Fungsi media massa adalah pengamatan sosial, korelasi sosial, sosialisasi dan hiburan. Praktek-praktek jurnalisme harus selalu berlandaskan kepada fungsi media massa itu sendiri. Untuk Indonesia dewasa ini ada pendapat yang dipraktekkan ada yang menyebut jurnalisme bermakna, ada yang berpendapat jurnalime patriotisme. Sedangkan pada Orde Baru dikenal dengan jurnalisme pembangunan. Sedangkan yang tepat untuk Indonesia adalah jurnalisme bebas dan bertanggung jawab. Jurnalisme bebas dan bertanggung jawab adalah kebebasan untuk menyatakan serta  menegakkan kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya.

Akhir-akhir ini muncul beberapa pen-dapat mengenai jurnalisme yang dipraktekkan di Indonesia. Ada yang menyodorkan nama “jur-nalisme bermakna”. Ada pula yang ingin meng-introdusir “jurnalisme patriotisme”. Semasa era kepimpinan Soeharto sering didengar dan dikenal dengan istilah “jurnalisme pembangunan”.

Di masa reformasi muncul istilah “jurnalisme selera rendah”, yang mengemas berita gossip, sensasi, konflik dan seks menjadi berita “yang asal laku dijual” tanpa memperdulikan etika, kepatutan, dampak negatif dan kode etik jurnalistik. Ada pula istilah “jurnalisme plintiran”, yang memutarbalikkan fakta dan mencam-puraduk antara fakta dan opini. Ada pula praktek “jurnalisme talang-air”, yang “menuangkan” begitu saja informasi dari lapangan/sumber berita ke halaman suratkabar tanpa dipilah-pilah terlebih dahulu melalui kacamata kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Di tengah-tengah kecenderungan menon-jolnya semangat disentralisasi yang menjurus ke arah disintegrasi bangsa, sebaiknya ada bentuk jurnalisme yang “pas” untuk dipraktekkan dan diamalkan di Indonesia.

Ada satu gagasan untuk mewacanakan “jurnalisme berwawasan kebangsaan” atau dising-kat “jurnalisme berwawasan”, suatu bentuk jur-nalisme yang mengemas informasi menjadi berita/tulisan yang mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Jurnalis dan ahli sejarah Amerika Serikat Paul Johnson, berdasarkan pengalaman langsung serta pengamatannya tentang adanya praktek menyimpang dalam melaksanakan kebebasan pers, menyebutnya “tujuh dosa yang mematikan” (seven deadly sins). Adapun tujuh dosa tersebut sebagai berikut:

Pertama: Distorsi Informasi. Praktek dis-torsi informasi ini lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi informasi baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual, yang tidak sesuai dengan sumber aslinya dengan akibat makna menjadi berubah.

Kedua: Dramatisasi fakta palsu. Drama-tisasi ini dipraktekkan dengan memberikan illustrasi secara verbal, auditif atau visual yang berlebihan tentang suatu obyek. Dalam media cetak cara ini dapat dilakukan secara naratif (dalam bentuk kata-kata) atau melalui penyajian foto/gambar tertentu dengan tujuan untuk membangun suatu citra negatif dan stereotip. Dalam media audio-visual (TV) dramatisasi ini dilakukan dengan teknik pengambilan gambar dan pemberian sound-effects yang sesuai dengan tujuan penyampaian pesan.

Ketiga: Mangganggu “privacy”. Pada umumnya praktek ini dilakukan dalam peliputan kehidupan kalangan selebritis dan kaum elite, terutama yang diduga terlibat dalam suatu skan-dal. Berbagai cara dilakukan, antara lain melalui penyadapan telepon, penggunaan kamera dengan telelens, dan sering pula wawancara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi, memaksa atau menjebak. Kesem-patan wawancaranya juga diambil pada saat-saat yang tidak diinginkan oleh pihak yang diwawancarai.

Keempat: Pembunuhan karakter. Praktek ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan dengan mengeksploitasi, menggam-barkan dan menonjolkan segi/sisi “buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.

Kelima: Eksploitasi seks. Praktek eks-ploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli dunia periklanan. Praktek tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara menempatkan di halaman depan surat kabar tulisan yang ber-muatan seks.

Keenam: Meracuni benak/pikiran anak.
Praktek ini dilakukan di dunia periklanan dengan cara menempatkan figur anak-anak. Akhir-akhir ini praktek serupa semakin meningkat dengan penonjolan figur anak-anak sebagai sasaran-antara dalam memasarkan berbagai macam pro-duk.

Ketujuh: Penyalahgunaan kekuasaan (abu-se of the power). Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi di lingkungan pejabat peme-rintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol kebijakan editorial/ pemberitaan media massa.

Ketujuh “dosa jurnalistik” tersebut dapat disebut pula dan dapat dikenali sebagai praktek jurnalistik yang menyimpang, yang kerap terjadi juga di Indonesia, dan sering dilakukan media massa yang baru terbit.

Praktek Jurnalistik menyimpang?

Praktek-praktek jurnalistik yang menyim-pang dan praktek pemberitaan lain yang menyim-pang dari kaidah jurnalistik yang sangat menonjol di Indonesia adalah sebagai berikut:

1.Eksploitasi judul

Cara ini sering dipraktekkan dengan membuat judul yang tidak sesuai dengan isi beritanya. Biasanya judul tersebut bernada agitatif, emosional dan tidak jarang “seronok”. Cara ini ditempuh untuk menarik perhatian pembaca dan sebagai senjata utama untuk meningkatkan sirkulasi.

2.     Sumber berita “konon kabarnya”.

Tidak jarang pula sumber berita “konon kabarnya” atau “menurut sumber informasi yang tidak mau disebut namanya” diprak-tekkan. Padahal salah satu implikasi dari prinsip obyektivitas adalah adanya kejelasan identitas dari berbagai sumber berita yang dirujuk.

3.     Dominasi opini elit dan kelompok mayoritas.

Pada umumnya media massa di Indonesia masih cenderung mengutamakan pemuatan opini, pendapat atau pernyataan kalangan elit dan mayoritas saja, misalnya para pakar, tokoh politik, kalangan selibritis, pejabat pemerintah, tokoh agama atau pengusaha. Aspirasi atau pendapat kalangan masyarakat bawah atau minoritas (secara etnis dan agama) kurang mendapatkan perhatian.

4.   Penyajian informasi yang tidak investigative.

Pola penyajian informasi sebagiann besar media massa di Indonesia kurang bersifat investigative. Banyak di antaranya hanya menjual issue tetapi kurang melengkapinya dengan pemberian makna dan interpretasi yang obyektif, komprehensif dan mendalam.

Dalam hal ini perlu diperhatikan kondisi sosio-demografis masyarakat Indonesia, khu-susnya dalam hal tingkat pendidikan masih banyak masyarakat kita yang belum mampu memilih dan memilah informasi secara kritis dan obyektif. Mereka mudah sekali terpengaruh oleh gossip dan rumor.

Fungsi sosial media massa

Bagaimana hubungan antara peranan pers dengan usaha memelihara keutuhan Negara Kesa-tuan Republik Indonesia ini? Dalam hal ini kita perlu merenungkan apa yang ditulis oleh ahli komunikasi massa Harold D. Lasswell mengenai fungsi sosial media massa.

Menurut Harold D. Laswell (1936) ada empat fungsi sosial media massa:

1.   Pengamatan sosial (social surveillance).
Media massa hendaknya menyebarkan infor-masi dan interpertasi yang obyektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan melakukan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

2.   Korelasi sosial (social correlation).
Media massa hendaknya memberikan informasi dan interpretasi yang meng-hubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus.

3.   Sosialisasi (socialization).
Media massa hendaknya mewariskan nilai-nilai (yang baik) dari satu generasi ke generasi lainnya atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya.

4.   Hiburan (entertainment).
Media massa juga mempunyai tugas untuk memberikan hiburan (yang sehat) dan kesenangan kepada masyarakat.

Dari keempat fungsi sosial media massa tadi, maka yang paling menonjol dilakukan oleh media massa di Indonesia sekarang adalah fungsi keempat (hiburan), sedangkan ke tiga fungsi sosial yang lain kurang mendapat perhatian.

Dalam hal ini kita mengambil contoh pemberitaan mengenai “konflik”, yang akhir-akhir ini sering menempati halaman depan media cetak dan menjadi berita utama media elektronik dan media cetak.

Jika ditilik dari fungsi pengamat sosial media massa, seharusnya berita tentang konflik tadi dikemas sedemikian rupa, agar masyarakat waspada dan mencegah agar konflik tidak meluas dan menghancurkan sistem masyarakat.

Sedangkan penyajian opini dari para elit politik atau kelompok yang bertikai, jika ditilik dari fungsi korelasi sosial media massa, seharusnya dikorelasikan dengan opini dari ber-bagai kalangan masyarakat lainnya baik secara vertikal maupun horisontal.

Hal ini berarti isi pemberitaan tidak hanya menyajikan pandangan atau pernyataan pihak-pihak yang bertikai. Pandangan dan pendapat dari berbagai kalangan masyarakat baik lapisan atas, menengah maupun bawah perlu juga disajikan secara eksplisit termasuk dampak konflik terhadap kehidupan nyata masyarakat.

Tujuannya isi pemberitaan adalah untuk mencapai konsensus agar konflik dapat segera berakhir, karena disadari bersama bahwa yang menjadi korban dari konflik tersebut adalah masyarakat.

Sedangkan mengenai fungsi sosialisasi dalam kasus konflik tersebut, media massa hen-aknya menyebarluaskan pesan tentang perlunya menjaga integrasi bangsa dalam menghadapi konflik tadi. Dalam hal ini yang sangat relevan adalah mensosialisasikan tentang perlunya toleransi dan apresiasi terhadap perbedaan dalam hubungannya dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar- golongan), juga tentang perlunya menegakkan supremasi hukum serta anti segala bentuk tindakan kekerasan.

Jurnalisme Sehat, Bebas dan bertanggung jawab

Jurnalisme sehat, bebas dan bertanggung jawab dihasilkan oleh medai massa yang sehat, yaitu media massa yang bebas dan bertanggung jawab”. Pemerintah dan masyarakat harus mem-unyai pandangan bahawa media massa yang sehat, bebas dan bertanggung jawab yaitu media massa yang dapat menjalankan peranannya yang ideal.

Kalangan media massa sendiri harus memberikan penyebaran tentang media massa yang sehat sebagai berikut: “Media massa yang sehat secara ideal adalah media massa yang melaksanakan fungsi-fungsi ideal yang sesuai dengan konstitusi negara, secara bebas dan bertanggung jawab. Hal ini hanya dapat dilak-anakannya dengan baik, apabila media massa itu sehat secara isi pemberitaan dan penyiaran, sehat secara ekonomis. Jika secara ekonomis, materiil media massa tidak sehat, maka terlihat kecen-erungan pada sementara media massa mempertahankan survivalnya dengan mendasar-kan orientasi perjuangannya kepada tuntutan yang bersifat kebendaan, dengan kata lain terlihat keadaan yang cenderung mengembangkan erosi idealisme perjuangan media massa yang hakikatnya harus diabdikan kepada tujuan-tujuan memasyarakatkan cita-cita nasional, yaitu masya-rakat kebangsaan maju, adil dan makmur ber-dasarkan ideologi Pancasila.

Sumber hukum Kebebasan media massa yang bertanggung jawab ini adalah  harus pada konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa “Kemerdekaan mengeluarkan pendapat melalui lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Tidak ada petunjuk atau kriteria lain yang diberikan. Tolak ukur bagi undang-undang atau peraturan-perundangan yang mengatur tentang kemerdekaan ataupun kebebasan memberikan pendapat melalui tulisan dengan kata lain kebebasan pers, sebagai pelaksanaan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dengan sendirinya adalah dasar pasal 28 Undang-undang Dasar itu sendiri, yang tercantum dalam pembukaan  Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi seperti berikut:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejah-teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijak-sanaan dalam permesyuaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Berpegang kepada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tolak ukur “kebebasan media massa”, ketentuan Undang-Undang Media Massa tentang kebebasan Media Massa ditelaah. Sedangkan rumusan kebebasan media massa adalah:

  1. Kebebasan Media massa sesuai dengan   hak asasi warga negara dijamin.
  2. Kebebasan Media massa ini berdasarkan atas tanggung jawab nasional.

 

Kebebasan media massa itu berasaskan pada tugas, kewajiban dan fungsi media massa. Kebebasan media massa berhubungan erat dengan keperluan adanya  pertanggung jawaban kepada :

  • Tuhan Yang Maha Esa
  • Kepentingan rakyat dan keselamatan Negara
  • Kelangsungan dan penyelesaian Perjuangan Nasional hingga terwujudnya tujuan nasional
  • Moral dan tata susila
  • Kepribadian bangsa”.

Kebebasan media massa Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta  menegakkan kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya.

Media massa yang bebas dan bertanggung jawab harus diucapkan dalam satu nafas. Walau-pun begitu, dengan semangat menyebut media massa bebas dan bertanggung jawab dalam satu nafas, perlu juga disatukan pengertian tentang kriteria tersebut.

Keadaan menunjukkan penterjemah pengertian kebebasan yang hakikatnya adalah kebebasan yang bertanggung jawab masih belum terlihat keserasian dan keseimbangannya. Sementara itu norma-norma, hak dan kewajiban media massa seperti yang terkandung di dalam ketentuan-ketentuan undang-undang yang meng-ikat serta di dalam kode etika jurnalistik wartawan Indonesia, masih pula serba mengambang dan tidak seimbang. Tegasnya persepsi pemerintah, masyarakat dan media massa sendiri terhadap norma-norma, hak dan kewajiban media massa belumlah serasi.

Jadi, Kunci untuk tidak terjerumus ke dalam “dosa jurnalistik”, dan untuk tidak melakukan praktek jurnalistik yang menyimpang dengan melaksanakan empat fungsi sosial media massa adalah melalui pendidikan dan pelatihan jur-nalistik yang terarah dan terprogram guna meningkatkan profesionalisme.

Di samping itu perlu pula dilakukan usaha sosialisasi kode etik jurnalistik guna memantapkan penghayatan serta pengamalannya. Jika kode etik jurnalistik baik Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI maupun Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dipatuhi dan dilaksanakan dengan benar oleh insan pers Indonesia, wajah kehidupan masya-rakat baik dari sisi politik, ekonomi dan sosial akan menyejukkan dan membersitkan wajah yang penuh harapan serta optimisme.

Dengan berpedoman kepada kode etik jurnalistik dan kode etik wartawan Indonesia aktivitas jurnalistik di Indonesia pada akhirnya dapat terwujud praktek-praktek jurnalisme sehat, bebas dan bertanggung jawab.

Referensi:
Anom, Erman, ”Dasar dan sistem akhbar dalam era kepimpinan Soeharto 1966-1998”, Tesis Doktor Falsafah, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, 2006.

Lasswell, Harold, D, ”Politics: who get what when and how”, McGraw Hill Book.co, London, 1936.

McQuail, D.T, ”Mass communication theory: an introduction”, Sage Publications, London, 1983.

Merrill, J.C, “A conceptual overview of  world Jurnalism”, Dlm. Hinz Dittrich & John C Merrill (pnyt), Internasional Inter Cultural. Communication, Hasting House Publisher, New York, 1971.

Merrill, J.C, “The Imperative of freedom: a philosophy of journalistic autonomy”, Hastings House Publisers, New York, 1974.

Mohd. Safar Hasim, ”Akhbar dan kuasa: perkembangan sistem akhbar di Malaysia sejak 1806”, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 1996.