadap Perpres 14/2007, agar tidak menjadi preseden buruk bagi para pencemar/perusak lingkungan. – Bahwa tindakan para warga korban luapan lumpur, yang menuntut ganti rugi dalam bentuk dan perlakuan yang sama diantara sesama mereka, dapat dibenarkan secara hukum. Dilakukan relokasi warga ke lokasi baru dengan biaya dari Lapindo tanpa menghilangkan hak atas tanah para korban dengan tanahnya di areal lumpur. – Bahwa upaya Gubernur ataupun pihak Lapindo, untuk menyediakan kompleks perumahan sebagai pengganti rumah warga yang terkena luapan lumpur sebagai upaya pemukiman kembali secara kolektif, termasuk didalamnya relokasi untuk pabrik atau industri hendaknya tetap bisa ditawarkan sebagai salah satu solusi, dan bukan satu satunya solusi, yang tentu harus disertai dengan berbagai bantuan kemudahan ijin khususnya bagi relokasi industri. – Mengingat mendesaknya penyelesaian masalah, maka hal yang sangat mungkin untuk segera dilakukan sebagai salah satu solusi adalah mendorong atau bahkan memaksa Negara dalam hal ini pemerintah untuk melakukan upaya nyata menyelamatkan hak hak warga masyarakat terlebih dahulu, bahkan bisa jadi, apabila sangat mendesak pemerintah menggunakan pinjaman lunak guna pemberian talangan ganti rugi kepada warga, baru selanjutnya Negara dalam hal ini pemerintah, menyelesaikan masalah hukum dengan pihak P.T Lapindo Brantas.

Political Movement: – Perlu kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan korban lumpur Lapindo dengan mengedepankan rasa keadilan. – Bagi warga korban luapan lumpur yang tanah ataupun rumahnya masih menjadi agunan pinjaman di Bank, mereka tetap harus juga diperlakukan sama, sepanjang hak pembayaran yang mereka terima sebagai ganti rugi proporsional, artinya dapat dikurangi atau dipotong sejumlah tanggungan mereka di Bank, atau masing masing warga secara individual dapat bernegosiasi dengan pihak Bank atas keberadaan jaminan pengganti apabila ikatan hukum mereka – atau pinjaman mereka tetap diteruskan dengan kontribusi dari pemerintah maupun prakarsa–prakarsa yang dilakukan oleh kelompok kelompok masyarakat. – Pembayaran ganti rugi disarankan dibayarkan langsung kepada yang berhak, setelah terjadi kesepakatan kejelasan hubungan hukum atau kelanjutan hubungan hukum antara individu korban dengan pihak Bank. Masalah administrasi bukti kepemilikan atau status hukum kepemilikan dari tanah atau rumah warga korban luapan lumpur yang tidak sempurna, hendaknya bisa diatasi dengan kebijakan khusus yang bersifat terbatas, misalnya diatur dalam bentuk hukum peraturan pemerintah yang mengatur kekhususan solusi. – Kedudukan atau posisi hukum dari PT MINARAK LAPINDO JAYA perlu diperjelas kaitannya dengan Perpres 14 tahun 2007, dan akan sangat baik apabila bentuk hukum yang mengaturnya tidak dalam bentuk Perpres akan tetapi Peraturan Pemerintah, sehingga lebih memiliki kepastian hukum.

Partisipasi FH UIEU dalam Summer Course : 7th Asian Postgraduate Course on Victimology and Victim Assistance di Tokiwa University, Mito, Japan

Setelah berhasil memberangkatkan 50 dosen dan mahasiswa ke Kualalumpur-Malaysia dalam kegiatan studi banding pada tahun 2007 ini, Keluarga Besar Fakultas Hukum mendapat undangan dari Worlds Society of Victimology (WSV) untuk mengikuti Summer Course: 7th Asian Postgraduate Course on Victimology and Victim Assistance di Tokiwa University, Mito, Japan. Adapun yang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti sebanyak 8 orang yaitu: Dekan FH, Bapak Fachri Bey, Wadek 1, 2, dan 3 FH (Heru Susetyo, Dhoni Yusra, dan Wasis Susetio), 2 orang Dosen FH (Zulfikri Aboebakar, dan Andi M. Asrun), dan 2 orang mahasiwi program Eksekutif (Ibu Hasnah Aziz, dan Ibu Milka Salindeho). Beberapa kunjungan yang dijalani, mulai ke Koban (semacam Pos Polisi setingkat Polsek), International Center, Kantor Polisi di setingkat Polda, Tempat latihan polisi berlatih aikido dan judo, Taman Kairakuren, museum gitar, museum natural di Ibaraki, Nonon Festival Obongmatsuri. Kesemuanya memberikan tambahan wawasan bagi kami dan seluruh peserta. Pada hari sabtu, khusus rombongan dari Indonesia + 1 orang peserta dari India (Prof. Bajpai), jalan-jalan ke kota Tokyo, khususnya ke Akihabara, Ginza, dan Caesar Palace.

[line]

Read More Post
[categories include =”8″]