Dra. Sarah Santi
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Esa Unggul, Jakarta

 

Persoalan perempuan di media massa menyangkut tiga hal, yaitu gambaran atau representasi wajah perempuan yang tidak menyenangkan, keterlibatan perempuan dalam sturktur organisasi media yang belum berimbang dibandingkan dengan laki-laki, dan isi pemberitaan yang tidak sensitif dengan persoalan-persoalan perempuan. Untuk itu, diperlukan jurnalisme yang berpihak pada perempuan, yang dikenal dengan jurnalisme berperspektif gender.

Berbicara soal perempuan dan media massa, pada dasarnya kita berbicara tentang tiga hal. Pertama adalah representasi perempuan dalam media massa, baik media cetak, media elektronik, maupun berbagai bentuk multi media. Sejauh ini media massa masih menjadikan perempuan sebagai obyek, baik di dalam pemberitaan, iklan komersial  maupun program acara hiburannya seperti sinetron. Wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung meng-gambarkan perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban kriminalitas karena sikapnya yang “mengundang” atau memancing terjadinya kriminalitas, atau sebagai obyek seksual. Sementara perempuan dalam iklan tampil lebih sering sebagai potongan-potongan tubuh yang dikomersialisasi karena keindahan tubuhnya atau kecantikan wajahnya. Wajah perempuan dalam program acara hiburan seperti sinetron juga menyudutkan perempuan. Penggambaran dalam cerita-ceritanya seringkali sangat stereotipe. Perempuan digambarkan tak berdaya, lemah, membutuhkan perlindungan, korban kekerasan dalam rumah tangga, kompe-tensinya pada wilayah domestik saja. Atau, justru perempuan yang galak, tidak masuk akal, “murahan” dan bahkan pelacur, bukan perem-puan baik-baik, pemboros, dan sebagainya.

Kedua, persoalan perempuan justru ter-letak pada masih sedikitnya perempuan yang terlibat dalam kerja jurnalistik karena memang selama ini kerja jurnalistik dianggap sebagai wilayah kaum pria. Meski demikian, dari tahun ke tahun jumlah perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis meningkat. Di negara-negara maju, komposisi jurnalis perempuan mencapai 30% – 40% (Jurnal Perempuan, 2003). Sementara, dalam tulisan Bettina Peters yang dikutip oleh Jurnal Perempuan (2003) menguraikan bahwa Interna-tional Federation for Journalist (IFJ) pernah melaku-kan penelitian di 39 negara dan mendapatkan data bahwa prosentase rata-rata dari jurnalis perempuan adalah 38%.  Di Indonesia, berdasar-kan data Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, diperkirakan dari 100.00 jurnalis yang ada, 17% nya dalam perempuan (Venny, 2005).

Meski demikian peningkatan ini perlu dicermati karena keterlibatan para perempuan dalam dunia jurnalistik dan media tidak berarti mereka juga punya kontribusi besar dalam menentukan isu-isu yang harus diangkat dengan sudut pandang para perempuan. Ternyata, jumlah perempuan yang duduk dalam struktur media di tingkat pengambil keputusan tetap masih terbatas. Prosentase perempuan sebagai editor, kepala bidang atau departemen, dan pemilik media hanya berkisar 0,6% saja (Venny, 2005). Keterbatasan ini membawa kita pada persoalan ketiga ketika bicara tentang perempuan dan media massa.

Hal ketiga itu adalah persoalan sejauh mana para pengambil keputusan dalam media massa memiliki sensitivitas gender dalam menen-tukan isu pemberitaan. Hal ini terkait dengan kepentingan kekuasaan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Sayangnya, karena tidak memiliki perspektif gender, media massa sering-kali abai pada isu-isu perempuan dan persoalan gender. Pada akhirnya, representasi perempuan yang ditampilkan dalam media massa semakin memarjinalkan dan mensubordinasi para perem-puan.

Ketiga permasalahan di atas membawa kita lebih jauh pada satu pertanyaan: apakah kerja dan hasil kerja jurnalisme harus bebas nilai? Atau justru harus berpihak pada perempuan?

Jurnalisme dan Perspektif Gender

Para feminis meyakini bahwa media harus berperan dalam menciptakan kesetaraan dan keadilan gender. Karenanya, sebenarnya diper-lukan jurnalisme yang memiliki sudut pandang perempuan, yang dikenal dengan istilah jurna-lisme berperspektif gender. Nur Iman Subono mencoba mendefinisikan jurnalisme berpers-pektif gender dengan mengatakan bahwa itu merupakan: “…kegiatan atau praktek jurnalistik yang selalu menginformasikan atau bahkan mem-permasalahkan dan menggugat terus menerus, baik dalam media cetak (seperti dalam majalah, surat kabar, dan tabloid) maupun media elek-tronik (seperti dalam televisi dan radio) adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, keyakinan jender yang menyudutkan perempuan atau representasi perempuan yang sangat bias jender” (Subono, 2003).

Dengan mengutip May Lan, Subono pun masih mencoba menambahkan pemahaman tentang jurnalisme berperspektif gender. Yaitu praktik jurnalisme yang berupaya untuk  menye-barkan ide-ide mengenai kesetaraan dan keadilan  gender antara laki-laki dan perempuan melalui media.

Dalam tulisannya, Subono berusaha lebih jauh mencoba menunjukkan dua pendekatan kerja jurnalisme, yaitu jurnalisme yang memiliki sensitivitas gender dan jurnalisme yang tidak memiliki sensitivitas gender atau yang disebut sebagai jurnalisme netral gender. Ia memodifikasi sebuah model dari bukunya Eriyanto dimana model tersebut menyebutkan 4 tolok ukur untuk melihat apakah sebuah media melakukan kerja jurnalistik yang netral gender atau berperspektif gender, yang dapat dilihat dalam Tabel 1.  Keempat hal yang dapat dijadikan acuan itu adalah bagaimana media melihat fakta, bagaimana media itu sendiri berusaha memosisikan dirinya diantara berbagai kelompok kepentingan dan akses atas media, bagaimana jurnalis media itu sendiri mengambil posisi dan perannya dalam kerja di media, dan terakhir adalah bagaimana ketiga acuan pertama di atas menjadi dasar meng-olah hasil peliputan dan tampil dalam pem-beritaan. Jika media massa itu memiliki keber-pihakan, maka tampilan hasil peliputan atau pemberitaan memang secara tegas memiliki pers-pektif tersendiri, sementara jika netral gender, maka isi pemberitaan tidak memiliki sudut pan-dang atau perspektif tertentu atas sebuah per-soalan yang memihak kepada perempuan.

Representasi, Partisipasi, dan Akses Perempuan dalam Media

Persoalan representasi perempuan di me-dia, pemberitaan yang memiliki sensitivitas gender, dan jurnalisme yang memiliki keber-pihakan seperti yang terurai di atas pada dasarnya bermuara pada sejauh mana akses perempuan pada media massa. Hal itu masih menjadi per-soalan tersendiri.

Konferensi Tingkat Dunia tentang Pe-rempuan IV di Beijing, China pada tahun 1995 berhasil merumuskan rekomendasi 12 bidang kritis sebagai sasaran-sasaran strategis yang harus dipenuhi Negara. Isi dari rekomendasi yang disebut dengan Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (Beijing Platform for Action) itu antara lain adalah mencapai sasaran strategis bagi perempuan di media massa.  Ada dua sasaran strategis me-nyangkut perempuan dan media massa, yaitu :

  • meningkatkan partisipasi dan kesempatan perempuan untuk berekspresi dan mengambil keputusan di dalam dan melalui media massa serta teknologi-teknologi komunikasi yang baru
  • memajukan gambaran-gambaran yang seim-bang dan tidak klise tentang perempuan dalam media. (Lembar Info Edisi 25, http://www/lbh-apik.or.id/fac-25.tm, diakses 31 Oktober 2006)

Perempuan dan media massa menjadi salah satu dari 12 bidang sasaran strategis BPFA+10 itu dikarenakan pada kenyataannya  identitas dan representasi perempuan di media massa masih menunjukkan kuatnya stereotipe terhadap perem-puan akibat budaya partriakhal selain juga perem-puan sebagai obyek di media massa. Di sisi lain, media massa memang memiliki peranan yang besar dalam mengkonstruksi masyarakat sehingga gambaran tentang perempuan yang muncul di media jika tidak dikritisi akan dianggap natural, wajar, dan bahkan begitulah adanya.
Padahal, jika saja akses perempuan terhadap media tidak terbatas, banyak yang bisa dilakukan oleh mereka yang kritis terhadap identitas dan representasi perempuan dalam media. Keter-batasan akses itu  membuat perempuan menjadi terpinggirkan. Wajah perempuan yang sesung-guhnya tidak tampak dan suara perempuan tidak terdengar karena  terhegemoni oleh kekuasaan dan kepentingan ekonomi yang berbalut nilai-nilai patriarkhal.

Sebuah organisasi non-pemerintah yaitu Indo-nesian NGO Forum on BPFA+10 mengidenti-fikasi hambatan-hambatan perempuan dalam media massa didalam laporan mereka tentang pelaksanaan BPFA+10 itu. Hambatan-hambatan itu adalah sebagai berikut (Achmad, 2005). Pertama, citra perempuan yang tampil dalam iklan-iklan masih seputar kegiatan domestik dan kecantikan. Kedua, program acara televisi juga memberi kontribusi negatif terhadap citra perempuan. Perempuan jarang digambarkan sebagai sosok yang independen, berani dan ter-pelajar dalam sinetron-sinetron televisi. Ketiga, hanya sedikit program acara TV dan radio yang memberdayakan perempuan. Kalaupun perem-puan tampil dalam program acara TV dan radio, lebih mengarah pada kegiatan masak-memasak atau personal grooming. Keempat, media memperlakukan perempuan lebih sebagai obyek yang dieksploitasi, sehingga tubuh perempuan tampil dalam iklan-iklan yang tidak ada hubu-ngannya dengan produk yang diiklankan. Begitu juga pemberitaan-pemberitaan yang tidak sensitif terhadap gender. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan yang besar dalam hal pemahaman dan kesadaran gender. Kelima, bahasa pun kemudian mengkonstruksi stereotipe citra perem-puan di media. Yang terjadi kemudian adalah kerja jurnalistik, melalui bahasa dan pilihan katanya, menampilkan berita-berita kriminalitas yang membuat perempuan menjadi korban berkali-kali dan bukannya memberitakan adanya pelanggaran hak terhadap perempuan. Keenam, tidak adanya program khusus dari pemerintah untuk memperkenalkan dan mempromosikan konsep-konsep kesetaraan dan keadilan gender di media massa. Ketujuh, pemerintah masih belum bisa merevisi sumber hukum yang sangat bias gender yaitu UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Isi undang-undang itu sangat bertentangan dengan CEDAW yang merupakan sebuah konvensi internasional untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kedelapan, perempuan tidak bisa menggunakan pengaruhnya dalam menentukan isi media dan kebijakan-kebijakannya dikarenakan hanya sedikit perempuan yang berada dalam posisi pengambil keputusan di media.

Berangkat dari argumentasi-argumentasi di ataslah kemudian menjadi sangat bisa diterima jika perempuan perlu memanfaatkan media massa untuk memperdengarkan suara dan pengala-mannya dan sekaligus menampilkan wajah perem-puan yang lebih representatif.

Mengapa media massa menjadi sebuah sasaran strategis bagi alat untuk menyuarakan identitas, keterwakilan dan kepentingan perem-puan? Hal ini dikarenakan karakter dan peran media  massa yang khas. Dalam tulisannya, Adriana Venny mengatakan bahwa sejalan dengan perannya sebagai media sumber informasi, pen-didikan, dan hiburan, media massa juga memain-kan peranan penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi (2005). Ia mencontohkan keberhasilan program pemerintah masa Orde Baru yang membentuk “Kelom-pencapir” (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) ketika mensosialisasikan program-pro-gram pertaniannya.

Organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop-ornop) yang memperjuangkan hak perem-puan menyadari bahwa mereka harus memiliki media sendiri untuk menyebarluaskan gagasan tentang kesetaraan dan keadilan gender. Media juga mereka perlukan untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan dan menggalang kesatuan untuk melakukan perubahan. Venny (2005) mencatatkan beberapa ornop perempuan yang memiliki media sendiri untuk tujuan-tujuan meningkatkan partisipasi dan akses perempuan melalui media dan teknologi komunikasi. Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menggunakan media cetak berupa jurnal, website, dan radio dengan memproduksi program acara radio yang memuat isu-isu perempuan dan disiarkan oleh 167 stasiun radio. Selain itu YJP juga membuat film dokumenter tentang perempuan di wilayah konflik dan perdagangan perempuan. Selain itu, banyak ornop-ornop perempuan yang memiliki dan menggunakan media newsletter sendiri untuk menyebarluaskan kesadaran dan isu-isu gender.

Meski ornop-ornop perempuan itu telah begitu baik memanfaatkan industri media untuk menjalankan peran mereka, Venny memberikan catatan pula bahwa nyaris tidak ada dukungan dari pemerintah, industri iklan dan para pembuat kebijakan dalam industri media atas apa yang mereka lakukan. Tidak heran jika upaya gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender masih memiliki kendala hingga kini. Karenanya, diper-lukan sebuah media alternatif yang luas jang-kauannya dan mampu membawa pada peru-bahan.

Referensi:
Amiruddin, Mariana,  (Ed), ”Mendengarkan perempuan”, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2004.

Andy, Yetriani, dan Lisa Bona (Ed.),  ”Diskusi radio jurnal perempuan: suara demokrasi, budaya, dan hak-hak perempuan”, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 1999.

Eriyanto, ”Analisis framing: konstruksi, ideologi, dan politik media”, LkiS, Yogyakarta, 2002.
http://www.lbh-apik.or.id/fac-25.htm, diakses pada tanggal 31 Oktober 2006.

Irigaray, Luce, ”Aku, kamu, kita: belajar berbeda”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2005.

Jurnal Perempuan, ”Perempuan dan media”, No. 28, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003.

Kusumaningrum, Ade, ”Radio, media alternatif suara perempuan?”, Dalam Jurnal perempuan. No. 28, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003.

Leclerc, Annie, ”Kalau perempuan angkat bicara”, Kanisius, Yogyakarta, 2000.

Santi, Budie, (Ed), ”Perempuan bertutur: Sebuah Wacana Keadilan Gender dalam Radio Jurnal Perempuan”, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003.

Venny, Adriana, Dalam Titi Sumbung (Ed.), ”NGO report on the implementation of beijing platform for action 1995 – 2005: Country Indonesia”, Indonesian NGO Forum on BPFA + 10, Jakarta, 2005.