FREKUENSI KONSELING GIZI, PENGETAHUAN GIZI IBU DAN PERUBAHAN BERAT BADAN BALITA KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) DI KLINIK GIZI PUSKESMAS KUNCIRAN, KOTA TANGERANG

 

Fajar Nova Cahyani1, Antonius Sri Hartono2, Iskari Ngadiarti3

1Community Health Centre, Kunciran, Buraeu of Health, Tangerang City

2 Polytechnic of Health Jakarta II, Department of Nutrition, Ministry of Health Republic of Indonesia

3Department of Nutrition Faculty of Health Sciences, Esa Unggul University

Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510

[email protected]

 

 

Abstract

Indonesia still have four major nutritional problems, one of the problem is malnutrition of energy protein (KEP). The effectiveness and efficiency solving of nutritional problem are nutrition intervention such as supplementation, fortification and nutrition education. The aim of this study is to determine the relationship betwen the frequency of nutrition counseling, nutritional knowledge of mothers and variance of weight children under five years less energy protein at Clinical Nutrition of Community Health centre, Kunciran, Buraeu of Health, Tangerang City in 2008.  This is associative study with cross-sectional design. The population in this study is all infants who comes to community health centre refferal from POSYANDU and MTBS on Tuesday. The total sample of this study was 46 mothers. This study used Pearson Product Moment Correlation to analyze the data. Most of respondents aged 26-30 years (30.4%), the education level is primary school (43.5%), and unemployment or housewife (84.8%). Most of children under five years is female (67.4%) and aged 12-35 months (56.5%). The results shows that there was no relationship between frequency of nutrition counseling, nutritional knowledge of mothers, and variance of weight children under five years, the value of correlation respectively (0.109; 0,156; 0.170). The conclusion of this study is no relationship between the frequency of nutrition counseling, nutritional knowledge of mothers and variance of weight children under five years less energy protein. However, based on boxplot graphs shows there is a tendency among the frequency of nutrition counseling, nutritional knowledge of mothers and variance of weight children under five years less energy protein.

 

Keywords: frequency of nutrition counseling, nutritional knowledge, variance of weight

Abstrak

Indonesia masih menghadapi empat masalah gizi utama, salah satunya adalah Kurang Energi Protein (KEP). Intervensi gizi melalui suplementasi, fortifikasi dan pendidikan gizi merupakan langkah penanggulangan masalah gizi yang memberikan hasil yang efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan antara frekuensi konseling gizi, pengetahuan gizi ibu dengan perubahan berat badan balita KEP di Klinik Gizi Puskesmas Kunciran Kota Tangerang. Jenis penelitian ini adalah asosiatif dengan pendekatan cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita KEP yang datang ke Klinik gizi Puskesmas Kunciran rujukan dari posyandu dan Klinik Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada hari Selasa, dan sampel didapat 46 orang ibu balita. Analisa data menggunakan Uji Pearson Product Moment Correlation. Sebagian besar responden berumur 26-30 tahun (30,4%), memiliki tingkat pendidikan SD (43,5%), dan tidak bekerja (84,8%), sebagian besar balita adalah perempuan (67,4%) dan berumur 12-35 bulan (56,5%). Hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara ketiga variabel tersebut dengan nilai korelasi masing-masing (0.109, 0.156, dan 0.170). Tidak ada hubungan antara frekuensi konseling gizi, pengetahuan gizi ibu dengan perubahan berat badan balita KEP. Namun berdasarkan grafik boxplot ada tendensi antara frekuensi konseling gizi, pengetahuan gizi ibu dan umur balita dengan perubahan berat badan balita KEP.

           

            Kata kunci: frekuensi konseling gizi, pengetahuan gizi, perubahan berat badan

 


Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu negara yang ikut mengadopsi kesepakatan Millennium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium dari 198 negara pada tahun 2000, dengan menetapkan target kuantitatif yang akan dicapai tahun 2015. Dari 8 tujuan (goals) yang terdapat dalam MDGs, 6 diantaranya terkait langsung dengan masalah kesehatan dan gizi yaitu penghapusan kemiskinan dan kelaparan, tercapainya pendidikan dasar, promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian bayi dan balita, peningkatan kesehatan ibu, dan penanggulangan HIV/AIDS, malaria dan penyakit infeksi.

Pada pertemuan Konferensi Konsultasi regional Tingkat Menkes seAsia di New Delhi, India pada tahun 2004, memberikan komitment untuk mencapai MDGs antara lain menargetkan penurunan masalah gizi 50% pada tahun 2015. Sedangkan target pencapaian tujuan MDGs berdasarkan kesepakatan tahun 2000 antara lain menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya antara tahun 1990-2015. Indonesia masih menghadapi empat masalah gizi utama yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Kekurangan Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB), dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Di samping itu masih terdapat juga masalah gizi lebih.

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan bentuk kekurangan zat gizi berupa kalori dan protein yang terutama terjadi pada anak-anak di bawah umur lima tahun (balita). Prevalensi KEP pada balita tahun 2000 yaitu 24,7%. Tahun 2000 setelah Indonesia mengalami krisis multi dimensi, prevalensi KEP mengalami kenaikan berturut-turut menjadi 26,1%, 27, 3%, dan 27,5% pada tahun 2001, 2002, dan 2003 (Depkes, 2004). Dan pada tahun 2005 prevalensi KEP menjadi 28,04% (Depkes, 2005). Data ini menunjukkan bahwa angka KEP di Indonesia masih relatif tinggi.

Balita yang kurang gizi mempunyai resiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Setiap tahun kurang lebih 11 juta dari balita di seluruh dunia meninggal oleh karena penyakit-penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, campak, dan lain-lain. Ironisnya, 54% dari kematian tersebut berkaitan dengan adanya kurang gizi (WHO 2002). Angka kematian balita di Indonesia juga tertinggi di ASEAN (BAPPENAS, 2004).

KEP merupakan penyakit yang multi kompleks, karena penyebabnya terdiri dari beberapa faktor yaitu, penyebab langsung (asupan makanan dan penyakit infeksi), penyebab tidak langsung (tidak cukup persediaan pangan, pola asuh tidak memadai, dan pelayanan kesehatan), pokok masalah (Kemiskinan, kurang pendidikan, dan kurang keterampilan) serta akar masalah adalah krisis ekonomi langsung (UNICEF,1998) Dari beberapa penelitian, bahwa balita KEP selain mengalami masalah gizi makro, juga mengalami masalah gizi mikro yang sering disebut kelaparan tersembunyi (hidden hunger ) yaitu kurang vitamin dan mineral. Untuk menanggulangi masalah tersebut dalam jangka pendek dilakukan suplementasi tablet besi, kapsul vitamin A dan kapsul Yodium. Sedangkan dalam jangka panjang dilakukan pendekatan gizi seimbang. Intervensi gizi melalui suplementasi, fortifikasi dan pendidikan gizi merupakan langkah penanggulangan masalah gizi makro maupun mikro yang memberikan hasil yang efektif dan efisien. Pendidikan gizi bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bagaimana memilih bahan makanan yang banyak mengandung vitamin dan mineral serta zat gizi yang penting lainnya. Pendidikan gizi dapat berupa penyuluhan gizi dan konseling gizi. Berdasarkan penelitian Agung, I Gusti (2001), tentang Pengaruh Konseling Gizi kepada Ibu terhadap Pola Konsumsi makanan dan Status Gizi anak balitanya di Kabupaten Tabanan Bali, diperoleh hasil signifikan pengetahuan gizi ibu yang diberikan konseling gizi lebih baik daripada yang tidak diberikan konseling gizi. Selain itu, Konsumsi energi dan protein anak yang ibunya diberikan konseling gizi lebih tinggi daripada yang tidak. Perubahan status gizi juga lebih baik pada anak yang ibunya diberikan konseling gizi daripada ibu yang tidak diberikan konseling gizi.

Selain itu, dari penelitian Heryu darini, dkk (1999), tentang Konseling gizi dan kesehatan untuk pertumbuhan dan perkembangan motorik kasar anak kurang gizi penderita ISPA. Diperoleh hasil ada pengaruh konseling pada perbedaan nilai skor Z akhir dan awal (awal  1,57 SD, akhir -1,50 SD), anak yang ibunya mendapatkan konseling lebih tinggi 0,152 SD dibandingkan dengan anak yang ibunya tidak mendapatkan konseling. Hal ini dapat dijelaskan karena adanya konseling gizi dan kesehatan kemungkinan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan ibu dalam pemeliharaan kesehatan anak sehingga dapat menurunkan penyakit infeksi dan meningkatkan berat badan anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Frekuensi Konseling Gizi, Pengetahuan gizi Ibu dengan Perubahan Berat Badan Balita Kurang Energi Protein (KEP) di Klinik Gizi Puskesmas Kunciran Kota Tangerang.

 

 

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kunciran pada bulan Juli 2008 dengan populasinya seluruh balita KEP (baik ringan, sedang maupun berat) yang datang ke Klinik Gizi Puskesmas Kunciran. Penelitian ini bersifat asosiatif dengan pendekatan crosssectional. Pengambilan sampel dilakukan melalui metode purposive sampling dengan kriteria sampel yaitu; balita yang datang ke klinik gizi Puskesmas Kunciran (setiap hari selasa), merupakan rujukan dari Posyandu (sebagai balita BGM) maupun dari klinik Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan telah mengikuti konseling gizi minimal 2 kali.

Jenis data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder (data yang ada di Klinik Gizi Puskesmas Kunciran) dan data Primer yang diperoleh melalui wawancara, seperti: Data umur, pendidikan, pekerjaan orangtua/ ibu balita KEP, Data umur dan jenis kelamin balita KEP, Data antropometri (Berat Badan balita KEP awal dan akhir konseling), Data Frekuensi Konseling Gizi yang diberikan, dan Pengetahuan gizi ibu balita yang diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment, yaitu suatu teknik untuk menguji hipotesa yang menjelaskan bentuk hubungan antara dua variabel (independent dan dependent) dengan skala Interval dan data numerik.

 

 

Hasil dan Pembahasan

Dari hasil penelitian yang dilakukan di klinik gizi Puskesmas Kunciran, sebagian besar umur ibu berusia antara 26-30 tahun, dimana golongan umur tersebut merupakan golongan usia produktif, yang rata-rata memiliki balita, sedangkan golongan umur yang terkecil adalah usia lebih dari 40 tahun, karena usia tersebut merupakan usia rawan untuk melahirkan. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka pada usia 26-30 tahun yang lebih banyak memiliki balita dan lebih banyak datang ke klinik gizi dalam kegiatan konseling gizi untuk membantu mengatasi masalah balita KEP. (lihat tabel1).


Tabel 1

Karakteristik Responden

Variabel

N = 46

Jenis Kelamin:

  1. Laki-laki
  2. Perempuan

15 (32.6)a

31 (67.4)

Umur Balita KEP:

  1. 6-11 bulan
  2. 12-35 bulan
  3. 36-59 bulan

2 (4.4)

26 (56.5)

18 (39.1)

Perubahan Berat Badan Balita dalam (Z score):

  1. Turun (-)
  2. Naik (+)

12 (26.1)

34 (73.9)

Frekuensi Konseling Gizi

4.48 ± 2.66b

Skor Pengetahuan Ibu

68.8 ± 14.57

a N (%)

b Mean ± SD

 

Sebagian besar pendidikan ibu balita KEP yang datang ke Klinik Gizi Puskesmas Kunciran adalah tamatan SD yaitu 20 orang (43,5%). Dari hasil tersebut diketahui bahwa ibu-ibu balita KEP pernah mengenyam pendidikan formal, walaupun masih ada yang tidak tamat SD, namun jumlahnya hanya sedikit yaitu sekitar 6,5%. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal cukup mempengaruhi pola pikir ibu dalam hal pemeliharaan kesehatan dan gizi anak. Sesuai dengan teori dari Soekirman (1994) bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin baik status gizi anaknya.

Status pekerjaan ibu yang dominan adalah tidak bekerja atau ibu rumah tangga, yaitu sebesar 84,8%. Sedangkan ibu yang bekerja hanya sebesar 15,2%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu luang yang lebih banyak daripada ibu yang bekerja. Dengan kata lain ibu yang tidak bekerja akan mempunyai banyak waktu luang untuk datang dan mengikuti konseling gizi di Klinik Gizi Puskesmas Kunciran. Selain itu, ibu yang tidak bekerja tidak akan membantu ekonomi atau pendapatan keluarga, sehingga daya beli keluarga rendah dan kebutuhan makanan tidak bisa terpenuhi.

Jenis kelamin balita yang paling dominan adalah perempuan yaitu 67,4%, sedangkan balita laki laki hanya 32,6%. Hal tersebut berbeda dengan hasil PSG Puskesmas Kunciran tahun 2008 yaitu balita laki laki lebih banyak menderita KEP daripada balita perempuan. Hal tersebut bisa disebabkan perhatian ibu pada balita perempuan lebih tinggi dari laki-laki untuk meningkatkan status gizi anaknya yang menurun. Kelompok umur balita KEP yang paling banyak adalah usia 12-35 bulan yaitu 56,5%, sedangkan yang paling sedikit adalah kelompok usia 6-11 bulan yaitu 4,4%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan hasil sama dengan teori bahwa balita kelompok usia 12-35 bulan tumbuh lebih lambat dibandingkan balita kelompok usia 6-11 bulan. Selain itu kelompok usia 12-35 bulan, ibu lebih rajin membawa anaknya ke posyandu, sehingga jika status gizi anaknya menurun segera dirujuk dan ditangani di Puskesmas.

Dari tabel 1 tersebut terlihat bahwa perubahan berat badan balita KEP yang paling tinggi adalah Zscore 2,18 yaitu 1 orang (2,2%), dengan nilai rata-rata (mean) perubahan berat badan balita KEP (Z score) adalah 0,2835, dimana mean ± SD adalah 0,78807 dan -0,22107. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa perubahan berat badan balita KEP adalah sedang, karena nilai mean berada diantaranya (-0,22107<0,2835< 0,78807).

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa frekuensi konseling gizi yang paling tinggi adalah 10 yaitu 1 orang (2,2%), dengan nilai rata-rata (mean) frekuensi konseling gizi adalah 4,48, dimana mean ± SD adalah 7,144 dan 1,816 . Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa frekuensi konseling gizi adalah sedang, karena nilai mean berada diantaranya ( 1,816 <4,48 <7,144). Pengetahuan gizi ibu yang paling tinggi adalah 90 yaitu 4 orang (8,7%), dengan nilai rata-rata (mean) pengetahuan gizi ibu adalah 68,8 , dimana nilai maximum dan minimumnya adalah 83,375 dan 54,225. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa pengetahuan gizi ibu adalah sedang, karena nilai mean berada diantaranya (54,225<68,8 <83, 375).

 

Hubungan Frekuensi Konseling gizi dengan pengetahuan gizi ibu

Pengetahuan gizi ibu yang diberi konseling gizi lebih baik dari pada yang tidak diberikan konseling gizi (Agung, I Gusti 2001). Dengan demikian diharapkan semakin banyak frekuensi konseling gizi yang diberikan, semakin tinggi pengeahuan ibu balita tentang gizi dan keseatan.

 


Tabel 2

Uji korelasi antara Frekuensi Konseling gizi dengan

pengetahuan gizi ibu

Berdasarkan perhitungan uji statistik koelasi Pearson, diperoleh hasil yang meyatakan bahwa antara variabel X dan Variabel Y tidak memiliki hubungan yang signifikan, dengan nilai r = 0.109 yang berada pada 0,00< r < 0,25, yang artinya bahwa tidak ada hubungan korelasi atau hubungan lemah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi konseling gizi dengan pengetahuan gizi ibu. Namun bila dilihat dari grafik boxplot, pemberian konseling gizi yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan gizi ibu minimal 3 kali. (lihat Grafik 1).

 

Grafik 1

Frekuensi Konseling gizi dengan pengetahuan gizi ibu


Hubungan pengetahuan gizi ibu dengan perubahan berat badan balita KEP

Berdasarkan perhitungan uji statistik korelasi Pearson, diperoleh hasil yang menyatakan bahwa antara variabel X dan Variabel Y tidak memiliki hubungan yang signifikan, dengan nilai r = 0.156 yang berada pada 0,00< r < 0,25, yang artinya bahwa tidak ada hubungan korelasi atau hubungan lemah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan perubahan berat badan balita KEP di Klinik Gizi Puskesmas Kunciran Kota Tangerang. Namun bila dilihat dari grafik boxplot, Perubahan Z-skor tertinggi ada pada kelompok pengetahuan gizi tinggi yaitu 72-90. itu berarti ada keterkaitan antara pengetahuan dengan perubahan berat badan.


 

 

Grafik 2

Scatter Plot Pengetahuan gizi ibu dengan Perubahan Berat

Badan Balita KEP

 

Dilihat dari grafik Scatterplot di atas, terlihat tebaran data yang tidak merata dan semakin melebar serta tidak membentuk garis lurus. Hal tersebut menunjukkan derajat hubungan yang lemah atau tidak ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan perubahan berat badan balita KEP.


                         

 

 

 

Grafik 3

Pengetahuan gizi ibu dengan Perubahan Berat Badan Balita KEP

 

Dari gambar di atas, terlihat bahwa perubahan Zscore tertinggi ada pada kelompok pengetahuan tinggi yaitu 72-90. Hal ini berarti ada keterkaitan antara tingkat pengetahuan dengan perubahan Zscore.

 

 

 

 

Hubungan Frekuensi Konseling gizi dengan perubahan berat badan balita KEP

Berdasarkan perhitungan uji statistik korelasi Pearson, diperoleh hasil yang menyatakan bahwa antara variabel X dan Variabel Y tidak memiliki hubungan yang signifikan, dengan nilai r = 0.170 yang berada pada 0,00< r < 0,25, yang artinya bahwa tidak ada hubungan korelasi atau hubungan lemah.

Grafik 4

Frekuensi Konseling gizi dengan Perubahan Berat Badan Balita KEP

 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi konseling gizi dan pengetahuan gizi ibu dengan perubahan berat badan balita KEP di Klinik Gizi Puskesmas Kunciran Kota Tangerang. Namun bila dilihat dari grafik boxplot diatas, pemberian konseling gizi yang efektif untuk meningkatkan berat badan balita yaitu minimal 3 kali.

 

Hubungan antara umur balita dengan perubahan berat badan balita KEP

Bila dilihat dari umur balita, ada keterkaitan antara perubahan berat badan balita KEP (perubahan Zscore) dengan kelompok umur balita. Sesuai teori, bahwa kelompok umur kurang dari 1 tahun (6-11 bulan) mengalami kenaikan berat badan yang cukup tinggi dibandingkan balita umur lebih dari 1 tahun.

 

Grafik 5

Umur Balita dengan Perubahan Berat Badan Balita KEP

 

Berdasarkan grafik 5 boxplot, ada keterkaitan antara perubahan berat badan balita KEP (perubahan Zscore) dengan kelompok umur balita. Sesuai teori, bahwa kelompok umur kurang dari 1 tahun (6-11 bulan) mengalami kenaikan berat badan yang cukup tinggi dibandingkan balita umur lebih dari 1 tahun.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan berat badan atau status gizi balita KEP, yaitu faktor anak, faktor ibu, faktor makanan, dan faktor lain seperti penyuluhan/ konseling gizi. Pada faktor anak, salah satunya adalah adanya penyakit infeksi yang cukup berpengaruh dengan peningkatan berat badan atau status gizi balita KEP.

Kesimpulan

Tidak ada hubungan antara frekuensi konseling gizi dengan pengetahuan gizi ibu dan perubahan berat badan. Tidak ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan perubahan berat badan balita KEP. Berdasarkan grafik boxplot, kalompok umur kurang dari 1 tahun (6-11 bulan) mengalami kenaikan berat badan yang cukup tinggi dibandingkan balita umur lebih dari 1 tahun.

Daftar Pustaka

Agung, I Gusti. Pengaruh Konseling Gizi kepada Ibu terhadap Pola Konsumsi makanan dan status gizi anak balitanya di kabupaten Tabanan, Bali. Laporan Penelitian kesehatan, UGM 2001. diakses 5Juli 2008; www.litbang.depkes.go.id

Almatsier, S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

___________. Data Pemantauan Status Gizi tingkat Kota Tangerang tahun 2007. Tangerang Dinas Kesehatan , 2007.

___________. Data Sasaran Dinas Kesehatan Kota Tangerang tahun 2008. Tangerang : Dinas Kesehatan , 2008.

Heryudarini, H dkk. Konseling Gizi dan kesehatan untuk pertumbuhan dan perkembangan motorik kasar anak kurang gizi penderita ISPA. Laporan Penelitian, UGM 1999, dalam Gizi Indonesia 2001 No. 25: 11-19.

Notoatmojo, S, Dr. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Priyo Hastono, S. Analisis Data. Jakarta : FKM UI, 2001

___________. Profil Puskesmas Kunciran tahun 2007.

Pudiiadi, S, Prof.DR. Dr. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.

Santoso, S. Menggunakan SPSS Untuk Statistik Parametrik, Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo, 2005.

Sarwono, J. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2006.

Supariasa, I.D.N, et al., Penilaian Status Gizi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2002.

__________. Info Pangan dan Gizi volume XVI, Jakarta : Direktorat Bina Gizi Masyarakat. DITJEN Bina kesehatan Masyarakat, DEPKES RI, 2006.

Syuryati R, Nany. Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan status gizi balita KEP keluarga miskin pada pelaksanaan PMT-P di Kec. Kuranji Kota Padang tahun 1999. Tesis Magister (Jakarta: FKM UI, 2001).

** Jurnal Gizi – Dietetik tersebut diatas diterbitkan oleh Pusat Pengelola Jurnal Ilmiah Universitas Esa Unggul dalam Jurnal Gizi Vol.2 No.1 April 2010