Fokky Fuad, SH, MH.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Esa Unggul

Bioteknologi diartikan sebagai seperangkat yang bertujuan untuk merubah materi genetic pada tanaman, hewan, dan juga mikroba yang dilakukan oleh manusia. Plasma Nutfah yang banyak tersebar di Indonesia sebagai sumber daya alam keanekaragaman hayati, seharusnya dilindungi oleh undang – undang dan dijaga oleh aparat yang berkompeten untuk memahami arti dari kekayaan sumber daya alam hayati. Karena banyak dari pengusaha yang memanfaatkan keadaan dimana aparat dan undang – undang tidak dapat memayungi/ melestarikan keadaan sumber daya alam hayati di Indonesia, sehingga kekuatan dan pemahaman juridis untuk melindungi keanekaragaman hayati dari tindakan yang dapat merusak kelestarian lingkungan tidak dapat dilakukan secara maksimal. Kepedulian akan lingkungan sebagai bagian dari hidup manusia sudah terkikis seiring dengan perkembangan zaman. Maka dari itu timbul pertanyaan bagaimana cara melestarikan sumber daya alam hayati di Indonesia ini yang kian menipis.

Bioteknologi menurut agenda 21 diartikan sebagai:
“ a set techniques for bringing about specific man – made changes in the genetic materials in plants, animal, and microbes”

Dalam hal ini bioteknologi diartikan sebagai seperangkat yang bertujuan untuk merubah materi genetic pada tanaman, hewan, dan juga mikroba yang dilakukan oleh manusia. Hari Hartiko, Ph.D selaku pakar Bioteknologi Universitas Gajah Mada yang mengartikan Bioteknologi sebagai teknologi yang memanfaatkan makhluk hidup yang direkayasa untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kesejahteraan manusia (Hariko,1955: 2).

Agenda 21 juga menyatakan bahwa “The development and implementation of biotechnological product must ber done very carefully and with acute concern for human safety and protection of environment”. Dalam hal ini maka pengembangan serta implementasi produk-produk bio-teknologi harus dilakukan secara sangat hati-hati dan dengan perhatian yang serius demi keselamatan umat manusia dan juga demi melindungi lingkungan hidup. Hartiko menjelaskan bahwa penerapan bioteknologi ternyata telah memberikan kemungkinan kemanfaatan yang tidak terbatas. Hasil menipulasi gen memungkinkan suatu jasad mampu menghasilkan suatu produk yang sebelumnya tidak mungkin terjadi, para pakar berlomba menggunakan daya khayal mereka untuk memproduksi bahan yang mempunyai nilai tinggi melalui rekayasa genetika. Lebih lanjut dikatakan bahwa pengembangan bioteknologi tidak berarti tanpa resiko, bahkan apabila kita tidak dapat memilih pengembangan bioteknologi secara tepat, maka akan menimbulkan dampak negatif yang besar terutama pada keanekaragaman hayati (bio-diversity)

Dr.Ir.Haryono selaku pakar ling-kungan hidup Universitas Brawijaya menjelaskan bahwa pengembangan bioteknologi pada dasarnya harus sesuai dengan arah pengembangan yang terdapat di dalam Agenda 21, yaitu meningkatkan produktivitas bahan pangan dunia (wawancara bulan Februari 1997).

Soeryo Adiwibowo me-nerangkan apabila komponen dalam ekosistem (organisme) itu musnah, maka keseimbangan sistem akan terganggu, demikian pula sebaliknya apabila ada penambahan komponen baru belum tentu ekosistem yang ada dapat menerimanya dengan baik. (Adiwibowo, 1995: 23). Pelepasan suatu makhluk baru yang belum pernah ada di alam akan menimbulkan pencemaran biologis yang bisa lebih berbahaya daripada pencemaran kimia dan nuklir. Berdasarkan Third World Resurgance pada awal perkembangan rekayasa genetika, gen-gen hanya dipindahkan abtar satu spesies untuk mendapatkan bibit tanaman atau hewan dengan sifat-sifat tertentu (Adiwibowo, 1995: 23). Dalam pengembangan selanjutnya pemindahan gen dilakukan antar berbagai spesies, sebagai contohnya gen ikan dimasukan kedalam tomat untuk mengurangi kerusakan karena pembekuan, kentang yang diberi gen ayam, tanaman jagung yang dimasuki oleh gen kunang-kunang, dan sebagainya.

Pissler & Mellon berpendapat, terdapat empat hal yang akan berpengaruh bagi lingkungan hidup akibat adanya pelepasan organisme baru atau organisme dengan sifat-sifat baru ke alam bebas terutama dampaknya bagi ekosistem, yaitu:

  1. Tanaman transgenetic dapat berubah menjadi gulma yang akan membanjiri lading, lahan dan ekosistem.
  2. Tanaman transgenetic akan menjadi perantara bagi perpindahan gen-gen baru ke tanaman liar. Dampaknya bagi ekosistem belum dapat diperkirakan.
  3. Tanaman yang direkayasa dengan menyisipkan virus akan mem-fasilitasi terciptanya virus-virus baru yang dapat menimbulkan penyakit baru bagi tanaman.
  4. Tanaman yang direkayasa mengendung bahan-bahan beracun yang bersifat obet atau pestisida akan membawa resiko bagi makhluk lain, misalnya burung dan hewan liar lain (Rissler & Mellon dalam Adiwibowo, 1995)

 

Otto Soemarwoto menjelaskan bahwa proses pengembangan bioteknologi akan dapat merugikan manusia yang selalu berpandangan antroposentris yang memandang segala sesuatu termasuk lingkungan hidup dari sudut pandang kepentingan manusia. Kerugian yang tampak dari rusaknya keanekaragaman hayati akan sangat kita rasakan, contohnya yaitu hilangnya spesies-spesies tanaman yang sangat dibutuhkan bagi kepentingan dunia kedokteran (Soemarwoto, 1992: 4). Penggunaan teknologi yang tidak bijaksana akan mengakibatkan erosi gen, yaitu berkurangnya keanekaan gen, dimana keanekaan gen mempunyai tujuan pengedalian hama (Soemarwoto, 1994: 24). Vandana Shiva salah seorang tokoh gerakan lingkungan hidup dan pemerhati masalah pengembangan bioteknologi menjelaskan bahwa pengembangan bioteknologi pada tanaman dan keanekaragaman sifat genetic tunggal secara luas telah menimbulakan Epidemi penyakit pada jamur dan jagung di tahun 1970 (Shiva, 1994). Salah satu bahaya pelepasan organisme hasil rekayasa genetika ke alam bebas adalah kemungkinan tercemarnya jenis-jenis asli atau liar oleh gen-gen dari tanaman transgenetic. Keadaan ini dapat mengancam keanekaragaman hayati karena organisme yang telah berubah dengan akibat-akibat pada lingkungan dan kesehatan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Sekali dilepaskan dan berkembang biak, gen-gen hasil rekayasa genetika tidak dapat diisolasi kembali dari lingkungan.

Permasalahan hukum yang muncul dari adanya proses pengembangan bioteknologi ini antara lain:

1.    Dari Sudut Kelembagaan

Adanya proses perizinan yang tidak terkoordinasi terhadap peneliti asing yang hendak melakukan penelitian di Indonesia khususnya tentang keanekaragaman hayati dimana di dalamnya terkandung kekayaan plasma nutfah. Akibat negatif dari tidak terkoordinasinya proses perizinan tersebut, maka dapt dimanfaatkan dengan baik oleh para peneliti asing untuk melakukan pencurian terhadap plasma nutfah sebagai bahan dasar proses pengembangan bioteknologi. Selain itu pula apabila terjadi perusakan lingkungan maka masing-masing lembaga akan melempar tanggung jawab karena tidak terjadi koordinasi lintas sektoral.

2.    Sisi Hukum Lingkungan Inter-nasional
Banyak produk bioteknologi pertanian modern yang dilempar ke negara-negara berkembang yang sesungguhnya dilarang untuk diedarkan maupun diuji-cobakan di negara asalnya. Larangan tersebut dengan alasan bahwa produk tersebut tidak berwawasan lingkungan, sebagai contohnya adanya pengujian penelitian vaksin oleh WINSTAR terhadap produk bioteknologi berbahaya yang dilakukan di India dan Argentina (Shiva, 1994)  produk bioteknologi pertanian modern tersebut diuji-coba  di dua negara tersebut, karena kedua negara tersebut mendapat tekanan dari pemerintah Amerika Serikat untuk memberi izin melakukan uji coba pelepasan tanaman hasil rekayasa genetika tersebut. Selain Amerika Serikat, negara-negara industri maju yang tergabung di dalam G-7 juga menekankan negara-negara berkembang agar bersedia dijadikan sebagai ajang uji coba pelepasan tanaman sekaligus pemasaran dari tanaman-tanaman GMO (Genetically Modified Organism).

I.    PERMASALAHAN

Berdasarkan dari apa yang telah terurai di atas, maka permasalahan yang timbul adalah:

Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam melindungi keanekaragaman hayatinya dari akibat negatif perluasan dan penyebaran produk bioteknologi pertanian modern yang dilakukan oleh banyak negara maju?

II.    PEMBAHASAN

III.1.     Indonesia dan Kekayaan Keanekaragaman Hayati

Indonesia disebut sebagai Center Of Mega Biodiversity, kekayaan hayati Indonesia meliputi 10% jenis tanaman berbunga, 12% jenis mamalia, 16% reptilia dan amphibi, 17% jenis burung, dan 25% ikan dari jenis ikan yang ada di dunia (Konphalindo, 1995: 81). Selain itu kekayaan genetika atau variasi dalam jenispun sangat tinggi, kekayaan hayati ini merpuakan sumber hayati masyarakat sejak lama dan merupakan aset negara dalam menjalankan pembangunan bioteknologi.

Perkembangan-perkembangan baru dalam bidang rekayasa genetika menghasilkan produk-produk berupa organisme yang termodifikasi secara genetik (GMO), terutama dalam bidang pertanian dan obat-obatan (kedokteran). Perkembangan bioteknologi di dunia sat ini masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang kini banyak berada di kawasan negara berkembang, khususnya negara tropik sebagai ajang untuk tempat uji pelepasan GMO dan oleh karena itu perusahaan tersebut memperluas pula jaringan usahanya di negara kawasan tropik.


III.2. Analisis terhadap Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1994
tentang Pengesahan United
Nation Convention on Biological Diversity.

Pasal 19 Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity menyatakan:

  1. Setiap pihak wajib memberlakukan upaya-upaya legislative, administrative, dan kebijakan, bila diperlukan untuk memungkinkan peran serta yang efektif dalam kegiatan penelitian bioteknologi yang dilakukan para pihak, khususnya negara-negara berkembang yang menyediakan sumber daya genetik bagi penelitian tersebut dan bila layak;
  2. Setiap     pihak wajib melakukan upaya praktis untuk mendorong dan mengembangkan akses prioritas dengan dasar adil oleh para pihak terutama negara – negara berkembang kepada hasil dan keuntungan yang timbul dari bioteknologi yang didasarkan sumber daya genetik yang disediakan oleh para pihak-pihak tersebut. Akses semacam itu harus didasarkan persyaratan yang disetujui bersama;
  3. Para pihak wajib memper-timbangkan kebutuhan akan protocol dan model – modelnya yang menentukan prosedur yang sesuai, mencakup khususnya persetujuan yang diinformasikan terlebih dahulu dibidang pengalihan, penanganan dan pemanfaatan secara aman terhadap organisme ter-modifikasi hasil bioteknologi yang mungkin mempunyai akibat me-rugikan terhadap konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati;
  4. Para pihak yang secara langsung atau dengan melalui pejabat resmi menurut juridiksi menyediakan organisme seperti dalam ayat (3) diatas, harus menyediakan informasi yang ada tentang peraturan penggunaan dan keamanan yang diperlukan oleh pihak tersebut dalam menangani organisme semacam itu, maupun informasi yang ada mengenai dampak potensial organisme tertentu kepada pihak yang akan menerima organisme tersebut.

Pasal 19 ini secara juridis merupakan payung bagi Indonesia khususnya dan negara lain yang meratifikasi konvensi PBB ini umumnya untuk melindungi keanekaragaman hayatinya dari dampak negatif produk – produk bioteknologi modern khususnya dalam bidang pertanian. Dalam tatanan empiris tampaknya peraturan ini masih harus dikaji lebih jauh. Pasal 19 ayat 1 sesungguhnya telah mewajibkan oara fihak yang dalam hal ini tentunya juga Indonesia sebagai penyedia bahan dasar proses rekayasa genetik untuk melakukan upaya legislatif, administratif, dan juga kebijakan serta berperan secara efektif dalam penelitian bioteknologi.

Keadaan yang terjadi di Indonesia adalah tidak terdapatnya koordinasi lintas sektoral dari lembaga pemberi izin dalam kegiatan karena celah lowong perizinan ini menjadi pintu masuk bagi terciptanya kerusakan keragaman hayati Indonesia. Akibat yang timbul adalah terjadinya pencurian plasma nutfah Indonesia yang kaya dan beragam dan juga terjadinya ajang uji coba pelepasan GMO, dimana GMO tersebut dilarang untuk diuji di negara asalnya.

Dengan adanya Pasal 19 ayat 1 ini maka Indonesia harus bergerak cepat untuk melakukan koordinasi lintas sektoral sehingga akan tercapai koordinasi pengawasan satu atap, atau dapat juga hanya satu lembaga perizinan yang memiliki kewenangan hukum mengeluarkan izin penelitian di kawasan hutan Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Genetika.

Pasal 19 ayat 2 menekankan pada pembagian keuntungan yang adil khususnya bagi negara-negara ber-kembang yang memiliki kekayaan plasma nutfah sebagai bahan dasar proses rekayasa genetik. Keuntungan yang diperoleh negara industri maju dari perdagangan produk-produk bio-teknologi dalam akhir dasawarsa delapan puluhan mencapai 50 – 100 Milyar US$ (Salim, 1993: 147). Keuntungan sebesar itu tercipta di negara utara dan akan tetap berada disana, sedangkan kerugian yang diderita oleh negara – negara di kawasan tropis sebagai negara terkaya penghasil plasma nutfah dunia akan terjadi seperti yang telah terjadi di India dan Argentina.

Pasal 19 ayat 3 menekankan perlunya protocol dari konvensi yang telah diratifikasi ini khususnya dalam pemanfaatan bioteknologi secara aman. Dalam kaitan ini Indonesia telah mencoba unutk menyusun protocol mengenai keselamatan hayati (Bio-Safety) melalui lembaga pemerintah dan Lembaga Swadaya  Masyarakat. Pokok – pokok usulan Protokol Keselematan Hayati tersebut berisi antara lain :

  1. Analisis resioko dan persyaratan keselamatan hayati yang berkaitan dengan produk-produk bioteknologi baik GMO maupun produk makanan, atau obat hasil rekayasa genetika. Analisis resiko harus mencakup lingkungan-lingkungan di luar uji coba pertama kali dilakukan. Baeban pengujian untuk membuktikan keamanan produk harus dipikul pihak yang mengintroduksi;
  2. Analisis resiko dan keselamatan hayati bagi pelepasan GMO secara sengaja ke alam dan pencagahan terlepasnya GMO tanpa disengaja dari keadaan terisolir (laboratorium). Hal ini harus dilihat kasus – perkarasus;
  3. Pengaturan keselamatan untuk pengembangan penelitian dan pemanfaatan GMO serta bioteknologi di dalam negeri dengan menggunakan prinsip pencagahan (Precautionary Approach);
  4. Persyaratan alih teknologi yang berkaitan dengan proses berbahaya dalam bioteknologi;
  5. Keterbukaan dan akses informasi mengenai GMO bagi seluruh jabatan pemerintah dan masyarakat. Hal ini untuk memberi label terhadap produk – produk GMO dengan mencantumkan pula kemungkinan – kemungkinan reaksi produk tersebut pada orang – orang yang peka;
  6. Ketentuan tentang perlunya prosedur informasi (Prior Informed Consent) berkaitan dengan alih teknologi dan pelaksanaan GMO. Pihak yang meng-introduksi GMO harus mencantumkan informasi lengkap mengenai analisis produk dan kegiatan di negara asal;
  7. Penanganan dampak sosio – ekonomi dan produk – produk bioteknologi;
  8. Penanganan dampak pelepasan GMO terhadap ekosistem.

 

Tujuan dari diusulkannya protocol keselamatan hayati ini secara umum adalah melindungi sumber daya hayati Indonesia dari pencamaran biologos dan melindungi kesehatan masyarakat dari pemanfaatan bioteknologi yang belum teruji. Tujuan umum tersebut diperinci lagi menjadi tiga tujuan, yaitu :

  • Mencegah Indonesia dijadikan ajang uji – coba pelepasan GMO;
  • Mencegah masuknya roduk bioteknologi yang berbahaya.
  • Mengawasi pengembangan dan penggunaan GMO di Luar Negeri.

 

III.3.TindakanHukumPerlindungan
Keanekaragaman Hayati
Indonesia.

Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup sebagai Undang-Undang yang mengatur lingkungan hidup pertama berlaku di Indonesia secara khusus belum mengatur perlindungan terhadap keanekaragaman hayati Indonesia. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 menyatakan bahwa ketentuan tentang konservasi sember daya alam hayati dan ekosistemnya ditentukan dengan Undang-Undang. Pasal tersebut belum mampu bergerak secara operasional karena masih memerlukan sebuah Undang-Undang yang khusus mengatur konservasi sumber daya alam hayati. Bentuk Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 yang bersifat ketentuan pokok mengakibatkan Undang-Undang ini tidak mampu melindungi kondisi lingkungan hidup pada umumnya maupun keanekaragaman secara hayati secara  khusus. Pemerintah dalam hal ini harus bertindak tegas untuk menye-lamatkan kondisi lingkungan hidup yang mengalami degradasi mutu lingkungan. Pada tahun 1990 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai ketentuan hukum yang diharapkan mampu bergerak secara operasional dalam melindungi kondisi sumber daya alam hayati Indonesia.

Di dalam menimbang bagan konsideran menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dijelaskan bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan lainnya dan saling memperngruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Dalam pasal 28 Undang-Undang  Nomor 5 tahun  1990 dijelaskan bahwa pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Plasma nutfah sebagai bahan dasar proses rekayasa bioteknologi merupakan sumber kekayaan genetika yang sangat tinggi nilainya. Tingginya nilai plasma nutfah tersebut akan merugikan Indonesia dengan adanya pencurian yang terjadi di hutan Tropis Indonesia.

Pasal 21 menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk :

  • Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, me-melihara, mengangkut, dan mem-perniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
  • Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat lain di dalam dan di luar Indonesia.

 

Tindakan tegas terhadap para pelaku pencurian plasma nutfah tertuang di dalam Pasal 40 ayat 1 yang menyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana di-maksud dalam pasal 21 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 33 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000. pasal 21 di atas merupakan payung yang dapat melindungi keanekaragaman hayati dari dilakukannya uji-coba rekayasa genetika (pelepasan tanaman GMO) ke alam bebas. Selain itu pula huruf b menjaga kekayaan genetika Indonesia dari tindakan pencurian yang akan dilakukan oleh beberapa peneliti asing. Tindakan seperti yang tertuang di dalam pasal 21 ini diancam dengan pidana penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000. Pertanyaan lebih lanjut adalah: apakah pasal ini cukup efektif untuk memidanakan parapelaku uji – coba tanaman GMO ke alam bebas, mengingat keuntungan yang sangat besar (milyaran dollar) dari adanya perdagangan produk bioteknologi di pasar perdagangan internasional? Pertanyaan kedua adalah: apakah aparat  penegak hukum memiliki pengetahuan yang cukup terhadap eksistensi tanaman plasma nutfah yang dilindungi, sehingga mampu membedakan tanaman biasa dan jenis plasma nutfah? Pertanyaan ketiga: apakah aparat  penegak hukum memiliki pengetahuan yang cukup akan adanya proses bioteknologi ini, sehingga mampu membedakan adanya perbuatan biasa dengan perbuatan yang melawan hukum. Dengan dilakukannnya uji coba pelepasan tanaman GMO ke alam bebas? Pertanyaan keempat: berapa besar jumlah aparat penegak hukum yang sanggup melindungi secara luas hutan di Indonesia dari kerusakan dan pencurian tanaman plasma nutfah di Indonesia?

Tindakan pencegahan adalah salah satu upaya yang paling efektif untuk mencagah masuknya peneliti asing ke dalam hutan Indonesia yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan pencurian dan perusakan keaneka-ragaman hayati. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 telah memberikan dasar bagi upaya-upaya tersebut. Pasal 39 ayat 3 menyatakan:

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, berwenang untuk :

  1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
  2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
  3. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
  4. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
  5. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang lain atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
  6. Membuat dan menandatangani berita acara;
  7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 39 ini mencerminkan sebuah upaya preventif (pencegahan) dari aparat penegak hukum untuk dapat mencegah pencurian terhadap kekayaan sumber daya genetika berupa plasma nutfah, selain itu mampu melindungi kawasan alam dari adanya tindakan uji coba pelepasan tanaman GMO ini ke alam bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan terhadap kondisi lingkungan alam. Upaya ini menuntut pula upaya aktif para penegak hukum untuk memperoleh keterangan tentang perlindungan keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya adalah penjelasan dari fihak lain khususnya kelangkaan akademisi yang mengetahui serta menguasai proses rekayasa genetika yang sedang berlangsung.

Selain Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 di atas, Undang – Undang lainnya adalah Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam konsideran menimbang huruf d dinyatakan:
“ Bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.”

Dari bunyi konsoderan di atas tampak bahwa pengelolaan lingkungan hidup harus berdasarkan pada norma hukum dan memperhatikan pula tingkat kesadaran masyarakat, perkembangan lingkungan global, dan perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Permasalahan bioteknologi di Indonesia yang sangat berkaitan dengan keadaan lingkungan hidup, sampai saat ini masih menjadi hal yang tidak dapat dimengerti oleh kalangan akademisi, maupun kalangan aparat penegak hukum. Menurut penulis tamapaknya telah terjadi putusnya komunikasi hukum atau proses rekayasa genetika yang secara negatif dapat mengancam kelestarian lingkungan alam akan memperburuk kondisi lingkungan alam, karena lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia secara luas yang membutuhkan plasma nutfah sebagai bahan pangan dan obat-obatan.

Kesadaran masyarakat terhadap adanya dampak negatif yang menghasilkan produk bioteknologi yang merusak lingkungan hidup juga sangat lemah. Kesadaran hukum perlu terus ditumbuhkan mengingat proses rekayasa ini mampu merusak lingkungan hidup secara luas. Berbicara tentang kesadaran hukum, maka menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mencakup tiga hal, yaitu:
Pengetahuan terhadap hukum, kedua: penghayatan fungsi hukum, ketiga: ketaatan terhadap hukum (Munir, 1997: 47).

Pengetahuan terhadap hukum lingkungan di Indonesia masih sangat lemah, hal ini tidak saja dialami oleh masyarakat awam, akat tetapi juga aparat penegak hukum. Lemahnya pemahaman ini disadari mengingat pemahaman terhadap lingkungan membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang ilmu lingkungan. Pada sisi yang lain aparat penegak hukum dan juga masyarakat luas tidak memiliki pemahaman dan penguasaan ilmu lingkungan itu sendiri, sehingga persoalan lingkungan hidup bukanlah merupakan bagian dari hidup masnusia itu sendiri, tetapi merupakan bagian hidup yang terpisah dari hidup manusia. Komdisi ini sangat memperihatinkan mengingat proses perusakan lingkungan hidup khususnya yang ditimbulkan dengan adanya proses rekayasa genetika terus berlangsung.

Penghayatan fungsi hukum dan ketaatan hukum di Indonesia juga sangat lemah, hal ini dapat dilihat dengan tindakan – tindakan di luar hukum. Selain itu pula munculnya perbuatan melawan hukum sebagai apresiasi atau kekecewaan masyarakat mungkin memperparah kondisi lingkungan hidup sebagai modal keberlanjutan pembangunan bangsa.

Perusakan lingkungan hidup menurut pasal 1 angka 14 UU No. 23 tahun 1997 diartikan sebagai :
“Tindakan yang menimbulkan perbuatan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/ atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”.

Proses rekayasa dengan melepaskan ke alam bebas tanaman GMO telah mengakibatkan perubahan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi sifat fisik dan hayatti, hal ini di-buktikan dengan munculnya epidemi jagung yang melanda India pada tahun 1970. sampai saat ini belum terdapat bukti konkrit terhadap pelepasan tanaman GMO ke alam bebas di Indonesia, walau demikian tidak berarti bahwa kejadian yang menimpa India dan Argentina  tidak terjadi di Indonesia. Tindakan pencegahan dapat segera dilakukan mengingat UU No. 23 juga memberikan pijakan hukum melakukan upaya – upaya pencegahan:
Pasal 8 ayat 2 huruf b dan c menyatakan:
“Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah: mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam termasuk sumber daya genetika. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang/ atau alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika”.

Pemerintah dalam undang-undang ini dituntut melakukan upaya secara aktif dengan cara melakukan penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup, pemanfaatan kembali sumber daya alam termasuk didalamnya adalah sumber daya genetika. Pemerintah dalam hal ini perlu segera mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara objek hukum(alam,tanaman GMO,plasma nutfah) dengan subjek hukum (manusia/peneliti). Dalam hal ini yang perlu diatur adalah sejauh mana penelitian tersebut boleh atau tidak boleh dilakukan dalam kaitan dengan  perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia.

Peraturan tersebut perlu segera diimplementasikan mengingat perlindungan terhadap keanekaragaman hayati Indonesia sangat mendesak untuk dilindungi apabila dilihat dari dampak negatif sebuah proses pengembangan  bioteknologi. Perlu pula dikaji analisis terhadap dampak yang ditimbulkan dari adanya kegiatan rekayasa tesebut bagi lingkungan alam dan juga bagi manusia itu sendiri.

Pasal 41 ayat 1 UU No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan sanksi pidana terhadap adanya pelepasan GMO yang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan hidup, yang menyatakan:
Barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbutan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam pidana paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)

Pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan adanya ancaman pidana bagi pelaku pelepasan tanaman GMO yang membahayakan kondisi lingkungan hidup, akan tetapi sudah cukup memberikan ancaman ditinjau dari setiap perbuatan hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau kerusakan terhadap lingkungan hidup adalah tindakan pencegahan, mengingat dampak yang sangat besar terhadap kondisi lingkungan hidup.

III.4. Efektifitas Hukum dalam Perlindungan terhadap Keaneka-ragaman Hayati di Indonesia.

Kesadaran untuk melindungi lingkungan hidup khususnya keanekaragaman hayati indonesia sebagai salah satu mega-biodiversity dunia harus segera dilakukan dalam bentuk sosialisasi hukum. Bergeraknya hukum dalam masyarakat (law in action) sangat dipengaruhi oleh tiga hal, pertama, faktor aparat penegak hukum, dalam hal ini apakah aparat penegak hukum telah memahami aturan – aturan hukum yang ada sebagai sebuah payung perlindungan?

Kedua, apakah hukum secara substansi telah memuat norma – norma yang mampu melindungi lingkungan alam khususnya dalam hal ini adalah keanekaragaman hayati di Indonesia? Ketiga, kultur hukum, dalam hal ini perlu dikaji secara lebih mendalam lagi, apakah masyarakat memiliki kultur hukum yang berbeda dengan norma hukum yang diberlakukan oleh negara?

Bagaimanakah ketiga parameter di atas apabila dikaitkan dengan kondisi empiris? Parameter pertama adalah aparat penegak hukum, aparat penegak hukum Indonesia masih belum memahami arti penting kondisi lingkungan khususnya keanekaragaman hayati sebagai sebuah karunia Tuhan bagi keberlangsungan peradaban manusia. Aparat hukum masih memiliki kendala dalam menegakan aturan – aturan hukum dalam bidang lingkungan hidup, antara lain:

Pertama adalah, lemahnya pengetahuan para aparat penegak hukum tentang fungsi, kegunaan, dan tujuan kelestarian lingkungan hidup khususnya keanekaragaman hayati. Kedua, masih belum dimilikinya pengetahuan akan dampak negatif yang dapat timbul dari adanya pengembangan produk-produk bioteknologi terhadap kondisi lingkungan hidup oleh aparat penegak hukum. Ketiga, terbatasnya jumlah aparat penegak hukum yang tersedia untuk melindungi luas wilayah hutan Indonesia dimana plasma nutfah berada, dalam arti lain bahwa terbatasnya jumlah aparat hukum yang tersedia untuk melindungi luas sebaran keanekaragaman hayati Indonesia. Keempat, terbatasnya peralatan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yang mampu melihat kondisi kerusakan keanekaragaman hayati Indonesia dari adanya sebuah uji coba pelepasan GMO ke alam bebas.

III. 5.  Rekomendasi dan Solusi

Mengingat begitu parahnya dampak yang ditimbulkan dari adanya uji-coba rekayasa genetika terhadap kondisi lingkungan hidup dan juga terjadinya pencurian plasma nutfah di Indonesia, maka penulis merekomendasikan beberapa hal, antara lain :

  1. Dari sisi administrasi: perlu segera dilakukan upaya koordinasi terhadap proses perizinan penelitian di Indonesia. Hal ini perlu segera dilakukan mengingat banyaknya pintu izin penelitian yang tidak terkoordinasi mengakibatkan peneliti asing acapkali melakukan pencurian plasma nutfah Indonesia. Pentingnya koordinasi lintas sektoral ini untuk mencegah terjadinya proses rekayasa yang akan merugikan kondisi lingkungan Indonesia.
  2. Perlu adanya komunikasi hukum yang efektif, mengingat arti penting lingkungan hidup, khususnya keanekaragaman hayati yang belum banyak disadari dan dipahami oleh masyarakat luas, maupun oleh aparat penegak hukum. Akibatnya adalah lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia;
  3. Perlu adanya koordinasi antar negara, khususnya antara negara – negara yang memiliki keaneka-ragaman hayati agar kekayaan keanekaragaman hayati tidak rusak bahkan mengalami kepunahan oleh tindakan yang merusak kondisi keanekaragaman hayati khususnya lingkungan hidup pada umumnya. Selain itu pula kerjasama antar negara diharapkan akan membentuk sebuah kekuatan posisi tawar yang lebih baik dari adanya tekanan yang ditimbulkan negara industri maju;
  4. Perlu segera dilakukan pembenahan terhadap kondisi aparat penegak hukum dalam melakukan Law Enforcement.

 

Referensi:
Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity
Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.