Diskusi “Gender, Politik, dan Media Massa”

Jum’at, 25 Maret 2011

Mitra Gender bekerjasama dengan FIKOM Universitas Esa Unggul menyelenggarakan Roundtable Discussion dengan topik “Gender, Politik dan Media Massa” pada Selasa, 08 Maret 2011 di Kampus Esa Unggul.

Mitragender memprakarsai Roundtable Discussion dengan topik “Gender, Politik dan Media Massa” yang merupakan diskusi berseri pertama dimulai pada tanggal 8 Maret 2011. Topik-topik pembahasan menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan ketiga-tiganya di dalam politik, gender dan media massa serta hubungan diantaranya yang saling berkaitan, sebagai contoh sebuah kerangka sosialisasi untuk pemberdayaan perempuan dalam konteks; gender, politik dan media dari dalam ke luar.

Diskusi ini akan berjalan kurang lebih satu bulan. Isu yang dihadirkan merupakan isu tematik yang ditentukan kemudian dan juga berdasarkan hasil dari masukan peserta diskusi.

Target Kegiatan

  • Menampung asupan-asupan dalam rangka penyusunan urgensi RUU Kesetaraan Gender dalam bidang politik dan media massa.
  • Sharring informasi berbagai situasi dan kondisi gender di bidang politik dan media massa.
  • Menyusun rekomendasi untuk penyusunan RUU KKG di bidang politik dan media massa.

Tema diskusi putaran pertama ini adalah “Gender, Politik dan Media Massa” dengan beberapa topik, yaitu: Gender dan Media, Perempuan dan politik, Konstruksi berita yang sensitif gender

Acara dibuka oleh Rektor UEU – Dr. Ir. Arief Kusuma, MBA dan dilanjutkan oleh Ketua Presidium Nasional Mitragender – Hj. Sri Redjeki Sumaryoto, SH yang juga merupakan mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang ke-6.

Pembicara :

  • Dr. Yudy Latif   (Direktur Reform Institute)
  • Eva Kusuma Sundari, SH (Politisi PDIP dan Anggota DPRI)
  • Prof Dr. Aida Vitayala (Guru Besar Gender di Institute IPB
  • dan Ketua Dewan Direktur Pusat Kajian Perempuan)

Moderator :
Dr. Indrawadi Tamin, MA (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Esa Unggul)

Dr. Ir. Arief Kusuma AP, MBA – Rektor UEU dalam sambutannya mengatakan bahwa acara semacam ini dapat menjadi ajang edukasi dan peningkatan awarenes mengenai issue gender. Dari sisi kognitif menurut Rektor berusaha memahami lebih jauh dan lebih mendalam dari pemahaman dan mengaplikasikan pada masyarakat. Dibidang pendidikan menurut Rektor, kegiatan semacam ini dapat ditindaklanjuti dengan sosialisasi issue melalui kegiatan intra kurikuler dan ekstrakurikuler ,” kata Rektor.

Sementara disisi lain Ketua Presidium Nasional Mitra Gender Ibu. Hj. Sri Redjeki Sumarjoto, SH mengatakan bahwa, keberhasilan pembangunan di Indonesia  secara keseluruhan belum sepenuhnya diikuti dengan keberhasilan pembagunan gender meskipun beberapa instrumen pereturan telah dikeluarkan pemerintah.

Untuk mendorong agar masyarakat khusus kaum wanita lebih aktif beraktifitas ditengah masyarakat seperti dari hasil survey yang dilakukan oleh World Economic Forum mengenai indeks pembangunan gender 2009, tentang keterlibatan perempuan dibidang ekonomi pendidikan kesehatan politik kata Ibu Sri Redjeki yang mantan Menteri Peranan Wanita. Lebih lanjut kata Ibu Sri mengatakan bahwa kunci dari dari indeks pembangunan gender adalah dengan menekan angka kematian ibu, katanya.

Sementara disisi lain berbicara politisi PDIP dan anggota DPR RI Eva Kusuma Sundari, SH, dengan bahasan tentang efektifitas perempuan parlemen tentang rasionalisasi 30 % kuota DPR sebagai wujud komitmen negara menjamin perempuan berpartisipasi politik seperti halnya laki-laki dan wujud implementasi konvenesi penghapusan segal diskriminasi. Selain itu Eva menambahkanbahwa pendidikan politik yang baikdan sessitif gender ditingkat partai dapat memperbaiki citra perempuan di Parlemen ,” kata Eva.

Sementara pembicara berikut turut hadir Dr. Yudi Latief (Direktur reform Insititut ) dan juga pengamat politik dan Prof. Dr. Aida Vitalaya ( Guru Besar Gender IPB Bogor dan Ketua Dewan Direktur Pusat Kajian Gender Indonesia).

Perkembangan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia diawali sejak diratifikasinya Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) sejak tahun 1984, dengan meratifikasi konvensi ini Indonesia berkewajiban untuk melaksanakannya. Negara diperintahkan untuk melaksanakan langkah-langkah khusus sementara (temporary special measure) untuk mencegah terjadinya diskriminasi. Langkah-langkah tersebut merupakan affirmative action yang harus dilakukan oleh negara sebagai kompensasi sejarah.  Diskriminasi yang telah terjadi meninggalkan dampak yang tidak dapat dengan mudah dihilangkan. Rendahnya partisipasi sebagian sumber daya pembangunan berimplikasi terhadap laju perkembangan pembangunan. Untuk itu perlu dilaksanakan pengarusutamaan gender agar laki-laki dan perempuan secara bersama-sama bisa berada pada tingkatan partisipasi yang tinggi, yang tentunya juga berimplikasi pada peningkatan laju pembangunan nasional.

Hasil dari suatu ratifikasi CEDAW menjadi undang-undang nasional menugaskan kita untuk membuat undang-undang keterwakilan perempuan di dalam politik. Hal tersebut komitmen pemerintah dan pemangku kebijakan di Indonesia tentang keterwakilan perempuan dalam berbagai pengambilan keputusan kenegaraan telah nyata dimulai dengan penetapan dalam UU No. 2 Tahun 2010 Tentang Partai Politik yang menentukan keterwakilan sebesar  30 % pada setiap jenjang kepengurusan sebagai porsi wakil perempuan. Namun peluang yang memberi kepercayaan pada porsi perempuan dimaksud masih sulit diimplentasikan sehubungan dengan diktum lain dalam undang-undang tersebut yang menentukan peluang bentuk suprastruktur khususnya dalam hal hasil pemilihan umum yang didasarkan pada suara terbanyak pemilih.

Penting sekali untuk mempertimbangkan Inpres No. 7/2000 tentang Pengarusutamaan Gender, UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 12/ 2003 tentang Pemilu, UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perpres No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Strategis Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI 2005–2009. Mengacu kepada tata peraturan perundang-undangan di atas maka kebijakan pemberdayaan perempuan harus dikembangkan secara terencana, sistematis dan terpadu.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, kiranya sangat mendesak untuk membentuk Undang-Undang tentang Kesetraan Gender. Upaya untuk menghimpun berbagai materi pembentukan undang-undang tersebut dipandang perlu untuk menyelenggarakan satu rangkaian diskusi dengan format Roundtable Discussions. Melalui diskusi-diskusi tersebut dikumpulkan para ahli dan pemangku gender serta berdiskusi dalam menghimpun berabagai pendapat.

Pers dan media massa adalah bagian dari penyelenggara Negara, karena itu setiap program pemerintah menjadi perhatian bagi pers sebagai pusat informasi yang paling efektif kepada masyarakat, termasuk isu gender sudah waktunya media massa memiliki peran dalam mensosialisasikan isu gender. Masalah yang dirasakan saat ini adalah bahwa isu gender hanya sebatas himbauan. Hal tersebut terlihat dengan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di dalam pembangunan nasional. Kondisi yang terjadi di Indonesia dengan adanya gender gap menjurus kepada kemiskinan pada kaum perempuan dan anak. Dalam meningkatkan pemahaman isu gender seluruh stakeholder; pemerintah, swasta serta masyarakat termasuk media massa.

[line]

Read More Post
[categories include =”8″]