Drs. Sapto Jumono, ME.
Dosen Fakultas Ekonomi
Universitas Esa Unggul, Jakarta

 

Bank sebagai lembaga intermediasi mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah perekonomian agar tumbuh dan berkembang. Mencermati sebuah bank dapat dilakukan secara fundamental, teknikal dan alternatip-alternatip lain yang terus berkembang. Hasil pengamatan sangat berguna untuk Mengetahui apakah sebuah bank sehat atau tidak

Coba amati air, kemana ia mengalir? Tentu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Angin juga mengalir dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. Lalu, bagaimana dengan uang ? kemana mengalir dan siapa yang mengalirkan ? Benar, uang mengalir dari surplus unit ke defisit unit, dan akan terus akan mengalir selama defisit unit menguntungkan (profitable). Ini syarat utama supaya aliran terus terjaga, karena dengan adanya profit maka bunga dan pokok pinjaman dapat terbayar. Kemudian siapa yang mengalirkan uang tersebut? Bank. Benar, karena bank adalah bagian terbesar dari sistem keuangan yang berfungsi sebagai intermediasi keuangan yang menghubungkan surplus unit dan défisit unit dalam sistem ekononomi.

Jika uang dalam perekonomian diibaratkan seperti darah didalam tubuh manusia, maka sistem keuangan (yang sebagian besar didominasi oleh sistem perbankan) adalah jantungnya. Jantung yang kuat akan sanggup memompa darah keseluruh bagian tubuh sehingga tubuh menjadi tumbuh sehat dan seimbang secara bekelanjutan. Demikian juga dengan sistem perbankan yang tangguh dan sehat tentunya juga akan sanggup memobilisasi dana dari dan keseluruh lapisan masyarakat sehingga perekomian masyarakat tumbuh dan berkembang, yang pada gilirannya diharapkan dapat memakmurkan masyarakat. Jadi jelas sistem perbankan yang tangguh dan sehat adalah syarat terciptanya sistem ekonomi yang tumbuh dan berkembang.

Bank sehat apa syarat dan cirinya? Mobil yang tangguh apa ciri-cirinya? Mengapa mobil harus tangguh ? Ya, mobil tangguh diperlukan untuk menempuh suatu jarak jauh dalam mencapai tujuan. Untuk itu diperlukan sebuah perjalanan yang aman dan nyaman bagi penumpangnya, sehingga bamper dan bodi mobil harus kuat, mesin harus tangguh, sopir harus cukup pengalaman plus penuh kehati-hatian, mempunyai daya kecepatan yang tinggi dan terkendali serta ban depan dan belakang juga harus kokoh dan handal. Analog ini diperlukan untuk memahami bank yang sehat dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi masyarkat.

Agar bank dapat tumbuh dan melaju dengan baik, pertama diperlukan modal yang cukup (Capital Adequacy Ratio) sebagai bamper untuk menanggung risiko kredit macet yang sewaktu-waktu harus di hapus bukukan, Kedua, kualitas aktiva produktip (Quality Assets produktive) harus tinggi, indikatornya kredit macetnya kecil. Mengapa harus berkualitas tinggi ? Karena fungsi aset produktif adalah sebagai mesin bank yang harus mampu menghasilkan imbal hasil (return) yang cukup. Ketiga, manajemen bank sebagai pengendali jalannya operational bank harus solid, penuh kehatian-hatian dan cukup berpengalaman. Keempat, Earnings, laba yang diperoleh bank harus memadai sebagai alat pemacu pertumbuhan modal dan asset. Kelima, Liquidity atau likuiditas harus terjaga baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, supaya kepercayaan (trust) masyarakat meningkat. Kelima pilar ini sering disebut dengan CAMEL yang sekarang telah berubah menjadi CAMELS, dimana S singkatan dari sensitivity (sensitivitas).

Menurut Bank Indonesia yang dimaksud sensitivitas, adalah sensitivitas bank terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk) Di mana penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor sensitivitas terhadap risiko pasar antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen ; pertama, modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi suku bunga dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga; Kedua, modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi nilai tukar dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi nilai tukar; dan ketiga, kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar.

Bank Sehat, ciri dan bagaimana memilihnya?
Masalah memilih bank bukanlah soal mudah. Memilih bank tidak jauh beda dengan memilih jodoh. Harus dicermati dulu bibit, bebet, dan bobotnya. Mengenai bibit, misalnya, dapat dianalogikan dengan latar belakang bankir. Sang bankir sebelumnya berprofesi sebagai pedagang, biasanya, ia juga akan menggunakan cara-cara dagang, dalam mengelola bank. Kemudian bebet. Konteks ini dapat diinterpretasikan sebagai kualitas aset bank. Bank yang berkualitas aset baik, lazimnya, pendapatannya juga baik. Sementara itu, bobot, dapat ditafsirkan sebagai kemampuan manajemen atau bankir dalam mengelola bank. Biasanya, bankir yang “jam terbang”- nya sudah tinggi akan lebih berhati-hati dalam mengelola bank. Dalam versi lain, bank yang berusia tua dapat dianggap lebih mapan ketimbang bank yang baru berdiri. Di luar parameter “psikologis” itu, secara empiris, ada beberapa indikator yang layak dijadikan rujukan untuk mendeteksi kinerja bank.

Masih banyak masyarakat yang bingung menentukan bank yang aman buat investasi. Selain itu, pengetahuan masyarakat juga masih banyak diracuni dengan stereotip tertentu yang seolah-olah bank yang beroperasi saat ini sudah jauh dari gejolak dan masalah. Masih ingat kasus bank global? betapa mirisnya melihat Bank Global terpaksa harus dipapah ke special surveillance unit (SSU), alias UGD-nya bank-bank sekarat. Sejak 14 Desember 2004, bank ini benar-benar terkubur dalam sejarah. Kasus tersebut seperti menebar virus menakutkan kepada masyarakat untuk menitipkan dananya di bank-bank, sehingga mana bank yang sehat dan tidak sehat tidak jelas.

Hasil analisis yang muncul dari lembaga-lembaga pemeringkatan kredibel seperti Pefindo, yang terdiri dari pakar keuangan andal yang mampu mengeluarkan penilaian (rating) kinerja bank-bank umum dapat dijadikan rujukan masyarakat awam untuk memilih bank. “Dilihat dari sisi pengguna nasabah, fenomena pembuatan peringkat bank itu jelas sebagai langkah positif,” karena, masyarakat akan semakin mengerti bagaimana kinerja bank yang selama ini diandalkan. Apakah bank itu sehat? Baguskah kinerjanya? Bagaimana profit dan posisinya di antara bank-bank lain. Informasi semacam ini jelas akan mendidik nasabah untuk tidak gegabah memilih bank.

Nasabah tidak akan memilih bank hanya berdasarkan gedung yang megah atau karyawan yang cantik-cantik. Intinya, bank yang sehat kinerjanya pasti akan laris manis. Apa indikator melihat bagus tidaknya suatu bank? Jelas bukan dari maraknya iklan perbankan di layar kaca, tawaran bunga yang menggiurkan, fasilitas phone banking, kerja sama dengan beberapa bank lain, dan jaringan ATM terluas. Kualitas pelayanan dan profesionalitas sebuah bank juga merupakan indikator subyektif yang sulit diukur, karena memiliki banyak standar. Jika hal-hal diatas yang jadi patokan, maka kebenaran yang diperoleh masih sebatas kebenaran semu. Oleh karena itu, untuk menilai dan memperbandingkan bank-bank yang tengah beroperasi, maka yang paling bijak adalah dengan menggunakan indikator-indikator perbankan yang memiliki satu standar.

Untuk dapat mengetahui sebuah bank yang beroperasi sahat atau tidak, dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan fundamental dan teknikal. Mencermati sisi fundamental merupakan pendekatan melalui kinerja keuangan bank, yang terdiri atas total aset, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio -CAR), NPL-Gross (non performing loan)/kredit bermasalah), return on asset (ROA) dan return on equity (ROE) untuk laba, net interest margin (NIM), loan to deposit ratio (LDR), dan produktivitas pegawai (employee productivity/EP). Sedangkan mencermati sisi teknikal merupakan penilaian atas kinerja saham bank-bank yang telah melantai (listed) di BEI. Penilaian ini berdasarkan perhitungan return saham dan volatilitas (perubahan) saham terhadap pasar. Untuk menilai sisi teknikal ini diperlukan metode snail trail (jejak bekicot). Gunanya untuk mengukur kinerja portofolio perbankan untuk jangka panjang, biasanya minimal lima tahun.

Mulai dari aset. Besarnya aset yang dimiliki sebuah bank tidak berarti apa-apa jika seluruhnya merupakan aset berisiko. Yang terpenting disini bagaimana kualitas aset produktifnya, semakin kecil kredit macetnya berarti semakin berkualitas. Oleh karena itu, untuk mengukur kesehatan suatu bank, indikator total aset harus dipadukan dengan indikator lainnya. CAR sebagai bamper resiko merupakan daya tahan suatu bank. Makin besar CAR suatu bank, berarti kesiapannya menghadapi kredit macet besar pula. Bank Indonesia menetapkan standar minimum CAR untuk perbankan sebesar 8%.Artinya, untuk setiap ekspansi kredit Rp1.000, bank harus menyediakan modal sendiri minimal Rp80. Tanpa modal yang kuat, mustahil bank dapat melanjutkan ekspansi kredit. Selanjutnya, NPL atau kredit tidak lancar. Yang termasuk kategori NPL jika kredit yang diberikan berada dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet. Bank yang memiliki tingkat NPL lebih rendah dari tahun sebelumnya, layak memperoleh nilai maksimal. Namun, sebuah bank yang memiliki NPL sangat kecil tidak serta-merta hampir seluruh kredit bank tersebut adalah kredit lancar, dan menunjukkan betapa sehatnya bank tersebut. NPL yang sangat kecil dapat saja dicapai bank yang hanya sedikit menyalurkan kreditnya.

LDR atau perbandingan kredit yang disalurkan dengan dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan, baik berupa tabungan dan deposito. Bank yang memiliki LDR sangat kecil berarti bank tersebut tidak menjalankan fungsi intermediasi dengan baik. Bank-bank seperti ini umumnya hanya menampung dana pihak ketiga, kemudian melakukan placing di pasar uang untuk mencari profit tanpa menyalurkan kredit.
ROA dan ROE, masing-masing adalah indikator laba usaha dan laba bersih yang dihitung berdasarkan total aset dan total ekuitasnya. Dengan beberapa panduan itu, sebuah bank akan terukur apakah sebuah bank cukup sehat atau tidak, sehingga masyarakat tidak ada lagi yang termakan bujuk rayu iklan perbankan.

Indikator alternatip bank sehat
Cara lain untuk melihat sebuah bank sehat atau tidak adalah dengan cara mengamati tingkat bunga, struktur kepemilikan dan manajemen, seta pertumbuhan Aset-nya.

Pertama, tingkat bunga bank, makin tinggi bunga yang ditawarkan, terutama jika dibandingkan dengan bank yang beraset setara, makin tinggi pula risiko bank tersebut. Argumentasinya sederhana. Bank merupakan lembaga perantara (intermediary) yang dalam mengelola dananya harus berpegang pada prinsip kesesuaian jatuh tempo (maturity). Bank yang berhati-hati biasanya menyalurkan dana masyarakat berjangka pendek menjadi kredit jangka pendek pula. Sedangkan kredit jangka panjang didanai dari dana jangka panjang. Dalam prakteknya, ada bank-bank yang menggunakan dana jangka pendek untuk – katakanlah – membiayai proyek properti yang jelas-jelas berjangka panjang. Hal ini jelas-jelas melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking).

Persoalan menjadi semakin kacau balau kalau pengembalian kredit jangka panjang, dipastikan, bank akan menghadapi persoalan likuiditas. Di satu sisi, bank harus membayar dana masyarakat yang jatuh tempo. Akan tetapi di sisi lain, sumber untuk membayar deposito itu tidak ada. Sebab, dananya sudah tertanam di kredit berjangka panjang. Untuk menyiasati persoalan seperti itu, bank biasanya akan lari ke pasar uang dan mencari pinjaman di sana. Namun, ongkosnya sangat mahal dan belum tentu dana yang dibutuhkan tersedia. Alhasil, bank terpaksa mencari dana-dana baru dari masyarakat. Agar menarik, bank kemudian mematok bunga yang sangat tinggi. Sering kali jauh lebih tinggi ketimbang suku bunga yang berlaku umum. Namun, hal itu sama saja dengan gali lubang tutup lubang. Ketika lubang itu sudah tidak dapat lagi ditutupi, seperti yang ditunjukkan pengalaman, puluhan bank terpaksa dilikuidasi. Oleh karena itu, sebaiknya hindari menempatkan dana pada bank-bank yang memasang bunga terlalu tinggi.

Kedua, struktur kepemilikan dan manajemen, banyak bank yang bermasalah adalah bank-bank yang manajemen dan pemiliknya memiliki pertalian yang terlalu erat. Katakanlah, bank dimiliki oleh si A. Kemudian, yang menjadi direktur atau jajaran manajemennya adalah kerabat si A. Jika seperti itu, sangat besar kemungkinannya terjadi persekongkolan di antara mereka. Atau, manajemen cuma jadi boneka.

Di sisi lain, ada pula bank-bank yang dimiliki satu orang atau mayoritas tunggal. Pemilik yang terlalu berkuasa biasanya cenderung melakukan intervensi. Apalagi kalau pemilik memiliki bidang usaha lain yang membutuhkan kredit. Bukan tidak mungkin, banknya hanya dijadikan sapi perah. Umumnya, bank yang hanya dimiliki satu orang akan sulit beroperasi secara profesional. Sebab, tidak ada pengawasan yang seimbang (balancing control) dari pihak lain. Jadi, jangan terlalu menaruh harapan terhadap bank yang kepemilikannya hanya dikuasai satu orang.

Pertanyaannya, bagaimana mengetahui sebuah bank dikuasai mayoritas tunggal atau tidak? Gampang. Cari laporan keungan publikasi bank yang ada di surat kabar. Cermati bagian bawah laporan keuangan tersebut. Biasanya, ada kolom mengenai pemilik bank lengkap dengan presentase kepemilikannya. Dari kolom tersebut, Anda akan menemukan apakah bank bersangkutan dimiliki segelintir pemegang saham atau tidak. Lebih dari itu, jika pemilik bank itu berupa perusahaan, Anda juga akan mengetahui apakah perusahaan yang memiliki bank itu merupakan grup usaha atau bukan. Kesimpulannya sederhana, jika mayoritas saham dimiliki grup usaha, pengalaman empiris memperlihatkan, sebagian kredit bank tersebut pasti disalurkan untuk grup usahanya. Sebaliknya Anda berhati-hati dengan bank seperti itu.

Ketiga, pertumbuhan aset , waspadai bank yang jumlah asetnya secara tiba-tiba menjadi begitu besar. Meskipun pertumbuhan merupakan hal yang baik, lazimnya, hal itu harus bertahap. Sangat riskan kalau aset bank tiba-tiba membesar tanpa alasan jelas. Boleh jadi, bank tersebut terlalu ekspansif menyalurkan pinjaman. Bukan tidak mungkin bank tersebut terlalu banyak menyalurkan kredit kepada grup sendiri. Atau, malah bank itu mengkapitalisasi tunggakan bunga debitur menjadi pokok pinjaman baru.

Selain indikator-indikator sederhana di atas, masih ada pendekatan lain dalam mendeteksi sehat tidaknya sebuah bank. Pendekatan tersebut lazim disebut sebagai CAMELS (capital, asset, management, earning, liquidity, sensitivity) factors. Jika sebuah memperoleh diatas skor 81 dari bank Indonesia berarti bank sehat secara keseluruhan.

Yang perlu diingat, memilih bank sebaiknya tidak didasarkan pada tampak lahiriahnya saja. Gebyar hadiah, promosi yang gencar, atau suku bunga yang tinggi, meskipun menggiurkan, belum tentu memberikan “madu”. Mesti dipahami, rayuan berbunga-bunga sering kali ada maunya. Malah, ia bisa mengandung racun. Lihat saja sejumlah bank yang sudah ditutup. Banyak yang di luar dugaan. Begitulah bank. Meskipun tampilannya cantik dan penuh make up, belum tentu tubuhnya sehat. Jadi, lebih baik memilih bank berdasarkan pertimbangan rasional adalah lebih bijak dibandingkan dengan hanya sekedar memperhatikan tampilannya yang tampak gebyar tapi ternyata tidak sehat,

Dapat disimpulkan bahwa, secara fundamental bank sehat jika mempunyai cukup modala (CAR minmal 8%), Kualitas asset yang tinggi, Manajemen yang Solid, laba yang memadai dan likuditas yang cukup dan jika ditinjau secara teknikal mempunya pertumbuhan harga yang stabil dan tinggi. Alternatip penilaian adalah melalui tinjauan terhadap suku bunga yang ditawarkan normal (tidak terlalu tinggi), komposisi kepemilikan tidak terkonsentrasi pada satu golongan orang serta pertumbuhan asetnya tidak spektakuler. Akhirnya bank yang sehat sangat diperlukan agar dapat mempercepat mobilisasi dana masyarakat untuk pertumbuhan ekonomi.

Referensi:

Bank Indonesia. 2004. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor No.6/ 23 /DPNP Jakarta, 31 Mei 2004
Etty M. Nasser, Titik Aryati. 2000. “Model Analisis CAMEL Untuk Memprediksi Financial Distress Pada Sektor Perbankan Yang Go Public.” Jurnal Auditing dan Akuntansi Indonesia. Volume 4. No.2 Desember. Jakarta.
Fery Indrawan, “Nyari Bank Sehat? Nih Panduannya”, http://afewgoodwords. wordpress.com, 23 Desember 2006.
Fifi Swandari. 2002. “Pengaruh Perilaku Resiko, Kepemilikan Institusi dan Kinerja terhadap Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia”. Simposium Nasional
Institut Bankir Indonesia. 2005. Kamus Perbankan Indonesia. Jilid Dua.
Muhammad Akhyar Adnan, Eha Kurniasih. 2000. “Analisis Tingkat kesehatan Perusahaan
Untuk Memprediksi Potensi Kebangkrutan Dengan Pendekatan Altman”. Jurnal Auditing dan Akuntansi Indonesia. Volume 4. No.2 Desember. Yogyakarta
Purnomo Iman Santoso, “Bank Sehat atau Bank Plus”, Harian Suara Merdeka, 19 November 1997.
Rudi Dogar Harahap, “Di balik Bank ehat dan Kuat”, waspada online, 20 Maret 2008.
Ryan Kiryanto, “Menimbang Premi LPS dari Risiko Bank”, http://www.suaramerdeka.com, 31 Oktober 2005.
Sri Haryati. 2002. “Analisis Kebangkrutan Bank”. Bunga Rampai Kajian Teori Keuangan
Surifah. 2002 “Studi Tentang Rasio Keuangan Sebagai Alat Prediksi Kebangkrutan
Suryani Ika Sari, ”50 Bank Swasta Nasional dalam Kondisi Tidak Sehat”, http://www.tempointeraktif.com, 25 September 2006
Undang-Undang RI No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Penerbit PT Sinar Grafita.