“MANIPULASI SENI DALAM POLITIK KEKUASAAN”

Tinjauan Kekuasaan dalam Perspektif Media Audio Visual
Oleh : Teguh Imanto

Abstrak

Televisi dengan kekuatan teknologi yang ada didalamnya dianggap oleh banyak kalangan sebgai teman hidup. Oleh karenanya masyarakat tidak dapat dipisahkan dari televisi. Keduanya ibarat simbiosis mutualisme, sama-sama menguntungkan diantara kedua belah pihak. Televisi telah menjadi bagian dari suatu kehidupan masyarakat yang berfungsi selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai suatu alat propaganda yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk percaya dan yakin terhadap pesan yang ada dibalik tayangannya itu. Kekuatan utama televisi adalah gambar, sehingga apapun gambar yang akan ditayangkan akan berdampak pada perilaku yang melihatnya. Dari kekuatan inilah para penguasa negeri ini memanfaatkan media ini sebagai sarana propaganda untuk kepentingan politiknya. Berbagai macam cara perekayasaan gambar dilakukan demi tercapainya tujuan yang diharapkan. Manipulasi gambar tayangan televisi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mempengaruhi pemirsa, agar percaya dan yakin dengan pencitraann di balik tayangan tersebut. Semua tayangan televisi bukanlah gambar yang sebenarnya, akan tetapi sudah mengalami penyuntingan/pengeditan sesuai dengan strategi yang telah direncanakan, namun kita tidak pernah tahu dan tak akan memikirkan hal itu. Hal inilah yang tak terbayangkan oleh kita, bahwa dibalik tayangan yangspektakuler itu, terselip maksud busuk yang berusaha mempengaruhi jiwa dan perasaan kita. Diperlukan suatu kekuatan dan kejernihan berpikir dalam mencerna segala tayangan, agar tidak terjerumus dengan sarana propaganda melaluitayangan televisi.

Kata Kunci : Manipulasi Seni, Politik, Kekuasaan, Media, Ideologi
 
 
Pendahuluan
Media Massa merupakan suatu sarana yang paling efektif dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat, baik dalam bentuk verbal maupun non verbal. Media Massa mampu menyampaikan segala keinginan yang dirancang oleh siapapun baik itu perorangan, kelompok, komunitas bahkan pemerintahan untuk menyampaikan tujuan-tujuan tertentu dengan segala cara melalui pendekatan persuasif tanpa harus mempergunakan cara-cara kekerasan. Bagaimana cara media massa mempengaruhi pikiran audiensnya dengan bujukan dan rayuan melalui rekontruksi pemaknaan teks media hingga masyarakat begitu yakin dan terbius dalam ikatan pesan yang disampaikan.
Dari sekian banyak media massa, media audio visuallah yang paling banyak digemari oleh masyarakat luas khususnya televisi, meskipun video dan film tidak luput dari penglihatannya. Media televisi hingga saat ini tak dapat disangkal akan eksistensinya sebagai media massa yang mampu mempengaruhi masyarakat dalam berpikir dan bertindak. Selain itu media televisi merupakan sarana penyebar pengetahuan tercepat dan tak terbatas daya jangkauannya mulai dari perkotaan hingga sampai ke pelosok desa yang tidak dapat dimiliki oleh media lainnya. Dari sisi hiburan televisi juga dianggap sebagai sarana hiburan yang berfariatif murah dan meriah serta tanpa dipungut biaya alias gartis dalam pengaksesannya, oleh karena itu televisi dan masyarakat dapat diibaratkan sebuah simbiosis mutualisme, dimana keduanya tidak dapat dipisahkan karena terjadinya kompensasi yang saling menguntungkan dari kedua belah pihak. Kecintaan masyarakat terhadap televisi dikarenakan besarnya fungsi dalam penyebaran informasi secara cepat berkat dukungan kecanggihan teknologi yang ada di dalamnya, hingga ia dapat menghadirkan segala kejadian di belahan bumi manapun dalam hitungan detik, sederetan gambar bersuara dapat terlihat dengan jelas, tepat didepan mata dengan berbagai macam karakter gembira, sedih, mencekam, terharu, menakutkan, mengerikan serta karakter lainnya hingga masyarakat tanpa sadar terbius dalam pesan yang terselubung dalam setiap tayangannya itu.
 Dengan kecanggihan teknologi serta dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat begitu besar pengaruhnya, maka peran media televisi yang didominasi dengan kekuatan gambar ini, dalam perkembangannya tak luput dari perhatian suatu pemerintahan negara selaku pemegang kekuasaan atas pengaturan informasi. Karena televisilah pesan dalam pengemasan terselubung pada setiap program acaranya dapat ditonton dalam radius yang cukup luas, mulai dari perkotaan sampai ke pedesaan hingga batas luas suatu negara bahkan masyarakat manca negarapun dapat melihat aktifitas dari suatu negara melalui layar kaca dengan bantuan teknologi satelit. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Kennedy selaku presiden Amerika Serikat dalam kampanye politiknya, bahwa televisi merupakan mikropone dari gedung putih yang ia tempati sebagai kantor dan rumahnya itu. Ketika Kennedy terbunuh, juga televisilah yang menyiarkan tregedi ini secara emosiaonal dari beberapa berusahaan broadcasting bidang pemberitaan CBS, NBC dan ABC dimana tayangan pemberitaannya mengalami perpanjangan waktu. Dari sini dapat dijabarkan betapa besar pengaruhnya keberadaan televisi bagi orang-orang besar seperti presiden Amerika Serikat tersebut, selaku pemegang kekuasaan tertinggi, dalam mempublikasikan apa yang mereka perbuat, hingg orang begitu percayanya dan menaruh simpati kepadanya atau apapun yang keluar dari persepsi para pemirsa.

Analogi lain dapat dibaca ketika terjadi perang dingin antara Amerika Serikat dan para sekutunya berseteru dengan Uni soviet, perang Image dalam kemasan audio visual tak terelakkan. Amerika Serikat dengan kekuatan media bisa mencuci otak masyarakat dunia melalui ”propoganda” yang terselip dalam film-film holywood di mana sistem distribusi dan penyebarannya dapat menembus ke berbagai negara termasuk Indonesia. Begitu dasyatnya propaganda dalam bentuk sebuah film produksi Amerika yang telah direduksi dengan pengelaburan makna-makna dan rekonstruksi Image dalam teks media dapat mempengaruhi persepsi masyarakat dunia, bahwa Amerika Serikat seolah-olah mencerminkan sebuah negara kuat atau negara ”Adidaya” yang telah mampu menumbangkan musuh-musuhnya dan menjadi polisi dunia yang ditakuti dan disegani oleh masyarakat dunia. Lihat saja film ”Rambo” dengan berbagai macam serinya, Bagaimana mungkin ”Seorang Rambo” bisa memporakporandakan satu batalyon gabungan Vietnam dan Rusia yang benar-benar terlatih itu dalam waktu sekejab. Secara nalar dan akal sehat, hal itu rasanya sulit terjadi dalam unit kesatuan militer manapun di dunia. Itulah ”Peran Media” dalam memprovokasi massa melalui jalur propaganda hingga masyarakat bertekuk lutut di buatnya tanpa menimbulkan perlawanan. Begitu dasyatnya pengaruh media audio visual dalam hal ini ”film” bisa mencuci otak pemirsa serta menggiring pikirannya hingga terbius dalam deretan frame-frame, sampai pada akhirnya nanti pemirsa dalam kondisi tanpa sadar, begitu yakin dan percaya pada pesan yang terselip dibalik tayangannya itu. Gambaran ini menunjukkan bagaimana cara Amerika Serikat memanfaatkan film-filmnya sebagai alat propaganda dalam membius pikiran masyarakat dunia, seperti Commando, Red Scorpion, Rocky, Invision USA serta sederetan film-film lainnya. Inilah cara Amerika Serikat dalam berperang, dengan memanfaatkan media sebagai bentuk baru dalam metode menginvasi negara lain, terutama negara dunia ketiga melalui imperialisme budaya, termasuk Indonesia.

Karya audio visual dalam bentuk iklan TV dan Film merupakan sarana propaganda yang bertujuan untuk mempengaruhi sugesti pemirsa, agar percaya dan yakin terhadap pesan yang terselubung lewat tayangan tersebut

1. Televisi Indonesia Sebagai Sarana Perjuangan

Sejak didirikannya Televisi Indonesia yang diresmikan penggunaannya pada tahun 1962 untuk mendukung penyelenggaraan Asian Games ke IV pada era presiden Soekarno, dan sejak itu pulalah TVRI, sebuah nama stasiun televisi milik perintahan soekarno telah dianggap mempunyai bahan siaran, meskipun hanya terbatas pada peliputan acara Asian Games IV yang diselenggarakan di Jakarta. Sejak kehadirannya itu, maka siaran televisi di Indonesia ditujukan dan diarahkan untuk mendukung acara-acara kenegaraan yang diselenggarakan oleh presiden Soekarno dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan. Peran Televisi pada masa presiden Soekarno juga ditujukan sebagai alat untuk menggelorakan semangat persatuan dan kesatuan dalam melawan imperialisme barat yang masuk ke Indonesia lewat berbagai macam propoaganda. Tak jarang sepak terjang dari seorang soekarno terekam dari penglihatan kamera TVRI.

Suatu tindakan yang mengejutkan ketika sebuah group band Koes Plus ditahan oleh soekarno, gara-gara group ini sering melantunkan lagunya “Beatles” yang terkenal dengan “Ngak- Ngek- Ngok” suatu istilah penguasa kala itu. Para penguasa negara ini takut kalau lagu tersebut dapat mempengaruhi jiwa kecengengan bagi generasi muda Indonesia. Apa yang dilakukan oleh Soekarnopun dalam hal ini tak lepas dari penglihatan acara TVRI kala itu. Ketika Republik ini mengalami ketegang dengan Malaysia, Televisilah yang mampu menggelorakan semangat suara Soekarno dalam membakar semangat pemuda Indonesia melawan kaum imperialisme dengan cara memobilitas rakyatnya untuk melawan Malaysia dengan istilahnya “Ganyang Malaysia”.

Televisi Republik Indonesia dipakai sebagai alat propaganda oleh Soekarno dalam menggelorakan dan memobilisasi massa untuk melawan imperialime barat

Pada Masa Orde Baru inilah peran televisi sebagai alat penyebar informasi, benar-benar diperhitungkan oleh presiden Soeharto. Arti perjuangan telah direduksi makna serta nilai teks medianya demi memperpanjang kekuasaannya dari tangan orang lain. Dengan strategi khusus yang diwakili oleh tangan mentri penerangan sebagai perpanjangan dari pikiran Soeharto sebagai pucuk pimpinan tertinggi Republik Negeri ini. Lewat mulut Harmoko selaku mentri penerangan kala itu, dan dikenal juga oleh beberapa kalangan sebagai mantan wartawan yang terkenal mempunyai ketrampilan mengolah kata-kata dalam merekam kemauan majikannya untuk disebarluaskan kepada masyarakat luas. Hampir setiap minggu selepas rapat kabinet, sang penjaga gawang Departemen Penerangan Republik Indonesia ini, melantunkan suaranya yang khas dan disertai senyumannya sambil melihat catatannya yang ada didepan meja berkata “Menurut petunjuk bapak presiden……. Dan seterusnya…dan seterusnya…”. Begitulah hampir setiap minggu orang nomor satu di Depen itu berkoar menyebarkan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya, dihadapan jutaan pemirsah dengan waktu yang pas yaitu jam 19.30 WIB selepas siaran berita. Perencanaan waktu siaran pers sangatlah matang, karena pada jam-jam tersebut, merupakan waktu yang tepat bagi seluruh keluarga di Indonesia sedang santainya melihat tayangan televisi yang satu-satunya hiburan kala itu. Penanaman kepercayaan rakyat terhadap pemimpinya harus “Dibutuhkan cara dan tehnik untuk menyebarkan dan mempromosikan ideologi. Ideologi bisa disebarkan dengan paksaan dan kekuasaan…” (Ellul. 1973: 194). Kenyataan ini menjelaskan bahwa Ideologi yang disebar luaskan lewat tayangan televisi, adalah melalui sistem kekuasaan. Dengan kekuasan media yang ada dalam genggamannya, maka ideologi yang ditanam lewat tayangan tersebut dapat terserap dengan sendirinya bersamaan dengan penangkapan pesan yang dikomunikasikan.

Harmoko sedang berdialog dengan Sang Majikan, mendengar secara serius apa yang diucapkannya sebagai bahan untuk menyebar luaskannya di media massa yang menjadi wewenangnya

Tidak berhenti di sini saja pikiran seorang yang bernama Harmoko, dalam menservis majikannya supaya dikenal rakyatnya, suatu acara “dialog” presiden Soeharto dengan para petani dan disertai pula “Panen Raya” yang diselenggarakan diberbagai tempat di seluruh wilayah Indonesia dengan nama “Kelompencapir” itu, merupakan upaya Harmoko dalam meyakinkan rakyat percaya, bahwa sang presiden merupakan pimpinan yang merakyat dan berbaik hati kepada kaum yang lemah. Lewat dialog inilah pencitraan Soeharto mulai tumbuh di hati rakyatnya, dengan senyumnya yang khas disertai mata yang segaris itu, suatu ketika dalam acara dialog petani di sebuah desa berkata : “Saya memahami keluhan saudara, maka dari itu saya sumbangken seekor sapi unggul…dan setusnya…dan setusnya…”. Hampir setiap acara siaran berita dan laporan khusus dipakai ajang untuk mempropagandakan kepentingan-kepentingan kekuasaan lewat program-program yang direncanakan melalui “Pelita”, walaupun dalam implementasinya sering bersentuhan dengan ketidak adilan, penindasan, penekanan terhadap rakyat. Inilah hasil kerja seorang Harmoko dalam memanipulasi gambar-gambar media televisi yang ditayangkan dan memonopoli peredarannya hingga “sang tuan” mengangkatnya kembali di posnya sampai beberapa kali pergantian kabinet.

Kehadiran Presiden Suharto di tengah masyarakat melalui dialog dan diteruskan dengan panen raya di sebuah desa yang disiarkan langsung oleh TVRI merupakan upaya pencitraan dirinya guna mendapatkan simpati dari rakyatnya

Era reformasi merupakan masa kebebasan pers, di mana kemunculannya ditandai dengan banyak bercokolnya perusahaan yang bergerak di bidang media, baik cetak maupun elektronik, termasuk banyaknya stasiun televisi swata yang tumbuh dan berkembang di masa kebebasan ekspresi ini dikumandangkan. Berbagai macam program  televisi diciptakan secara menarik hasil sentuhan manipulasi image dengan bantuan teknologi yang berkembang, hingga masyarakat tak terlepas dari peran televisi sebagai bagian dari kehidupannya. Peran besar dari televisi yang menyedot perhatian paling banyak dibandingkan dengan media elektronik lainnya ini, juga tak luput dari kepentingan penguasa periode berikutnya. Siaran berita yang menjadi kebutuhan informasi masyarakat, dengan segudang rekaman peristiwa yang bertebaran di seluruh Indonesia bahkan dunia itu, telah banyak menyedot perhatian masyarakat yang haus akan informasi. “suatu cara untuk mencapai kekuasaan dengan cara memanipulasi secara psikologis suatu kelompok atau massa, atau dengan cara menggunakan kekuatan ini dengan dukungan dari media massa” (Marlin, 2002: 19).

Kenyataan ini menegaskan bahawa suatu kekuasaan itu akan langgeng, jika di bantu dengan memanipulasi dari penayangan gambar. ketika peristiwa meledaknya BOM di kuningan membuat masyarakat dalam waktu yang bersamaan tercengang didepan televisi dari berbagai sudut kota atau desa, semua mengarah pada peristiwa yang terjadi. Dengan simpatik Megawati kala itu sebagai presiden, mengunjungi para korban melalui adegan berjabatan tangan dengan para korban, Mega berakting di depan kamera sebagai lensa terdepan sebuah penayangan siaran televisi, seolah-olah Sang Presiden sedang prihatin. Dominasi gambar-gambar bernuasa merah hampir setiap hari menghiasi pemberitaan televisi, terlepas ini kepentingan negara apakah kepentingan partai yang notabene sebagai ketua umumnya itu. Lain lagi pada masa pemerintahan Gus Dur, peran televisi juga menjadi senjata. Ketika negara dalam keadaan bahaya, dampak dari perseteruan antara presiden dengan DPR, televisilah sebagai alat pertempuran pernyataan dari masing-masing yang bertikai. Akibatnya acara televisi menjadi ajang pertempuran antar berbagai macam kepentingan, hingga keluar pernyataan Gus Dur yang terkeras era itu, bahwa dia akan mengacam mau membubarkan DPR. Sebelum hal tersebut terjadi, DPR dengan dukungan mahasiswa terlebih dulu memaksa Gus Dur untuk lengser dari jabatannya. Dan ironisnya adalah seorang Amin Rais yang mengangkatnya karena dinilai sebagai seorang bapak bangsa, dan ditangan Amin Rais pula Sang Presiden Jatuh tersungkur dengan paksaan. Lain lagi cerita dari seorang yang bernama singkat SBY, televisi lagi yang menjadi acuan dalam mempopulerkan namanya dalam kanca perpolitikkan di Indonesia. Oleh karena itu SBY tak henti-hentinya memoles dirinya berhadapan dengan kamera agar tampil elegan dari lawan politiknya. Iklan televisi SBY menggiring jutaan pikiran pemirsa untuk percaya kepadanya melalui sebuah pencitraan “Bersama Kita Bisa”, hingga akhirnya televisi bisa mengantarkan seorang SBY memegang tali kekuasaan tertinggi di Indonesia.

2. Kekuasaan Dibalik Manipulasi Gambar Televisi dan Film

Pada awalnya di masa pemerintahan orde baru, rakyat dengan suka cita menyambut gagasan pemulihan yang menyangkut berbagai macam aspek diantaranya ekonomi, politik, sosial, budaya dan psikologi rakyat dari keterpurukkan orde lama. Sedikit demi sedikit pemulihan itu telah ditunjukkan oleh presiden Soeharto ke arah kemajuan dengan merancang pembangunan Indonesia seutuhnya lewat “REPELITA”. Siaran Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang merupakan televisi satu-satunya di republik ini, benar-benar diupayakan untuk mendukung pembangunan yang dirancang oleh pemerintah. Hampir tiap hari pemberitaan disebar luaskan tentang keberhasilan pemerintah dalam memulihkan perekonomian nasional serta bidang lainnya. Televisi saat itu merupakan corong dari pemerintah yang memberikan penerangan kepada rakyatnya tentang segala hal berkaitan dengan penyelenggaraan berkehidupan, bermasyarakat dan bernegara. Hal inilah yang dikemukakan oleh Kaum Marxis “… nilai-nilai yang menguntungkan orang-orang yang menjalankan masyarakat, tentang ide-ide yang berkuasa sepanjang masa merupakan hasil dari ide orang yang berkuasa…”. (John Storey, 2003)

Lewat tangan Departemen Penerangan Republik Indonesia, segala hal yang berkaitan dengan penyebaran informasi baik berupa kata-kata maupun gambar semua dikontrol oleh Departemen Penerangan yang dikomandoi oleh Harmoko. Hal ini berarti segala macam bentuk karya seni budaya diantaranya puisi, lagu, film, televisi, Koran, majalah serta publikasi lainnya di bawah garis kontrol pemerintah melalui kepanjangan tangan Depen. Bentuk-bentuk karya yang dihasilkan harus di arahkan pada sikap mendukung atau propaganda program-program yang direncanakan oleh pemerintah. Segala bentuk penyelewengan dari aturan yang ditetapkan, akan berdampak pada pembredelan atau pembekuan izin penyelenggaraan. Dampak dari aturan itu, menyebabkan para pekerja seni atau pers tidak bisa berbuat banyak selain mengikuti anjuran dari Depen, kalau kebutuhan akan kelangsungan perusahaan media itu tidak mau dibredel hingga dampaknya bisa menyumbat dapur ngebul para karyawannya di rumah.

Pergantian presiden dari periode satu ke periode berikutnya dengan berbagai macam karakter kepemimpinannya, tak luput dari peran media televisi yang pernah berjasa melambungkan namanya ke ruang publik hingga mencapai kursi nomor satu di negeri ini.

Era teknologi telah diterapkan pada dunia media, televisipun sudah menampakkan dirinya semakin cantik dengan gambar yang berwarna warni menghiasi layar kaca. Pada periode ke 4 pemerintahan orde baru, pers yang menjual tentang kebenaran informasi semakin ditekan oleh pemerintah. Termasuk siaran televisi swasta yang menjadi saingan televisi pemerintah itu harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Perusahaan media baik cetak maupun elektronik harus tunduk dan mendukung program dari pemerintah, jika media itu tidak mau dibredel. Bagi perusahaan yang gigih memperjuangkan kebenaran informasi dan kebebasan berekspresi serta berani mengkritisi segala penyelewengan pemerintahan, akan berurusan dengan pembredelan seperti majalah “Tempo”, Tabloid “Detik” dan Koran “Sianr Harapan”. Dari belajar pengalaman media cetak tersebut, maka industri media elektronik lewat televisi swasta ini lebih baik diam, dari pada perusahaan yang mempunyai nilai investasi besar itu terkubur dalam-dalam di kotak kaca yang gelap. Akibatnya siaran pemberitaan yang ditayangkan adalah bersumber pada hal-hal yang baik tentang aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah. Pada waktu-waktu tertentu televisi swasta harus merilis TVRI misalanya laporan kunjungan presiden ke daerah tertentu termasuk siaran kenegaraan lainnya

Beberapa media cetak Tempo, Detik dan Sinar Harapan yang terbit di masa orde baru dibredel penerbitannya,  dikarenakan isi pemberitaan yang diinformasikan kepada masyarakat dianggap membahayakan posisi pemerintah yang berkuasa pada masa itu.

Untuk program hiburan, televisi swasta tidak boleh menyiarkan siaran musik atau sastra ke dalam layar kaca yang isinya membahayakan kestabilan negara. Dengan alasan demi terjaganya stabilitas nasional, maka sepak terjang televisi di Indonesia dalam menggarap program acaranya dikendalikan oleh Departemen Peneranganyang mempunyai pengaturan tentang suatu informasi. Pelarangan musik yang mengandung kritik sosial itu juga dialami oleh musikus kondang diantaranya adalah “Iwan Fals”, “Sawung Jabo”, “Swami” serta sastrawan “WS, Rendra”. Musikus “Iwan Fals” yang lagu-lagunya sangat pedas mengkritisi pemerintah juga dicekal, tidak saja dicekal di dalam televisi, tetapi juga dicekal di panggung. Setiap kali pertunjukkan Iwan Fals selalu berurusan dengan polisi dan kodim setempat dimana dia manggung, hanya lagu-lagu yang baik saja boleh dinyanyikan, dan Semua lagu-lagu yang dianggap membahayakan bagi pemerintahan ditidurkan dulu di dalam kaset.

Musikus kondang “Iwan Fals” dan ”Sawung Jabo” sempat dicekal masuk ke layar televisi, karena syair-syair lagunya dianggap membahayakan kedudukan pemerintah rezim Soeharto

Demikian juga sastrawan kondang Si Burung Merak “WS Rendra” dilarang masuk ke televisi pada acara tertentu yang menyangkut dirinya beraktifitas dengan pembacaan puisi. Karya-karya rendra dianggap membahayakan bagi kedudukan pemerintahan di mata masyarakat. Oleh karena itu setiap aktifitas rendra sering mendapat kontrolan dari Depen, polisi serta kodim setempat. Ketika “WS Rendra” bergabung dengan group musik “swami” rendra dan kelompok inipun dilarang tampil di televisi. Pada saat Setiawan Jodi mendirikan “Katata Taqwa”, barulah rendra bisa main di layar televisi. Penampilan rendra di televisi bersama Kantata Taqwa pada siaran lansung di Gelora Bung Karno itu disebabkan pengaruh dari setiawan Jody, dimana ada ikatan keluarga dengan presiden Soeharto, sehingga pemerintah mengganggapnya penggabungan “WS Rendra” dengan “Kantata Taqwa” hal yang biasa.

Penampilan Si Burung Merak alias WS Rendra yang garang dalam setiap pementasannya, membuat Sang Penguasa sering khawatir.

Pada era masa orde baru inilah peran karya-karya audio visual entah dalam bentuk televisi, iklan televisi maupun film, semua diarahkan untuk kepentingan penguasa. Segala upaya yang dilakukan hanya untuk “pencitraan” sang penguasa kepada masyarakat, walaupu disana sini terjadi benturan-benturan yang menyangkut ketidak adilan. Namun dengan senjata demi stabilitas keamanan negara, apapun bisa dipatahkan dengan seenaknya tanpa ada penjelasan sepantasnya. Penanaman pencitraan yang telah direduksi serta dimanipulasi makna-makna yang tersirat di dalam media adalah sebagai penyebar ”Ideologi yang dimedia-massakan dibenarkan dan diperkuat oleh suatu sistem keagenan yang saling terkait dan efektif dalam mendistribusikan informasi dan praktek-praktek sosial yang sudah dianggap semestinya, yang meremberi segala aspek realitas , sosial dan budaya.” (Iwan Gunawan, 2010). Semua media yang terpancar di negeri ini, hanyalah sebagai corong yang keras teriakannya atas kepentingan orang yang dikultuskan sebagai presiden yang terbaik, anak desa yang memimpin dengan tegas serta sederetan mutiara kata yang memuji-muji sang jendral bintang lima itu. Lihatlah nyanyian artis Titik Puspa dengan syair-syairnya yang tinggi sebagai “Bapak Pembangunan”. Lihatlah Film Janur kuning dan G30S/PKI, sebuah karya film kolosal hasil kerja para seniman-seniman besar negeri ini di mana isi ceritanya bisa dimanipulasi dengan pengkultusan jasa jasa dari seorang jendral bintang lima yang telah berhasil menyelamatkan negara dari tangan para pengkianat yang notabene atas pesanan dari orang nomor satu negeri ini. Ataukah kerjaan spesial bagi orang-orang penjilat yang ingin cari muka di hadapan tuannya. Hebatnya lagi dari hegemoni ini adalah bahwa setiap anak sekolah dari SD sampai SMA diwajibkan melihatnya melalui tangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga gedung-gedung pertemuan diseluruh Indonesia disulap menjadi “gedung bioskop musiman” untuk melayani penonton yang luar biasa animonya, walaupun ada unsur pemaksaan. Dari sinilah kegiatan kodim setempat meningkat draktis menjadi karyawan-karyawan bioskop musiman atas nama pengelolah tunggal Primer Koperasi Angakatan Darat atau sering disebut PRIMKOPAD itu.

Sebuah film kolosal yang mengkultuskan seorang Soeharto berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda serta penyelamatan negara dari ancaman Ideologi Komunis yang akan menguasai

Setelah Orde Baru tumbang, saat itu pulalah kekuasaan otoriter selama 32 tahun berkuasa, masuklah pada masa orde reformasi, di mana pada era ini sarana komunikasi dibarengi dengan peran teknologi atas terselenggaranya siaran televisi semangkin canggih. Disamping pentingya keberadaan serta peran dari satelit komunikasi sebagai penghubung transmisi antara lokasi kejadian dengan stasiun pemancar hingga terselenggaranya siaran langsung, juga didukung dengan teknologi penciptaan gambar yang bergerak semakin menarik. Era reformasi merupakan masa kebebasan pers, ditandai dengan bermunculnya perusahaan yang bergerak di bidang media baik cetak maupun elektronik, termasuk banyaknya stasiun televisi swasta yang tumbuh dan berkembang di masa kebebasan ekspresi ini dilancarkan. Berbagai macam program televisi diciptakan hingga masyarakat tak terlepas dari peran televisi sebagai bagian dari kehidupannya. Peran besar dari televisi yang menyedot perhatian paling banyak dibandingkan dengan media elektronik lainnya ini, juga tak luput dari kepentingan penguasa saat ini. Siaran berita yang menjadi kebutuhan informasi masyarakat, dengan segudang rekaman peristiwa bertebaran di seluruh Indonesia bahkan dunia telah banyak menyedot perhatian masyarakat yang haus akan informasi.

Era reformasi merubah gaya perpolitikan di Indonesia. Pada masa Orde Baru terlihat monotone jalannya, karena suasana yang menuntut perjalanannya memang harus  demikian. Keruntuhan rezim Soeharto membawa perpolitikan Indonesia semakin ramai. Partai-partai baru bermunculan, mereka berebut massa pemilih untuk memenangkan pemilu. Menjelang pemilu televisi dipenuhi dengan beragam gambar-gambar yang mengundang perhatian publik. Berbagimacam warna hasil iming-iming dari banyaknya partai membuat kita dibuat pusing untuk memilihnya nanti. Kita tidak bisa mendeteksi mana omongan benar dan mana omongan kegombalan yang mendatangkan kebohongan publik. Lihatlah peta periklanan politik Indonesia, menjelang pemilu 2009 kemarin jauh lebih semarak ketimbang pemilu tahun 2004 atu pemilu-pemilu sebelumnya yang pernah terselenggara di negeri ini. Suasana kompetisi untuk merebut pemilih semakin tinggi intensitasnya. Berbagai macam aktifitas partai yang bertanding hampir menghiasi pemberitaan di layar kaca.  Semua yang diomongin penuh dengan janji warna-warni, demi kemakmuran rakyat, demi kesehatan rakyat, pendidikan gratis, pekerjaan dengan investor besar, serta sederetan kata-kata manis yang notabene mengatasnamakan rakyat, namun dibalik itu semua hanyalah sebagai wacana dalam memanjakan demokratisasi yang kebablasan ini. Beragam program ditawarkan melalui juru kampanye yang berteriak di tengah bolong dalam hiruk pikuk sorak sorai disertai goyangan penyanyi dangdut yang seronok di hadapan massa yang siap berganti kustum sewaktu-waktu itu, atas permintaan sang tuannya dikarenakan ada imbalan uang di dalamnya, telah mengumbar janji-janji demi kesejateraan rakyat. Namun pertanyaannya apakah sudah dipikirkan dan disiapkan strategi dan taktik pencapaiannya? Bagaimana menggalang dana pembangunan untuk itu? Bagaimana strategi kebijakan moneter dan fiskalnya? Kenyataannya adalah kata ”mbelgedes” bagi para partai yang tidak bisa memenuhi apa yang mereka ucapkan sewaktu kampanye. Gambar-gambar itulah yang muncul setiap hari dihadapan mata kita menjelang pemilu. Gambar yang kita lihat baik, namun dibalik itu semuanya terungkap hanyalah kegombalan belaka. Inilah cara kerja Propaganda yang disenangi oleh orang-orang yang ingin berkuasa, dengan mempengaruhi secara halus agar mangsa yang diincarnya terbius dalam rayuannya.

Pergantian pemimpin dari periode ke periode lainnya, tak akan lari dari peran media yang akan mengantarkanya ke ruang publik. Lihatlah pada era kepemimpinan Abdulrahman Wahid yang lebih populer dengan sebutan Gus Dur itu, suasana kepresidenan dibuat lain dari biasanya dalam budaya kepresidenan selama ini akibat berbagai pernyataan yang mengundang kontroversial, sehingga membuat repot orang-orang prokotoler istana. Berbagai macam gambar-gambar gaya presiden dalam mengeluarkan kekontroversialan sebuah pernyataan, menimbulkan opini baru dalam masyarakat yang menyaksikan tayangan tersebut, tentang sepak terjang presiden yang terkenal dengan kata-kata ”Gitu aja…., Kok Repot !!! ….”. Perseteruan Presiden dengan DPR membuat gambar-gambar di televisi semakin panas. Media televisi yang menjadi sebuah ruang publik, di mana pemanfaatnya seharusnya menguntungkan orang banyak itu, kini dijadikan arena pertempuran pernyataan, entah atas nama negara, partai atau individu hingga pada akhirnya kekuasaan presiden lengser dengan cara pakssaan. Sama saja kepentingannya, kenaikan Megawati pada pucuk pimpinan tertinggi pemerintahan negara ini tak lepas dari peran media dalam mempopulerkan namanya ke panggung perpolitikan Indonesia. Warna-warni pernyataan tentang perbaikan kebobrokan negeri ini, dari berbagai sistem dalam pemerintahan layak dikoreksi, demi kepentingan rakyat. Namun pengkoreksian itu ”mbok…ya..ho… proporsional, jangan asal bicara saja…”, sambil menunukkan jari ke depan kamera, kata orang nomor satu negeri ini dan sekaligus partainya wong cilik itu. Perseteruan Megawati dengan bawahannya membuat SBY mengundurkan diri dari jabatan mentri, dan menyatakan ”bertarung” dalam pemilihan presiden berikutnya. Pertarungan inilah yang dibaca oleh Industri media televisi sebagai moments yang menyedot banyak orang. Maka menjelang pemilu propaganda yang terselip berbagai macam manipulasi gambar turut mewarnai sudut ruangan dimana televisi itu bertengger. Hampir setiap hari mata kita disuguhi gambar-gambar yang menjual janji-janji sebagai penarik massa dalam pencarian target pemilih yang dilansir atas intruksi para petinggi partai yang bertarung. Pemanipulasian gambar bisa terjadi dalam setiap penayangannya, betapa tidak karena gambar-gambar yang tersaji di layar kaca tak dapat dideteksi kebenarannya, apakah gambar ini terjadi kemarin, lusa, minggu lalu atau sebulan bahkan setahun yang lalu, kita tak pernah tahu dan tak pernah juga memikirkannya. Itulah cara media mengemasnya dan memanipulasi gambar demi tercapainya kepentingan mereka. Mungkin pertanyaan muncul, lalu pengemasan dan pemanipulasian gambar itu dilakukan dan untuk kepentingan siapa ?. Ini merupakan simbiosis mutualisme dalam industri media, penguasa bisa menanamkan penctriaan ke rauang publik dan media mendapatkan pemirsa banyak yang pada akhirnya bertenggernya iklan komersil pada televisinya. Inilah yang dikatakan oleh Jean Seaton tentang Determinisme “bahwa kekuasaan media diterapkan secara berkolusi dengan kelas yang berkuasa”. Detik-detik terakhir tentang pencalonan presidenpun dibanjiri oleh berbagai media dengan sikap rela menunggu berjam-jam, tanpa ada rasa paksaan guna mengiformasikan ke ruang publik tentang penyataan sikap partai, hingga pencalonan resmi dikumandangkan oleh KPU sebagai penyelenggaranya. Selesailah sinetron demokrasi Indonesia yang telah ditayangkan berbulan-bulan itu dan akhirnya keputusan KPU mengantarkan SBY ke pucuk pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia yang kedua kalinya

Berbagai macam gambar menjelang detik-detik pemilu menghiasi layar kaca menjual janji-janji demi kepentingan rakyat itu, membuat kita bingung untuk memilihnya.

3. Berperannya Teknologi Digital dalam Perekayasaan Gambar

Peristiwa bertengkarnya para tokoh dari berbagai partai pada rapat pari purna Dewan Perwakilan Rakyat yang menyedot banyak orang itu, sangatlah menarik untuk diperhatikan lewat media televisi, dari pada media cetak. Ekspresi para anggota DPR yang lari dari kursinya menuju ke mimbar ketua sambil gebrak meja, Ekspresi para ketua dan wakil ketua yang kalut dan ketakutan. Para anggota yang saling cakar, sikut dan jotos serta teriakan makian liar antar anggota merupakan kumpulan wajah-wajah ekspresi yang sulit di dapatkan, dalam sidang-sidang sebelumnya atau sesudahnya. kesemuanya itu tampak hidup dan begitu nyata dalam penglihatan kita, sambil berkata ”iki…opo…meneh…???”.

Katheleen Hall Jamieson menyebut ”kekuatan televisi ini sebagai dramatisasi dan sensasionalisasi isi pesan”. Pada pandangan lain Irving Kristol menyebutkan ”Apa yang dapat dilakukan oleh televisi, dengan kekuatan yang luar biasa, adalah memobilisasikan emosi pemirsa di sekitar gambaran dunia politik yang hidup, disederhanakan dan bersifat melodramatik di mana pujaan dan kutukan menjadi kutup-kutup magnetiknya”. Pernyataan ini didasari dengan asumsi bahwa kekuatan televisi dapat membangkitkan pemirsa untuk meyakini suatu peristiwa yang mendramatisasi suasana lewat gambar-gambar yang telah direduksi hingga menimbulkan suatu pertentangan dan pujian diantara persepsi yang ditimbulkan.

Visualisasi suatu peristiwa yang terjadi di masyarakat dan disiarkan melalui tayangan televisi, sebetulnya bukanlah suatu realitas yang sebenarnya seperti ketika kita menangkap obyek tepat di depan mata. Deretan ribuan bahkan jutaan frame-frame dari realitas itu merupakan sesuatu yang sudah diolah dan dikemas sedemikian rupa hingga pemirsa tanpa sadar bahwa gambar yang dilihatnya itu adalah suatu kebohongan yang tersembunyi. Inilah kesamaan yang diungkapkan oleh “kaum Aliram Marxixsme Frankfurt tentang kesadaran palsu berdasar pada Penguraian penciptaan ide yang palsu tentang berbagai nilai serta makna yang ada didalamnya serta hubungan sosial di dalam lingkungan masyarakat dibentuk oleh kekuasaan media”. (Graeme Burton. 2008).

Perekayasaan media televisi dilakukan melalui empat tahapan dalam mevisualisasikan ke hadapan pemirsa. Keempat tahapan itu adalah Tangan pertama adalah kamera, di mana kamera merekam kejadian atau peristiwa dengan berbagai macam teknik di dalamnya menyangkut Camera Angle, Type Of Shot, serta moving Camera denga realitas yang ada. Tangan ke dua adalah Editing, pada proses editing atau juga disebut penyuntingan itu merupakan proses perekayasaan gambar. Disinlah gambar-gambar hasil rekaman kamera dengan segala kerealitasannya itu dimanipulasi sesuai dengan kehendak gari institusi (dapat juga diterjemahkan para pemesan). Tangan ke tiga adalah Televisi, merupakan tempat atau wadah penampungan suatu peristiwa. Peristiwa yang sesungguhnya besar seperti gedung-gedung tinggi begitu masuk dalam media televisi menjadi kecil. Pada tangan ketiga ini proses manipulasi juga terjadi seperti yang dilakukan para presenter selaku pembawa acara. Perkataan-perkataan persuasif maupun provokatif yang bisa memancing emosi pemirsa dapat terbukti kebenarannya. Dan Tangan ke empat adalah sikap dari pemirsa, disinilah persepsi pemirsa muncul terhadap deretan gambar yang dilihatnya. Hasilnya dapat diketahui ketika pemirsa terbius dalam pesan, maka dia menjadi korbannya dan sebaliknya. Ketika pemirsa dengan sadar menangkapnya bahwa itu adalah tipuan media, maka tak akan menjadi mansa dari media. Untuk yang terakhir ini sangat sedikit jumlahnya, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melawan dari keganasan media televisi.

gambar di televisi bukanlah suatu realitas yang sebenarnya, akan tetapi sudah mengalami perekayasaan dengan menggunakan teknologi digital sehingga terlihat begitu realitas. Kampanye yang kosong pesertanya disulap di televisi menjadi membludak. Lihatlah calon DPR yang mengubah dirinya menjadi superman sebagai orang yang selalu meenolong manusia yang tertindas.

4. Hadirnya Kekuatan Pengontrol

Dibaliknya banyaknya stasiun televisi yang berorientasi pada penciptaan gambar alah kadarnya dan pada program acara apa adanya, maka telah terlahir sebuah stasiun televisi yang berani mengkritisi kekuasaan tertinggi pemerintah negeri ini dikomandoi seorang SBY yang mantan prajurit angkatan darat itu. Program acara yang digelar merupakan perpaduan antara informasi dan sistem nalar, sehingga hasil program acaranya memberikan pencerahan hidup dan mempertajam penalaran dalam menyikapi suatu proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebuah stasiun televisi yang mempunyai lambang burung eleng itu, telah banyak menyumbangkan berbagai macam solusi untuk memperbaiki negeri ini. Kehadiran Metro TV tepat dalam momentum gencarnya arus globalisasi yang membawa berbagai macam informasi serta dampak yang ditimbulkan menimpah negeri ini. Namun Metro TV tetap konsisten dengan prinsipnya sebagai stasiun televisi yang berfungsi memberikan ”pencerahan hidup” kepada bangsa ini dari belenggu kebodohan dan sistem pemerintahan yang sedang sakit dalam stadium yang memprihatinkan, dengan menghadirkan beragam acara yang berkualitas untuk mengasah kecerdasan rakyat dan pengasahan daya nalar tinggi dalam rangka mengkritisi pemerintahan yang berjalan. Narasumber yang dihadirkanpun orang-orang yang berkualifikasi tinggi dalam bidangnya hingga pembicaraan yang disiarkan sangat berbobot. Kehadiran Metro TV milik dari raja media si brewok yang terkenal nasionalis itu, bertujuan sebagai kontrol atas kinerja pemerintahan yang syah. Siapapun presidennya dan apapun partainya dia akan berhadapan dengan kritikan-kritikan yang pedas dari narasumber yang dihadirkan dalam forum acara yang dipandu dengan presenter yang cerdas melontarkan atas pertanyaan-pertanyaan dari berbagai macam kasus yang menimpah negeri ini.

Program Acara Metro TV adalah program tayangan televisi yang dilandasi dengan misi dari televisi sebagai alat pencarahan masyarakat, sehingga hasil tayangannya memberikan sumbangan pemikiran tentang solusi memperbaruhi sistem pemerintahan yang sedang sakit dalam stadium yang memprihatinkan.

Televisi memang pengaruhnya sangat dahsyat terhadap psikologi masyarakat,  karena media yang satu ini selain murah meriah, namu dampak yang ditimbulkan, dapat mempengaruhi sugesti masyarakat hingga apa yang mereka terima jadi bahan renungan dan kajian untuk berbuat sesuatu dikemudian hari. Tidak semua tayanag dari televisi adalah cerminan suatu realitas kehidupan kongkrit, namun kebanyakkan adalah hasil manipulasi dari beragam kepentingan dari kelas-kelas dominan negeri ini. Banyak segala aktifitas yang kita perbuat entah itu kebaikkan atau keburukkan bersumber dari apa yang pernah ditonton lewat televisi. Begitu panjang perjalanan media televisi atau bentuk lain dari karya audio visual pertumbuhan negeri ini, menyertai dan melayani berbagai macam kepentingan politik dari generasi ke generasi dari orde lama, orde baru maupun orde reformasi dan entah orde apa lagi yang akan terjadi dengan warna-warni versi pemerintahan. Karena peran televisilah bangsa ini menjadi bangsa yang kuat menjalani kehidupan dan cerdas menanggapi suatu permasalahan yang terjadi. Segala macam dampak yang ditimbulkan dari media televisi ini, dan berbagai macam kalangan terkait haruslah sadar dan jernih melihatnya, sesuatu yang terlontar dalam rana publik dan beruba menjadi wacana, bukanlah dianggap sebagai musuh yang merongrong kewibawaan pemerintah atau institusi laianya, hingga berdampak pada saling menyerang antara kepentinngan satu dengan kepentingan lainnya.

Sudah menjadi kewajiban kita bersama, khususnya kalangan yang berpendidikan tinggi saling mengingatkan, bahwa tak semua tayangan yang tercermin di dalam televisi mempunyai nilai kebaikan, bahkan ada yang sampai menyesatkan. Perekayasaan gambar-gambar hendaknya dilakukan dengan cara yang persuasif, meskipun tidak mengurangi isi pesan yang dikandungnya. Kini tergantung kita semua bagaimana menyikapinya. Hendaknya segala tayangan yang ada dicerna secara mendalam dikaji sisi positifnya untuk kemudian ditransformasikan dengan budaya kita sendiri. Seandainya semua insan negeri ini setia penanmkan budaya kita yang luhur dan santun dalam berbicara atau bertindak itu secara mendalam dan memaknainya secara benar dalam sanubari, maka niscaya sikap permusuhan dalam berpolitik dan menghalalkan cara lewat tayangan televisi yang mengundang ketik sehatan dapat dihindari, atau paling tidak dapat diminimalisir kadarnya.

 

Daftar Pustaka :

Burton, Graeme. 2008. Media dan Budaya Populer. Penyadur: Alfathri Adlin. Yogyakarta: Jalasutra.

Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Ralita Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: MU:3.

Susanto, AB. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis. Jakarta: Toko Buku Kompas Media Nusantara.

Rahardi, Kunjana. 2000. Renik-Renik Peradapan. Yogyakarta: Duta Wacana Univercity Press.

Storey, Jonh. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Penyunting: Dede Nurdin. Yogyakarta: Qalam.

Al-Barry, MDJ. Sofyan hadi. 2000. Kamus Ilmiah Kontemporer. Bandung: Pustaka Setia.

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Surbakti, EB. 2002. Awas tayangan Televisi: Tayangan Misteri dan Kekerasan Mengancam Anak Anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Riswandi. 2009. Dasar-Dasar Penyiaran. Jakarta: Graha Ilmu.

Mulyana, Dedi, Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Arifin, Eva. 2010. Broadcasting: To Be Broadcaster. Yogyakarta: Graha Ilmu.