Dr. Lia Amalia, MM.
Dosen Fakultas Teknik
Universitas Esa Unggul, Jakarta

 

Dalam industri manufaktur, peningkatan terbesar masih didominasi oleh industri ringan yaitu kelompok industri padat karya dan padat kekayaan alam, padahal di masa mendatang kebijaksanaan industri yang dikaitkan dengan proteksi semakin ditinggalkan karena bertentangan dengan arah perdagangan tanpa hambatan yang kini terus digodok dan diimplementasikan melalui forum WTO. Reformasi yang dilakukan pemerintah selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini, termasuk menggeser orientasi agar ekonomi kita lebih melihat Out Ward Looking (pasar global), dengan hasil-hasilnya yang nyata seperti telah banyak dilaporkan dalam berbagai data statistik.  Memang harus diakui bahwa dinamika pertumbuhan ekonomi pasca reformasi, sebagian besar disumbangkan oleh kinerja swasta bersama oleh pemerintah dan birokrasi yang telah terbarukan. Tapi jika kemudian kita berkesimpulan sebagaimana visi kalangan neo-liberalis bahwa semakin minimum intervensi negara akan semakin baik. Yang diperlukan sesungguhnya adalah, dalam rangka menggeser orientasi ekonomi nasional yang lebih dominan melihat keluar, suatu credible government (pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif) atau yang kini dikenal sebuah reinventing government yang kinerjanya dapat menjamin berfungsinya mekanisme pasar secara optimal. Dengan visi yang demikianlah, agenda reformasi yang diajukan kiranya akan lebih memenuhi sasaran agar supaya ekonomi nasional kita memiliki OWL (orientasi keluar) yang lebih dominan, dalam kerangka merealisasikan kepentingan ekonomi nasional kita dalam konteks untuk memanfaatkan secara proaktif dan agresif dinamika pasar global.

Dengan melihat kompleksitas dan krisisnya problem pembangunan akibat dari orientasi Indonesia yang hampir total Inward Looking (IWL) dalam waktu cukup lama, dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia sejak awal tahun 80-an, kita masih melihat karakter relatif dalam perencanaan pembangunan nasional.  Namun jika melihat hasil-hasil dari “penyesuaian” selama sekitar satu setengah decade yang setidaknya lebih terdapat policy-mix antara Inward Looking (IWL) dan Outward Looking (OWL), telah menunjukkan kinerja yang tetap tidak jelek.

Pertumbuhan ekonomi dapat di pertahan kan di atas 7%.ekspor non migas, sejak tahun 1988 telah mampu menggantikan ekspor migas sebagai sumber utama penerimaaan negara. Yakni antara lain di samping pertumbuhan lembaga perbankan dan lembaga non-bank yang sangat pesat pasca tahun1983 tercatat pula dalam perkembangan pasar modal yang tertinggi pertumbuhannya di Asia, serta begitu cepatnya pertumbuhan reksa  dana selama 1996/1997 ini.
Dalam saat yang sama peran sector swasta (BUMS) telah mampu menggeser peran pemerintah dan BUMN, yakni menjadi “engine of growth”, yang sebelumnya mutlak di pegang oleh sector negara. Dengan demikian, sesungguhnya hingga kini basis industrialisasi kita masih dominan didasarkan kepada sumber daya alam dan buruh murah. berbagai upaya untuk menjadikan knowledge, technological & human resources base industrialization secara nyata ditingkat visi, kebijakan, dan program, masih harus diyakinkan kepada semua pihak. Sebab jika kita tidak segera melakukan pergeseran paradigma yang mendorong ke arah pendalaman dan penguasaan teknologi serta peningkatan profesionalisme (SDM yang semakin tinggi kualifikasinya untuk segala level kebutuhan teknologi), maka ancaman terhadap defisit neraca transaksi berjalan (current account) dari neraca pembayaran akan terus membengkak. Reformasi yang   lebih  progresif, semestinya lebih diawali dengan mempercepat reformasi birokrasi dalam rangka menciptakan pemerintahan bersih dan efisien.

Sebab dengan pemerintahan yang demikian memungkinkan berbagai reformasi ekonomi teknis dan ekonomi politik secara serempak dan esensial akan lebih mudah dilakukan, karena bias terhadap visi jangka pendek. Yang terlalu tergantung kepada berbagai kekuatan lobby dan kelompok kepentingan seperti tampak selama ini dapat diminimalisasi.

Selanjutnya, secara lebih jelas/agenda reformasi agar ekonomi Indonesia lebih dominan bersifat orientasi ke dalam negeri, maka setidaknya terdapat beberapa langkah, sbb: Pertama, bagaimana menjadikan kinerja yang semakin efisien dan kompetitif di ukur oleh standar di pasar internasional atau setidaknya pada tahap awal di sepuluh negara ASEAN  dari industri lama terutama yang menyangkut Usaha Swasta Besar (USB) yang hingga kini masih banyak mengandalkan pada struktur pasar oligopolistik serta bentuk-bentuk captive market lainnya. Kedua, bagaimana menjadikan agar industri-indusri yang berorientasi ekspor (IPE) semakin bertumpu kepada basisi iptek yang lebih tinggi dan SDM berketerampilan (knowledge, technological & human resources base industry) agar secara sistematis Indonesia bukan hanya mampu mengekspor produk-produk industri yang memiliki keunggulan komparatif (secara absolut unggul karena  kelimpahan SDA & SDM yang dimiliki serta karena hasil efisiensi proses produksinya).

Kemudian, karena dalam era liberalisasi perdagangan dunia dengan pemberlakuan penuh kesepakatan AFTA, APEC, dan WTO, maka jika basis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif semakin luas, maka dunia usaha kita akan lebih unggul baik di dalam negeri (menghadapi produk impor yang masuk tanpa hambatan tarif serta non-tarif) maupun dipasar regional dan global.

Menurut analisis Ekonomi Rakyat Indonesia yang dikemukakan oleh Adi Sasono, menurutnya dalam kaitannya dengan Indonesia, mencakup dimensi-dimensi yang lebih luas dalam konstelasi peninggalan feodalisme dan kolonialisme. Secara terinci telah dituangkan dalam bukunya yang berjudul Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan  (1998) yang baru diterbitkan CIDES.  Buku ini juga mengandung aspek-aspek pelaksanaan program partisipasi rakyat banyak dalam proses pembangunan di Indonesia.yang bertujuan untuk meluruskan kesimpangsiuran dalam pengertian system ekonomi ini. Pertama, perlu dikemukakan di sini bahwa Ilmu ekonomi atau system ekonomi harus mengandung muatan etika sosial dan ideology yang pro rakyat banyak.

Ilmu ekonomi sebagai ilmu moral telah dilaksanakan secara efektif di negara-negara kapitalisme modern yang sekarang ini merupakan negara-negara maju baik di kawasan Amerika Utara, Eropa Barat,maupun di Timur Jauh dengan perkataan lain, pemikiran strukturalis atau populis menguasai pemikiran elite kekuasaan di negara-negara ini pada awal proses perkembangan masyarakat negara-negara ini menuju masyarakat kapitalisme modern yang beradab. Dasar pemikiran ini mengajukan proporsi bahwa peningkatan posisi ekonomi dan sosial rakyat banyak dalam suatu negara yang merupakan peninggalan feodalisme dan kolonialisme hanya mungkin secara efektif dan langgeng dapat diraih jikalau pra kondisi sosial dalam bentuk menghilangkan kepincangan-kepincangan atau belenggu-belenggu structural dilakukan terlebih dahulu :yaitu perombakan kelembagaan masyarakat yang ada,struktur sosial yang ada, dan permintaan efektif yang ada.sementara itu pertumbuhan ekonomi yang di programkan pada fase awal, berlandaskan dasar pemikiran ini adalah suatu pertumbuhan ekonomi di mana komposisi (composition) dan isi (content) output yang tumbuh memprioritaskan kebutuhan rakyat banyak dan dilakukan oleh rakyat banyak.

Produksi nasional sebagian besar terdiri dari barang-barang kebutuhan pokok masyarakat (wage-goods) dan pertumbuhan  produksi barang-barang ini mendominasi pertumbuhan produksi nasional. Juga produksi merupakan hasil proses yang padat karya sebagai mencerminkan keterlibatan masal dalam proses produksi. Kebijaksanaan penentuan harga relatif faktor produksi ditentukan oleh kaidah optimisasi sosial. Dalam melaksanakan ini, redistribusi pendapatan bukan dilakukan dari pertumbuhan tetapi dilakukan bersama pertumbuhan. Etika system produksi nasional seperti yang diuraikan sebelumnya akan menjamin redistribusi pendapatan berlangsung bersamaan dengan pertumbuhan oleh karena dengan struktur ini banyak orang terlibat dalam proses produksi nasional dengan pendapatan yang layak secara manusiawi.
Selama pemerintahan Orde Baru, jelas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa etika sosial atau moralitas ekonomi telah tidak menjadi landasan dalam hubungan dan proses ekonomi. Terlihat dengan nyata bahwa kita sadar atau tidak sadar telah didominasi oleh pemikiran ekonomi kapitalisme abad ke-19. ini terbukti dengan tumbuhnya secara kokoh kelas pemupuk rente dalam ekonomi Indonesia.Ketika berbicara didepan masyarakat media massa Indonesia, mantan Presiden BJ Habibie menyinggung salah satu persoalan krusial yang sedang kita hadapi.  Secara langgsung dan dekat, permasalahan itu ialah bagaimana mengembalikan rasa aman kepada masyarakat warganegara Indonesia. Rasa aman mereka guncang oleh kerusuhan yang terjadi pada tanggal 13,14, dan 15 Mei’98, terutama di Jakarta. Dalam kejadian itu terjadi perusakan, pembakaran, penjarahan bahkan juga tindak kekerasan fisik termasuk perkosaan terhadap kompleks pertokoan dan usaha warganegara keturunan.

Rasa aman dan kepercayaan itu bertambah guncang karena pada hari-hari itu tidak tampak hadirnya pihak keamanan yang bertindak melakukan pencegahan, penindakan, dan perlindungan. Tindakan keamanan tampak dan terasa, baru setelah puncak kerusuhan lewat. Hal itu mendesak baik karena pertimbangan hak-hak asasi serta kewajiban melindungi seluruh warganegara. Hal itu juga dikaitkan dengan usaha kita secara berangsur-angsur mengembalikan keadaan normal serta memulihkan kegiatan ekonomi. Kini ketika segala sesuatu mulai reda, mau tidak mau, kita melakukan penelaahan kembali secara rasional dan proporsional. Dengan sengaja kita katakan,secara langsung yang mendesak permasalahannya adalah mengembalikan rasa aman serta kepastian-kepastian perlindungan. Tantangan yang kita hadapi ialah mengembalikan kepercayaan dari dalam negeri dan dari luar negeri. Pulihnya kepercayaan dari dalam negeri ikut mempercepat serta memperkukuh kepercayaan dari luar negeri.

Secara lebih jauh, persoalan yang kita hadapi ialah bagaimana meletakkan kembali proses nation building dan integrasi nasional bagi masyarakat bangsa kita yang majemuk, berjumlah besar serta bernegeri kepulauan. termasuk didalamnya bahkan yang dalam ulasan ini kita angkat sebagai persoalan yang mendesak adalah tempat serta proses nation-building dan integrasi nasional yang menyangkut warga keturunan. Ketika Indonesia mulai menempuh jalan ekonomi pasar untuk pembangunan, kita termasuk yang sejak dini dan berulang-ulang, mengingatkan bahwa berlakunya ekonomi pasar harus disertai strategi dan kebijakan yang efektif dalam nation building dan integrasi nasional. Sebab dalam keadaan obyektif pun, sebagai warisan sejarah, masyarakat keturunanlah yang lebih siap menggunakan kesempatan ekonomi pasar itu.apalagi, ketika berlakunya ekonomi pasar semakin terjalin dalam interaksi dengan pasar global baik di kawasan Asia maupun di kawasan dunia. Ketika kondisi ekonomi secara umum masih baik, segala faktor dan keadaan negatif itu tertutup dan tertahankan. Ketika kondisi ekonomi buruk dan krisis, segala hal negatif yang tertutup dan tertahankan itu menjadi terang benderang, masuk  kedalam kesadaran krisis masyarakat dan tidak lagi dapat tertahankan. Pada waktu yang sama, menjadi semakin terang benderang pula bagaimana strategi dan kebijakan pembangunan dan perpolitikan dirusak serta dilanggar rasa fairtness, kepatuhan serta keadilannya oleh praktek KKN.

Permasalahannya yang dialami oleh masyarakat keturunan memperoleh perhatian serius. Hal itu diantaranya ditunjukkan oleh maksud mantan  menteri Kehakiman Muladi ia kemukakan, meskipun perundangan dan ketentuan hukum yang berlaku memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang cukup kepada warganegara.     Dalam industri manufaktur, peningkatan terbesar masih didominasi oleh industri ringan yaitu kelompok industri padat karya dan padat kekayaan alam, padahal di masa mendatang kebijaksanaan industri yang dikaitkan dengan proteksi semakin ditinggalkan karena bertentangan dengan arah perdagangan tanpa hambatan yang kini terus digodok dan diimplementasikan melalui forum WTO.

Dengan diadakannya perlindungan oleh setiap negara, persaingan dalam kawasan akan makin keras terlebih lagi karena persaingan yang akan terjadi terutama adalah antar unit produksi. Oleh karena itu, efisiensi di sektor industri dan perdagangan perlu dibenahi. Peningkatan efisiensi di sector industri dan perdagangan itu juga sangat dipengaruhi oleh produktivitas tenaga kerja, yang tercermin dalam kualitas SDM.pada saat ini kualitas SDM yang ada masih berada di bawah negara-negara tetangga yang telah lebih dulu maju dengan demikian upaya mengejar ketinggalan dalam pengembangan SDM juga merupakan tantangan agar dapat menciptakan manusia yang produktif dan berdaya saing tinggi.  Sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, maka harapan tenaga kerja terhadap pekerjaan yang diinginkan akan semakin tinggi. Ini mendorong angkatan kerja untuk menunggu jenis pekerjaan yang sesuai dengan taraf pendidikannya dan secara absolut ini akan mendorong meningkatnya pengangguran bagi angkatan kerja yang berpendidikan baik SLTA maupun Universitas. Selain itu transformasi ekonomi akan mengakibatkan terjadinya pergeseran angkatan kerja dari sektor yang mempunyai upah yang lebih tinggi.salah satu akibatnya adalah adanya urbanisasi yang semakin besar dari angkatan kerja yang ada dipedesaan ke kota-kota besar.

Masalah pemerataan dapat tercermin dari masih banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan meskipun jumlahnya terus berkurang, laju penurunannya masih rendah dan lokasinya makin terpusat pada kantung-kantung kemiskinan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan secara mendasar masih merupakan tantangan yang harus dipecahkan. Selain itu masalah ketidakmerataan dapat menyebabkan kesenjangan, masalah ini jika tidak ditangani secara hati-hati dan tepat, mempunyai potensi untuk membesar dengan adanya deregulasi.

Dapat disimpulkan bahawa sesungguhnya kita merasakan bahwa telah banyak reformasi yang dilakukan pemerintah selamalebih dari satu dasawarsa terakhir ini, termasuk menggeser orientasi agar ekonomi kita lebih melihat keluar (pasar global), dengan hasil-hasilnya yang nyata seperti telah banyak dilaporkan dalam berbagai data statistik. Padahal untuk suatu masyarakat bangsa dimana tingkat imperfect competition yang ber ujung kepada marketfailur nya yang besar (secara populer kita menyebutnya sebagai adanya distorsi pasar, setiap upaya reformasi yang sasaran dan hasilnya yang positif untuk level mikro-dunia usaha (seringkali juga sebagian besar hanya bermanfaat untuk kalangan USB, dan bukan untuk kalangan UKM), maka belum tentu positif dalam kerangka makro-publik bahkan tidak jarang bertentangan atau bersifat trade-off.

Memang harus diakui bahwa dinamika pertumbuhan ekonomi pasca reformasi, sebagian besar disumbangkan oleh kinerja swasta bersama oleh pemerintah dan birokrasi yang telah terbarukan. Tapi jika kemudian kita berkesimpulan sebagaimana visi kalangan neo-liberalis bahwa semakin minimum intervensi negara akan semakin baik. Yang diperlukan sesungguhnya adalah, dalam rangka menggeser orientasi ekonomi nasional yang lebih dominan melihat keluar, suatu credible government (pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif) atau yang kini dikenal sebuah reinventing government yang kinerjanya dapat menjamin berfungsinya mekanisme pasar secara optimal.

Dengan visi yang demikianlah, agenda reformasi yang diajukan kiranya akan lebih memenuhi sasaran agar supaya ekonomi nasional kita memiliki OWL (orientasi keluar) yang lebih dominan, dalamkerangka merealisasikan kepentingan ekonomi nasional kita dalam konteks untuk memanfaatkan secara proaktif dan agresif dinamika pasar global.

Referensi:
Alam, Dipo, ”Industrialisasi dalam Reformasi   Ekonomi   dan Politik”, Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.

Ginanjar, Kartasasmita,  ”Pembangunan untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Perencanaan”, Cides, Jakarta, 1999.

Michael E. Porter, “The Competitive Advantage of Nations”, Free Press, New York, 1990.

——–, Imam Taufik dan Fadel Muhammad, ”Pengembangan Komoditi     Andalan dalam Usaha Peningkatan Ekspor Indonesia”, Jakarta, 1995.

S. Damanhuri,   Didin, ”Reformasi Ekonomi  Indonesia      dalam   Masa Transisi” Universitas Indonesia, Jakarta, 1969.