ETIKA PROFESI  PERSPEKTIF HUKUM

DAN PENEGAKAN HUKUM

 

Oleh

DR. H. Fauzie Y. Hasibuan, SH. MH

 

PENDAHULUAN

 

Perbincangan mengenai hukum dan penegakan hukum di Indonesia adalah sama dengan mempertautkan ke dua sisi normatif dan sisi empirik yang merupakan pasangan replektif (membias) mulai dari proses pembuatan hukum, perwujudan serta pelaksanaan fungsi hukum (penegakan hukum dan keadilan), dalam rangka merespon kebutuhan masyarakat yang sedang membangun di segala bidang, dalam mencapai tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan, menciptakan kepastian hukum dan memberikan kegunaan (kemanfaatan) bagi masyarakat.

Sorotan terhadap hukum dan penegakan hukum bukanlah merupakan sosok yang baru di tanah air kita, dia begitu penting untuk dibicarakan karena hal ini tidak saja merupakan tugas dan amanah konstitusi (UUD 1945), tetapi lebih jauh di sisi lain ia juga merupakan tonggak sekaligus benteng untuk tegaknya hukum dan keadilan. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan masa depan pencari keadilan di Indonesia.[3]

Proses pembuatan hukum baru hanya menyelesaikan satu tahap saja dari suatu perjalanan panjang untuk mengatur masayrakat. Tahap tersebut masih harus disusul oleh pelaksanaannya secara konkrit dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Inilah yang dimaksud dengan Penegakan Hukum itu.

Dalam bahasa indonesia dikenal beberapa istilah di luar penegakan hukum tersebut, seperti ”penerapan hukum”. Tetapi tampaknya istilah penegakan hukum adalah yang paling sering digunakan dan dengan demikian pada waktu-waktu mendatang istilah tersebut mungkin akan mapan atau merupakan istilah yang dijadikan (coined). Dalam bahasa asing kita juga mengenal berbagai peristilahan, seperti rechtstoepassing, rechtshandhaving (Belanda), Law enforcement, application (Amerika).

Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegakan hukum itu dijalankan oleh komponen eksekutif dan dilaksanakan oleh birokrasi dari eksekutif tersebut, sehingga sering disebut juga birokrasi penegakan hukum. Sejak negara itu mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan dalam masyarakat, maka memang campur tangan hukum juga makin intensif, seperti dalam bidang-bidang kesehatan, perumahan, produksi dan pendidikan. Tipe negara yang demikian itu dikenal sebagai welfare State. Eksekutif dengan birokrasinya merupakan bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang tercantum dalam peraturan hukum yang menangani bidang-bidang tersebut.[4]

Satu hal yang perlu diingat proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, tidak terlepas dari keberadaan hukum itu sendiri dalam sistem sosial yang lebih luas. Prosedur penegakan hukum tidak terlepas dari faktor-faktor sosial-kultural tempat hukum itu hendak diberlakukan.

Iklim penegakan hukum di Amerika misalnya tidaklah sama dengan iklim penegakan hukum di negara-negara dunia ketiga seperti di beberapa negara di Afrika, dimana campur tangan kekuasaan dan kelompok birokrasi begitu menguat, sehingga melemahkan dominasi hukum untuk hal-hal yang sebenarnya di bawah otoritas hukum.

Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar masalah teknis prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.[5]

Persoalan mengenai penegakan hukum juga disampaikan oleh Hikmahanto Juwana yang menjelaskan pada intinya bahwa pelaksanaan hukum akan melemah apabila hukum dijadikan komoditas politik, dilaksanakan secara diskriminatif, sehingga perlu dilakukan pembenahan dari berbagai aspek diantaranya Institusi penegak hukum, kesejahteraan penegak hukum dan memperbaiki subtansi hukum itu dengan kehidupan masyarakat dan dikatakan juga bahwa penegakan hukum merupakan faktor penting dalam kehidupan hukum di Indonesia[6]

Studi diagnostik menemukan kelemahan yang mendasar pada sistem hukum dan sarjana hukum di Indonesia. Kinerja sistem hukum dan sarjana hukum di Indonesia tidak memadai. Kritik utama adalah mengenai profesional hukum yang tidak mampu mengimbangi perubahan yang muncul dari pembangunan ekonomi. Masyarakat juga menilai anggota profesi hukum (Advokat, Notaris, Polisi, Jaksa, dan Hakim) tidak sepenuhnya memahami tugas utama mereka sebagai ”pelayanan hukum dan masyarakat”. Justru sebaliknya mereka mulai mengartikan pekerjaan mereka sebagai bagian dari industri yang dikendalikan oleh keuntungan (profit-driven industry).[7]

Dari beberapa penelitian tentang lemahnya penegakan hukum di Indonesia dan dengan literatur berhubungan dengan itu, Penulis berpendapat ada 5 (lima) penyebab lemahnya penegakan hukum dan 5 (lima) solusi pemecahan masalah yang selanjutnya diuraikan di bahwa ini :

1.        Pelaksanaan Kekuasaan Pemerintah Yang Belum Teruji, Pemecahan Masalahnya Tidak Melakukan Intervensi Kekuasaan ke Dalam Upaya Penegakan Hukum

Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berdasarkan UUD 1945, merupakan sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer. Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan.

Hasil analis politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan terjadi krisis penegakan hukum sepanjang tahun 2010 sebagai imbas dari krisis politik. Krisis politik timbul karena sistem presidensial yang rancu dan pilihan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilainya tersandera oleh kekuatan partai politik.[8]

Menurutnya, “Pemerintahan SBY tahun pertama ini sangat politis. Memberi ruang terlalu banyak untuk partai politik dan aktor politik lain dalam penegakan hukum. Akibatnya, penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan terombang-ambing dan ikut terpenjara ketika kepala eksekutifnya juga terpenjara oleh aktor-aktor politik.”[9]

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui bahwa telah terjadi kemerosotan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Salah Penyebabnya adalah :[10]

a.        Melemahnya rule of law, legal framework dan law enforcement, penegakan hukum, tatanan hukum dan termasuk perangkat hukum yang dijalankan.

b.        Meningkatnya indeks korupsi disetiap tingkat birokrasi pemerintahan.

c.        Meningkatnya kejahatan dan penyimpangan yang dilakukan oleh para penegak hukum.

d.        serangan publik dan serangan pers itu sering keras dan berlangsung secara sistematis terhadap para penegak hukum.

Untuk itu menurut penulis, dalam upaya meningkatkan kembali kepercayaan publik adalah melalui upaya keseriusan para penegak hukum dalam menuntaskan kasus yang mendapat perhatian luas, seperti kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangkan Miranda Swaray Goeltom, kasus Bank Century dan penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan.

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.[11]

Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.

Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan.[12]

Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.

Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan.[13]

Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan-kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.

Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional.[14]

Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.[15]

Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.

Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.

2.        Sistem Pengawasan Masyarakat Tidak Efektif, Pemecahannya Peran Pengawasan Masyarakat Menjadi Motivator Objektif

Dalam negara demokratis, rakyat adalah pemberi mandat kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan termasuk didalamya memberikan pelayanan kepada rakyat /masyarakat. Oleh karena itu masyarakat memiliki hak sekaligus kewajiban untuk melakukan pengawasan kepada penyelenggara negara.

Pengawasan oleh masyarakat ini semakin relevan sebagaimana ketika rakyat memilih presiden, gubernur dan bupati secara langsung. Dalam konteks politik, peranan pengawasan oleh masyarakat merupakan unsur yang menentukan nasib “penguasa” baik di legislatif maupun pimpinan eksekutif pada saat pemilihan umum. Dalam konteks negara, peranan pengawasan oleh masyarakat merupakan perwakilan suara rakyat yang telah terus menerus memiliki komitmen memenuhi kewajiban sebagai warga negara antara lain dalam membayar pajak. Oleh karena itu, untuk mengurangi kegagalan penyelenggaraan negara/pemerintahan pelibatan masyarakat dalam pengawasan merupakan hal yang penting.

Ada tiga hal penting dalam pengawasan masyarakat yaitu sebagai berikut :

a.        Ketersediaan akses pengawasan bagi masyarakat

Sejauh ini di Indonesia, sudah terdapat beberapa ketentuan hukum yang mengatur mengenai peran pengawasan masyarakat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, Misal :

1)       Inpres No. 1 Tahun 1989 Tentang Pengawasan Melekat,

Ø Sayangnya hal ini hanya terbatas pada definisi saja, tidak dijelaskan dan tidak dipraktekan bagaimana seharusnya pengawasan masyarakat tersebut berperan dalam waskat.

2)       PP No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Ø Belum juga dipraktekan, tidak lama kemudian PP ini dicabut diganti dengan PP No. 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dan pasal tentang pengawasan masyarakat tidak ditemukan lagi dalam PP No 79 Tahun 2005 tersebut.

b.        Kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk melakukan pengawasan

Dalam hal ini, berdasarkan Temuan JARI Indonesia pada Implementasi Program Community Based Development Watch/CBDW, dalam Goveranance Brief No.23/Des/2005 diketahui bahwa Pengawasan masyarakat masih kasuistis, jangka pendek, oleh kelompok kecil/perorangan dan sebagian besar mengarah pengawasan keuangan, sebagian kecil prosedur kerja dan kebijakan.

Permasalahan yang dihadapi adalah tidak adanya jalur dan mekanisme yang efektif termasuk tidak adanya panduan resmi, serta rendahnya ketrampilan yang belum dimiliki oleh masyarakat terkait dengan pengawasan.

Untuk itu diperlukan beberapa hal yang mempengaruhi motivasi masyarakat dalam melakukan pengawasan, diantaranya:

1)       Adanya organisasi masyarakat yang kuat dan dipercaya oleh anggotanya.

2)       Adanya jaminan kebebasan menyampaikan hasil pengawasan tanpa tekanan, ancaman dan rasa takut dari pihak manapun.

3)       Memiliki kepentingan langsung terhadap sesuatu yang diawasi.

c.        Kesediaan/kerelaan penyelenggara untuk diawasi.

Pengaturan dan kelembagaan penampung pengaduan masyarakat yang ada selama ini belum cukup mudah memberi kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi (tidak ada upaya dari penyelenggara untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, tidak adanya panduan dsb, menunjukkan tidak adanya kerelaan). Banyak kasus yang diadukan tidak mendapat tanggapan serius, disisi yang lain aparat penegak hukum justru membiarkan tumbuh suburnya Makelar Kasus (MARKUS).

Hal ini terjadi karena masyarakat sulit mendapatkan informasi terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, karena dalam UU 28 Tahun 1999 dan PP 68 tahun 1999, aparat bisa “mengelak” untuk tidak memberikan informasi, serta tidak ada perlindungan hukum bagi aparat yang membantu memberikan informasi kepada masyarakat (terancam dipecat).

Terhadap kendala-kendala dalam pengawasan masyarakat tersebut, kini di Indonesia terdapat secercah harapan baru dalam meningkatkan peran pengawasan masyarakat dalam pelaksanaan sistem kenegaraan Indonesia yaitu dengan adanya beberapa ketentuan hukum yang mengatur tentang,

a.        Kemudahan memperoleh pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 14 tahun 2008, Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Ø Ketentuan ini berlaku efektif sejak 30 April 2010.

b.        Dalam bidang pelayanan publik masyarakat memiliki sejumlah hak, antara lain seperti yang diatar dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Ø Ketentuan ini berlaku efektif sejak 18 Juli 2011.

3.        Etika Profesi Penegak Hukum Yang dilupakan, Pemecahan Masalahnya adalah, Etika Profesi Merupakan Bagian Yang Terintegral Dalam Mengatur Prilaku Penegak Hukum

Sekarang ini istilah Markus (makelar kasus) seolah menjadi  pembicaraan hangat, meskipun di kalangan tertentu kata-kata tersebut sudah sangat akrab. Kemunculan markus dalam kasus Cicak Vs Buaya membuat markus seolah diibaratkan fenomena snowball, yang semakin lama semakin kuat dan akhirnya menghantam dan meluluhlantakkan segala apa yang ada disekitarnya. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka jangan-jangan para cenayang pun suatu hari akan terkena “bola salju made in markus” tanpa sempat meramalkannya terlebih dahulu.

Sebelum semua itu akan memuncak, sepertinya kita harus balik lagi ke titik awal dalam kancah berfikir, kenapa markus bisa ada di negeri kita tercinta ini? Mungkin dengan pertanyaan sederhana tersebut kita bisa mendapatkan jawaban yang sederhana pula sehingga mudah untuk dicerna oleh siapapun. Berpijak kepada teori penegakan hukum Soerjono Soekamto, faktor-faktor penegakan hukum atau yang lebih dikenal dengan istilah law enforcement yaitu:[16]

1.    Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

2.    Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5.    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Saat ini yang menjadi sorotan yang sangat-sangat menyedot perhatian setiap orang adalah faktor penegak hukum. Ruang lingkup penegak hukum sangat luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum.

Bahwa timbulnya Markus tidak lain dikarenakan adanya kesempatan.  Kesempatan apa yang dapat timbul dari masalah ini, tidak lain adalah karena kesempatan yang ditimbulkan dari para aparat penegak hukum sendiri. Sehingga keberadaan markus makin merajalela melenggang dalam pengadilan. Pengaturan untuk mencegah terjadinya markus sebenarnya sudah ada yaitu dengan kode etik pada tiap aparat penegak hukum atau kita lebih kenal dengan Etika Profesi Hukum.

Seharusnya para aparat penegak hukum merenungkan kembali apa itu etika profesi hukum yang akhirnya terejawantah dalam kode etik profesi hukum. Istilah etika berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Sedangkan profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian, keterampilan, kejuruan tertentu. Sedangkan kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal etika moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan dalam profesi hukum.

Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup, berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap mayarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi seksama. Dan oleh karena itulah dalam melaksanakan profesi terdapat kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi yaitu sebagai berikut;

1.        Profesi harus dipandang sebagai pelayanan dan oleh karena itu sifat “tanpa pamrih” menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.

2.        Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.

3.        Pengembangan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.

4.        Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.

Sinergiditas antara etika profesi dan kode etik adalah seperti  kita ambil dari Yap Thiam Hiem, dalam bukunya “Masalah Pelanggaran Kode Etik Profesi Dalam Penegakan Keadilan dan Hukum”, maksud dan tujuan kode etik ialah untuk mengatur dan memberi kualitas kepada pelaksanaan profesi serta untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi serta untuk melindungi publik yang memerlukan jasa-jasa baik profesional.  Kode etik jadinya merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan pengontrolan etos kerja anggota-anggota organisasi profesi.”
Jangan Ada Celah.

Dari uraian di atas sesungguhnya Markus tersebut seharusnya sudah tidak dapat lagi hadir dalam criminal justice system kita, jika para unsur catur wangsa (hakim, jaksa, polisi, advokat) penegak hukum di Indonesia telah benar-benar comit dengan kode etik masing-masing. Dengan kata lain jangan ada celah-celah kecil yang makin lama makin meluas (efek kapilaritas) yang akhirnya dapat mengaburkan suatu permasalahan yang sedang terjadi.

Persoalan yang menyeruak dan menjangkiti hukum di Indonesia saat ini lebih disebabkan karena terjadinya degradasi moral dalam tubuh aparatur penegak hukum kita. Dalam benak penulis, momentum saat ini dapat menjadi langkah awal pemerintah bersama jajaran institusi penegak hukum, akademisi hukum dan pihak lain terkait penegakan hukum, untuk merekonstruksi kode etik profesi hukum dimana substansinya harus jauh lebih accountable (tanggung jawab). Lebih tegas menutup celah-celah penyelewengan hukum, sangat jelas dan transparan serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Pembenahan etika aparatur penegak hukum seharusnya menjadi salah satu agenda pemerintah dalam mereformasi institusi penegak hukum.

Jadikan kode etik sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas profesi hukum yang tidak lain adalah untuk selalu mengacu pada tujuan hukum  yang tidak lain adalah mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manusia. Jika boleh meminjam risalahnya Umar bin Khattab kepada Musa Al-AsyÆari, “Samaratakanlah manusia dalam majelismu, dalam pandanganmu, dalam putusanmu, sehingga orang berpangkat tidak mengharapkan penyelewenganmu, dan orang lemah tidak putus asa mendambakan keadilanmu.[17]

4.        Pengaruh globalisasi ke dalam sistem hukum Indonesia serta teori pemecahan masalahnya adalah penguatan sistem hukum indonesia dengan melakukan harmonisasi hukum secara global berkembang mempengaruhi dunia.

Globalisasi telah menimbulkan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dalam skala nasional, regional maupun internasional. Perubahan Global berupa globalisasi pasar erat dengan puncak kapitalisme, gaya hidup yang makin terekonomisasi dalam jalinan global, universalisasi standar, aturan hukum, transportasi, komunikasi, akomodasi hal-hal yang dianggap telah disediakan alam, kreasi manusia atau intervensi manusia pada alam, hidup dan kerja yang makin padat otak, pertambahan penduduk, hipereksploitasi sumber daya alam, dan peran perusahaan transnasional melebihi pemerintah, secara ekstrakonstitusional mempengaruhi pemerintah bahkan menguasai sumber daya alam suatu negara. [18]

Eksistensi berbagai aturan hukum nasional ini diberbagai negara berada satu diantara yang lain, Perbedaan ini kemudian dikwatirkan mempengaruhi kelancaran transaksi perdagangan. Permasalahan ini telah cukup lama disadari oleh bangsa-bangsa di dunia termasuk Organisasi Dunia PBB.[19]

Implikasi globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar terhadap aspek kehidupan bermasyarakat terutama aspek hukum, globalisasi hukum terjadi dalam arti substansi berbagai undang-undang dan kontrak-kontrak menyebar melewati batas-batas negara. Oleh karena itu, batas-batas ruang lingkup suatu negara semakin menjadi samar, namun dari hal demikian juga tampak bahwa hukum antar negara-negara didunia menjadi semakin terintegrasi.

Hal ini ditegaskan oleh John Braitwaite and Peter Drahos,  ”Proses integrasi ekonomi dari berbagai negara yang memerlukan harmonisasi hukum untuk meminimalisasi bentrokan hukum domestik dari negara-negara tersebut. Proses globalisasi hukum tersebut dapat terjadi melalui kontrak dan konvensi Internasional, kontrak privat dan institusi ekonomi baru.[20]

Proses globalisasi hukum ini juga telah mempengaruhi hukum investasi dan perdagangan di Indonesia, sesuai dengan perkembangan investasi dan perdagangan di Indonesia, sesuai dengan perkembangan investasi dan globalisasi di bidang ekonomi. Dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah menimbulkan akibat yang begitu besar pada bidang hukum. Quncy Wright berpendapat ”Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas ini, baik negara maju maupun negara berkembang, bahkan negara terbelakang sekalipun harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonomi”.[21]

Dalam perspektif seperti ini kondisi hukum di Indonesia telah mengalami krisis distorsi yang cendrung mengrogoti ketahan sistem hukum Indonesia dengan cepat dia merembah ke bebagai sektor institusi penegakan hukum dan berbagai sektor kehidupan masyarakat. Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencari keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar masalah teknis prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat indonesia.

Masalah hukum dalam dunia ketiga adalah seputar bagaimana ”mempersiapkan” yang belum ada dan ”menyesuaikan”

yang tidak lagi cocok dalam rangka proses transplantasi[22] hukum secara besar-besaran yang berjalan mengiringi proses pertumbuhan tatanan ekonomi dunia. Dalam kondisi seperti ini permasalahan hukum bukan lagi hanya persoalan eksekutif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak milik dari segelintir orang, yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkanya kenyataan bahwa permasalahan hukum merupakan permasalahan riil hampir semua orang.[23]

Gerakan dan perubahan yang sangat cepat dalam segala segi aspek kehidupan manusia, seiring dengan adanya globalisasi menimbulkan berbagai dampak baik yang bersifar negatif maupun positif. Globalisasi yang ditandai dengan kemajuan tekhnologi komunikasi, transportasi, dan infromatika yang berkembang pesat disamping menjadi sarana yang memudahkan mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat yang lain maupun kemudahan manusia untuk mengakses segala macam berita maupun pengetahuan disisi lain juga ada egatifnya.

Pada era globalisasi pembangunan hukum ditandai dengan kecenderungan tuntutan kebutuhan pasar yang ada dewasa ini semakin mengglobal.Dalam kondisi semacam ini produk-produk hukum yang dibentuk lebih banyak bertumpu pad keinginan pemerintah, karena tuntutan pasar. Tuntutan kebutuhan ekonomi telah mampu menimbulkan perubahan-perubahan yang amat fundamental baik dalam hal fisik maupun sosial politik budaya yang mampu melampaui pranata-pranata yang ada.[24]

5.        Lemahnya Eksistensi Organisasi Advokat dari Dukungan Anggotanya, Pemecahan Masalahnya Perlu Pemantapan dan Ketahanan Organisasi Profesi dalam Masyarakat

Secara historis advokat adalah salah satu profesi yang tertua. Dalam perjalanannya profesi ini dinamai sebagai officum nobile, jabatan yang mulia. Penamaan ini adalah karena aspek “kepercayaan” dari pemberi kuasa yang dijalankan untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak nya di forum yang telah ditentukan.[25]

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat atau disebut dengan Undang-Undang Advokat istilah-istilah Advokat, pengacara, Penasehat Hukum, Konsultan Hukum memiliki perbedaan pengertian yang cukup bermakna.[26] Dalam berbagai ketentuan perundang-undangan terdapat inkonsistensi sebutan, misalnya dalam undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1974 Jo. UU No. 35 Tahun 1999 Jo. UU No. 4 Tahun 2004) menggunakan istilah Penasihat Hukum, KUHAP menggunakan istilah Penasehat Hukum, didalam UU MA, administratif menggunakan kata pengacara atau advokat.[27]

Seiring dengan terpuruknya wibawa hukum dari Pengadilan, Profesi Advokat sekarang berada dalam tahapan yang menhkawatirkan bahkan Advokat disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai mafia peradilan, meski tidak semua advokat berprilaku demikian, namun hal itu membuat semua pihak cemas akan masa depan penegakan hukum di Indonesia.

Untuk meningkatkan kualitas profesi advokat dibentuklah organisasi advokat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan bahwa Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.

Dalam upaya penegakan hukum suatu negara beberapa aktor utama yang peranannya sangat penting, diantaranya adalah hakim, jaksa, advokat, dan polisi. Atau lebih dikenal dengan catur wangsa penegak hukum. Hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif adalah lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan negara, sedangkan jaksa dan polisi adalah lembaga penegak hukum yang mewakili kepantingan pemerintah, kemudian advokat adalah lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan masyarakat. Pada posisi seperti ini peran advokat menjadi penting karena dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan pemerintah. Hal ini lah yang menjadi fokus perhatian kita kali ini yaitu mengenai profesi advokat. Melalui jasa hukum yang diberikannya, advokat menjalankan tugas profesi demi tegaknya hukum dan keadilan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan.

Advokat di dalam melaksanakan tugasnya perlu adanya integrasi, karakteristik yang kuat dan tentunya berkualitas serta berintelektual yang tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Robert F. Kennedy: ourage in the most important atribute of a lawyer. Litis more important than important competence or vision. It can never be the limited, dated or ourwom and it should pervade the hearth, the halls of justice, and the camber of the mind.” (Keteguhan hati adalah atribut yang teramat sangat penting bagi seorang Advokat . Ia adalah lebih penting ketimbang kecakapan atau visi. ia tidak dapat dibatasi, tidak dapat untuk tidak diberlakukan, atau tidak dapat usang, dan ia akan merembesi jantung dan merembesi lorong-lorong keadilan dan ruang-ruang keadilan).[28]

Dalam membela kliennya, advokat harus tetap menghormati hukum. Jadi advokat tidak boleh melanggar hukum, sehingga apabila kliennya menawarkan menggunakan keterangan atau kesaksian palsu dalam rangka pembelaan, advokat harus menolaknya. Dalam menjalankan profesinya asas kebebasan advokat atau independence of lawyer merupakan syarat mutlak dari profesi advokat yang diakui dan diterima serta dipertahankan dalam konferensi advokat diseluruh dunia. Prakteknya banyak hambatan-hambatan untuk mewujudkan prinsip peradilan yang bebas, independensi serta terciptanya sistem peradilan yang bersih dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena diantara catur wangsa penegak hukum belum dapat berinteraksi pada sistem penegak hukum sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam mewujudkan ketertiban hukum dan tegaknya hukum dan keadilan di dalam institusi peradilan dengan tetap menjaga ”rule of law”.

Di dalam konteks ini agar profesi advokat menjadi profesi sesuai yang diharapkan itu maka diperlukan suatu Organisasi Profesi Advokat yang baik. Disisi lainnya, fakta menujukkan, organisasi advokat di Indonesia tidak sepenuhnya mampu menjadi instrumen penting untuk membuat profesi advokat menjadi terhormat, bebas, mandiri dan bertanggung jawab. Fakta ini berkaitan erat dengan suatu fakta lainnya, sebagian besar para advokat belum secara sungguh-sungguh memberikan kontribusi signifikannya secara optimal untuk membangun organisasi profesi advokat yang kredibel.

Dalam kajian hukum empirik, organisasi profesi advokat dipandang sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional karenanya ia merupakan sub sistem dalam sistem sosial yang lebih luas yang berada bersama-sama dengan sub sistem lainnya yakni: sistem ekonomi, sistem hankam dan seterusnya yang tercakup dalam sistem yang luas. Dengan keberadaan yang demikian maka organisasi profesi advokat pada gilirannya mempengaruhi keseimbangan sistem secara keseluruhan.[29]

Apabila sub sistem sosial lain diberikan penekanan yang lebih, maka Organisasi Profesi Advokat sebagai sub sistem sosial juga akan ikut berpengaruh, bahkan terabaikan. Jika politik dan ekonomi sebagai sub sistem berperan untuk mengatasi konflik dalam masyarakat, maka peran Organisasi Profesi Advokat akan berkurang dan akhirnya peran politik dan ekonomilah yang lebih dominan. Maka muncullah dalam masyarakat istilah-istilah yang seolah-olah mendeskriditkan keberadaan Organisasi Profesi Advokat tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pembinaan terhadap anggotanya, dengan sinis dikatakan orang sebagai institusi yang besar pasak dari tiang.

Paska pembentukan Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003, 8 (delapan) organisasi profesi advokat yang ada diperintahkan oleh Undang-undang untuk membentuk suatu organisasi advokat. Secara tegas Undang-Undang dimaksud meminta, organisasi dimaksud harus sudah dibentuk 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang tersebut disyahkan atau tepatnya tanggal 5 April 2005.

Pada tanggal 21 Desember 2004, perwakilan dari Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPRI), Himpunan Advokat Dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (disingkat HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), di hadapan Notaris Buntario Tigris Darmawa Ng di Jakarta, bersepakat mendirikan membentuk Organisasi advokat yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 dengan nama organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).[30]

Mengenai eksistensi PERADI itu sendiri sebagai organisasi advokat yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 adalah sebagaimana dimuat dalam Putusan No. 160/Pdt.G/2005/PN.JKT.PST, tanggal 23 Maret 2006 Jo. Putusan No. 168/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, tanggal 17 Juli 2006, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa karena keberadaan PERADI telah memenuhi Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebagai salah satu wadah tunggal dari Advokat, maka pembentukan panitia ujian profesi advokat tanggal 15 September 2005 dan menyelenggarakan kursus dan ujian advokat tidak bertentangan dengan undang-undang Advokat, karena sesuai dengan Pasal 2, Pengangkatan dan Pendidikan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat, dalam hal ini PERADI.[31]

Putusan No. 100/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, tanggal 07 Maret 2007, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan karena PERADI telah didirikan secara sah dan telah memiliki Anggaran Dasar serta eksistensinya telah diakui secara sah menurut undang-undang hingga saat ini, maka perbuatan PERADI dalam mengangkat Panitia Ujian Advokat (PUPA 2005) untuk dan telah melaksanakan atau menyelenggarakan Ujian Profesi Advokat pada tanggal 04 Februari 2006 yang telah diikuti oleh penggugat dan ujian yang diadakan lainnya oleh Tergugat-Tergugat harus dinyatakan sah dan mengikat, serta bukan merupakan perbuatan melawan hukum.[32]

Semakin kuatnya eksistensi Organisasi Advokat, membawa pengaruh positif dalam pelaksanaan peranan organisasi advokat dalam melaksanakan pengawasan terhadap advokat dalam menjalankan profesinya sebagaimana diatur dalam Pasal 12

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, yang isinya sebagai berikut :[33]

–          Pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh organisasi advokat (Pasal 12 ayat (1)).

–          Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 bertujuan agar profesi advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan (Pasal 12 ayat (2)).

Namun demikian diperlukan dengan segera agar organisasi advokat membentuk komisi pengawas sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 13 Undang-Undang Advokat No.18 tahun 2003 sehingga fungsi pengawasan melalui organ organisasi advokat dapat berfungsi melaksanakan tugasnya.

Didalam struktur organisasi advokat, selain Dewan Pimpinan Nasional terdapat Dewan Kehormatan dan Dewan Pengawas. Dewan Pengawas ini bertugas untuk melaksanakan pengawasan terhadap advokat yang bertujuan agar advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan. Baik keanggotaannya terdiri dari unsur advokat senior, para ahli/akademisi dan masyarakat. Dewan pengawas ini merupakan wadah yang menjamin agar fungsi dan tugas-tugas advokat itu dapat berjalan seiring dengan pelaksanaan kode etik profesi, dalam unsur penegak hukum yang lain dikenal juga sistem pengawasan seperti komisi pengawas kejaksaan, komisi pengawas kepolisian dan komisi yudisial. Walaupun tatacara pengangkatannya dengan sistem yang berbeda.

PENUTUP

Sorotan terhadap hukum dan penegakan hukum bukanlah merupakan sosok yang baru di tanah air kita, dia begitu penting untuk dibicarakan karena hal ini tidak saja merupakan tugas dan amanah konstitusi (UUD 1945), tetapi lebih jauh di sisi lain ia juga merupakan tonggak sekaligus benteng untuk tegaknya hukum dan keadilan.

Proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, tidak terlepas dari keberadaan hukum itu sendiri dalam sistem sosial yang lebih luas. Prosedur penegakan hukum tidak terlepas dari faktor-faktor sosial-kultural tempat hukum itu hendak diberlakukan.

Kelemahan yang mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia adalah terletak pada sistem hukum dan sarjana hukum di Indonesia. Kinerja sistem hukum dan sarjana hukum di Indonesia tidak memadai. Kritik utama adalah mengenai profesional hukum yang tidak mampu mengimbangi perubahan yang muncul dari pembangunan ekonomi.

Penulis berpendapat ada 5 (lima) penyebab lemahnya penegakan hukum dan 5 (lima) solusi pemecahan masalah yang selanjutnya diuraikan di bahwa ini :

1.        Sistem politik pemerintah yang belum teruji, pemecahan masalahnya tidak melakukan intervensi kekuasaan ke dalam upaya penegakan hukum,

2.        Sistem pengawasan masyarakat tidak efektif, pemecahannya peran pengawasan masyarakat menjadi motivator objektif,

3.        Etika profesi penegak hukum yang dilupakan, pemecahan masalahnya adalah, etika profesi merupakan bagian yang terintegral dalam mengatur prilaku penegak hukum,

4.        Pengaruh globalisasi ke dalam sistem hukum indonesia serta teori pemecahan masalahnya adalah penguatan sistem hukum indonesia dengan melakukan harmonisasi hukum yang secara global berkembang mempengaruhi dunia, dan

5.        lemahnya eksistensi organisasi advokat dari dukungan anggotanya, pemecahan masalahnya perlu pemantapan dan ketahanan organisasi profesi dalam masyarakat.

Berdasarkan paparan ini diharapkan agar menjadi suatu masukan bagi para pembuat, pelaksana, dan penegak hukum untuk berbenah diri dan memperbaiki diri dengan melakukan evaluasi dan resolusi dalam mengupayakan Law Enforcement, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali, Achmad, Urgensi UU Advokat & Peran Advokat dalam Penegakan Supremasi Hukum. Seminar Rancangan UU Advokat oleh DPP IKADIN, hal. 2, tanggal 27 Juni 2002.

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Bertens, K, Etika, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Bemmelen, Van, Leerboek van het Nederlandssche Strarfprocesrecht, de herziene druk.

Braitwaite, John and Peter Drahos, Global Business Regulation, New York : Cambridge University Press, 2000.

Breeden, Richard C, “The Globalization of Law and Business In The 1990’s, “Wake Forest Law Review, Vol. 28 No. 3, 1993.

Budiardjo, Miriam Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.

Hasibuan, Otto, Menjalankan Pekerjaan Profesi Advokat Dan Bertindak Seolah-olah Sebagai Advokat Tetapi Bukan Advokat (Makalah disampaikan pada Diskusi yang diselenggarakan DPP IKADIN di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Pada tanggal 29 Januari 2004.

___________, Keseimbangan dan Keterbukaan Dalam Kontrak Anjak Piutang di Indonesia, Jakarta : Fauzie & Partners, 2010.

Kanter, E.Y, Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Sosio-Religius Storia, Jakarta : Grafika, tanggal Juli 2001.

Komar, Mieke. at al., Mochtar Kusumaatmadja : Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.

Lev, Daniel S. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.

Nugroho, Hibnu,Paradigma Penegakan Hukum Indonesia Dalam Era Global, Jurnal Hukum Pro Justitie, Oktober 2008, Volume 26 No. 4

Pangaribuan, Luhut M.P, Advokat dan Contempt of Court : Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Jakarta : Djambatan, 1996.

Pandu, Yudha,  Klien dan Advokat, Jakarta : PT. Abadi, 2004.

Rasyidi, Lili & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.

Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2008.

Yunarto Wijaya, Materi Diskusi di Warung Daun, Jalan Cikini, Jakarta, 18 Desember 2010.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No.168/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, tanggal 17 Juli 2006.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 100/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, tanggal 07 Maret 2007.

Winarta, Frans Hendra, berita diambil dari situs www.komisihukum.go.id.

 

Buletin PERADI, Vol. 02 Edisi Kedua Th. 1 Agustus 2008

 


[1]Tema yang diskusi yang dibuat oleh Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul.

[2] Pemakalah berprofesi sebagai Advokat di Jakarta dan Ketua Pendidikan dan PKPA Perhimpunan Advokat Indonesia serta Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia, Jabatan Akademisi Sekretaris Pelaksana Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Jayabaya.

[3] Fauzie Yusuf Hasibuan, Hukum dan Dunia Peradilan di Indonesia, (Jakarta : Fauzie & Partners, 2007), hal. 1

[4] Raharjo Satjipto, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat ( Bandungg : Alumni, 1983), hal. 1181.

[5] Frans Hendra Winarta, berita diambil dari situs www.komisihukum.go.id

[6] Hikmahanto Juwana, Orasi Ilmiah, disampaikan pada acara wisuda program doktor Magister, dan Spesialis di Balairung Universitas Indonesia pada tanggal 4 Februari 2006.

[7] Reformasi hukum di Indonesia, op, cit, hal. 147.

[8]Yunarto Wijaya, Materi Diskusi di Warung Daun, Jalan Cikini, Jakarta, 18 Desember 2010.

[9]Ibid.

[10] Disampaikan oleh Jaksa Agung Basrief Arief dan jajarannya di Istana Negara, Jakarta, 13 Desember 2010.

[11]Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.

[12] Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.

[13] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005., hal. 118.

[14]Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001., hal. 181.

[15]Ibid.

[16]Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2008, hal. 21.

[17] Hati meurpakan pimpinan dari kerajaan diri, malah para ulama sufi menganjurkan hati sebagai raja dalam kerajaan tubuh di dalam badan manusia, sebagaimana sabda Rarsulallah Muhammmad SAW, ”sesungguhnya dalam diri manusia itu ada segumpal daging apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh anggota badannya, apabila rusak, maka rusaklah seluruh anggotanya, ketahuilah itulah hati”, Kata perhatian-perhatian, hati-hati dalam perjalanan, kata hati menunjukkan arti, buka hatimu agar langkah perjalanan menuju hidup dapat selamat sampai ke tujuan. Ketika Malaikat membedah dada Nabi Muhammad S.A.W hatinya dihembuskan kalam Illahi untuk menangkal dan memastikan perjalanan kerasulannya menjadi panutan umat manusia, begitulah pentingnya hati dalam diri manusia, dalam profesi hukum kata hati nurani harus sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan karena kata hati itu terpelihara oleh etika profesi dan itu pula yang memberikan kepastian bahwa seorang Advokat menjadi profesional. Berners mengatakan,Kode Etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagai suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu didalam masyarakat.

[18] Hibnu Nugroho, Paradigma Penegakan Hukum Indonesia Dalam Era Global, Jurnal Hukum Pro Justitie, Oktober 2008, Volume 26 No. 4

[19] Fauzie Yusuf Hasibuan, Op, Cit, hal. 166.

[20] John Braitwaite and Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York : Cambridge University Press, 2000), hal. 24-25.

[21] Ibid., Lihat juga Richard C. Breeden, “The Globalization of Law and Business In The 1990’s, “Wake Forest Law Review, Vol. 28 No. 3 (1993), hal. 511-517.

[22] Transplantasi dalam pengertian umum dapat diartikan sebagi pemotongan lalu diganti dengan ketentuan hukum dari luar sebagai donor undang-undang, oleh karena itu istilah tranplantasi menurut pendapat penulis tidaklah tepat dalam melakukan perubahanperkembangan hukum di indonesia sebaiknya dilakukan dengan harmonisasi bukan transplantasi. Harmonisasi secara etimologis berasal dari kata dasr harmoni, menunjuk pada proses yang srrupa dari suatu upaya untuk menuju atau merealisasikan sistem harmoni. Itilah haarmonisasi artinya terkait secara serasi dan sesuai. Istilah harmonisasi juga dapt diartikan keselarasn, kecocokan, keserasian, keseimbangan yang menyenangkan. Lihat Fauzie Yusuf Haasibuan, Keseimbangan dan Keterbukaan Dalam Kontrak Anjak Piutang di Indonesia, (Jakarta : Fauzie & Partnerts, 2010), hal. 163.

[23] Frans Hendra Winata, Dimensi Moral Etika Advokat dan Pekerja Bantuan Hukum, 2006, lihat di www.komisi hukum.go.id.

[24] Hibnu Nugroho, Op, Cit, hal. 321.

[25] Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court : Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, (Jakarta : Djambatan, 1996), hal. 1.

[26] Yudha Pandu, Klien dan Advokat, (Jakarta : PT. Abadi, 2004), hal. 9.

[27]Ibid., hal. 1-2.

[28] Fauzie Yusuf Hasibuan, op.cit., hal. 39.

[29] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono minta kepada para advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) untuk turut serta membantu good governance dalam system hukum Indonesia. Pertemuan DPN PERADI dengan Presiden, dikantor Presiden tanggal 4 Juni 2008. Selanjutnya pemerintah menilai pendirian Kongres Advokat Indonesia (KAI) tidak memiliki dasar hukum yang kuat. “Nggak ada dasar hukumnya, jelas kok,”tegas Menteri Hukum dan HAM (Depkumham) Andi Mattalatta beragumen, UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah memberikan mandat kepada delapan organisasi advokat, diantaranya Asosiasi Advokat Indonesia dan Ikatan Advokat Indonesia, untuk membentuk wadah tunggal, yakni PERADI.”Delapan organisasi advokat itu sudah membentuk PERADI, artinya PERADI sebagai wadah organisasi,” tandasnya. Menurut Andi, dengan hanya mengakui bahwa PERADI satu-satunya wadah tunggal advokat, bukan berarti pemerintah tidak adil dengan memihak salah satunya. Pemerintah hanya melaksanakan UU mengenai Advokat.”UU mengatasnamakan satu wadah tunggal dan pasal yang mengamanatkan wadah tunggal sudah dilaksanakan mereka, yaitu dengan membentuk PERADI,” jelasnya. Buletin PERADI, Vol. 02 Edisi Kedua Th. 1 Agustus 2008, hal. 7.

[30] Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dalam konferensi pers di MA tanggal 14 Agustus 2008, menyatakan “Yang pasti bahwa yang boleh melakukan praktik di Pengadilan adalah mereka yang sudah mempunyai izin praktik tetap. Setelah ada PERADI, Kami menetapkan kartu PERADI yang berlaku dipengadilan”. Dukungan serius atas kehadiran PERADI sebagai wadah tunggal profesi advokat selama ini ditunjukkan dengan sejumlah kebijakan yang dikeluarkan lembaga tersebut sebagai pelaksanaan undang-undang Advokat. Oleh Mahkamah Agung melalui: 1) Surat MA No. KMA/445/VI/200, tanggal 25 Juni 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, menegaskan mengenai larangan melakukan sumpah dan pelantikan serta her registrasi para pengacara praktek dan advokat, 2) Surat MA No. 07/SEK/01/III/K/2007, tanggal 11 Januari 2007 tentang Sosialisasi KTPA baru yang berpraktek di Pengadilan dari semua lingkungan peradilan di seluruh Indonesia, dan 3)Surat MA No. MA/KUMDIL/01/II/K/2007, tgl 29 Maret 2007, mengenai SE No.01 tahun 2007 tentang Petunjuk Pengambilan Sumpah Advokat. Yang merupakan tanggapan atas surat PERADI mengenai Sumpah Advokat.

[31] Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No.168/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, tanggal 17 Juli 2006, hal. 18 alinea 6.

[32]Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 100/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, tanggal 07 Maret 2007, hal. 55, alinea 3.

[33]Sebelum berlakunya UU Advokat, dalam pasal 36 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 disebutkan: “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas penasehat Hukum dan Notaris”. Pasal 54 (1) UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum yang merupakan perubahan UU No.2 Tahun 1986,Menyebutkan: “Ketua Pengadilan Negeri mengadakan pengawasan atas pekerjaan Penasehat Hukum dan Notaris didaerah hukumnya dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman”. Selanjutnya Pasal 54 ayat (4) dari UU No. 2 tahun 1986 mengatur tentang tata cara pengawasan, penindakan dan pembelaan diri penasehat hukum, yang menurut ketentuan itu akan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. Ketentuan pasal 54 ayat (4) dari UU No. 2 tahun 1986 tersebut menyebutkan : “Tata cara pengawasan dan penindakan serta pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman berdasarkan Undang-Undang”.Undang-Undang yang dikehendaki oleh ketentuan pasal 54 ayat (4) tersebut hingga kini belum terwujud.Untuk mengisi kekosongan itu, maka ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman secara bersama menerbitkan suatu peraturan yang mengatur tata cara pengawasan dan penindakan serta pembelaan diri penasehat hukum dimaksud. Peraturan itu adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman RItanggal 6 Juli 1987 No. KMA/005/SKBVII/1987 dan No.MPR.08.05 tahun 1987 tentang tata cara pengawasan, penindakan dan pembelaan diri penasehat hukum. Namun dalam perkembangannyadinyatakan ketentuan yang mengatur mengenai pengawasanadvokat sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.